APLIKASI HERBISIDA DALAM PERSIAPAN LAHAN DAN FREKUENSI PENGENDALIAN GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI JAGUNG (Zea mays L.)

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. Botani dan Ekologi Tanaman Jagung (Zea mays L.)

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Jagung (Zea mays.l) keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays L.

UJI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) HIBRIDA PADA TINGKAT POPULASI TANAMAN YANG BERBEDA. Oleh. Fetrie Bestiarini Effendi A

BAHAN DAN METODE. Y ij = + i + j + ij

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman berumah satu (Monoecious) yaitu letak

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Alat dan Bahan Metode Percobaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Jagung merupakan tanaman berumah satu, bunga jantan terbentuk pada

BAB III METODE PENELITIAN. Ciparay, pada ketinggian sekitar 625 m, di atas permukaan laut dengan jenis tanah

BAHAN DAN METODE. Y ijk = μ + U i + V j + ε ij + D k + (VD) jk + ε ijk

I. PENDAHULUAN. yang dipakai untuk membudidayakan tanaman. Gangguan ini umumnya berkaitan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan waktu penelitian. Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto,

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di kebun Balai Pengkajian Teknologi Pertanian,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini telah dilaksanakan di lahan gambut Desa Rimbo Panjang

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan Universitas Lampung (Unila),

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seorang ahli botani bernama Linnaeus adalah orang yang memberi nama latin Zea mays

METODE PERCOBAAN. Tempat dan Waktu. Alat dan Bahan

Percobaan 4. Tumpangsari antara Jagung dengan Kacang Tanah

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di lahan Politeknik Negeri Lampung yang berada pada

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Agrobioteknologi,

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Timur Kabupaten Semarang dan di Laboratorium Penelitian Fakultas Pertanian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu, Universitas Lampung

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN HERBISIDA KONTAK TERHADAP GULMA CAMPURAN PADA TANAMAN KOPI

III. BAHAN DAN METODE. Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keluarga remput-rumputan dengan spesies Zea mays L. Secara umum, klasifikasi jagung dijelaskan sebagai berikut :

BAHAN DAN METODE. Pada musim tanam pertama penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai

BAB III METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

Percobaan 3. Pertumbuhan dan Produksi Dua Varietas Kacang Tanah pada Populasi Tanaman yang Berbeda

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman jagung termasuk Class Monocotyledone, ordo Graminae,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Pengkajian Teknologi

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 musim ke-44 sampai

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. dengan ketinggian tempat ± 25 di atas permukaan laut, mulai bulan Desember

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Lahan Penelitian Natar, Lampung Selatan dan

III. BAHAN DAN METODE

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

I. PENDAHULUAN. dunia. Jagung menjadi salah satu bahan pangan dunia yang terpenting karena

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan yang terletak di Desa Rejomulyo,

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kombinasi Pupuk Kimia dan Pupuk Organik terhadap Tanaman Jagung Manis

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di lahan pertanaman tebu Kecamatan Natar, Kabupaten

MATERI DAN METODE. Urea, TSP, KCl dan pestisida. Alat-alat yang digunakan adalah meteran, parang,

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. di Indonesia karena merupakan bahan baku untuk industri pangan maupun

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan yang sebelumnya dilakukan oleh

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Percobaan

I. PENDAHULUAN. Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah

TINJAUAN PUSTAKA. Tebu adalah tanaman jenis rumput-rumputan yang ditanam untuk bahan baku gula.

III. METODE PENELITIAN. dan legum (kedelai, kacang tanah dan kacang hijau), kemudian lahan diberakan

I. PENDAHULUAN. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu komoditas penting

II. TINJAUAN PUSTAKA. di dunia. Dan merupakan makanan pokok ketiga di dunia setelah gandum dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di kebun Kota Sepang Jaya, Kecamatan Labuhan Ratu,

METODELOGI PERCOBAAN. Penelitian ini dilakukan di Desa Hajimena, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung

PERTUMBUHAN GULMA DAN HASIL TANAMAN WIJEN (Sesamum indicum L.) PADA BERBAGAI FREKUENSI DAN WAKTU PENYIANGAN GULMA PENDAHULUAN

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP),

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Lahan Penelitian Bataranila Lampung Selatan dan

Pertumbuhan dan Hasil Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) berdasarkan Waktu Penyiangan dan Jarak Tanam yang Berbeda ABSTRAK

TINJAUAN PUSTAKA. yang semula berkembang dari buku di ujung mesokotil, kemudian set akar

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman yang penting bagi Indonesia.

