BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. dalam perekonomian Indonesia. Masalah kemiskinan, pengangguran, pendapatan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BERITA RESMI STATISTIK

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan

DIPA BADAN URUSAN ADMINISTRASI TAHUN ANGGARAN 2014

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 08 /PMK.07/2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN. sektor perindustrian ini adalah dengan cara mengembangkan industri kecil.

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER KOTA BEKASI TAHUN 2013

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. dalam struktur pembangunan perekonomian nasional khususnya daerah-daerah.

BAB IV GAMBARAN UMUM

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2010 Kementerian Keuangan. Dana Bagi Hasil. Pertambangan. Panas Bumi.

I PENDAHULUAN. Laju 2008 % 2009 % 2010* % (%) Pertanian, Peternakan,

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI JAWA BARAT 2014

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN A. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya pendapatan nasional di era globalisasi seperti saat ini

BAB I PENDAHULUAN. Timur dan Tenggara. Negara-negara dengan sebutan Newly Industrializing Countries

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016

Jumlah penduduk Jawa Barat berdasarkan hasil SP2010 sebanyak 43 juta orang dengan laju pertumbuhan sebesar 1,91 persen per tahun

ANALISIS KONTRIBUSI DAN PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA DI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2014

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN. Pemerataan pembangunan ekonomi bagi bangsa Indonesia sudah lama

EVALUASI PELAKSANAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

Analisis Klaster untuk Pengelompokan Kemiskinan di Jawa Barat Berdasarkan Indeks Kemiskinan 2016

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

PENGARUH KEMISKINAN, PERTUMBUHAN EKONOMI, DAN BELANJA TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI KOTA CIREBON (PROVINSI JABAR) TAHUN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

5 DISPARITAS REGIONAL DAN KONSENTRASI INDUSTRI MANUFAKTUR DI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

ANALISIS SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN DAN KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT OLEH VINA TRISEPTINA H

BAB I PENDAHULUAN. lapangan kerja, menaikan devisa negara serta mengangkat prestise nasional.

KATA PENGANTAR. keterampilan para petani dan petugas melalui sekolah lapangan serta pelatihan pemandu (PL I, PL II, PL III).

4 DINAMIKA PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN JAWA BARAT

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

MODAL DASAR PD.BPR/PD.PK HASIL KONSOLIDISASI ATAU MERGER

BAB I PENDAHULUAN. daerah, karenanya pembangunan lebih diarahkan ke daerah-daerah, sehingga

PROFIL PEMBANGUNAN JAWA BARAT

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 12 Tahun 2010 TENTANG PENGELOLAAN PENGGUNAAN DAN PENGALOKASIAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. terus dilakukan, antara lain, melalui pengajaran secara formal di sekolahsekolah.

1. COOPERATIVE FAIR KE-1

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009).

CAPAIAN INDIKATOR MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN AREA MANAJEMEN TRIWULAN I TAHUN 2016

PENGUKURAN PRODUKTIVITAS RELATIF DAN ANALISIS TINGKAT UPAH TERHADAP PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

EVALUASI KETERSEDIAAN DAN DISTRIBUSI PANGAN RONI KASTAMAN DISAMPAIKAN PADA ACARA DISEMINASI LITBANG BAPEDA KOTA BANDUNG 29 NOPEMBER 2016

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. RPJPN) tercantum delapan misi pembangunan nasional Indonesia mewujudkan

BAB 2 TINJAUAN LITERATUR

No Kawasan Andalan Sektor Unggulan

BAB I PENDAHULUAN. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) merupakan salah satu pendorong yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN. ( Populasi Ternak (000) Ekor Diakses Tanggal 3 Oktober 2011.

BAB I PENDAHULUAN. kapita (Irawan dan Suparmoko, 2002). Sedangkan menurut Todaro (2003),

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

BAB VI PEMBANGUNAN KEWILAYAHAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

Daftar Populasi dan Sampel Penelitian

Sumber: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia (2012)

LAMPIRAN. Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2000 menurut Kab/ Kota di Provinisi Jawa Barat (Persen)

2015 PENGARUH MINAT BELAJAR DAN FASILITAS BELAJAR TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN EKONOMI

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2014 (dalam rupiah)

SISTEM PENGUPAHAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah melakukan reformasi pengelolaan keuangan dengan. mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) Divisi ton beras dari petani nasional khususnya petani di wilayah Jawa

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8%

Transkripsi:

Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kelemahan strategi pembangunan ekonomi di masa lalu dan krisis ekonomi yang berkepanjangan, telah menimbulkan berbagai persoalan yang sangat parah dalam perekonomian Indonesia. Masalah kemiskinan, pengangguran, pendapatan yang rendah, ketimpangan ekonomi, ketahanan pangan yang labil, utang luar negeri yang besar, kemerosotan mutu lingkungan hidup dan ketertinggalan perekonomian daerah, merupakan sederetan masalah ekonomi yang sedang melilit perekonomian Indonesia. Untuk memecahkan masalah ekonomi yang begitu kompleks, Indonesia memerlukan penajaman (focusing) strategi pembangunan ekonomi yang dapat diharapkan mampu memberi solusi atas masalah-masalah yang ada, tanpa menimbulkan masalah baru. (Bungaran Saragih, 2001:2). Ketidakseimbangan pembangunan wilayah merupakan salah satu fenomena penyumbang masalah tersebut diatas. Ketidakseimbangan pembangunan wilayah ini tidak hanya terjadi secara nasional dimana kemajuan pembangunan yang dicapai di Pulau Jawa sangat berbeda dengan kemajuan pembangunan di luar Pulau Jawa. Di Provinsi Jawa Barat kondisinya hampir serupa dengan kondisi nasional. Ketidakseimbangan pembangunan wilayah kabupaten/kota di Jawa Barat memiliki disparitas yang tinggi. Wilayah Jawa Barat yang terbagi atas wilayah Bandung Raya atau Wilayah Priangan yang terdiri atas kabupaten/kota: Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi dan Kabupaten Sumedang. 1

Bab I Pendahuluan 2 Wilayah Priangan Timur yang terdiri dari : Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar. Wilayah Ciayumajakuning, yang terdiri atas Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka, dan Kabupaten Kuningan, Wilayah Priangan Barat yang terdiri dari, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Subang. Wilyah ex Karesidenan Bogor terdiri dari: Kota Depok, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Sukabumi, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur. Jadi ada 26 wilayah kabupaten/kota di Jawa Barat yang setiap kabupaten/kota tersebut memiliki kemajuan pembangunan yang berbeda apabila dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang meliputi indek daya beli, indeks kesehatan dan indeks pendidikan, seperti tertera pada tabel berikut.

Bab I Pendahuluan 3 Tabel 1.1 Data indeks pembangunan manusia propinsi Jawa Barat tahun 2004-2006*) No. Kabupaten/Kota 2004 2005 2006 1. Kab.Bogor 68,10 68,99 69,79 2. Kab. Sukabumi 67,56 68,54 69,04 3. Kab. Cianjur 66,18 66,79 67,44 4. Kab. Bandung 68,52 69,16 70,41 5. Kab. Garut 66,31 67,03 68,61 6. Kab. Tasikmalaya 68,46 69,08 69,74 7. Kab. Ciamis** 70,89 71,08 71,95 8. Kab. Kuningan 68,00 68,80 69,17 9. Kab. Cirebon 63,97 64,58 65,51 10. Kab. Majalengka 68,01 68,52 68,81 11. Kab. Sumedang 70,65 71,40 71,66 12. Kab. Indramayu 63,24 64,48 65,72 13. Kab. Subang 68,20 68,47 69,06 14. Kab. Purwakarta 68,86 69,52 69,85 15. Kab. Karawang 65,04 66,35 66,95 16. Kab. Bekasi 73,78 73,92 71,08 17. Kota Bogor 74,64 74,94 75,09 18. Kota Sukabumi 73,96 74,58 75,09 19. Kota Bandung 77,17 77,42 77,48 20. Kota Cirebon 71,92 72,52 73,05 21. Kota Bekasi 74,95 75,48 75,65 22. Kota Depok 76,85 77,81 77,97 23. Kota Cimahi 73,83 75,16 75,25 24. Kota Tasikmalaya 71,05 71,62 72,33 25. Kota Banjar** 71,52 71,82 71,94 26. Kab. Bandung Barat na na na Jawa Barat 68,36 69,35 70,28 *) Angka Regional **) Perbedaan Komponen Daya Beli

