BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. PPOK adalah penyakit paru obstruksi kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif.

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut

BAB 1 PENDAHULUAN. napas, batuk kronik, dahak, wheezing, atau kombinasi dari tanda tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan

Bab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya

BAB I PENDAHULUAN. progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN TEORI. 2.1 Konsep Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Pengertian PPOK

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT

BAB I PENDAHULUAN. menerus, maka akan terjadi perubahan pada fungsi paru-paru mereka

CURRICULUM VITAE. Nama : DR. Dr. Nur Ahmad Tabri, SpPD, K-P, SpP(K) Tempat, tanggal lahir : Ujung Pandang, 12 April 1959 Agama: Islam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibutuhkan manusia dan tempat pengeluaran karbon dioksida sebagai hasil sekresi

BAB I PENDAHULUAN. Paru-paru merupakan organ utama yang sangat penting bagi kelangsungan

BAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok,

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Data prevalensi, morbiditas, dan mortalitas berbeda tiap negara namun secara umum terkait

BAB I A. LATAR BELAKANG. morbiditas kronik dan mortalitas di seluruh dunia, sehingga banyak orang yang

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (noncommunicable

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Amerika dan mengakibatkan kematian jiwa pertahun, peringkat ke-empat

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dengan terjadinya inflamasi disebabkan respon paru- paru terhadap partikel atau

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/ RS Dr M DJAMIL PADANG

BAB I PENDAHULUAN. dengan kisaran usia 5-14 tahun (Gerald dkk, 2004). Prevalens asma di Indonesia belum

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perokok pasif atau second hand smoke (SHS) istilah pada orang lain bukan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan

BAB I PENDAHULUAN. PPOK atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit paru-paru merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia, salah

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kelompok gangguan saluran pernapasan kronik ini. Dalam beberapa

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB I PENDAHULUAN. SK/XI/2008 tentang pedoman pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik,

BAB 1 PENDAHULUAN. diobati, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. polusi udara baik dalam maupun luar ruangan, serta polusi di tempat kerja. 1

SUMMARY GAMBARAN KAPASITAS PARU PADA REMAJA PEROKOK DI DESA TULADENGGI KECAMATAN TELAGA BIRU. Dwi Purnamasari Zees

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan semakin tingginya penjanan faktor resiko, seperti faktor pejamu

STATUS PEMERIKSAAN PENELITIAN : UJI LATIHAN PERNAFASAN TERHADAP FAAL PARU, DERAJAT SESAK NAFAS DAN KAPASITAS FUNGSIONAL PENDERITA PPOK STABIL

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia sekarang sedang menanggung beban ganda dalam kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan. penelitian, manfaat penelitian sebagai berikut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

PENGARUH PURSED LIPS BREATHING

2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

SPIROMETRI. Deddy Herman. Bagian Pulmonologi & Kedokteran Respirasi FK UNAND

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan perekonomian ke

ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA

Indikasi Pemeriksaan

BAB I PENDAHULUAN. berfokus dalam menangani masalah penyakit menular. Hal ini, berkembangnya kehidupan, terjadi perubahan pola struktur

M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007.

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba

ANALISIS JURNAL PENGARUH LATIHAN NAFAS DIAFRAGMA TERHADAP FUNGSI PERNAFASAN PADA PASIEN

PEMERIKSAAN FUNGSI PARU DENGAN SPIROMETRI. Hj. Efy Afifah, SKp, M.Kes. Pengukuran obyektif paru menggunakan alat spirometer.

kekambuhan asma di Ruang Poli Paru RSUD Jombang.

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus

I. PENDAHULUAN. Rokok adalah gulungan tembakau yang dibalut dengan kertas atau daun. nipah. Menurut Purnama (1998) dalam Alamsyah (2009), rokok

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa penyakit yang dapat menggangu sistem oksigenasi yaitu seperti TBC,

Uji Fungsi (lung function test) Peak flow meter

BAB I PENDAHULUAN. negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari Global

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1. Pendahuluan. Faktor perinatal menjadi faktor risiko gangguan respiratorik kronis masa

INSUFISIENSI PERNAFASAN. Ikbal Gentar Alam ( )

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sering timbul dikalangan masyarakat. Data Report Word Healt Organitation

BAB I PENDAHULUAN. peringkat kelima di seluruh dunia dalam beban penyakit dan peringkat