III. BAHAN DAN METODE

Pada mulsa eceng gondok dan alang-alang setelah pelapukan (6 MST), bobot gulma naik dua kali lipat, sedangkan pada mulsa teki dan jerami terjadi

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)

I. PENDAHULUAN. Jagung merupakan bahan pangan pokok kedua setelah beras yang memiliki

III. BAHAN DAN METODE

TINJAUAN PUSTAKA. atas. Umumnya para petani lebih menyukai tipe tegak karena berumur pendek

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2015 sampai Mei 2016

II. TINJAUAN PUSTAKA. Jagung manis termasuk dalam golongan famili graminae dengan nama latin Zea

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung.

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Universitas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan daribulan Juli sampai dengan Oktober 2012 di daerah

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu jenis tanaman pangan bijibijian

TINJAUAN PUSTAKA. yang terkait erat dengan jarak tanam dan mutu benih. Untuk memenuhi populasi

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Jagung (Zea mays L.)

III. BAHAN DAN METODE

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Lahan Percobaan, Laboratorium Penelitian

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan dan sumber protein

Transkripsi:

APLIKASI HERBISIDA DALAM PERSIAPAN LAHAN DAN FREKUENSI PENGENDALIAN GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI JAGUNG (Zea mays L.) OLEH : JIMMY ARISTON PANDIA A24060081 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

APLIKASI HERBISIDA DALAM PERSIAPAN LAHAN DAN FREKUENSI PENGENDALIAN GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI JAGUNG (Zea mays L.) Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor OLEH JIMMY ARISTON PANDIA A24060081 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

LEMBAR PENGESAHAN JUDUL NAMA NRP : APLIKASI HERBISIDA DALAM PERSIAPAN LAHAN DAN FREKUENSI PENGENDALIAN GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI JAGUNG (Zea mays L.) : JIMMY ARISTON PANDIA : A24060081 Menyetujui Dosen Pembimbing (Ir. H. Is Hidayat Utomo, MS) NIP. 19500601 198003 1 001 Mengetahui Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB (Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr) NIP : 19611101 198703 1 003 Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabanjahe pada tanggal 16 Agustus 1988. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak W. Pandia dan Ibu S. br Meliala. Tahun 2000 penulis menyelesaikan pendidikannya di SDN 02 Payung, Kabupaten Karo, Sumatra Utara. Pada tahun 2003 penulis lulus dari SLTPN 01 Batukarang, Kabupaten Karo. Tahun 2006 penulis lulus dari SMUN 01 Kabanjahe, Kabupaten Karo. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) sebagai mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian. Selama menempuh pendidikannya di IPB, penulis menjadi staf anggota Himpunan Mahasiswa Agronomi dan Hortikultura (HIMAGRON) pada tahun 2007/2008 dan anggota Keluarga Mahasiswa Katolik (KEMAKI) pada tahun 2006-20009.

RINGKASAN JIMMY ARISTON PANDIA. Aplikasi Herbisida dalam Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jagung (Zea mays L.). Dibimbing oleh IS HIDAYAT UTOMO. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh teknik persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan produksi jagung. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan IPB pada bulan Februari hingga Juni 2010. Penelitian menggunakan rancangan petak terbagi (split plot design) dengan perlakuan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor utama adalah teknik persiapan lahan yang terdiri atas tiga taraf yaitu olah tanah sempurna (OTS), tanpa olah tanah (TOT) + herbisida paraquat, TOT + herbisida glifosat. Anak petak adalah frekuensi pengendalian gulma yang terdiri atas tiga taraf yaitu tanpa penyiangan, disiangi dua kali pada 3 dan 6 MST, dan disiangi tiga kali pada 3, 6, 9 MST. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan teknik persiapan lahan mempengaruhi persentase penutupan gulma, berat kering gulma Axonopus compressus pada 4 dan 6 MST, berat kering gulma Borreria alata pada 4 dan 6 MST, berat kering gulma Brachiaria mutica pada 4, 6, dan 8 MST, berat kering gulma Euphorbia hirta pada 4 dan 6 MST, sedangkan berat kering gulma Cleome rutidosperma tidak berbeda nyata. Secara umum, perlakuan TOT + glifosat memberikan nilai berat kering gulma dominan yang paling rendah, sedangkan untuk persentase penutupan gulma dan nilai Nisbah Jumlah Dominansi (NJD) gulma dominan tertinggi terdapat di perlakuan TOT + paraquat. Perlakuan teknik persiapan lahan tidak mempengaruhi hampir semua peubah vegetatif dan generatif yang diamati pada tanaman jagung, kecuali jumlah daun pada 6 dan 8 MST. Meskipun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun secara keseluruhan perlakuan TOT + glifosat memberikan pertumbuhan dan produksi jagung yang lebih baik dibanding perlakuan OTS dan TOT + paraquat. Frekuensi pengendalian gulma memberikan pengaruh nyata terhadap persentase penutupan gulma dan semua berat kering gulma dominan. Perlakuan tanpa penyiangan secara nyata menghasilkan persentase penutupan gulma dan berat kering gulma dominan paling tinggi. Namun tidak terdapat perbedaan nyata

vi antara perlakuan penyiangan dua kali dengan penyiangan tiga kali terhadap persentase penutupan gulma dan berat kering gulma dominan. Perlakuan frekuensi pengendalian gulma mempengaruhi hampir semua peubah pengamatan pada tanaman jagung kecuali jumlah daun pada 4 MST dan bobot 100 butir. Perlakuan penyiangan dua kali dan penyiangan tiga kali memberikan pertumbuhan dan produksi jagung yang lebih baik dibandingkan dengan tanpa penyiangan. Namun baik penyiangan dua kali maupun penyiangan tiga kali tidak menunjukkan perbedaan nyata dalam pertumbuhan dan produksi jagung.

KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang masih memberikan nikmat, rahmat, dan kekuatan sehingga penulisan skripsi dengan judul Aplikasi Herbisida dalam Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jagung (Zea mays L). dapat diselesaikan dengan baik. Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Ir. H. Is Hidayat Utomo, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama kegiatan penelitian hingga penulisan skripsi. 2. Ir. Adolf Pieter Lontoh, MS dan Dr. Ir. Ahmad Junaedi, MSi selaku dosen penguji atas saran dan nasihat selama penulis menjalani ujian skripsi. 3. Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS selaku pembimbing akademik yang selalu memberi motivasi selama menempuh pendidikan di IPB. 4. Ibu, ayah, dan adik atas doa, dukungan, dan semangat yang selalu diberikan dalam menjalani hidup. 5. Seluruh teman-teman Agronomi dan Hortikultura angkatan 43 yang ikhlas membantu dan memberikan motivasi. 6. Teman-teman di Wisma Sarajevo atas dorongan, perhatian, dan bantuan yang diberikan. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Bogor, Februari 2011 Penulis

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL. ix DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR GAMBAR... PENDAHULUAN 1 Latar Belakang.. 1 Tujuan 3 Hipotesis 3 TINJAUAN PUSTAKA 4 Botani dan Ekologi Tanaman Jagung (Zea mays L.) 4 Teknik Persiapan Lahan 5 Herbisida Paraquat 6 Herbisida Glifosat. 6 Pengendalian Gulma pada Budidaya Jagung... 7 BAHAN DAN METODE. 9 Tempat dan Waktu 9 Bahan dan Alat.. 9 Metode Penelitian.. 9 Pelaksanaan 10 Pengamatan 12 HASIL DAN PEMBAHASAN 14 Kondisi Umum.. 14 Pengamatan pada Gulma 15 Pengamatan pada Tanaman Jagung 31 KESIMPULAN DAN SARAN. 39 Kesimpulan 39 Saran.. 39 DAFTAR PUSTAKA 40 LAMPIRAN.. 43 x xii

Nomor DAFTAR TABEL Halaman 1. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan terhadap Komposisi Gulma Dominan.. 18 2. Pengaruh Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Komposisi Gulma Dominan... 19 3. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Persentase Penutupan Gulma 20 4. Interaksi Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Persentase Penutupan Gulma 22 5. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Axonopus compressus. 23 6. Interaksi Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Axonopus compressus pada 4 MST. 24 7. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Borreria alata.. 24 8. Interaksi Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Borreria alata pada 4 dan 6 MST... 25 9. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Brachiaria mutica... 26 10. Interaksi Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Brachiaria mutica pada 4 dan 8 MST 27 11. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Euphorbia hirta... 28 12. Interaksi Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Euphorbia hirta pada 4 dan 6 MST... 29 13. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Berat Kering Gulma Cleome rutidosperma.. 30 14. Pengaruh Teknik Persiapan lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Tinggi Tanaman Jagung... 31 15. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Jumlah Daun Tanaman Jagung. 32 16. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Umur Berbunga, Jumlah Tongkol dan Bobot Brangkasan Tanaman Jagung.. 33 17. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Bobot Basah Tongkol Berkelobot, Bobot Kering Tongkol Berkelobot, Bobot 100 Biji, dan Potensi Hasil. 35

x Nomor DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Data Iklim Selama Pelaksanan Penelitian... 44 2. Deskripsi Jagung Varietas BISI 2... 44 3. Koefisien Komunitas Antar Petak (%) 44 4. Nilai Nisbah Jumlah Dominansi (%)... 45 5. Rekapitulasi Analisis Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Persentase Penutupan Gulma dan Berat Kering Gulma Dominan.. 46 6. Rekapitulasi Analisis Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Komponen Vegetatif dan Generatif Tanaman Jagung.. 46 7. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Persentase Penutupan Gulma 47 8. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Berat Kering Gulma Axonopus compressus. 47 9. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Berat Kering Gulma Borreria alata. 47 10. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Berat Kering Gulma Brachiaria mutica... 47 11. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Berat Kering Gulma Euphorbia hirta... 48 12. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Berat Kering Gulma Cleome rutidosperma.. 48 13. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Tinggi Tanaman Jagung... 48 14. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Jumlah DaunTanaman Jagung.. 48

xi 15. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Umur Berbunga, Jumlah Tongkol, dan Bobot Brangkasan Tanaman Jagung.. 49 16. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Bobot Basah dan Bobot Kering Tongkol Berkelobot Tanaman Jagung.. 49 17. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya terhadap Bobot 100 Biji, dan Potensi Hasil Tanaman Jagung 49 18. Perbandingan Biaya Produksi dan Pendapatan Hasil Jagung pada Beberapa Teknik Persiapan Lahan per Hektar (dalam Rupiah) 49

Nomor DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Komposisi Gulma Dominan. 16

PENDAHULUAN Latar Belakang Jagung merupakan salah satu komoditas pangan penting di Indonesia setelah padi. Jagung memiliki peranan strategis dan bernilai ekonomis serta mempunyai peluang untuk dikembangkan, mengingat komoditas ini mempunyai fungsi yang multiguna, selain untuk pangan juga sebagai pakan ternak dan industri. Dewasa ini penggunaan jagung untuk kebutuhan bahan baku industri mulai berkembang, seperti pembuatan minyak jagung, tepung, pati, serta industri kimia (etil alkohol aseton, asam laktat, asam sitrat dan gliserol) (Purwono dan Hartono, 2005). Produksi jagung Indonesia dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan produksi jagung nasional sejak tahun 2006 sampai 2008 menunjukkan kenaikan dari 11.61 menjadi 16.31 juta ton pipilan kering. Kenaikan produksi terjadi karena bertambahnya luas panen dari 3.3. juta ha menjadi 4 juta ha dan peningkatan produktivitas dari 3.47 menjadi 4.78 ton/ha (BPS, 2010). Sementara itu, meskipun produksi jagung nasional cenderung meningkat, akan tetapi peningkatannya relatif lebih kecil dibandingkan dengan peningkatan penggunaan jagung. Penggunaan jagung untuk bahan pangan mencapai 50% dari total kebutuhan, sedangkan untuk bahan baku industri pakan, makanan dan minuman dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2000-2004) meningkat 10-15 % / tahun (Suryana, 2006). Selain itu, saat ini jagung juga dikembangkan sebagai bahan baku pembuatan bio etanol (Deptan, 2008). Kebutuhan jagung akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan terus berkembangnya industri pakan serta industri yang berbahan baku jagung. Salah satu upaya pencapaian peningkatan kapasitas produksi jagung nasional adalah dengan melakukan kegiatan budidaya yang efektif dan efisien. Persiapan lahan merupakan tahap awal dalam budidaya dan sangat penting diperhatikan dalam menunjang pertumbuhan tanaman. Persiapan lahan dilakukan untuk menciptakan kondisi yang mendukung bagi perkecambahan benih dan perkembangan akar tanaman serta mengurangi kompetisi terhadap gulma. Namun,

2 selain untuk mendukung pertumbuhan tanaman, kegiatan persiapan lahan juga harus memperhatikan prinsip keberlanjutan ekonomi dan lingkungan. Teknik persiapan lahan dalam praktiknya dikelompokkan ke dalam sistem olah tanah sempurna (OTS), olah tanah minimum (OTM), tanpa olah tanah (TOT) dan olah tanah bermulsa. Sistem olah tanah sempurna merupakan cara yang umum diterapkan oleh petani dalam kegiatan persiapan lahan. Pengolahan tanah sempurna dimaksudkan agar tanah lebih gembur sehingga aerasi meningkat dan menghilangkan gulma di areal budidaya. Namun, pengolahan tanah yang intensif akan menyebabkan degradasi lahan yang menyebabkan daya dukung dan produktivitas lahan semakin menurun (Syam um, 2002). Sistem TOT merupakan bagian dari olah tanah konservasi (OTK) yang dikombinasikan dengan herbisida pada dosis yang tepat untuk mengendalikan gulma awal. Penerapan sistem TOT dengan herbisida bertujuan untuk menyiapkan lahan agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik namun tetap memperhatikan keseimbangan ekologi lingkungan, terutama air dan tanah. Hal ini disebabkan sisa gulma yang mati sebelumnya dapat menjadi mulsa yang berfungsi menambah bahan organik dalam tanah, menekan pertumbuhan kembali gulma dan meningkatkan tersedianya air tanah serta mengurangi dampak buruk tetesan air hujan (Moenandir, 2004). Keberadaan gulma pada areal produksi pertanian dapat menimbulkan kerugian hasil baik secara kuantitas maupun kualitas. Penurunan hasil tanaman akibat keberadaan gulma disebabkan oleh adanya kompetisi antara gulma dan tanaman dalam memperoleh hara, air, cahaya, dan ruang tumbuh serta berpotensi menjadi inang bagi hama dan penyakit tanaman (Tjitrosoedirdjo, et al.,1984) Pengendalian gulma dalam kegiatan produksi tanaman harus dilakukan secara benar dan pada waktu yang tepat. Waktu dan frekuensi pengendalian gulma yang tidak tepat akan mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi terganggu. Menurut Utomo (1999), penyiangan yang tepat biasanya dilakukan sebelum akar tanaman banyak mengambil hara dari tanah. Selain itu, pengetahuan terhadap periode kritis suatu tanaman dapat membantu dalam menentukan saat yang tepat dalam pengendalian gulma.

3 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pengaruh teknik persiapan lahan terhadap pertumbuhan dan produksi jagung. 2. Mengetahui pengaruh frekuensi pengendalian gulma secara manual terhadap pertumbuhan dan produksi jagung. 3. Mengetahui interaksi antara aplikasi herbisida dalam persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan produksi jagung. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Terdapat pengaruh teknik persiapan lahan terhadap pertumbuhan dan produksi jagung. 2. Terdapat pengaruh frekuensi pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan produksi jagung. 3. Terdapat interaksi antara teknik persiapan lahan dengan frekuensi pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan produksi jagung.

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Ekologi Tanaman Jagung (Zea mays L.) Tanaman jagung merupakan tanaman asli benua Amerika yang termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays L. Taksonomi tanaman jagung adalah sebagai berikut: Kelas : Monocotyledone (berkeping satu) Ordo : Graminae (rumput-rumputan) Famili : Graminaceae Genus : Zea Spesies : Zea mays L. Tanaman jagung dapat tumbuh pada segala jenis tanah dengan sifat fisika dan kimia tanah yang mendukung. Sifat fisika tanah berupa kondisi tanah yang gembur, berdrainase dan aerasi yang baik, serta kaya bahan organik. Sifat kimia tanah berupa kisaran ph yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman jagung yaitu berkisar antara 5,5-7,0. Suhu optimum untuk pertumbuhan jagung adalah antara 23 27 0 C, curah hujan 600-1000 mm/tahun dan ketinggian tempat antara 0-1.300 m di atas permukaan laut (Muhadjir, 1988). Tanaman jagung termasuk tanaman berakar serabut yang terdiri atas akarakar seminal, akar adventif dan akar udara (brace) yang tumbuh dari ruas-ruas permukaan tanah. Batang jagung terdiri dari beberapa ruas dan buku ruas, berbentuk silinder, dan tidak bercabang. Pada buku ruas terdapat tunas yang akan berkembang menjadi tongkol. Daun jagung memanjang dan muncul dari bukubuku batang. Setiap daun terdiri atas kelopak daun, ligula, dan helaian daun. Ligula atau lidah daun terdapat diantara kelopak dan helaian daun yang berfungsi untuk mencegah air masuk ke dalam kelopak daun dan batang. Bunga jagung tergolong bunga tidak lengkap karena struktur bunganya tidak memiliki petal dan sepal. Letak bunga jantan terpisah dengan bunga betina namun masih dalam satu tanaman sehingga tanaman jagung termasuk tanaman berumah satu (monoecious). Bunga jantan terdapat di ujung batang dan bunga betina terdapat pada ketiak daun ke-6 atau ke-8 dari bunga jantan. Tanaman jagung bersifat protandry, yaitu bunga jantan muncul 1-2 hari sebelum munculnya

5 rambut jagung (style) pada bunga betina. Oleh sebab itu, penyerbukan jagung bersifat penyerbukan silang (Muhadjir, 1988). Jagung tergolong tanaman C-4 dan mampu beradaptasi dengan baik pada faktor pembatas pertumbuhan dan produksi. Sifat yang menguntungkan tanaman jagung sebagai tanaman C-4 antara lain; daun mempunyai laju fotosintesis yang relatif tinggi pada keadaan normal, fotorespirasi dan transpirasi rendah, serta efisien dalam penggunaan air (Muhadjir, 1988). Teknik Persiapan Lahan Persiapan lahan bertujuan untuk mengkondisikan lahan budidaya agar sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan tanaman dalam perkembangan akar dan pertumbuhan tanaman. Selain menciptakan kondisi yang mendukung bagi tanaman, kegiatan persiapan lahan juga harus memperhatikan keseimbangan ekologi lingkungan terutama degradasi tanah dan ketersediaan air. Teknik persiapan lahan dalam praktiknya dikelompokkan dalam olah tanah sempurna, olah tanah minimum, tanpa olah tanah, dan olah tanah bermulsa. Olah tanah sempurna yang umumnya menggunakan alat-alat sederhana hingga alat-alat berat pada dasarnya bertujuan mengendalikan gulma dan untuk menggemburkan tanah sehingga aerasi dan kapasitas infiltrasi tanah meningkat. Namun sistem olah tanah sempurna dalam jangka panjang akan berdampak buruk yaitu terjadinya degradasi tanah yang dapat memacu erosi, dan menurunnya kesuburan tanah (Utomo, 1999). Olah tanah konservasi merupakan kegiatan persiapan lahan yang dapat mengurangi kehilangan lapisan tanah dan air dibandingkan dengan olah tanah konvensional (Moenandir, 2004). Budidaya tanaman tanpa olah tanah (TOT) merupakan bagian dari teknologi olah tanah konservasi yang mengandalkan herbisida dalam pengendalian gulma awal sebelum tanam. Menurut Utomo (2002), dalam sistem budidaya tanpa olah tanah, tanah tidak diolah secara mekanis kecuali pada lubang tanam dan alur pupuk. Sementara itu, gulma dikendalikan dengan herbisida dan sisa-sisa gulma dari aplikasi herbisida tersebut dibiarkan di atas permukaan tanah sebagai mulsa. Adanya mulsa alami akan menambah bahan organik dalam tanah, mencegah pengurusan tanah, meningkatkan ketersediaan air, dan menekan pertumbuhan kembali gulma.

6 Menurut Moenandir (2004), sistem tanpa olah tanah dapat mengurangi erosi hingga 90 % dibanding pengolahan tanah secara konvensional. Keuntungan budidaya tanaman tanpa olah tanah selain konservasi tanah dan air juga lebih efisien dalam penggunaan tenaga kerja, waktu, dan biaya. Namun perlu diperhatikan herbisida yang digunakan dalam sistem TOT harus pada dosis yang tepat dan ramah lingkungan, artinya herbisida yang mudah terdekomposisi oleh mikroorganisme dalam tanah dan tidak merusak sumberdaya lingkungan. Herbisida Paraquat Paraquat adalah nama umum dari bahan kimia 1,1-dimethyl-4,4- bipyrilidium yang termasuk herbisida bersifat nonselektif (kontak) dan digunakan untuk mengendalikan gulma semusim. Karakteristik dari paraquat adalah tidak dapat diserap oleh bagian tanaman yang tidak hijau (batang dan akar) dan tidak aktif di tanah. Ketidakaktifan tersebut disebabkan adanya reaksi antara dua muatan ion positif pada paraquat dan ion negatif mineral liat sehingga molekul positif paraquat terabsorbsi kuat dengan lapisan liat dan tidak aktif lagi (Ashton dan Monaco, 1991). Penetrasi paraquat terjadi melalui daun. Aplikasi paraquat akan lebih efektif apabila ada sinar matahari karena reaksi keduanya akan menghasilkan hidrogen peroksida yang merusak membran sel. Cara kerja paraquat yaitu menghambat proses dalam fotosistem I, yaitu mengikat elektron bebas hasil fotosistem dan mengubahnya menjadi elektron radikal bebas. Radikal bebas yang terbentuk akan diikat oleh oksigen membentuk superoksida yang bersifat sangat aktif. Superoksida tersebut mudah bereaksi dengan komponen asam lemak tak jenuh dari membran sel, sehingga akan menyebabkan rusaknya membran sel dan jaringan tanaman (Pusat Informasi Paraquat, 2006). Herbisida Glifosat Glifosat adalah nama umum dari N-(phosphonomethyl) glycine. Glifosat merupakan herbisida sistemik yang mempunyai spektrum pengendalian yang luas dan bersifat non-selektif (Ashton dan Monaco, 1991). Herbisida ini diaplikasikan

7 pada daun dan tidak aktif ketika diaplikasikan pada tanah. Hal ini karena glifosat akan diikat dengan kuat dan cepat oleh partikel tanah dalam ikatan fosfat sehingga tidak tersedia bagi akar gulma dan tumbuhan lainnya (Duke, 1988). Glifosat mudah ditranslokasikan dalam jaringan tanaman dan mempengaruhi pigmen sampai terjadi khlorotik, pertumbuhan terhenti dan tanaman mati. Herbisida ini juga menghambat lintasan biosintetik asam amino aromatik dan sangat efektif untuk mengendalikan gulma rumput tahunan, gulma berdaun lebar, dan yang mempunyai perakaran dalam. Gejala awal pada umumnya adalah daun mengalami klorosis yang diikuti oleh nekrosis (Ashton dan Monaco, 1991). Glifosat bekerja lebih baik jika diaplikasikan pada bagian gulma yang telah tumbuh aktif dan telah sempurna pertumbuhan tajuknya. Glifosat tergolong dalam herbisida organik yang mudah terdekomposisi oleh mikroorganisme tanah seperti Pseudomonas aeroginasa dengan cepat sehingga tidak membahayakan lingkungan. Pengendalian Gulma Pada Budidaya Jagung Gulma merupakan tumbuhan yang tumbuh bukan pada tempatnya, tidak dikehendaki, dan bersifat merugikan (Sukman dan Yakup, 2002). Gulma yang dibiarkan tumbuh pada tanaman budidaya akan bersaing dalam pemanfaatan unsur hara, air, udara, cahaya, dan ruang tumbuh. Selain itu, beberapa gulma dapat menjadi inang bagi hama dan penyakit. Menurut Bangun (1988), penurunan hasil akibat adanya kompetisi tanaman jagung dengan gulma berkisar antara 16-82%. Oleh sebab itu, pengendalian gulma merupakan suatu keharusan pada budidaya jagung. Menurut Bangun (1988), spesies gulma yang sering ditemui pada pertanaman jagung adalah: Digitaria ciliaris. Paspalum distichum, Eleusine indica, Cynodon dactylon, Echinochloa colona, Ageratum conyzoides, Borreria latifolia, Phylantus nituri, dan Cyperus rotundus. Pengendalian gulma pada pertanaman jagung umumnya dilakukan secara manual atau penyiangan. Selain pengendalian secara manual, pengendalian gulma pada tanaman jagung juga dapat dilakukan secara kimia, secara mekanik, dan secara biologi.

8 Waktu pengendalian gulma pada tanaman jagung merupakan hal yang penting untuk diperhatikan, terutama pengendalian gulma secara manual. Hal ini disebabkan pengendalian gulma pada waktu yang tidak tepat dapat merusak perakaran tanaman jagung, sehingga mengganggu penyerapan air dan unsur hara oleh akar. Selain itu, periode kritis dapat menentukan saat yang tepat dalam pengendalian gulma. Keberadaan gulma pada periode kritis akan berpengaruh pada pertumbuhan dan hasil akhir tanaman budidaya yang diakibatkan tanaman kalah bersaing dalam pemanfaatan sarana pertumbuhan, seperti unsur hara, air, cahaya, dan ruang tumbuh. Frekuensi pengendalian gulma juga sangat penting diperhatikan karena berkaitan dengan biaya serta pertumbuhan dan hasil tanaman jagung. Tanpa pengendalian gulma dapat menurunkan pertumbuhan dan produksi, sedangkan frekuensi pengendalian gulma yang terlalu sering juga dapat mengganggu pertumbuhan dan produksi tanaman jagung. Oleh sebab itu. pengendalian gulma akan efektif dan efisien jika dilakukan pada waktu dan frekuensi yang tepat.

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan IPB Darmaga pada ketinggian ± 250 meter di atas permukaan laut dan Laboratorium Ekofisiogi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB. Penelitian dimulai pada bulan Februari sampai bulan Juli 2010 dengan curah hujan berkisar antara 158-343 mm/bulan (Lampiran 1). Bahan dan alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : benih jagung varietas Bisi 2 (Lampiran 2) sebanyak 15 kg/ha, herbisida paraquat 276 SL dengan dosis 3 L/ha, herbisida glifosat 480 AS dengan dosis 3 L/ha, Furadan 3G dengan dosis 20 kg/ha, dan Score 0.5 ml/l untuk pengendalian hama dan penyakit. Pupuk yang digunakan adalah pupuk urea 200 kg/ha, KCl 100 kg/ha, dan SP18 200 kg/ha. Alat yang digunakan adalah knapsnack sprayer untuk aplikasi herbisida, kuadrat berukuran 0.5 m x 0.5 m, meteran, alat pemotong, gelas ukur, oven, timbangan analitik, jangka sorong, kantong kertas, kantong plastik, dan alat-alat budidaya pada umumnya. Metode Penelitian Penelitian disusun dalam Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design) dengan perlakuan dua faktor. Faktor pertama sebagai petak utama merupakan teknik persiapan lahan (P) yang terdiri atas tiga taraf: P0 = Olah tanah sempurna P1 = Tanpa olah tanah menggunakan herbisida paraquat 276 SL dosis 3 L/ha P2 = Tanpa olah tanah menggunakan herbisida glifosat 480 AS dosis 3 L/ha Faktor kedua merupakan anak petak yaitu frekuensi pengendalian gulma (G) yang terdiri atas tiga taraf: G0 = Tanpa penyiangan G1 = Disiangi dua kali pada umur 3 dan 6 minggu setelah tanam (MST) G2 = Disiangi tiga kali pada umur 3, 6, dan 9 MST

10 Setiap kombinasi perlakuan masing-masing diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 27 satuan percobaan. Ukuran petak satuan percobaan 5 m x 3 m sehingga luasan efektif percobaan seluruhnya adalah 505 m 2. Model linear untuk rancangan ini adalah: Yijk = µ + Ki + Pj + γij + Gk + (PG)jk + θijk Keterangan: Yijk = Produksi jagung pada kelompok ke-i yang memperoleh perlakuan taraf ke-j dari faktor P dan taraf ke-k dari faktor G µ = Nilai rata-rata penambahan produksi jagung Ki = Pengaruh aditif dari kelompok ke-i Pj = Pengaruh aditif taraf cara persiapan lahan ke-j γij = Pengaruh galat yang muncul pada taraf ke-j dari faktor P kelompok ke-i (galat utama) Gk = Pengaruh aditif frekuensi pengendalian gulma ke-k (PG)jk =Pengaruh interaksi taraf cara persiapan lahan ke-j dan taraf frekuensi pengendalian gulma ke-k Θijk = Pengaruh galat percobaan pada kelompok ke-i yang memperoleh perlakuan taraf cara persiapan lahan ke-j dan taraf frekuensi pengendalian gulma ke-k (galat anak petak) Hasil percobaan dianalisis dengan uji sidik ragam F taraf 5%. Jika perlakuan berpengaruh nyata diuji lebih lanjut dengan Uji Wilayah Berganda Duncan (DMRT). Pelaksanaan Persiapan Lahan Dua minggu sebelum tanam, terlebih dahulu dilakukan analisis vegetasi untuk mengetahui spesies gulma dominan pada areal percobaan. Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan kuadrat berukuran 0.5 m x 0.5 m pada setiap petak percobaan. Petak dengan perlakuan P0 diolah secara sempurna, yaitu lahan diolah dengan menggunakan traktor tangan dan diratakan dengan cangkul pada 3 hari sebelum tanam (HSbT). Pada petak P1, penyiapan lahan dilakukan dengan

11 aplikasi herbisida paraquat pada 4 HSbT, sedangkan petak dengan perlakuan P2 diaplikasikan dengan glifosat pada 8 HSbT. Aplikasi herbisida menggunakan knapsnack sprayer pada volume 500 L/ha dan dilaksanakan pada pagi hari saat cuaca tidak mendung dan tidak berawan. Penanaman Benih jagung yang telah diberi Rhidomil ditanam serempak dengan cara ditugal sedalam kurang lebih 3 cm dan jarak tanam 75 cm x 40 cm sebanyak dua benih tiap lubangnya lalu ditutup dengan tanah. Pemberian insektisida furadan 3G dengan dosis 20 kg/ha diberikan bersamaan dengan benih. