STRUKTUR POPULASI BEKANTAN (Nasalis larvatus) DI PULAU CURIAK KABUPATEN BARITO KUALA KALIMANTAN SELATAN

dokumen-dokumen yang mirip
POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT

JARAK JELAJAH HARIAN DAN AKTIVITAS PERGERAKAN BEKANTAN (Nasalis larvatus Wurmb) DI PULAU BAKUT, KABUPATEN BARITO KUALA

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

Struktur Kelompok dan Penyebaran Bekantan (Nasalis larvatus Wrumb.) dikuala Samboja, Kalimantan Timur

Aktivitas Harian Bekantan (Nasalis larvatus) di Cagar Alam Muara Kaman Sedulang, Kalimantan Timur

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

Struktur Populasi Bekantan (Nasalis larvatus) di area Gunung Batu Sawar Kecamatan Hulu Sungai Tengah

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

POPULASI DAN PERLLAKU BEKANTAN (Nasalis larvalus) DI SAMBOJA KOALA, KALIMANTAN TIMUR

I. PENDAHULUAN. udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang

Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah Tahun 2016 Jilid 1: ISBN:

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. benua dan dua samudera mendorong terciptanya kekayaan alam yang luar biasa

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang mencapai sekitar pulau. Perbedaan karakteristik antar pulau

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

Written by Admin TNUK Saturday, 31 December :26 - Last Updated Wednesday, 04 January :53

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA. Surel :

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. dan fauna yang tersebar diberbagai wilayah di DIY. Banyak tempat tempat

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut

UKURAN KELOMPOK MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN DESA CUGUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG GUNUNG RAJABASA LAMPUNG SELATAN

BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun 2017

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi

Gajah Liar Ini Mati Meski Sudah Diobati

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

IV. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

BAB I PENDAHULUAN. sudah dinyatakan punah pada tahun 1996 dalam rapat Convention on

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SUATU CATATAN BARU HABITAT KERA HIDUNG PANJANG ( Nasalis larvatus) DAN PERMASALAHANNYA DI KALIMANTAN SELATAN INDONESIA. Oleh. M.

Aktivitas Harian Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) di Bali Safari and Marine Park, Gianyar

BAB I PENDAHULUAN. Dalam artikel Konflik Manusia Satwa Liar, Mengapa Terjadi? yang ditulis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

BAB III LANDASAN TEORI

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

2 c. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 461/Kpts-II/1999 telah ditetapkan Penetapan Musim Berburu di Taman Buru dan Areal Buru; b. ba

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN. dan satwa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Menurut rilis terakhir dari

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Hubert Forestier dan Truman Simanjuntak (1998, Hlm. 77), Indonesia

Program Studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Mulawarman 2. PT. Pertamina EP Asset 5 Sangasanga 3

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Ucapan Terima Kasih dan Undangan

BAB I PENDAHULUAN. menempatkan Indonesia pada peringkat keempat negara-negara yang kaya

Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea

BAB 1 PENDAHULUAN. alam, dewasa ini lebih banyak dituangkan dalam program kerja kegiatan

KEANEKARAGAMAN JENIS PRIMATA DIURNAL DI DALAM AREAL IUPHHK-HT PT. BINA SILVA NUSA KECAMATAN BATU AMPAR KABUPATEN KUBU RAYA PROVINSI KALIMANTAN BARAT

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

EKOLOGI, DISTRIBUSI dan KONSERVASI ORANGUTAN SUMATERA

Konservasi Biodiversitas Indonesia

I. PENDAWLUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dijadikan sebagai salah satu habitat alami bagi satwa liar. Habitat alami di

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-

Transkripsi:

