BAB II HAMBATAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DALAM KERANGKA GATT/ WTO. A. Sejarah Lahirnya GATT 1947 Hingga Berdirinya World Trade

dokumen-dokumen yang mirip
Conduct dan prosedur penyelesaian sengketa. GATT terbentuk di Geneva pada tahun 1947

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan bisnis yang berkembang sangat pesat. perhatian dunia usaha terhadap kegiatan bisnis

PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO)

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era

BAB II KERANGKA HUKUM PERDAGANGAN BEBAS DALAM WORLD TRADE ORGANIZATION. Perdagangan internasional pada Perang Dunia II berada dalam keadaan yang

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015

I. PENDAHULUAN. yang berbeda antara negara yang satu dengan negara lainnya. Salah satu usaha

UU 7/1994, PENGESAHAN AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANIZATION (PERSETUJUAN PEMBENTUKAN ORGANISASI PERDAGANGAN DUNIA)

PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION

IMPLIKASI PRINSIP MOST FAVOURED NATION DALAM UPAYA PENGHAPUSAN HAMBATAN PEDAGANGAN INTERNASIONAL

MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)

BAB II KONSEP DAN PENGATURAN DUMPING SERTA ANTIDUMPING DALAM KERANGKA GATT WTO

Pengantar Hukum WTO. Peter Van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi 1

SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009

TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL. Posisi Indonesia dan Perkembangan Perundingan WTO (Doha Development Agenda) APRILIA GAYATRI

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DAFTAR ISI. Halaman Judul... i. Halaman Persetujuan Pembimbing... ii. Halaman Pengesahan Skripsi... iii. Halaman Pernyataan... iv

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DI DALAM NEGERI DALAM SISTEM PERDAGANGAN BEBAS WTO

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRINSIP WTO IKANINGTYAS

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada. tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai

SISTEM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Latar belakang berdirinya the World Trade Organization (WTO) tidak

PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN INVESTASI

BAB III PENUTUP. Liberalisasi perdagangan merupakan salah satu tujuan organisasi

Bab 5 Bisnis Global 10/2/2017 1

BAB II PENGATURAN KEGIATAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DALAM KERANGKA WTO

SISTEM PENETAPAN NILAI PABEAN (CUSTOMS VALUATION) YANG BERLAKU DI INDONESIA

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 10

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah

BAB 4 PENUTUP. 4.1 Kesimpulan

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas dunia merupakan dua hal yang

ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B.

BAB I. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan yang sangat pesat dari waktu ke waktu, di mana

Dhiani Dyahjatmatmayanti, S.TP., M.B.A.

KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Materi Minggu 12. Kerjasama Ekonomi Internasional

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI DISPUTE SETTLEMENT BODY (DSB) WORLD TRADE ORGANIZATION

TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL

KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN

hambatan sehingga setiap komoditi dapat memiliki kesempatan bersaing yang sama. Pemberian akses pasar untuk produk-produk susu merupakan konsekuensi l

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi oleh setiap manusia di dunia untuk mempertahankan hidupnya.

PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN DAMPAKNYA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Artikel 22 ayat 1, DSU Agreement.

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN ASEAN AGREEMENT ON CUSTOMS (PERSETUJUAN ASEAN DI BIDANG KEPABEANAN)

DUMPING DAN ANTI-DUMPING SEBAGAI BENTUK UNFAIR TRADE PRACTICE DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Bab I. Pendahuluan. adalah akumulasi keuntungan yang sebesar-besarnya (optimum profit). Tujuan ini

Materi Minggu 5. Kebijakan Ekonomi & Perdagangan Internasional Pengertian, Instrumen dan Tujuan Kebijakan Ekonomi Internasional

BAB II PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA DALAM GENERAL AGREEMENT ON TARIFFS AND TRADE (GATT) DAN WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)

HUKUM PERDAGANGAN BEBAS MULTILATERAL Perdagangan Internasional Dan Lingkungan Hidup

DAFTAR PUSTAKA. Adolf, Huala Hukum Ekonomi Internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga perdagangan antar negara menjadi berkembang pesat dan tidak hanya

Kebijakan Ekonomi & Perdagangan Internasional. By: Afrila Eki Pradita, S.E., MMSI

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

SALINAN. t,',?s r. *, J.Tnt NOMOR 17 TAHUN Menimbang : a. pembangunan nasional di bidang ekonomi dalam rangka memajukan kesejahteraan umum

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota World Trade

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

PENERAPAN PENGGUNAAN MATA UANG RUPIAH BAGI PELAKU USAHA PERDAGANGAN LUAR NEGERI

MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI, M E M U T U S K A N :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN

perdagangan, industri, pertania

BAHAN KULIAH HUKUM PERDAGANGAN JASA INTERNASIONAL SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2008

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai pengaruh kepada perubahan negara-negara di dunia. Melalui

BAB I PENDAHULUAN. Cina mulai mengajukan diri untuk menjadi anggota WTO sejak Juli 1986

Oleh : Putu Ayu Satya Mahayani I Ketut Sujana Hukum Keperdataan, Fakultas Hukum, Universitas Udayana

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar dengan menempatkan prioritas pembangunan pada bidang

Sessi. Dosen Pembina:

BAB I PENDAHULUAN. implikasi positif dan negatif bagi perkembangan ekonomi negara-negara

2 negara lain. Dari situlah kemudian beberapa negara termasuk Indonesia berinisiatif untuk membentuk organisasi yang berguna untuk mengatur seluruh pe

IDENTITAS MATA KULIAH

PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG INTERNASIONAL DALAM KERANGKA WTO (WORLD TRADE ORGANIZATION)

ekonomi KTSP & K-13 PERDAGANGAN INTERNASIONAL K e l a s A. Konsep Dasar Tujuan Pembelajaran

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

RESUME. Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan. biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari

BAB I PENDAHULUAN. cukup besar bagi pertumbuhan ekonomi negara. 2 Salvatore menyatakan bahwa

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

II TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Produksi dan Ekspor CPO (Crude palm Oil) Indonesia

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016 Website :

Transkripsi:

BAB II HAMBATAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DALAM KERANGKA GATT/ WTO A. Sejarah Lahirnya GATT 1947 Hingga Berdirinya World Trade Organization 1. Lahirnya GATT 1947 Akhir Perang Dunia II (PD II), perdagangan internasional berada dalam keadaan yang tidak menentu, banyak peringkat dari subsistem yang menunjang kelancaran perdagangan yang telah mengalami kerusakan baik institusional maupun fisik. 31 Sebagian besar dari kegiatan perdagangan terpaksa dilakukan secara ad-hoc sementara secara bertahap sendi-sendi yang menunjang mulai diperbaiki. 32 Tema dari upaya internasional pada akhir PD II adalah rekontruksi total perekonomian dunia. 33 Dalam pelaksanaannya, upaya masyarakat internasional untuk menangani masalah keuangan dan moneter internasional dapat dilaksanakan dengan cara yang relatif lebih cepat. 34 Dalam Konferensi Bretton Woods tahun 1944, masyarakat internasional menyetujui didirikannya Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) dalam waktu yang relatif singkat. 35 Begitu pula dalam hal menentukan rencana untuk mengadakan rekontruksi bagi negara-negara menghadapi kerusakan akibat PD II. Untuk itu masyarakat internasional telah mendirikan Bank Dunia atau International Bank 31 H. S. Kartadjoemena, GATT dan WTO : Sistem, Forum, dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan(selanjutnya disebut Buku II) (Jakarta: UI Press, 2002), hlm. 33. 32 Ibid. 33 Ibid. 34 Ibid., hlm. 34. 35 Ibid. 22