Bab I Pendahuluan 4 Sumber : Kompilasi data kabupaten/kota, 2007 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan yang menggunakan paradigma "Human Centered Development" (lihat Human Centered Development). Ada tiga parameter yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan manusia, antara lain : (1) derajat kesehatan dan panjangnya umur yang terbaca dari angka harapan hidup (Life Expectacy Rate); (2) pendidikan yang diukur dari angka melek huruf rata-rata dan lamanya sekolah; (3) pendapatan yang diukur dengan daya beli masyarakat. (H. Faesal Tamin, 1997). Pengangguran merupakan masalah tersendiri bagi Propinsi Jawa Barat. Untuk melihat Angkatan Kerja di Jawa Barat dapat dilihat dari tabel-tabel berikut: Tabel 1.2 Penduduk berumur 10 tahun ke atas Kota Bandung menurut jenis kegiatan utama seminggu yang lalu (Orang) 2005*) Jenis Kegiatan Angkatan Kerja Kota Bekerja Mencari pekerjaan Jumlah Persentase Penduduk yang Mencari Pekerjaan Kota Bandung 878 590 148 422 1 027 012 14.45 Jawa Barat 15 011 002 2 029 082 17 040 084 11.91 *) Pada tahun 2005, Kota Bandung memiliki penduduk yang bekerja dengan jumlah 878 590 orang, sedangkan di Jawa Barat berjumlah 15 011 002 orang. Prosentase penduduk yang bekerja di Kota Bandung adalah

Bab I Pendahuluan 5 sebesar 5.85% bila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang bekerja di Jawa Barat. Sumber : Survei Sosial Ekonomi Daerah (Suseda) 2005, BPS Provinsi Jawa Barat Tabel 1.3 Penduduk berumur 10 tahun ke atas Kota Bandung menurut jenis kegiatan utama seminggu yang lalu (Orang) 2006*) Jenis Kegiatan Angkatan Kerja Persentase Kota Bekerja Mencari pekerjaan Jumlah Penduduk yang Mencari Pekerjaan Kota Bandung 915 120 134 992 1 050 112 12,86 Jawa Barat 15 441 639 1 898 954 17 340 593 10,95 *) Pada tahun 2006, Kota Bandung memiliki penduduk yang bekerja dengan jumlah 915.120 orang, sedangkan di Jawa Barat berjumlah 15.441.639 orang. Prosentase penduduk yang bekerja di Kota Bandung terhadap jumlah penduduk yang bekerja di Jawa Barat pada tahun 2005 dan 2006 adalah sebesar 5.85% dan 5.93%. Sumber : Survei Sosial Ekonomi Daerah (Suseda) 2006, BPS Provinsi Jawa Barat

Bab I Pendahuluan 6 Tabel 1.4 Penduduk berumur 10 tahun ke atas Kota Bandung menurut jenis kegiatan utama seminggu yang lalu (Orang) 2007*) Jenis Kegiatan Angkatan Kerja Kota Bekerja Pengangguran Terbuka Jumlah Persentase Penduduk yang Mencari Pekerjaan Kota Bandung 915 047 180 569 1 095 616 16,48 Jawa Barat 15 853 822 2 386 214 18 240 036 13,08 *) Pada tahun 2007, Kota Bandung memiliki penduduk yang bekerja dengan jumlah 915.047 orang, sedangkan di Jawa Barat berjumlah 15.853.822 orang. Prosentase penduduk yang bekerja di Kota Bandung terhadap jumlah penduduk yang bekerja di Jawa Barat pada tahun 2005, 2006, dan 2007 adalah sebesar 5.85%, 5.93%, dan 5.77%. Sumber : Publikasi Keadaan Angkatan Kerja Nasional Agustus 2007 di Provinsi Jawa Barat Untuk pembagian kelompok industri mengikuti Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI). Lapangan usaha yang sudah baku secara internasional, yang disebut dengan International Standard Industrial Clasification (ISIC). ISIC ini kemudian diadopsi Indonesia, dan dikenal dengan Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI). Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia ini meliputi : pertanian, pertambangan, industri pengolahan, industri gas dan air minum, kontruksi, perdagangan, perhubungan, keuangan dan bank, jasa-jasa lain.

Bab I Pendahuluan 7 Sampai saat ini, BPS telah menerbitkan empat versi klasifikasi lapangan usaha. Tiga versi Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI) yang diterbitkan berturut-turut pada tahun 1977, 1983, dan 1990 disusun berdasarkan International Standard Industrial Classification of All Economics Activities (ISIC). Versi terakhir diterbitkan BPS pada tahun 1997. KLUI versi terakhir ini kemudian disempurnakan menjadi KBLI 2000. Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional mencatat hingga Oktober 2006 jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 11,1 juta orang. Provinsi Jawa Barat menempati urutan pertama jumlah pengangguran, yaitu 3,9 juta orang. Tingkat pengangguran di Jawa Barat, terutama di Kota Bandung, masih sangat tinggi. Pada tahun 2007. jumlah orang yang mencari pekerjaan di Kota Bandung sebesar 180.569 orang atau sebesar 16,48 % dari jumlah angkatan kerja di Kota Bandung. Sedangkan jumlah pengangguran terbuka di Jawa Barat sebesar 2.386.214 orang atau 13,08%. Pemicunya adalah angka urbanisasi yang tinggi, serta minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia karena belum sebanding dengan pertumbuhan angkatan kerja yang sangat tinggi. Sejak tahun 2004 angka pengangguran di Bandung terus meningkat., Dari beberapa tabel penduduk dan tenagakerja di atas terlihat jumlah pengangguran terbuka di Kota Bandung tahun 2005-2007, yaitu 148.422 orang (tahun 2005), 134.992 orang (tahun 2006) dan 180.569 orang (tahun 2007). Penyerapan tenaga kerja terbilang kecil, hanya sekitar 10.000-15.000 orang. Adapun jumlah angkatan kerja terus meningkat sekitar 20.000-50.000 orang per tahun. Peningkatan itu dipicu berbagai kebijakan pemerintah yang menyebabkan tutupnya sejumlah perusahaan pengolahan di Kota Bandung, seperti pabrik tekstil

Bab I Pendahuluan 8 yang padat karya. Kebijakan makro secara nasional, seperti kenaikan harga minyak, menyebabkan sektor industri banyak yang kolaps. Akibatnya, pengangguran itu lebih banyak tercipta dari pemutusan hubungan kerja. Rendahnya tingkat investasi di Bandung juga menghambat penyerapan tenaga kerja. Padahal, investasi diharapkan bisa menjadi peluang dibukanya lapangan pekerjaan baru. Selain itu, mediasi perbankan belum membuahkan hasil nyata. Penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia belum mendapatkan tanggapan positif karena suku bunga kredit masih tinggi. Pada tahun 2007, sektor perdagangan, hotel, dan restoran (PHR) merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja terbanyak di Bandung, yaitu sekitar 70 persen dari angkatan kerja yang ada. Salah satunya ialah peningkatan jumlah pedagang informal, yaitu pedagang kaki lima. Terlebih lagi, setelah dibuka Jalan Tol Cipularang, pertumbuhan ekonomi Bandung sangat bergantung pada sektor PHR. (anonim, 2007). Dalam kondisi sulit seperti ini, guna menjamin terciptanya fundamental ekonomi yang solid, Pemerintah provinsi Jawa Barat, terutama Kota Bandung, harus mampu mengidentifikasi pilihan strategi untuk dapat menggerakkan perekonomiannya melalui industri basis (basis industri), khususnya untuk Kota Bandung, dengan cepat. Mengacu pada berbagai permasalahan tersebut di atas, kajian tentang Ketidakseimbangan Pembangunan Wilayah di Kota Bandung: Pendekatan Location Quotient dari aspek Tenaga Kerja, diharapkan dapat memberikan rekomendasi prioritas pembangunan wilayah Kota Bandung untuk masa yang akan datang. Alat analisa Location Quotient (LQ) akan mengidentifikasi sektor-sektor ekonomi unggulan di Kota Bandung.

Bab I Pendahuluan 9 1.2. Identifikasi Masalah Penulis mengidentifikasikan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana nilai LQ di Kota Bandung dalam tiga tahun (2005-2007)? 2. Bagaimana kluster industri di Kota Bandung? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari Penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui nilai LQ (location quotients) sehingga dapat melihat spesialisasi industri di Kota Bandung terhadap Jawa Barat. 2. Untuk mengetahui kluster industri (industry cluster), sehingga dapat diketahui : a. Perbandingan industri dengan tenaga kerja b. Jumlah (input) industri atau infrastruktur yang dibutuhkan c. Mengetahui produksi dari suatu industri d. Mengetahui produk apa yang dibutuhkan 1.4. Kegunaan Penelitian 1. Manfaat bagi akademisi dan pemerintah Hasil studi ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan kebijakan pembangunan ekonomi di Kota Bandung dalam rangka meningkatkan minat investasi, peningkatan pendapatan penduduk, penciptaan lapangan kerja, mengoptimalkan dan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya buatan, dan sumber daya

Bab I Pendahuluan 10 lainnya; serta mendorong berkembangnya minat untuk dilakukannya studi terhadap perekonomian regional dan lokal kabupaten dan kota. 2. Manfaat bagi praktisi bisnis Sedangkan manfaat perencanaan ekonomi daerah bagi praktisi di lapangan, para pelaku ekonomi dan siapa saja yang terkait dengan pembangunan ekonomi daerah di Kota Bandung, adalah bahwa hasil-hasil studi ini akan bermanfaat sebagai guidance (petunjuk) dalam upaya mengisi pembangunan perekonomian daerah Kota Bandung.