STRUKTUR POPULASI BEKANTAN (Nasalis larvatus) DI PULAU CURIAK KABUPATEN BARITO KUALA KALIMANTAN SELATAN Zainudin 1, Amalia Rezeki 2 Pusat Studi dan Konservasi Keaneakaragaman Hayati (Biodiversitas Indonesia) Universitas Lambung Mangkurat 1, Program Studi Pendidikan Biologi PMIPA FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin 2 Jl. Brigdjen H. Hasan Basry Banjarmasin 70123 Email 1 : prof.primatologi@gmail.com; Email 2 : amaliarezeki@unlam.ac.id Abstrak Bekantan (Nasalis larvatus) primata endemik Kalimantan dari famili Cercopithecidae, telah digolongkan dalam keadaan genting oleh IUCN. Penurunan populasi sebanyak 50-80% selama 36-40 tahun terakhir merupakan dampak dari aktivitas manusia seperti alih fungsi lahan dan perburuan. Oleh karenanya informasi berkaitan temuan baru populasi bekantan pada suatu habitat dan keadaan populasi tersebut sangat diperlukan guna menunjang kegiatan konservasi terhadap satwa endemik yang berhabitat di hutan mangrove, tepian sungai, hingga rawa tersebut. Studi mengenai struktur populasi dan kerapatan bekantan di Pulau Curiak adalah tindak lanjut dari kegiatan konservasi bekantan di kawasan lahan basah Kalimantan Selatan. Hasil penelitian dengan metode sensus menunjukkan bahwa di Pulau Curiak terdapat 14 individu bekantan yang terbagi menjadi dua kelompok. Jumlah individu berumur muda yang lebih sedikit daripada individu tua, mengindikasikan bahwa jumlah kelahiran lebih kecil dibandingkan dengan jumlah kematian. Keadaan tersebut dapat berdampak pada penurunan populasi bekantan itu sendiri. Individu dewasa mempunyai kerapatan populasi sebesar 2,94 Ind/ha, muda 1,47 Ind/ha, dan anakan mempunyai kerapatan 0,74 Ind/ha. Kata kunci: Bekantan (Nasalis larvatus), struktur populasi, kerapatan Pendahuluan Bekantan (Nasalis larvatus) adalah jenis primata dari famili Cercopithecidae, pada tahun 2008 IUCN (International Union For Conservation of Nature and Natural Resources) mengategorikan bekantan sebagai satwa endemik yang terancam punah dengan status genting (endangered) (Meijaard & Nijman, 2008). Nowak (1983) menyebutkan bahwa bekantan adalah primata dari kelompok monyet dunia lama (old world monkey). Kelompok tersebut merupakan hasil spesiasi primata pertama semenjak 27 tahun silam yang tersebar di wilayah Eropa, Afrika dan Asia (Kimball, 1983). Bekantan tersebar di tiga kawasan negara yaitu Brunei Darussalam, Indonesia (Kalimantan), dan Malaysia (Sabah, Sarawak) (Meijaard & Nijman, 2008). Meijaard & Nijman (2000) mengemukakan bahwa terdapat 153 titik di Kalimantan yang menjadi 1

Zainudin, Amalia Rezeki Struktur Populasi Bekantan... habitat alami bagi bekantan. Bekantan menghuni berbagai tipe habitat seperti kawasan mangrove, rawa air tawar, tepian sungai, rawa galam hingga perkebunan karet (Soendjoto, 2002 dalam Atmoko et.al, 2010). Kerusakan habitat merupakan penyebab utama berkurangnya jumlah bekantan di alam liar, Supriatna & Wahyono (2000) menyatakan bahwa 47% habitat bekantan telah menghilang. Selama 36-40 tahun terakhir setidaknya terjadi penurunan populasi bekantan sebanyak 50-80% (Gron, 2009 dalam Atmoko, 2012). Hal tersebut mengindikasikan bahwa bekantan tidak dapat beradaptasi pada kerusakan habitat. Pulau Curiak merupakan delta dari sungai Barito yang setidaknya telah terbentuk sejak tahun 1980-an. Kawasan mangrove yang merupakan vegetasi dominan pulau tersebut adalah habitat sekaligus perwakilan ekosistem yang unik bagi bekantan. Bekantan pulau Curiak merupakan populasi yang berada ditengah desakan lingkungan disekitarnya. Pulau Curiak merupakan pulau perhentian bagi kapal tongkang pengangkut batu bara dan sekaligus berada di tengah-tengah lalu lintas komersil perairan di Kalimantan Selatan. Daratan disekitar pulau Curiak telah dimanfaatkan masyarakat sebagai lahan pertanian. Hingga saat ini belum diketahui dengan pasti penyebab mengapa kawasan tersebut menjadi habitat yang tetap dipertahankan oleh bekantan, meski dalam keadaan tertekan. Kajian mengenai populasi dan kerapatan termasuk kajian mengenai jumlah kelompok, perbandingan rasio kelamin, dan struktur umur sangat diperlukan guna memecahkan permasalahan tersebut. Permasalahan tersebutlah yang menjadi landasan untuk dilaksanakannya penelitian ini. Metode Kegiatan penelitian dilakukan selama 3 (tiga) hari berturut-turut (06-08 Mei 2016) dan dilaksanakan di pulau Curiak yang secara administratif masih termasuk kawasan dari Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan. Pengamatan terhadap populasi bekantan di pulau Curiak dilaksanakan dengan intens selama 12 jam, dimulai dari pukul 06.00-18.00 WIB. Metode sensus merupakan metode yang dipergunakan dalam mengumpulkan data. Perhitungan jumlah kelompok serta pengamatan individu dalam kelompok dilakukan dengan mengelilingi pulau seluas 2,72 Ha menggunakan perahu. Adapun parameter yang diamati selama penelitian berlangsung adalah jumlah kelompok bekantan yang menghuni pulau Curiak, jumlah individu dari setiap 2

kelompok, perbandingan rasio kelamin dalam setiap kelompok, perbandingan struktur umur anggota pada tiap kelompok serta potensi dari setiap kelompok untuk berkembangbiak. Hasil dan Pembahasan Pulau Curiak merupakan pulau yang terbentuk dari delta sungai Barito. Vegetasi tumbuhan yang mendominasi adalah tumbuhan mangrove dari jenis Rambai laut (Sonneratia caseolaris), yang telah mulai tumbuh dan membantu terbentuknya pulau Curiak sejak 36 tahun silam. Berdasarkan pengamatan, di pulau ini terdapat 1 kelompok bekantan yang terdiri atas 1 kelompok utama dan satu kelompok sub/ sub-grup. Kelompok utama (Alfa) merupakan kelompok dengan jumlah anggota kelompok sebanyak 9 individu, sedangkan kelompok sub Alfa-1 memiliki jumlah anggota kelompok sebanyak 5 individu. Apabila dijumlahkan maka dalam pulau seluas 2,72 Ha terdapat 14 individu yang menghuni pulau tersebut. Jumlah anggota kelompok tersebut dapat dikatakan normal. Payne et.al (2000) menyebutkan bahwa struktur sosial pada bekantan bersifat fleksibel, kelompok-kelompok kecil sering bergabung menjadi kelompok besar untuk sementara waktu. Soendjoto (2006) menyebutkan bahwa dalam sebuah kelompok dapat terdiri atas 4-12 ekor individu. Sementara pendapat lain menyebutkan bahwa dalam satu kelompok terdiri atas 12-27 individu (Nowak, 1983), 15-61 individu (Alikodra, 1997), 25 individu (Supriatna & Wahyono, 2000), dan 6-15 individu (Atmoko, 2012). Pada kelompok Alfa terdapat 1 ekor pejantan, 4 ekor betina, 2 ekor bekantan remaja, dan 2 ekor bayi/ anakan. Sedangkan pada kelompok Sub Alfa-1 terdapat 2 ekor pejantan, dengan 1 betina, dan 2 individu remaja (Tabel 1). Secara berurutan Supriatna & Wahyono (2000) mengklasifikasikan kedua kelompok tersebut kedalam kelompok single male dan multi male. Sedangkan perbandingan antara individu jantan dan betina pada tiap kelompok adalah 1 : 4 (Alfa) dan 2 : 1 (Sub Alfa-1), dan tergolong cukup baik. Kerapatan kelas umur bekantan di pulau Curiak dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Estimasi Populasi Terbesar Bekantan (Nasalis larvatus) di Pulau Curiak Kelompok Bayi Muda (R) Alfa 1 4 2 2 9 SubAlfa-1 2 1 0 2 5 3 5 2 4 14 Keterangan: (jantan), (betina), dan R (remaja) 3