for Recontruction and Development (IBRD). Bank dunia juga didirikan secara bersamaan pada tahun 1944 dalam rangka perjanjian yang ditandatangani di Bretton Woods. 36 Untuk masalah yang menyangkut bidang perdagangan internasional, dikemukakan bahwa perkembangan institusional dibidang perdagangan internasional tidak terlampau lancar. 37 Berbeda dengan bidang finansial dan keuangan, dibidang perdagangan, negara-negara peserta konferensi tidak berhasil medirikan suatu organisasi internasional. Semula diharapkan bahwa rencana untuk mendirikan International Trade Organization (ITO) dapat disetujui untuk diciptakan agar menangani masalah perdagangan internasional. Namun, Karena berbagai pertimbangan politis, ITO tidak jadi terbentuk yang terutama disebabkan karena kongres Amerika Serikat tidak menyetujui untuk didirikannya ITO, dimana AS memiliki peranan yang sangat menentukan untuk terwujudnya perdagangan bebas dunia. Maka terdapat suatu kekosongan institusional pada tingkat internasional dalam bidang perdagangan. 38 Dengan adanya kekosongan institusional tersebut, maka GATT yang semula merupakan suatu perjanjian interim, menjadi satu-satunya instrumen dibidang perdagangan yang telah memperoleh konsensus yang luas untuk menjadi landasan dalam pengaturan tata cara perdagangan internasionalyang mana benih sejarah pembentukan GATT sebenarnya berawal dari waktu ditandatanganinya Piagam Atlantik (Atlantic Charter) pada bulan Agustus 1941. 39 Salah satu tujuan dari piagam ini adalah menciptakan suatu sistem perdagangan dunia yang didasarkan kepada non- 36 Ibid. 37 Ibid. 38 Hendra Halwani, Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi, Edisi Kedua (selanjutnya disebut Buku I) (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 340. 39 H. S. Kartadjoemena (Buku I), Loc. Cit., hlm 34. 23

diskriminasi dan kebebasan tukar-menukar barang dan jasa. 40 Dengan demikian maka pada tahun 1947 GATT menjadi satu-satunya lembaga yang beroperasi sebagai organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional, sekurang-kurangnya bagi negara-negara anggota. 41 Karena perdagangan internasional antara negara-negara anggota merupakan sekitar 80% dari seluruh perdagangan dunia secara riil, maka GATT menetapkan dan menerapkan aturan permainan dari hampir seluruh perdagangan internasional. 42 Dilihat dalam praktiknya, GATT 1947 telah menjadi peraturan multilateral utama perdagangan internasional setelah PD II. Disamping sebagai peraturan perdagangan internasional sejak tahun 1948 sampai tahun 1994, GATT 1947 juga telah mejalankan fungsi-fungsi lain seperti sebagai organisasi perdagangan dunia, forum perundingan masalah perdagangan internasional dan forum penyelesaian sengketa dagang antar negara-negara peserta. 43 Sebagai forum perundingan telah dilakukan sembilan kali putaran perundingan GATT dan putaran perundingan yang terakhir, yakni perundingan GATT Putaran Uruguay berlangsung dari tahun1986 hingga 1994. 44 Putaran-putaran perundingan dibawah GATT tersebut secara lebih rinci adalah sebagai berikut: 45 a. Putaran Geneva 1947 (Diikuti oleh 23 negara) b. Putaran Annecy 1949 (Diikuti oleh 13 negara) c. Putaran Torquay 1950 (Diikuti oleh 38 negara) d. Putaran Geneva 1956 (Diikuti oleh 26 negara) 40 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (selanjutnya disebut buku III) (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 103-106. 41 Ibid. 42 Ibid., hlm. 34-35. 43 Nurdin, Indonesia dalam Lipatan Ekonomi Global (GATT/WTO)(Banda Aceh: Sophia Center, 2007), hlm. 67. 44 Ibid. 45 Ibid. 24

e. Putaran Dillon 1960 1961 (Diikuti oleh 26 negara) f. Putaran Kennedy 1962 1967 (Diikuti oleh 62 negara) g. Putaran Tokyo 1973 1979 (Diikuti oleh 102 negara) h. Putaran Uruguay 1986 1994 (Diikuti oleh 123 negara) i. Putaran Doha 2001 sekarang (Diikuti oleh 142 negara) Fokus perundingan putaran pertama hingga ke-enam adalah pada masalah penurunan tarif dan dihasilkan keputusan-keputusan tentang penurunan tarif. 46 Pada putaran perundingan ke-enam, selain penurunan tarif juga dihasilkan putusan tentang anti-dumping measures dan GATT negotiations rules. 47 Mulai perundingan putaran ke-tujuh, Putaran Tokyo (1973 1979) selain merundingkan soal penurunan tarif, perundingan juga terfokus pada upaya penghapusan hambatan dagang bukan tarif. Perundingan Putaran Tokyo selain menghasilkan putusan tentang pengurangan tarif, juga menghasilkan beberapa perjanjian dibidang hambatan non-tarif. 48 Kemudian, putaran perundingan GATT selanjutnya yakni Putaran Uruguay yang dimulai di Uruguay 1986 dan diakhiri di Marakesh 1994. 49 Keprihatinan terhadap penurunan pentaatan GATT 1947 yang terjadi pada 1980-an, kemudian mendorong penyelenggaraan Putaran Uruguay tahun 1986-1994 tersebut. 50 Tanpa disengaja sistem internasional yang diterapkan secara interim tersebut ternyata telah berjalan 40 tahun sebelum akhirnya, sebagai hasil Uruguay Round, timbul kesepakatan untuk mendirikan organisasi internasional sepenuhnya yang mempunyai wewenang substantif dan cukup 46 Ibid. 47 Ibid. 48 Ibid. 49 Ibid. 50 Ibid. 25

komprehensif seperti ITO yakni WTO. 51 Terakhir, putaran yang dimulai 2001 yang masih berlangsung hingga sekarang yakni Putaran Doha. Putaran ini menandai diluncurkannya putaran perundingan baru mengenai perdagangan jasa, produk pertanian, tarif industri, lingkungan, isu-isu implementasi, Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), penyelesaian sengketa, dan peraturan WTO. Putaran Doha juga mengamanatkan kepada para anggota untuk mencari jalan bagi tercapainya konsensus yang mencakup isu-isu: investasi, kebijakan kompetisi (competition policy), transparansi dalam pengadaan pemerintah (goverment procurement), dan fasilitasi perdagangan. 52 Deklarasi ini juga memuat mandat untuk meneliti program-program kerja mengenai electronic commerce, negaranegara kecil (small economies), serta hubungan antara perdagangan, utang, dan alih teknologi. Deklarasi Doha juga telah memberikan mandat kepada para anggota WTO untuk melakukan negosiasi di berbagai bidang, termasuk isu-isu yang berkaitan dengan pelaksanaan persetujuan yang ada. 53 Secara umum, semua anggota mendukung tujuan-tujuan itu. Namun masalahnya, bagaimana membuat peraturan yang bisa diterima semua pihak. Negara-negara industri menuntut agar produk industrinya bisa diperdagangkan lebih bebas di negara-negara ambang industri seperti di Cina dan India. 54 Negara-negara miskin menuntut agar subsidi pertanian di Amerika Serikat dan Uni Eropa dihapus. Karena subsidi pertanian di negara kaya menghapus peluang negara-negara miskin masuk ke pasarnya. 51 H. S. Katadjoemena, GATT WTO dan hasil Uruguay Round (selanjutnya disebut Buku I) (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1997), hlm. 18. 52 Putaran Doha, http://putrinyaperwira-fisip09.web.unair.ac.id/artikel_detail-64846- Prinsip%20Ekonomi%20Internasional-Putaran%20Doha.html, diakses pada 30 Maret 2016 Pukul 12.06 WIB. 53 World Trade Organization, Iskandar Panjaitan, et.al, http://www.deptan.go.id/kln/berita/wto/ttg-wto.htm, Diakses pada 30 Maret 2016 Pukul 12.15 WIB. 54 Bagaimana Kelanjutan Putaran Doha?. Hendra Pasuhuk, http://www.dw.de/dw/article/0,,15605184,00.html, diakses pada 30 Maret 2016 Pukul 12.30 WIB 26