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan 63% penyebab kematian di seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang besar di dunia luas dengan prevalensi, dan biaya yang tinggi. Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. memburuk menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sering berubahubah. yang merugikan kesehatan, kususnya pada penderita asma.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA BAGIAN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini kita telah hidup di zaman yang semakin berkembang, banyaknya inovasi yang telah bermunculan, hal ini

Faktor Risiko Terdapat beberapa faktor-faktor yang dapat memicu terjadi PPOK ini, yaitu: a. Kebiasaan merokok

BAB I PENDAHULUAN. American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. atau gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diatasi, dikarakterisir dengan keterbatasan aliran udara yang menetap, yang

BAB 1 PENDAHULUAN. menyerang lebih dari 25% populasi dewasa. (Smeltzer & Bare, 2001)

LAMPIRAN 1 LEMBAR PEMERIKSAAN PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Riset Kesehatan Dasar (RISKEDAS) di Indonesia tahun mendapatkan hasil prevalensi nasional untuk penyakit asma pada semua umur

BAB IV PEMBAHASAN DAN SIMPULAN. nafas dan nutrisi dengan kesenjangan antara teori dan intervensi sesuai evidance base dan

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik 2.1.1 Definisi PPOK adalah penyakit paru obstruksi kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya. 12 Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi. 16 Dalam menilai gambaran klinis pada PPOK harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut 17 : a. Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan, b. Perkembangan gejala bersifat progresif lambat c. Riwayat pajanan, seperti merokok, polusi udara (di dalam ruangan, luar tempat kerja) d. Sesak pada saat melakukan aktivitas e. Hambatan aliran udara umumnya ireversibel (tidak bisa kembali normal). 2.1.2 Epidemologi Data prevalens PPOK pada populasi dewasa saat ini bervariasi pada setiap negara di seluruh dunia. Tahun 2000, prevalens PPOK di Amerika dan Eropa berkisar 5-9% pada individu usia > 45 tahun.. 10 Data penelitian lain menunjukkan prevalens PPOK bervariasi dari

7,8%-32,1% di beberapa kota Amerika Latin. Prevalens PPOK di Asia Pasifik rata-rata 6,3%, yang terendah 3,5 % di Hongkong dan Singapura dan tertinggi 6,7% di Vietnam. 12 Untuk Indonesia, penelitian PPOK working group tahun 2002 di 12 negara Asia Pasifik menunjukkan estimasi prevalens PPOK Indonesia sebesar 5,6%. 18 Data kunjungan pasien di RS Persahabatan menunjukkan kecenderungan peningkatan kasus PPOK. Pada tahun 2000 PPOK menduduki peringkat ke 5 dari jumlah penderita yang berobat jalan dan menduduki peringkat 4 dari penderita yang dirawat. Kunjungan rawat jalan pasien PPOK di RS Persahabatan Jakarta meningkat dari 616 pada tahun 2000 menjadi 1735 pada tahun 2007. 10 Prevalens PPOK diperkirakan akan meningkat sehubungan dengan peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia, pergeseran pola penyakit infeksi yang menurun sedangkan penyakit degeneratif meningkat serta meningkatnya kebiasaan merokok dan polusi udara. Merokok merupakan salah satu faktor risiko terbesar PPOK. 19 Berdasarkan hasil penelitian prevalens PPOK meningkat dari tahun ke tahun, dari sekitar 6% di periode tahun 1960-1979 mendekati 10% di periode tahun 2000-2007. 13 Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian di seluruh dunia. Menurut prediksi WHO, PPOK yang saat ini merupakan penyebab kematian ke-4 di seluruh dunia diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi penyebab kematian ketiga di seluruh dunia. 2 Sebagai pengingat pentingnya masalah PPOK, WHO menetapkan hari PPOK sedunia (COPD day) diperingati setiap tanggal 18 November. 20 2.1.3. Faktor Resiko Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko tersebut meliputi faktor pejamu, faktor perilaku merokok, dan faktor lingkungan. Faktor pejamu meliputi genetik, hiperesponsif jalan napas dan pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah

kurangnya alfa 1 antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK. 21 Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus per tahun dan perokok aktif berhubungan dengan angka kematian. Tidak semua perokok akan menderita PPOK, hal ini mungkin berhubungan juga dengan faktor genetik. Perokok pasif dan merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko PPOK. Pada perokok pasif didapati penurunan FEV1 tahunan yang cukup bermakna pada orang muda yang bukan perokok. Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan dose response, artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar. Hubungan dose response tersebut dapat dilihat pada Indeks Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok per hari dikalikan jumlah hari lamanya merokok (tahun), misalnya bronkitis 10 bungkus tahun artinya jika seseorang merokok sehari sebungkus, maka seseorang akan menderita bronkitis kronik minimal setelah 10 tahun merokok 22. Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap rokok, asap kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain, polusi di luar ruangan (outdoor), seperti gas buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan, dan lain-lain, serta polusi di tempat kerja, seperti bahan kimia, debu/zat iritasi, gas beracun, dan lain-lain. Pajanan yang terus menerus oleh polusi udara merupakan faktor risiko lain PPOK. Peran polusi luar ruangan (outdoor polution) masih belum jelas tapi lebih kecil dibandingkan asap rokok. Polusi dalam ruangan (indoor polution) yang disebabkan oleh bahan bakar biomassa yang digunakan untuk keperluan rumah tangga merupakan faktor risiko lainnya. Status sosioekonomi merupakan

faktor risiko untuk terjadinya PPOK, kemungkinan berkaitan dengan polusi, ventilasi yang tidak adekuat pada tempat tinggal, gizi buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan sosioekonomi. 23. 2.1.4. Patogenesis dan Patologis Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (FEV 1 ), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa (FEV 1 /FVC). 24 Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan. 12

Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Parenkim paru kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps, sehingga dapat terjadi sesak nafas. 12 Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan. 25 Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol. 26 Konsep patogenesis PPOK Gambar 1. Konsep Patogenesis PPOK Sumber: PDPI. Klasifikasi. Dalam : PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Diagnosis dan Penatalaksanaan. Edisi Juli 2011

2.1.5 Diagnosis Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat penyakit. 2.1.5.1 Anamnesis a. Faktor risiko Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi tempat kerja. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan apakah pasien merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok. Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat ringan (0-200), sedang (200-600), dan berat ( >600). 12 b. Gejala klinis Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan. Berikut ini adalah gejala-gejala klinis yang berkitan dengan PPOK : Batuk kronik Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama lebih dari 3 bulan yang berlangsung selama lebih dari 2 tahun yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Kadangkadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. 12 Sesak napas

Sesak napas merupakan gejala yang sering dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progresif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Untuk menilai kuantitas sesak napas terhadap kualitas hidup digunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak menurut British Medical Research Council (MRC). 27 Tabel 2. skala sesak British Medical Research Council (MRC) Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan Aktifitas 0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat 1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat 2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak 3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit 4 Sesak bila mandi atau berpakaian Mengi Mengi atau wheezing adalah suara memanjang yang disebabkan oleh penyempitan saluran pernafasan dengan aposisi dinding saluran pernafasan. Suara tersebut dihasilkan oleh vibrasi dinding saluran pernafasan dengan jaringan sekitarnya. Karena secara umum saluran pernafasan lebih sempit pada saat ekspirasi, maka mengi dapat terdengar lebih jelas pada saat fase ekspirasi. Pada pasien PPOK juga terdapat mengi pada fase ekspirasi. Mengi polifonik merupakan jenis mengi yang paling banyak terdapat pada pasien PPOK. Terdapat suara jamak simultan dengan berbagai nada yang terjadi pada fase ekspirasi dan menunjukan penyakit saluran pernafasan yang difus. 28 Ronkhi

Ronkhi merupakan bunyi diskontinu singkat yang meletup-letup yang terdengar pada fase inspirasi maupun ekspirasi. Ronkhi mencerminkan adanya letupan mendadak jalan nafas kecil yang sebelumnya tertutup. Ronkhi juga dapat disebabkan oleh penutupan jalan nafas regional dikarenakan penimbunan mucus pada saluran nafas. Pada pasien PPOK dapat pula terjadi ronhki meskipun bukan gejala khas dari PPOK. 28 Penurunan aktivitas Penderita PPOK akan mengalami penurunan kapasitas fungsional dan aktivitas kehidupan sehari-hari. Kemampuan fisik yang terbatas pada penderita PPOK lebih dipengaruhi oleh fungsi otot skeletal atau perifer. Pada penderita PPOK ditemukan kelemahan otot perifer disebabkan oleh hipoksia, hiperkapnia, inflamasi dan malnutrisi kronis. 28 Menurut Klasifikasi GOLD tahun 2010 menyebutkan kriteria PPOK berdasarkan klinisnya adalah sebagai berikut 12 : Tabel 3. Derajat klinis PPOK PPOK Ringan PPOK Sedang Derajat Klinis -Dengan atau tanpa batuk -Dengan atau tanpa produksi sputum -Sesak napas derajat sesak 1 sampai derajat sesak 2 -Dengan atau tanpa batuk -Dengan atau tanpa produksi sputum -Sesak napas derajat 3 PPOK Berat -Sesak napas derajat sesak 4 dan 5 -Eksaserbasi lebih sering terjadi PPOK Sangat Berat -Sesak napas derajat sesak 4 dan 5 dengan gagal napas kronik -Eksaserbasi lebih sering terjadi -Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan

2.1.5.2. Pemeriksaan Fisik Temuan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada seperti tong (barrel chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup), terlihat penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas, pelebaran sela iga, dan bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi vena jugularis dan edema tungkai. Pada perkusi biasanya ditemukan adanya hipersonor. Pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan fremitus melemah, suara napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanjang, ronki, dan mengi. 12 Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut 12 : Inspeksi - Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong ) - Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup ) - Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas - Pelebaran sela iga - Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher dan edema tungkai - Penampilan pink puffer atau blue bloater Palpasi - Fremitus melemah - Sela iga melebar Perkusi - Hipersonor

Auskultasi - Fremitus melemah, - Suara nafas vesikuler melemah atau normal - Ekspirasi memanjang - Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi) - Ronki Pink puffer Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed lips breathing. 12 Blue bloater Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer. 12 Pursed - lips breathing Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO yang terjadi pada gagal napas kronik. 12 2.1.5.3 Pemeriksaan Penunjang a. Tes Faal Paru Spirometri (FEV 1, FEV 1 prediksi, FVC, FEV 1 /FVC) Obstruksi ditentukan oleh nilai FEV 1 prediksi (%) dan atau FEV 1 /FVC (%). FEV 1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin

dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%. 12 Peak Flow Meter b. Radiologi (foto toraks) Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler meningkat, jantung pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien. 12 c. Analisa gas darah harus dilakukan bila ad kecurigaan gagal nafas. Pada hipoksemia kronis kadar hemiglobin dapat meningkat. d. Mikrobiologi sputum e. Computed temography Dapat memastikan adanya bula emfimatosa. 2.1.6 Penatalaksanaan Eksaserbasi PPOK Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut adalah mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya kematian. Risiko kematian dari eksaserbasi sangat berhubungan dengan terjadinya asidosis respiratorik, adanya komorbid, dan kebutuhan akan alat ventilasi. 12 Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat). Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap dan dilakukan di poliklinik rawat jalan, ruang rawat inap, unit gawat darurat, atau ruang ICU. 26

2.1.6.1 Bronkodilator Bronkodilator yang lebih dipilih pada terapi eksaserbasi PPOK adalah short-acting inhaled B2-agonists. Jika respon segera dari obat ini belum tercapai, direkomendasikan menambahkan antikolinergik, walaupun bukti ilmiah efektivitas kombinasi ini masih kontroversial. Walaupun penggunaan klinisnya yang luas, peranan metilxantin (teofilin, aminofilin) dalam terapi eksaserbasi masih kontroversial. Sekarang metilxantin dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua, ketika tidak ada respon yang adekuat dari penggunaan short-acting inhaled B2-agonists. Tidak ada penelitian klinis yang mengevaluasi penggunaan long-acting inhaled B2-agonists dengan/tanpa inhalasi glukokortikosteroid selama eksaserbasi. 2.1.6.2 Kortikosteroid Kortikosteroid oral/intravena direkomendasikan sebagai tambahan terapi pada penanganan eksaserbasi PPOK. Dosis pasti yang direkomendasikan tidak diketahui, tetapi dosis tinggi berhubungan dengan risiko efek samping yang bermakna. Dosis prednisolon oral sebesar 30-40 mg/hari selama 7-10 hari adalah efektif dan aman. 12 Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), kortikosteroid tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari dua minggu tidak memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek samping. 2 2.1.6.3 Antibiotik Berdasarkan bukti terkini yang ada, antibiotik harus diberikan kepada 12 : a. Pasien eksaserbasi yang mempunyai tiga gejala kardinal, yaitu peningkatan volume sputum, sputum menjadi semakin purulen, dan peningkatan sesak b. Pasien eksaserbasi yang mempunyai dua gejala kardinal, jika peningkatan purulensi merupakan salah satu dari dua gejala tersebut