Zainudin, Amalia Rezeki Struktur Populasi Bekantan... Tabel 2. Kerapatan Kelas Umur Bekantan (Nasalis larvatus) di Pulau Curiak No. Kelas Umur Individu Luas Area (Ha) Kerapatan Kerapatan (Ind/ha) (Ind/km 2 ) 1. Dewasa 8 2,94 294 2. Muda 4 2,72 1,47 147 3. Anakan 2 0,74 74 Apabila tabel di atas digambarkan dalam bentuk piramida umur, maka akan terlihat bahwa populasi bekantan di pulau Curiak termasuk kedalam populasi dengan bentuk piramida kendi/ pasu (Gambar 1).Sedangkan perbandingan rasio kelamin pada satu populasi hingga perbandingan rasio kelamin pada kelompok Alfa dan Sub Alfa-1, dapat dilihat pada Gambar 2. Keterangan: Dewasa Muda Anakan Gambar 1. Piramida umur populasi bekantan (Nasalis larvatus) di Pulau Curiak Data Sahabat Bekantan Indonesia (SBI) menyebutkan bahwa bekantan pertama kali terlihat di pulau Curiak pada tahun 1994. Pada saat itu hanya terdapat 3 ekor bekantan dengan jenis kelamin yang belum teridentifikasi. Jumlah tersebut meningkat menjadi 11 ekor pada sensus rutin SBI di tahun 2015. Jumlah anggota kelompok bekantan di pulau Curiak bertambah sebanyak 3 ekor dalam kurun waktu 1 tahun, dan menjadi 14 ekor pada tahun 2016 (Tabel 1.). Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok Alfa terdapat 2 betina dewasa yang telah mengasuh anak, sedangkan dua betina lagi teridentifikasi dalam masa mengandung. Meski menunjukkan adanya pertambahan individu dalam kelompok pada setiap tahunnya, populasi bekantan di pulau Curiak masih dapat digolongkan kedalam kategori populasi menurun. Gambar 1 menunjukkan bahwa individu dengan umur tua memiliki jumlah yang lebih besar dari individu berumur muda. Piramida umur berbentuk pasu/ 4

kendi (Gambar 1) menunjukkan bahwa natalitas lebih kecil dari pada mortalitas (Odum, 1979), keadaan yang demikian akan berujung pada penurunan populasi (Hardjosuwarno, 1990 dalam Hardiansyah, 2010). Adaptasi Kormondy (1986) terhadap bentuk-bentuk kelas umur yang dibuat oleh Bodenheimer (1958) mengindikasikan bahwa populasi bekantan di pulau Curiak adalah populasi dengan tipe nonfecound (postreproduktif). Dimana tipe tersebut menggambarkan bahwa individu kurang reproduktif berjumlah lebih besar dan menyebabkan reproduksi populasi yang rendah.kualitas habitat, kuantitas, dan kualitas pakan diduga berperan besar terhadap keadaan reproduksi yang rendah (Qiptiyah & Setiawan, 2012). Pendapat tersebut juga didukung oleh Kimball (1983) bahwa kapasitas lingkungan yang terbatas untuk menyediakan energi memberi batasan yang absolut terhadap ukuran populasi. Kerapatan berdasarkan kelas umur (Tabel 2) menunjukkan bahwa individu dewasa mempunyai nilai kerapatan tertinggi (2,94 Ind/ha), sedangkan muda mempunyai nilai kerapatan 1,47 Ind/ha, dan 0,74 Ind/ha untuk individu pada kelas umur anakan. Tingginya nilai kerapatan akan meningkatkan persaingan antar tiap individu, khususnya dalam hal pemenuhan pakan. Isbell (1991) menyatakan bahwa persaingan antar grup ditentukan oleh kemelimpahan pakan, sedangkan persaingan intra grup ditentukan oleh distribusi pakan. Secara kualitatif, luasan pulau yang cenderung kecil mengindikasikan bahwa kemelimpahan pakan dan distribusinya cenderung rendah. Oleh karenanya faktor utama yang mempengaruhi nilai kerapatan per-kelas umur di pulau Curiak adalah terbatasnya pakan yang berbanding lurus dengan luas habitat. Manurung (1995) berpendapat bahwa struktur dan kerapatan populasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kelahiran (natalitas), kematian (mortalitas), emigrasi, imigrasi, dan migrasi. Kimball (1983), sejalan dengan Manurung, juga berpendapat bahwa laju kelahiran dan kematian mempengaruhi pertumbuhan populasi, yang keduanya didukung oleh 3 hal yaitu: terbatasnya daya dukung lingkungan, kemampuan lingkungan untuk memasok makanan, efisiensi pemangsaan, dan inefisien parasit. Alikodra (1997) menyatakan bahwa jumlah bekantan akan lebih banyak ditemui pada suatu lokasi yang memiliki jumlah dan keragaman sumber pakan yang tinggi. 5

Zainudin, Amalia Rezeki Struktur Populasi Bekantan... Kemampuan populasi bekantan akan berkembang ketika populasi bersifat reproduktif sehingga mencapai keseimbangan populasi (Wirakusumah, 2003). Keadaan tersebut tergantung dari nisbah kelamin/ perbandingan antara jumlah individu jantan dan betina. Dari keseluruhan/total populasi, di pulau Curiak terdapat 3 individu jantan (21,43%) dan 5 individu betina (35,71%), sedangkan jika digambarkan rasio kelamin pada kelompok Alfa dan Sub Alfa-1 berturut turut adalah 1:4/11,11%:44,44% dan 2:1/40%:20% (Gambar 2). (a) (b) KTT Keterangan: Jantan Betina Kelamin Tidak Teridentifikasi/ Muda (Remaja) dan Anakan (c) Gambar 2. Rasio kelamin pada keseluruhan populasi (a), kelompok Alfa (b), dan kelompok Sub Alfa-1 (c) Alikodra (1997) menyatakan bahwa perbandingan jumlah jantan dewasa dan betina dewasa di pulau Curiak cukup baik, seperti nisbah kelamin yang terjadi di Kuala Samboja dimana pejantan berjumlah lebih sedikit dibandingkan dengan betina. Atmoko (2012) menyatakan sex rasio bekantan di Sungai Kuala Samboja adalah 1:3. Hal ini 6

menyatakan bahwa pebandingan/ nisbah kelamin di pulau Curiak dalam keadaan yang normal. Alikodra & Srimulyaningsih (2015) mengemukakan bahwa angka nisbah kelamin sangat menentukan struktur populasi, hal ini sangat memungkinkan banyak perubahan pada sistem sosial apakah akan mengarah pada sistem harem atau mengarah pada multi male. Sistem harem umumnya dicirikan dengan jumlah betina yang lebih banyak daripada jumlah jantan, sedangkan pada sistem multi male adalah sebaliknya. Kecenderungan bekantan di Pulau Curiak menganut sistem sosial polygyni, khususnya ketika dipandang dari sudut total populasi atau saat pembentukan sub kelompok (Alfa). Bismark (2009) menyatakan bahwa sistem sosial bekantan lebih ditentukan pada jumlah dan stabilitas jantan dalam kelompok. Sistem harem terlihat saat pembentukan sub kelompok. Pada Tabel 1, jelas disebutkan bahwa pada total populasi terdapat perbandingan nisbah kelamin sebesar 3 : 5, kelompok Alfa 1 : 4, dan Kelompok Sub Alfa-1 2 : 1. Ini menunjukkan sistem sosial yang mendominasi adalah haren/ single male (Total populasi/ Alfa) dan multi male (Sub Alfa-1). Potensi populasi bekantan di Pulau Curiak diharapkan akan berkembang, dilihat pada Gambar 2 persentase/ jumlah individu dengan kelamin yang tidak teridentifikasi (KTT), berjumlah cukup banyak. Hal ini masih memungkinkan bahwa pada poin tersebut akan muncul generasi betina dan akan menambah jumlah betina untuk bereproduksi, dengan asumsi akan menambah jumlah kelompok dan memperbesar populasi. Kesimpulan Terdapat 2 kelompok bekantan di pulau Curiak (Alfa dan Sub Alfa-1), dengan jumlah seluruh total anggota sebanyak 14 ekor (Alfa 9 individu dan Sub Alfa-1 5 Individu). Struktur populasi bekantan di Pulau Curiak menandakan terjadinya penurunan populasi, di mana individu dewasa berjumlah 8 ekor, muda 4 ekor, dan anakan 2 ekor. Nisbah kelamin memperlihatkan perbandingan 1 : 4 (Alfa) dan 2 : 1 (Sub Alfa-1), sehingga dapat dikategorikan bekantan di pulau Curiak memiliki sistem sosial harem dan multi male, kerapatan individu dewasa adalah 2,94 Ind/ha, Muda 1,47 Ind/ha, dan anakan 0,74 Ind/ha, serta berpotensi untuk mengalami peningkatan populasi dimasa mendatang. 7

Zainudin, Amalia Rezeki Struktur Populasi Bekantan... I. Daftar Pustaka Alikodra, H. S. 1997. Population and Behavior of Proboscis Monkey (Nasalis larvatus) in Samboja Koala, East Kalimantan. Media Konservasi Vol. V, 2: 67-72. Alikodra, H.S. dan R. Srimulyaningsih. 2015. Populasi Bekantan di Rawa Gelam. Dalam Alikodra, H. S. (Eds), Bekantan Berjuang Melawan Kepunahan (hlm. 49-62). Bogor: IPB Press. Atmoko, Tri, Amir Ma ruf, dan Tri Sayektinigsih. 2010. Penelitian Kelayakan Kawasan Hutan Sebagai Areal Relokasi Bekantan di Kalimantan. Samboja: BPTPS. Atmoko, Tri. 2012. Bekantan Kuala Samboja Bertahan dalam Keterbatasan. Balikpapan: Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam. Bismark, M. 2009. Biologi Konservasi Bekantan (Nasalis larvatus). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Hardiansyah. 2010. Pengantar Ekologi Tumbuhan. Banjarmasin: PMIPA FKIP ULM. Isbell, L. A. 1991. Contest and Secramble Competition Patterns of Females Aggresion and Ranging Behavior Among Primates. Behavioral Ecology Vol. 2 No. 2: 143-155. Kimball, J. W. 1983. Biologi, Jilid 3. Terjemahan oleh H. Siti Soetarmi Tjitrosomo dan Nawangsari Sugiri. 2008. Jakarta: Erlangga. Kormondy, E. J. 1986. Concepts of Ecology. Los Angeles: California State University. Manurung, Binari. 1995. Dasar-Dasar Ekologi Hewan. Medan: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Medan. Meijaard, E. dan Nijman, V. 2000. Distribution and Conservation of the Proboscis Monkey (Nasalis larvatus) in Kalimantan, Indonesia.Biological Conservation. 92: 15-24. Meijaard, E. dan Nijman, V. 2008. Nasalis larvatus. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatned Species. Version 2011.2: 1-10, (Online), (www.iucnredlist.org, diakses 07 Agustus 2015). Nowak, R. M. 1983. Walker s Mammals of The World. 4th Edition. Lonodon: The Johns Hopkins University Press. Odum, E. P. 1979. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan oleh Tjahjono S. Dan Srigandono. 1993. Yogyakarta: UGM Press. Payne, Junaidi, C. M. Francis, Karen P., dan Sri Nurani Kartikasari. 2000. Panduan Lapangan Mamalia di Kalimantan, Sabah, Serawak & Brunei Darussalam. Bogor: WCS. Qiptiyah, Maryatul dan Heru Setiawan. 2012. Kepadatan Populasi dan Karakteristik Habitat Tarsius (Tarsius spectrum Pallas 1779) di Kawasan Paturuang, Taman Nasional Bantimurung-Balisarang, Sulawesi Selatan. Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 9 No. 4: 363-371. Soendjoto, M. A. 2006. Critical Paper A New Record On Habitat of The Proboscis Monkey (Nasalis larvatus) and Its Problems In South Kalimantan Indonesia, (Online), (http://www.irwantomoshut.com), diakses 10 Oktober 2015. 8

Supriatna, Jatna dan Edy H. Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Wirakusumah, Sambas. 2003. Dasar-dasar Ekologi. Jakarta: UI-Press. 9