Sementara negara industri berusaha melindungi sektor pertanian dari serbuan produk-produk impor. Sebenarnya, sudah banyak peraturan yang berhasil disepakati tentang pajak impor dan penghapusan hambatan perdagangan.tapi peraturan ini baru bisa berlaku resmi, jika semua anggota WTO menyepakati seluruh paket perdagangan bebas yang disepakati dalam Putaran Doha. Inilah hambatan utama yang membuat perundingan jadi rumit dan berlangsung hingga saat ini. 55 2. Berdirinya WTO sebagai Kelanjutan GATT 1947 GATT 1947 yang hadir sebagai kesepakatan perdagangan internasional ditengah kondisi perekonomian dunia yang mengalami perlambatan yang cukup signifikan pasca PD II sebenarnya ditujukan untuk pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (International Trade Organization). 56 Meskipun Piagam ITO yang akhirnya disetujui dalam UN Conference on Trade and Development di Havana pada Maret 1948, namun proses ratifikasi tidak berjalan lancar. Ditambah lagi kongres Amerika Serikat, yang walaupun sebagai pencetus, AS memutuskan untuk tidak meratifikasi Piagam Havana sehingga ITO secara efektif tidak dapat dilaksanakan. 57 Meskipun demikian, GATT tetap merupakan instrumen multilateral yang mengatur perdagangan internasional. Bersama berjalannya waktu, GATT semakin membuka diri kepada negara-negara lain untuk menjadi anggota. Pada tahun 1947, anggota GATT tercatat sebanyak 23 negara dan akhirnya berkembang menjadi 123 negara yang terlibat dalam Putaran Uruguay 55 Ibid. 56 Christhophorus Barutu, Seni Bersengketa di WTO (selanjutnya disebut Buku II) (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2015), hlm. 3. 57 Sudargo Gautama, Masalah-Masalah Perdagangan, Perjanjian, Hukum Perdata Internasional dan Hak Milik Intelektual (selanjutnya disebut Buku I) (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1992), hlm. 1. 27

pada tahun 1994. Dalam Putaran Uruguay itu pulalah, para negara anggota GATT sepakat untuk membentuk suatu lembaga baru, yakni WTO. Setelah melewati masa transisi untuk memberikan kesempatan ratifikasi ditingkat nasional anggota, WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995. Lahirnya WTO pada tahun 1994 membawa dua perubahan yang cukup penting bagi GATT. Pertama, WTO mengambil alih GATT dan menjadikannya salah satu lampiran WTO. Kedua, prinsip-prinsip GATT menjadi kerangka aturan bagi bidang-bidang baru dalam perjanjian WTO, khususnya perjanjian mengenai Jasa (GATS), penanaman modal (TRIMs), dan juga dalam perjanjian mengenai perdagangan yang terkait dengan Hak atas Kekayaan Intelektual (TRIPS). 58 Sejak berdiri, GATT telah mensponsori berbagai macam perundinganperundingan utama/pokok yang biasanya disebut juga dengan istilah putaran (rounds). Tujuan dari putaran atau perundingan ini bertujuan untuk mempercepat liberalisasi perdagangan internasional. 59 Terkait Berdirinya WTO sebagai kelanjutan GATT 1947 dibahas dalam putaran perundingan ke-8 disebut Putaran Uruguay. Putaran yang dimulai 1986, merujuk pada kesepakatan yang diambil di Uruguay, dan berakhir pada Maret 1994 di Marrakesh, Maroko. Pada saat itulah organisasi GATT diubah namanya menjadi WTO. 60 Hasil dari perundingan GATT Putaran Uruguay tersebut adalah disetujuinya persetujuan pembentukan WTO beserta lampiran-lampirannya (The Agreement Establishing The World Trade Organization and Annexes). 61 Secara lengkapnya dalam penjelasan UU 58 Huala Adolf (Buku III), Op. Cit., hlm. 97. 59 Ibid. 60 M. Husein Sawit, Liberalisasi Pangan: Ambisi dan Reaksi dalam Putaran Doha WTO (Jakarta: UI Press, 2007), hlm. 3. 61 Triyana Yohanes, Hukum Ekonomi Internasional: Perspektif Kepentingan Negara Sedang Berkembang dan LDC s (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2015), hlm. 68. 28

Pengesahan WTO, pengesahan WTO dinyatakan perundingan Putaran Uruguay berlangsung sangat ketat, sehingga masa perundingan yang semula direncanakan berlangsung selama 4 tahun sejak peluncuran Putaran Uruguay, tidak dapat tercapai. Proses perundingan itu sendiri berlangsung dalam tahapan-tahapan sebagai berikut: 62 a. Tahap perundingan awal (1986-1988) Tahap ini berlangsung segera setelah selesainya pertemuan tingkat menteri di Punta del Este, Uruguay, pada tahun 1986. Pada tahap ini, perundingan menghasilkan beberapa naskah awal di berbagai bidang, yang kemudian dijadikan dasar bagi perundingan berikutnya; b. Tahap tinjauan paruh masa (1988) Pada tahap perundingan paruh masa di Montreal, Kanada tahun 1988, proses perundingan berlangsung agak terhambat karena sama sekali belum tercapai kesepakatan di bidang pertanian, tekstil dan pakaian jadi, tindakan pengamanan, dan aspek-aspek dagang dari HaKI c. Tahap pertemuan brussel (1990) Tahapan ini semula dimaksudkan untuk mengakhiri perundingan Putaran Uruguay, tetapi karena belum tercapai kesepakatan di bidang pertanian terutama antara Amerika Serikat dan Masyarakat Eropa, maka masa perundingan Putaran Uruguay diperpanjang sampai dengan tahun 1991; d. Tahap naskah ketua komite perundingan perdagangan (1991) Perundingan lanjutan yang berlangsung dalam tahun 1991 di Jenewa tidak dapat menghasilkan persetujuan yang menyeluruh, sehingga untuk mempercepat 62 Proses Perundingan Putaran Uruguay dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) 29

penyelesaian proses perundingan, Direktur Jenderal GATT selaku Ketua Komite Perundingan Perdagangan mengajukan naskah rancangan persetujuan akhir yang disusunnya dengan inisiatif sendiri untuk diterima atau ditolak oleh negara peserta perundingan; e. Tahap pertemuan Jenewa (1993) Perundingan tahap akhir Putaran Uruguay secara praktis berlangsung sejak awal tahun 1992 sampai dengan akhir tahun 1993, dan berhasil menyepakati paket persetujuan Putaran Uruguay yang didasarkan pada naskah rancangan persetujuan akhir yang disusun dengan inisiatif Ketua Komite Perundingan Perdagangan.Yang pada akhirnya secara umum, paket persetujuan Putaran Uruguay mencakup tiga hal utama sebagai berikut: 63 1) Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia sebagai pengganti Sekretariat GATT yang selanjutnya akan mengadministrasikan dan mengawasi pelaksanaan persetujuan perdagangan serta menyelesaikan sengketa dagang di antara negara anggota; 2) Penurunan tarif impor berbagai komoditi perdagangan secara menyeluruh, dan akses pasar domestik dengan mengurangi berbagai hambatan/proteksi perdagangan yang ada; 3) Pengaturan baru di bidang aspek-aspek dagang yang terkait dengan HaKI, ketentuan investasi yang berkaitan dengan perdagangan, dan perdagangan Jasa. 63 Hasil Akhir Putaran Uruguay dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). 30