c. Pasien eksaserbasi yang memerlukan ventilasi mekanik. Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah sakit sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya diberikan kombinasi dengan makrolid, dan bila ringan dapat diberikan tunggal. Antibiotik yang dapat diberikan di Puskesmas yaitu lini I: Ampisilin, Kotrimoksasol, Eritromisin, dan lini II: Ampisilin kombinasi Kloramfenikol, Eritromisin, kombinasi Kloramfenikol dengan Kotrimaksasol ditambah dengan Eritromisin sebagai Makrolid. 2 2.1.6.4 Terapi Oksigen Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama, bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang mengancam jiwa, dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di ICU. Tingkat oksigenasi yang adekuat (PaO2>8,0 kpa, 60 mmhg atau SaO2>90%) mudah tercapai pada pasien PPOK yang tidak ada komplikasi, tetapi retensi CO2 dapat terjadi secara perlahan-lahan dengan perubahan gejala yang sedikit sehingga perlu evaluasi ketat hiperkapnia. 2 2.1.6.5 Ventilasi Mekanik Tujuan utama penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi berat adalah mengurangi mortalitas dan morbiditas, serta memperbaiki gejala. Ventilasi mekanik terdiri dari ventilasi intermiten non invasif (NIV), baik yang menggunakan tekanan negatif ataupun positif (NIPPV), dan ventilasi mekanik invasif dengan oro-tracheal tube atau trakeostomi. Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi. Penggunaan NIV telah dipelajari dalam beberapa Randomized Controlled Trials pada kasus gagal napas akut, yang secara konsisten menunjukkan hasil positif dengan angka keberhasilan 80-85%. Hasil ini menunjukkan bukti bahwa NIV memperbaiki asidosis

respiratorik, menurunkan frekuensi pernapasan, derajat keparahan sesak, dan lamanya rawat inap. 12 2.1.7 Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmhg dan PaCO2>50 mmhg, serta ph dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat disertai gagal jantung kanan. 2 2.2. Spirometri 2.2.1 Definisi Spirometri adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur secara obyektif kapasitas/fungsi paru (ventilasi) pada pasien dengan indikasi medis. Alat yang digunakan disebut spirometer. 29 2.2.2. Tujuan mengukur volume paru secara statis dan dinamik menilai perubahan atau gangguan pada faal paru 2.2.3. Prinsip pemeriksaan

Prinsip spirometri adalah mengukur kecepatan perubahan volume udara di paru-paru selama pernafasan yang dipaksakan atau disebut forced volume capacity (FVC). Prosedur yang paling umum digunakan adalah subyek menarik nafas secara maksimal dan menghembuskannya secepat dan selengkap mungkin. Nilai FVC dibandingkan terhadap nilai normal dan nilai prediksi berdasarkan usia, tinggi badan dan jenis kelamin. 29 Sebelum dilakukan spirometri, terhadap pasien dilakukan anamnesa, pengukuran tinggi badan dan berat badan. Pada spirometer terdapat nilai prediksi untuk orang Asia berdasarkan umur dan tinggi badan. Bila nilai prediksi tidak sesuai dengan standar Indonesia, maka dilakukan penyesuaian nilai prediksi menggunakan standar Indonesia. Volume udara yang dihasilkan akan dibuat prosentase pencapaian terhadap angka prediksi. 10,29 Spirometri dapat dilakukan dalam bentuk social vital capacity (SVC) atau forced vital capacity (FVC). Pada SCV, pasien diminta bernafas secara normal 3 kali (mouthpiece sudah terpasang di mulut) sebelum menarik nafas dalam-dalam dan dihembuskan secara maksimal. Pada FVC, pasien diminta menarik nafas dalam-dalam sebelum mouth piece dimasukkan ke mulut dan dihembuskan secara maksimal. 29 Pengukuran fungsi paru yang dilaporkan 29 : 1. Forced Vital Capacity (FVC) adalah jumlah udara yang dapat di keluarkan secara paksa setelah inspirasi maksimal, dan di ukur dalam liter 2. Forced expiratoy volume in one second (FEV1) adalah jumlah udara yang dapat dikeluarkan dalam satu detik, di ukur dalam liter. Bersama dengan FCV merupakan indikator utama fungsi paru 3. FEV1/FVC merupakan rasio FEV1/SCV. Pada orang sehat nilai normalnya sekitar 75 80% 4. Peak expiratory flow (PEF) merupakan kecepatan pergerakan udara keluar dari paru pada awal ekspirasi, di ukur dalam liter/detik.

5. Forced expiratory flow (FEF) merupakan kecepatan rata-rata aliran udara keluar dari paru selama pertengahan pernafasan. Sering juga di sebut sebagai MMEF (Maximal Mid-Expiratory Flow). Klasifikasi gangguan ventilasi (% nilai prediksi) : Gangguan restriksi : Vital Capacity (VC) < 80% nilai prediksi; FVC < 80% nilai prediksi Gangguan obstruksi : FEV1 < 80% nilai prediksi; FEV1/FVC < 75% nilai prediksi Gangguan restriksi dan obstruksi : FVC < 80% nilai prediksi; FEV1/FVC < 75% nilai prediksi. Bentuk spirogram adalah hasil dari spirometri. Beberapa hal yang menyebabkan spirogram tidak memenuhi syarat : a) Terburu-buru atau penarikan nafas yang salah b) Batuk c) Terminasi lebih awal d) Tertutupnya glotis e) Ekspirasi yang bervariasi f) Kebocoran Setiap pengukuran sebaiknya dilakukan minimal 3 kali. Kriteria hasil spirogram yang reprodusibel (setelah 3 kali ekspirasi) adalah dua nilai FVC dan FEV1 dari 3 ekspirasi yang dilakukan menunjukkan variasi/perbedaan yang minimal (perbedaan kurang dari 5% atau 100 10, 29 ml).

2.3. PPOK dengan hasil Spirometri Setelah dilakukannya pemeriksaan spirometri, pembagian (klasifikasi) derajat berat PPOK, dapat di bagi empat 12 Tabel 4. Hubungan PPOK dengan Hasil Spirometri Kriteria Penyakit Gejala klinis Spirometri PPOK Ringan PPOK Sedang -Dengan atau tanpa batuk -Dengan atau tanpa produksi sputum -Sesak napas derajat sesak 1 sampai derajat sesak 2 -Dengan atau tanpa batuk -Dengan atau tanpa produksi sputum -Sesak napas derajat 3 PPOK Berat -Sesak napas derajat sesak 4 dan 5 -Eksaserbasi lebih sering terjadi PPOK Sangat Berat -Sesak napas derajat sesak 4 dan 5 dengan gagal napas kronik -Eksaserbasi lebih sering terjadi -Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan -VEP1 80% prediksi (nilai normal spirometri) -VEP1/KVP < 70% -VEP1/KVP < 70% -50% VEP1 < 80% prediksi -VEP1/KVP < 70% -30% VEP1 < 50% prediksi -VEP1/KVP <70% -VEP1 < 30% prediksi, atau -VEP1 < 50% dengan gagal napas kronik Sumber: PDPI. Klasifikasi. Dalam : PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Diagnosis dan Penatalaksanaan. Edisi Juli 2011; h.30 Obstruksi : gangguan saluran napas baik struktural / fungsional yang menimbulkan perlambatan arus respirasi 30 Restriksi : gangguan pengembangan paru oleh sebab apapun 30 2.4. Diagnosis Banding PPOK

PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma pasca TB paru, namun seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau gagal jantung kronik. Perbedaan klinis PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik dapat dilihat pada Tabel di bawah ini. Tabel 5. Diagnosis banding PPOK PPOK Asma Bronkhial CHF Fibrosis Onset usia 45 Segala usia Segala usia Segala usia Riwayat Keluarga Pola sesak nafas Tidak ada Ada Tidak ada Ada Terus menerus, bertambah berat dengan aktivitas Hilang timbul Timbul saat aktifitas Ronkhi Kadang-kadang + ++ + Mengi Kadang-kadang ++ + + Makin lama makin berat Vaskular Melemah Normal Meningkat Melemah Spirometri Obstruksi ++ Restriksi + Obstruksi + Obstruksi + Restiksi ++ Obtruksi + Restriksi ++ Reversibelitas Kurang ++ + Kurang Pencetus Partikel Toksik Partikel Sensistif Penyakit jantung kongestif Kerusakan gen pengkode transmembran fibrous