Maka, WTO pada kenyataannya merupakan kelanjutan dan pengembangan dari GATT. Dengan terbentuknya WTO, maka terealisir cita-cita masyarakat internasional untuk memiliki suatu organisasi internasional universal yang membidangi masalah-masalah perdagangan dunia. 64 Lembaga GATT yang berstruktur lepas berubah menjadi organisasi dunia yang amat berkuasa yaitu WTO. 65 Walaupun GATT sebagai institusi tidak ada lagi, namun persetujuan GATT masih tetap berlaku, yang kemudian dikenal dengan GATT 1947 dan versi terbaru GATT 1994. 66 Semua persetujuan tersebut masuk kedalam persetujuan WTO yang baru. 67 3. Tujuan GATT dan WTO Tujuan dari persetujuan GATT adalah untuk menciptakan suatu iklim dalam perdagangan internasional yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis serta untuk menciptakan liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan didalam penanaman modal, lapangan kerja, dan penciptaan iklim perdagangan yang sehat. 68 Dengan tujuan demikian, sistem perdagangan internasional yang diupayakan GATT adalah sistem yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan diseluruh dunia. 69 Tujuan utama GATT tersebut dapat tampak dengan jelas pada preambulenya. Pada pokoknya ada empat tujuan penting yang hendak dicapai GATT: 70 a. meningkatkan taraf hidup umat manusia; 64 Ibid. 65 M. Husein Sawit,. Loc. Cit., hlm. 3. 66 Ibid. 67 Lihat naskah hasil perundingan putaran uruguay yang diterbitkan oleh Universitas Cambridge (WTO 1999). 68 Christhophorus Barutu (Buku II), Op. Cit., hlm. 1. 69 Oliver Lang, Law and limitation in the GATT multilateral trade system, (dalam) Christhophorus Barutu, Seni Bersengketa di WTO (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2015), hlm. 4. 70 Huala Adolf (Buku III), Op. Cit., hlm. 98. 31

b. meningkatkan kesempatan kerja ; c. meningkatkan pemanfaatan kekayaan alam dunia; d. meningkatkan produksi dan tukar-menukar barang; Kemudian, ada tiga fungsi utama GATT dalam mencapai tujuannya. 71 Pertama, sebagai suatu perangkat ketentuan (aturan) multilateral yang mengatur tindak tanduk perdagangan yang dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan suatu perangkat ketentuan perdagangan (the rules of the road for trade). Kedua, sebagai suatu forum (wadah) perundingan perdagangan. Disini diupayakan agar praktik perdagangan dapat dibebaskan dari rintangan-rintangan yang mengganggu (liberalisasi perdagangan). Dan aturan atau praktik perdagangan demikian itu menjadi jelas (predictable), baik melalui pembukaan pasar nasional maupun melalui penegakan dan penyebarluasan pemberlakuan peraturannya. Ketigaadalah sebagai suatu pengadilan internasional dimana para anggotanya menyelesaikan sengketa dagangnya dengan anggota-anggota GATT lainnya. Hal ini disebutkan pula dalam penjelasan latar belakang UU Pengesahan WTO, bahwa GATT berfungsi sebagai forum konsultasi negara-negara anggota dalam membahas dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di bidang perdagangan internasional, GATT juga berfungsi sebagai forum penyelesaian sengketa di bidang perdagangan antara negara-negara peserta. GATT juga merupakan forum untuk mengajukan keberatan dari suatu negara yang merasa dirugikan atau mendapat perlakuan yang tidak adil dari negara peserta yang lain di bidang perdagangan. Prinsipnya, masalah-masalah yang timbul diselesaikan 71 Huala Adolf dan A. Chandrawulan, Masalah-Masalah Hukum dalam Perdagangan Internasional (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 4. 32

secara bilateral antara negara-negara yang terlibat dalam persengketaan dagang melalui konsultasi dan konsiliasi, serta hasilnya dibertahukan kepada GATT. WTO yang pada kenyataannya merupakan kelanjutan dan pengembangan dari GATT yang memiliki tujuan utama yakni menciptakan persaingan sehat dibidang perdagangan internasional bagi para anggotanya. Sedangkan secara filosofis tujuan WTO adalah untuk meningkatkan taraf hidup dan pendapatan, menjamin terciptanya lapangan pekerjaan, meningkatkan produksi dan perdagangan, serta mengoptimalkan pemanfaatan suber daya dunia. 72 WTO yang merupakan kelanjutan dari GATT, pada dasarnya memiliki prinsip-prinsip dan tujuan yang sama dalam menciptakan ketertiban dalam perdagangan internasional. 73 Tujuan dari WTO adalah untuk membantu produsen barang dan jasa, eksportir, dan importir dalam melakukan kegiatannya. 74 Tujuan dari WTO pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan tujuan GATT 1947 sebagai pendahulunya. Setelah dibentuknya WTO, tujuan GATT 1947 tersebut juga dicantumkan dalam bagian pembukaan (konsideran) persetujuan WTO 75. Maka, oleh Van den Bossche dikatakan bahwa tujuan akhir dari WTO adalah sebagai berikut: 76 a. Meningkatkan standar hidup. b. Pencapaian keadaan full employment (tidak ada pengangguran). c. Pertumbuhan pendapatan nyata dan permintaan yang efektif. 72 WTO dan Sistem Perdagangan Dunia, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, http:/ /www.dprin.go.id/ind/publikasi/djkipi/wto.htm, diakses 12 Februari 2016 Pukul 01.23 WIB. 73 Christhophorus Barutu (Buku II), Op. Cit., hlm. 6. 74 Ibid. 75 Marrakesh Agreement Establishing the World Trade Organization, World Trade Organization, https://www.wto.org/english/res_e/booksp_e/analytic_index_e/wto_agree_01_e.htm, diakses pada 17 Februari 2016 Pukul 01.10 WIB. 76 Peter Van den Bossche, Op. Cit., hlm. 86. 33

d. Pelunasan produksi dan perdagangan barang-barang dan jasa-jasa. B. Prinsip-Prinsip Perdagangan Bebas Internasional dalam Kerangka GATT/ WTO General Agreement on Tariff and Tradde bukan merupakan suatu konstitusi atau anggaran dasar, tetapi merupakan suatu Common Code of Conduct untuk perdagangan internasional. 77 Sebagai alat untuk stabilitasi secara progresif dari tarif bea masuk dan merupakan forum untuk konsultasi,gatt memiliki prinsipprinsip serta pengecualian atas prinsipnya dalam kerangka perdagangan bebasdalam mengadministrasikan, mengawasi dan memberikan kepastian bagi pelaksana seluruh persetujuan GATT serta hasil perundingan Putaran Uruguay. 78 1. Prinsip-prinsip perdagangan bebas dalam GATT/ WTO Pada prinsipnya persetujuan WTO meneruskan sistem GATT 1947. Dibawah WTO, GATT 1947 dijadikan salah satu bagian dari persetujuan WTO dan disebut sebagai GATT 1994. Baik GATT 1947 maupun persetujuan WTO menerapkan prinsip-prinsip perdagangan bebas yang berakar pada faham ekonomi liberal yang diintrodusir Adam Smith melalui bukunya the Wealth of Nations pada tahun 1776. 79 Persetujuan WTO memperluas, memodifikasi dan menyempurnakan sistem GATT 1947. Dibawah persetujuan WTO, GATT 1947 dengan modifikasi-modifikasi dan persetujuan-persetujuan tentang penafsiran pasal-pasal GATT tertentu yang dihasilkan dalam perundingan GATT sebelum 77 Sudargo Gautama, Segi-Segi Hukum Perdagangan Internasional (GATT dan GSP) (selanjutnya disebut Buku II) (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 108. 78 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Hukum Dagang Internasional (selanjutnya disebut Buku II) (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), hlm. 134. 79 Tentang landasan faham liberal perdagangan dunia, lihat dalam H.S. Kartadjoemena (Buku II), Op. Cit., hlm. 22-28. 34

WTO, diberlakukan sebagai peraturan pokok dibidang perdagangan barang, dengan sebutan GATT 1994. 80 Oleh karena itu pengaturan perdagangan internasional dibawah WTO secara umum masih mendasarkan pada prinsipprinsip GATT 1947. 81 GATT/WTO mempunyai sejumlah prinsip yaitu : 82 a. Non-diskriminasi (Most Favored Nation/ MFN). Prinsip ini diatur dalam Pasal I GATT 1947, Pasal 4 TRIPS dan Pasal 2 GATS. Prinsip most favored nation menyatakan bahwa perdagangan internasional antara anggota GATT harus dilakukan secara non-disrkriminatif. Article 1 Section (1) GATT 1947 mengharuskan perlakuanmfn atas semua konsesi tarif yang telah diperjanjikan oleh para pesertanya dengan menentukan bahwa: With respect to customs duties and charges of any kind imposed on or in connection with importation or exportation or imposed on the international transfer of payments for imports or exports, and with respect to the method of levying such duties and charges, and with respect to all rules and formalities in connection with importation and exportation, and with respect to all matters referred to in paragraphs 2 and 4 of Article III, any advantage, favour, privilege or immunity granted by any contracting party to any product originating in or destined for any other country shall be accorded immediately and unconditionally to the like product originating in or destined for the territories of all other contracting parties. Dengan demikian prinsip utama adalah bahwa konsesi yang diberikan kepada suatu negara mitra dagang harus berlaku pula bagi semua negara lainnya. Satu negara tidak boleh diberi perlakuan lebih baik atau lebih buruk dari negara lain. Dengan demikian maka semua negara ditempatkan pada kedudukan yang 80 Triyana Yohanes, Op. Cit., hlm. 76. 81 Ibid. 82 Nurdin, Op. Cit., hlm. 45-47. Dapat juga dilihat lebih jelas mengenai prinsip-prinsip GATT/WTO yang dikemukakan Oliver Long (dalam) Syahmin AK, Hukum Dagang Internasional : dalam Kerangka Studi Analitis (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 47-49. 35

sama, dan semua negara harus turut menikmati peluang yang tercapai dalam liberalisasi perdagangan internasional dan memikul kewajiban yang sama. b. Perlakuan nasional (national treatment) Prinsip ini diatur dalam Pasal III GATT 1947, berjudul National Treatment on International Taxation and Regulation, yang menyatakan bahwa, this standard provides for island parity that is say equality for treatment between nation and foreigners dan dalam Pasal 3 TRIPS. Prinsip national treatment adalah merupakan sisi lain dari konsep non-diskriminasi. Prinsip ini melarang perbedaan perlakuan antara barang asing dan barang domestik yang berarti bahwa pada saat suatu barang impor telah masuk kepasaran dalam negeri suatu anggota, dan setelah melalui daerah pabean serta membayar biaya masuk, maka barang impor tersebut harus diperlakukan secara tidak lebih buruk daripada hasil dalam negeri. c. Tarif sebagai instrumen tunggal untuk proteksi (protection to domestic industry through tariff) Menurut prinsip ini, GATT mengizinkan proteksi terhadap hasil dalam negeri. Namun demikian proteksi yang diperlukan terhadap hasil dalam negeri hanya dapat dilakukan melalui tarif atau bea masuk yang dikenankan terhadap barang impor, dan tidak boleh dengan cara pembatasan lainnya. Antara lain, maksud prinsip ini adalah agar proteksi yang diberikan terhadap hasil dalam negeri dan pembatasan yang diterapkan terhadap barang impor, dapat diterapkan dengan cara yang lebih jelas dan transparan, dan dampak distorsi akibat proteksi tersebut dapat dilihat secara lebih jelas. d. Pengikatan tarif (tariff binding). 36

Prinsip ini diatur dalam Pasal II GATT-WTO 1995 yang mengatur mengenai jadwal penurunan tarif. Jadwal penurunan tarif yang telah disetujui dimasukkan dalam Annex Schedule yang merupakan bagian integral dari GATT. Untuk lebih menjamin perdagangan internasional yang lebih predictable maka diterapkan ketentuan untuk melakukan tariff binding atau suatu komitmen yang mengikat negara-negara anggota supaya tidak meningkatkan bea masuk terhadap barang impor setelah masuk dalam daftar komitmen binding. 37

e. Persaingan yang adil (fairnessprinciple) Prinsip ini diatur diantaranya dalam Pasal VI tentang larangan dumping dan Pasal XVI tentang subsidi, dimaksudkan agar jangan sampai terjadi suatu negara menerima keuntungan tertentu dengan melakukan kebijakan tertentu sedang dipihak lain kebijaksanaan tersebut justru menimbulkan kerugian bagi negara lainnya. 83 Prinsip ini mengandung prinsip persaingan yang adil atau fair competition. Dengan semakin terjadinya subsidi terhadap ekspor serta terjadinya dumping, GATT semakin menghadapi masalah. Aturan main yang berlaku bagi negara peserta GATT untuk menghadapi subsidi ekspor maupun untuk dumping tersebut pada teks dalam perjanjian GATT maupun pada Anti-Dumping Code dan Subisidies Code hasil Tokyo Round. f. Larangan terhadap restriksi kuantitatif (general prohibition on quantitative restriction). Prinsip ini diatur dalam Pasal XI GATT 1994. Prinsip lain dalam GATT adalah larangan umum teradap restriksi yang bersifat kuantitatif, yakni kuota dan jenis pembatasan yang serupa. GATT memperbolehkan pembatasan kuantitatif yang diterapkan oleh negara anggota dalam hal suatu negara menghadapi masalah dalam hal neraca pembayarannya. Dan langkah pembatasan kuantitatif yang diambil suatu negara tidak boleh melampaui batas waktu yang diperlukan untuk mengatasi masalah neraca pembayaran. 84 83 Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 47. 84 H.S. Kartadjoemena (Buku II), Op. Cit., hlm. 43. 38

g. Prinsip resiprositas (reciprocity principle) Prinsip ini diatur dalam Pasal II GATT 1947, mensyaratkan adanya perlakuan timbal balik diantara sesama anggota WTO dalam kebijaksanaan perdagangan internasional. Artinya apabila suatu negara, dalam kebijaksanaan perdagangan internasionalnya menurunkan tarif masuk atau produk impor dari suatu negara, maka negara pengeskpor produk tersebut wajib juga menurunkan tarif masuk untuk produk dari negara yang pertama tadi. 85 Berdasarkan prinsip ini diharapkan setiap negara secara timbal balik saling memberikan kemudahan bagi lalu lintas barang dan jasa. Dengan demikian, pada akhirnya diharapkan setiap negara akan saling menikmati hasil perdagangan internasional yang lancar dan bebas. 86 Prinsip ini diterapkan terutama dalam hal terjadinya pertukaran barang antara dua negara secara timbal balik. Dan menghendaki adanya kebijaksanaan atau konsesi yang seimbang dan saling menguntungkan antara negara yang satu dengan yang lainnya dalam perdagangan internasional. 87 Prinsip-prinsip diatas merupakan dasar dalam menentukan aturan permainan dibidang yang selama ini belum ditangani oleh GATT, dan untuk hal-hal yang telah ditangani oleh GATT diadakan perbaikan-perbaikan yang lebih mencerminkan prinsip-prinsip tersebut diatas. 88 2. Pengcualian-pengecualian terhadap prinsip perdagangan bebas Pemerintah dalam banyak kesempatan mengadopsi peraturan atau melakukan suatu tindakan yang menghambat perdagangan barang dan/atau jasa guna melindungi, sebagai contoh, kesehatan masyarakat, moral/nilai-nilai yang 85 Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 45. 86 Ibid. 87 Ibid. 88 H.S. Kartadjoemena (Buku I), Loc. Cit., hlm. 18. 39

dianut oleh masyarakat, lapangan pekerjaan atau keamanan nasional. 89 Hukum WTO menyediakan peraturan-peraturan untuk menjembatani liberalisasi perdagangan dengan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan sosial lainnya. Peraturan-peraturan ini ada dalam wujud pengecualian yang sangat luas terhadap disiplin dasar dari kewajiban-kewajiban non-diskriminasi dan pengaturan terhadap akses pasar. 90 Terdapat lima kategori utama dalam pengecualian ini: a. pengecualian umum, yang terdapat dalam Pasal XX GATT 1994 dan Pasal XIV GATS; b. pengecualian untuk keamanan nasional dan internasional, terdapat dalam Pasal XXI GATT 1994 dan Pasal XIV bis GATS; c. pengecualian dalam keadaan ekonomi yang darurat, terdapat dalam Pasal XIX GATT 1994 dan the Agreement on Safeguards; d. pengecualian atas integrasi regional, terdapat dalam Pasal XIV GATT 1994 dan Pasal V GATS; e. pengecualian atas dasar neraca perdagangan, terdapat dalam Pasal XII dan XVIII huruf B GATT 1994 dan Pasal XII GATS; dan f. pengecualian untuk pembangunan ekonomi, terdapat dalam Pasal XVIII huruf A GATT 1994 dan Enabling Clause. Pengecualian-pengecualian ini memperbolehkan anggota WTO, dalam situasi tertentu, untuk mengadopsi dan mempertahankan peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan guna melindungi nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan sosial lainnya yang sangat penting, meskipun peraturan atau tindakan-tindakan tersebut bertentangan dengan disiplin substantif yang terkandung dalam GATT 1994 atau 53. 89 Peter Van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi, Op. Cit., hlm. 90 Ibid. 40

GATS. Pengecualian-pengecualian ini secara jelas memperbolehkan anggota WTO, dalam situasi tertentu, untuk memberikan prioritas yang lebih tinggi terhadap nilai-nilai dan kepentingan sosial tertentu daripada liberalisasi perdagangan. Adapun penjelasan lebih rinci daripada lima golongan pengecualian berdasarkan Persetujuan WTO adalah sebagai berikut: 91 a. Pengecualian umum dalam Pasal XX GATT 1994 Pengecualian yang paling penting dalam menjembatani liberalisasi perdagangan dengan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan sosial lainnya adalah pengecualian umum yang tercantum dalam Pasal XX GATT 1994 dan Pasal XIV GATS. Dalam menentukan apakah suatu tindakan yang seharusnya tidak konsisten dengan peraturan yang ada di GATT dapat dibenarkan berdasarkan Pasal XX GATT harus selalu dievaluasi : 1) Apakah tindakan ini bisa sementara dibenarkan menurut salah satu pengecualian yang secara spesifik disebutkan dalam ayat (a) sampai (j) dalam Pasal XX dan kalau dibenarkan, 2) Apakah dalam pengaplikasian dari tindakan ini telah sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang terdapat dalam kalimat pembukaan dalam pasal tersebut yang biasanya disebut sebagai Chapeau dari Pasal XX. Pasal XX GATT 1994 dalam ayat (a) sampai (j) memberikan dasar pembenaran yang jumlahnya terbatas, dimana setiap dasar pembenar memiliki aplikasi persyaratan yang berbeda. Pasal XX dapat dijadikan dasar pembenaran terhadap tindakan-tindakan, diantaranya: 91 Peter Van den Bossche, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnaidi, Op. Cit., hlm. 53-81. 41

1) yang diperlukan guna melindungi moral/nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat (Pasal XX huruf a); 2) yang diperlukan guna melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, binatang atau tumbuhan (Pasal XX huruf b); 3) yang diperlukan guna menjaga kesesuaian dengan peraturan nasional, seperti peraturan kepabenan atau hak kekayaan intelektual, dimana peraturan tersebut pada hakekatnya tidak bertentangan dengan GATT (Pasal XX huruf d); 4) yang berhubungan dengan konservasi sumber daya alam yang habis terpakai (Pasal XX huruf g). b. Pengecualian untuk keamanan nasional dan internasional Menurut Pasal XXI GATT 1994 dan Pasal XIV bis GATS, anggota WTO bisa menerapkan suatu tindakan yang seharusnya dilarang oleh GATT atau GATS guna melindungi kedamaian dan keamanan nasional atau internasional. Pasal XXI huruf b GATT 1994 dan Pasal XIV bis huruf b GATS memperbolehkan anggota WTO untuk mengadopsi atau mempertahankan suatu tindakan yang dianggap diperlukan guna melindungi kepentingan keamanan yang dianggap sangat fundamental seperti: 1) yang berkaitan dengan materi atom yang bisa memecah belah/fissionable materials (contoh: nuklir); atau 2) yang berkaitan dengan perdagangan persenjataan atau dalam bentuk materi lainnya, atau penyediaan jasa yang secara langsung atau tidak langsung digunakan untuk keperluan militer. 42

Anggota WTO juga diperbolehkan untuk menerapkan tindakan yang bertentangan dengan GATT atau GATS bila: 1) dalam keadaan perang atau keadaan darurat lainnya yang berkaitan dengan hubungan internasional; atau 2) untuk menjalankan kewajibannya sesuai dengan piagam PBB guna menjaga perdamaian dan keamanan internasional (seperti: sanksi ekonomi yang diterapkan oleh Dewan Keamaan PBB). c. Pengecualian dalam keadaan ekonomi yang darurat Tercantum dalam Pasal XIX GATT dan the Agreement on Safeguard. Aturan WTO juga mengatur mengenai pengecualian dalam keadaan ekonomi darurat. Pengecualian yang diatur dalam Pasal XIX GATT 1994 dan Agreement on Safeguards, memerbolehkan anggota untuk mengadopsi tindakan yang seharusnya dilarang oleh WTO, dalam situasi terjadi adanya lonjakan impor yang menyebabkan, atau adanya ancaman yang akan menyebabkan, kerugian yang serius terhadap industri domestik. Terdapat tiga kategori pengaturan yang diterapkan untuk tindakan-tindakan pengamanan perdagangan, yaitu peraturan yang berkaitan dengan: 1) karakteristik dari tindakan pengamanan perdagangan; 2) persyaratan substantif yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan tindakan pengamanan perdagangan; dan 3) persyaratan prosedural di tingkat nasional dan internasional yang dipenuhi oleh anggota WTO bila ingin menerapkan tindakan pengamanan perdagangan. d. Pengecualian atas integrasi regional 43

Ketentuan WTO juga mengatur mengenai pengecualian atas integrasi regional. Pasal XXIV GATT 1994 (sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalam Understanding on Article XXIV) dan Pasal V GATS memperbolehkan anggota WTO untuk perdagangan bebas dengan lebih cepat di antara anggota-anggota tertentu yang membentuk suatu kelompok. Ketika anggota WTO membentuk sebagai contoh, integrasi kepabeanan (customs union), mereka memberikan perlakuan berbeda yang lebih baik diantara mereka dalam hal perdagangan (seperti penghapusan seluruh bea masuk) yang mana tidak diberikan kepada anggota WTO lainnya yang bukan merupakan bagian dari customs union tersebut. e. Pengecualian untuk pembangunan ekonomi Pengecualian terakhir yang diberikan oleh ketentuan WTO adalah pengecualian untuk pembangunan ekonomi untuk membantu negara berkembang. Hampir semua perjanjian di WTO mengatur mengenai perlakuan yang khusus dan berbeda (special and differential treatment) untuk anggota negara berkembang guna memfasilitasi mereka untuk masuk ke dalam sistem perdagangan dunia dan untuk mendorong pembangunan ekonomi mereka. Ketentuan ini, yang biasa disebut sebagai S&D treatment, bisa dibagi ke dalam enam kategori: 1) ketentuan yang ditujukan untuk meningkatkan peluang perdagangan anggota negara berkembang; 2) ketentuan untuk anggota WTO yang seyogyanya harus melindungi kepentingan anggota negara berkembang; 3) flexibilitas dari komitmen, dalam bentuk tindakan, dan penggunaan instrumen kebijakan; 4) jangka waktu transisi; 44

5) bantuan teknis; dan 6) ketentuan yang berkaitan dengan anggota negara terbelakang (leastdeveloped-country Members). C. Hambatan Tarif dalam Kerangka GATT/ WTO 1. Pengertian dan jenis-jenis tarif Tarif tidak secara tegas didefinisikan dalam ketentuan GATT, melainan hanya menyebutkan istilah custom, duties, and charges dalam kaitannya dengan kegiatan ekspor-impor. 92 Namun, menurut beberapa pengertian, maka tarif didefinisikan sebagai: a. Menurut Jhon J. Harter, dalam Taryana Sunandar, bahwa yang dimaksud dengan tarif adalah pajak yang dikenakan atas barang yang diangkut dari sebuah kekuasaan politik ke suatu wilayah lain. Pajak ini khususnya atas barang yang diimpor dari wilayah kekuasaan politik yang satu ke wilayah yang lain, atau tingkat pajak yang dikenakan atas barang tersebut. Dengan demikian, tarif hanya dikenakan terhadap barang yang melintasi batas suatu negara. b. Menurut Tulus T.H. Tambunan, tarif adalah salah satu instrumen dari kebijakan perdagangan luar negeri yang membatasi arus perdagangan internasional. 94 Hal ini sesuai dengan pengertian yang dikemukakan oleh John H. Jakson dalam Taryana Sunandar yang menyatakan bahwa, 93 92 Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 49. 93 Taryana Sunandar, Perdagangan Hukum Perdagangan Internasional dari GATT 1947 Sampai Terbentuknya WTO, (dalam) Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 49. 94 Tulus TH Tambunan, Globalisasi dan Perdagangan Internasional (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 328. 45

the tariff, which is, of course a tax import at the border. 95 c. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, istilah tarif didefinisikan sebagai klasifikasi barang dan pembebanan bea masuk atau bea keluar. Terdapat dua muatan utama dalam pengertian tarif, yang pertama adalah klasifikasi barang. Muatan kedua adalah besarnya pembebanan bea masuk atau bea keluar yang dinyatakan dalam persentase (%) tertentu atau dalam rupiah tertentu. 96 Cara pengenaan tarif bea masuk ditentukan menggunakan 3 pendekatan, yaitu: 97 Pertama, tarif advalorum (persentase). Pada model tarif advalorum, bea masuk dikenakan dengan menentukan persentase (%) tertentu dari nilai pabean atas barang yang diimpor. Misalnya buah apel dikenakan bea masuk sebesar 5%. Maka untuk mengetahui berapa bea masuk yang harus dibayar, harus diketahui berapa nilai pabean atas barang tersebut, selanjutnya tarif dikalikan dengan nilai pabean. Kedua, tarif spesifik. Pada model spesifik, bea masuk dikenakan dengan menentukan besaran bea masuk setiap satuan barang yang diimpor. Misalnya beras dikenakan bea masuk sebesar Rp. 550,- per kilogram. Maka untuk mengetahui berapa bea masuk yang harus dibayar, cukup mengalikan besarnya tarif per satuan barang dengan jumlah satuan barang. Secara konsepsional, alasan utama suatu barang dikenakan tarif spesifik adalah untuk memudahkan 95 Ibid. 96 Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 97 Kajian atas Pengenaan Bea Masuk Menggunakan Tarif Spesifik, Mohamad Jafar, http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/148-artikel-bea-dan-cukai/20142-kajian-ataspengenaan-bea-masuk-menggunakan-tarif-spesifik, diakses pada 29 Februari 2016 Pukul 19.20 WIB. 46

penghitungan pungutan pabean-nya, dengan pertimbangan harga barang yang dikenakan tarif spesifik ini tidak akan berubah signifikan dalam waktu yang relatif lama. Ketiga, gabungan advalorum dan spesifik. Pada model gabungan ini, bea masuk dikenakan dengan mengkombinasikan tarif persentase dan tarif spesifik sekaligus pada suatu barang impor. Pada praktiknya saat ini Indonesia tidak menerapkan tarif gabungan. Tarif spesifik pun hanya diterapkan untuk beberapa jenis barang impor, sehingga mayoritas barang impor saat ini menggunakan tarif advalorum. Adapun tarif dapat digolongkan menjadi : 98 a. Bea ekspor (export duties), yaitu bea yang dikenakan terhadap barang yang dikirim keluar wilayah pabean suatu negara. b. Bea import (import duties), yaitu bea yang dibebankan terhadap barang yang masuk kedalam wilayah pabean suatu negara. c. Bea transito (transit duties), yaitu bea yang dibebankan terhadap barang yang masuk kewilayah pabean suatu negara untuk dikirim kembali keluar wilayah itu. 2. Tarif sebagai hambatan perdagangan internasional Dengan terlaksananya perundingan Uruguay Round, maka sasaran yang ingin dicapai oleh negara-negara anggota, adalah suatu upaya untuk membendung gejala proteksionisme produk oleh suatu negara terhadap produk negara lain, sehingga hal ini tidak akan menghambat peredaran barang, jasa, maupun modal 98 Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral di bawah Sistem Hukum WTO, (Bandung: PT Alumni, 2010), hlm. 140. 47

antarnegara, baik dalam global maupun regional. 99 Kemudian, hambatan perdagangan (trade barriers) adalah semua kebijakan atau praktik yang dilakukan pemerintah atau peraturan satu negara yang menghambat perdagangan bebas (free trade), yang menghambat arus barang dan jasa dalam perdagangan internasional atau menghambat arus barang, jasa, orang dan modal antar negara. 100 Hambatan perdagangan dipandang sebagai suatu intervensi pemerintah terhadap pasar bebas (free market) untuk jual beli barang dan jasa secara internasional yang mana jika merujuk pada konsepsi perdagangan bebas yang berarti adalah suatu kondisi perdagangan lintas negara tidak dihambat oleh bea cukai, kuota, peraturan atau hambatan lainnya untuk pergerakan barang dan jasa. 101 Terdapat berbagai bentuk hambatan perdagangan internasional. Pengenaan pajak atau bea, kewajiban mendapat lisensi, pengenaan kuota, subsidi, persyaratan teknis, pembatasan ekspor sukarelaadalah bentuk-bentuk hambatan perdagangan. 102 Hambatanhambatan itu biasanya digolongkan dalam dua kelompok yaitu hambatan tarif (tariff barriers) dan hambatan non-tarif (non-tarif barriers) yang mana tarif disini merupakan pajak (custom duties) yang dibebankan terhadap barang yang keluar dan masuk kedalam wilayah pabean (custom area) suatu negara. GATT/WTO berupaya menurunkan tarif menjadi serendah mungkin dengan tetap mempertahankan tarif sebagai satu-satunya instrumen yang diperkenankan untuk melaksanakan kebijakan perdagangan internasional negara-negara 99 Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 67. 100 Rusli Pandika, Op. Cit., hlm 139-140. 101 Graham Dunkley, Petualangan Perdagangan Bebas (the Free Trade Adventure: The WTO, The Uruguay Round and Globalism, A Critique). Terjemahan Gayatri (dalam) Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral di bawah Sistem Hukum WTO (Bandung: PT. Alumni, 2010), hlm 139-140. 102 Rusli Pandika, Loc. Cit., hlm 140. 48

anggota. 103 Bahwa hal-hal yang dapat mempengaruhi tingkat daya saing komoditi ekspor maupun impor ditentukan oleh beberapa faktor yang mana kendala tarif dan non-tarif adalah salah satu diantara faktor-faktor tersebut. 104 Diberlakukannya tarif yang penerapannya dilatarbelakangi oleh dua motif eknomi terhadap komoditas impor tertentu yaitu: Pertama, tarif bisa memberikan penerimaan bagi pemerintah dan Kedua, tarif juga dapat membantu perusahaan dan suplier industri domestik dalam menghadapi persaingan dari serbuan barangbarang impor. 105 Tarif akan membawa dampak terhadap perdagangan internasional yakni: 106 a. Harga barang yang dikenakan tarif meningkat. b. Jika kenaikan harga cukup tinggi, konsumen akan mengalihkan pembelian kepada barang pengganti (substitusi) yang harganya relatif lebih murah. c. Industri dalam negeri menjadi lebih mudah berkembang sebab harga barang pesaing dari luar negeri lebih tinggi. d. Pemerintah menerima pendapatan. e. Adanya ekstra pendapatan yang dibayarkan oleh konsumen di dalam negeri kepada produsen di dalam negeri. Berdasarkan pengertian, jenis, motif serta dampak yang ditimbulkan maka jelaslah bahwa tarif merupakan hambatan dalam perdagangan bebas.namun, pembatasan perdagangan bebas dengan menggunakan tarif oleh WTO dipandang 103 Ibid. 104 Amir. M.S, Pengetahuan Bisnis Ekspor Impor (Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo, 1992), hlm. 17. 105 Umar Fakhrudin, Kebijakan Hambatan Perdagangan atas Produk Ekspor Indonesia di Negara Mitra Dagang, Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol II, No. 02 tahun 2008, hlm. 218. 106 Pengertian Tarif Pajak, Bea Cukai, Kuota dan Hambatan dalam Perdagangan Internasional, Ahmas Shodiqin, http://www.ilmuekonomi.net/2015/11/pengertian-tarif-pajak-beacukai-kuota-dan-hambatan-dalam-perdagangan-internasional.html, diakses pada, 29 Februari 2016 Pukul 08.20 WIB. 49

sebagai suatu model yang masih dapat ditoleransi, misalnya melakukan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui kenaikan tarif bea masuk. Perlindungan ini masih memungkinkan adanya kompetisi yang sehat. Namun demikian, dalam kesepakatan perdagangan internasional tetap diupayakan mengarah kepada sistem perdagangan bebas yang menghendaki pengurangan tarif secara bertahap. 107 3. Harmonisasi tarif dalam kerangka GATT/ WTO Lahirnya WTO membawa dampak pada usaha-usaha harmonisasi pengaturan tarif yang dibahas dalam perundingan-perundingan. Perundingan perdagangan internasional sebelum Putaran Uruguay dan terbentuknya WTO 1994, para peserta lebih banyak membahas mengenai upaya penurunan tarif impor, sedangkan masalah non-tarif baru dibahas setelah perundingan Tokyo Round 1973. Adapun perundingan tersebut yaitu: 108 a. Perundingan Jenewa tahun 1947 Tahun 1947 GATT berhasil dibentuk melalui perundingan yang diselenggarakan di Jenewa (Swiss) yang disebut dengan putaran Perundingan Jenewa 1947 (GATT Conference 1947). Perundingan tersebut merupakan perundingan putaran pertama GATT yang diikuti oleh 23 negara peserta yang dalam perundingan tersebut, negara-negara peserta menyetujui konsesi penurunan tarif sebanyak 45.000 produk dengan nilai sebesar 10 miliar, mewakili separuh perdagangan dunia. b. Perundingan Annecy 1949 107 Penerapan Tarif Impor Berdasarkan Ketentuan GATT-WTO, AFTA dan Perundang- Undangan Indonesia, Muhammad Sood,http://muhammadsood.blogspot.co.id/2013/02/tarifimpor.html, diakses pada 29 Februari 2016 Pukul 08.30 WIB. 108 Muhamad Sood, Op. Cit., hlm. 54-67. 50

Perundingan GATT putaran kedua diselenggarakan di Annecy (Prancis) tahun 1949, sehingga dikenal dengan Perundingan Annecy Round 1949. Perundingan tersebut diikuti oleh 33 negara peserta, dan berhasil menyepakati penambahan penurunan bea masuk sekitar 5.000 tarif. c. Perundingan Torquay 1950-1951 Tahun 1955 perundingan GATT diselenggarakan di Torquay (Inggris) yang dikenal dengan perundingan Torquay Round 1951. Perundingan putaran ketiga ini diikuti oleh 34 negara peserta. Dalam perundingan ini, upaya penurunan tingkat tarif sebesar 25% dari tingkat tarif 1998, dilakukan dengan merundingkan konsesi penurunan tarif produk demi produk dari 45.000 (Perundingan Jenewa) menjadi 55.000 produk. d. Perundingan Jenewa 1955-1956 Tahun 1955 kembali diselenggarakan perundingan GATT di Jenewa yang dikenal dengan Jenewa Round 1955-1956. Perundingan ini sifatnya lebih terbatas, karena diikuti oleh 22 negara peserta. Nilai perdagangan yang disepakati dalam perundingan ini adalah AS $ 2,5 miliar. e. Perundingan Dillon Round 1961-1962 Tahun 1961-1962 diselenggarakan perundingan Dillon Round (Dillon 1961-1962). Perundingan ini diselenggarakan di Jenewa atas prakarsa Menteri Keuangan Amerika Serikat, Douglas Dillon, sehingga disebut Perundingan Dillon. Jumlah negara peserta dalam perundingan ini meningkat menjadi 45 negara anggota. Dalam perundingan ini, masalah perdagangan untuk negaranegara berkembang mulai mendapat perhatian. Hasil dari perundingan Dillon 51

Roundyang dapat dicatat adalah tercapainya penurunan tarif sebesar 6,5% dengan nilai sebesar AS $ 4,9 miliar. f. Perundingan Kennedy Round 1964-1967 Perundingan Kennedy Round tahun 1964 diselenggarakan di Amerika Serikat atas usul yang disampaikan oleh Presiden Kennedy, sehingga disebut Perundingan Kennedy. Perundingan ini diikuti oleh 48 negara peserta dengan tujuan untuk menurunkan tarif secara linear terhadap semua mata dagangan. Dalam perundingan Kennedy Round, negara-negara Eropa yang tergabung dalam Masyarakat Ekonomi Eropa telah berupaya melakukan penurunan tarif sebesar 50% dari tingkat semula. Mereka menolak untuk menghapus tarif walaupun untuk sektor yang tidak sensitif. Namun akhirnya disepakati adalah penurunan tarif sebesar 35% dari tingkat semula untuk produk industri, sementara untuk hasil pertanian penurunannya kecil sekali. Penurunan tarif ini diterapkan dalam jangka waktu 5 tahun. Adapun hasil konsesi yang disepakati dalam Kennedy Round mencapai nilai AS $ 40 miliar. g. Perundingan Tokyo Round 1973-1979 Perundingan GATT yang diselenggarakan di Tokyo (Jepang) yang disebut dengan perundingan Tokyo Round 1973-1979 karena perundingan ini dibuka dalam sidang tingkat menteri di Tokyo. Namun tahap selanjutnya perundingan diselenggarakan di Jenewa 1973 hingga 1979. Dalam perundingan Tokyo Round ini, untuk pertama kali pusat perhatian substansi perundingan beralih pada rintangan dan hambatan non-tarif selain tentunya tetap meneruskan perundingan dibidang tarif. Perundingan ini dihadiri oleh 99 negara peserta. 52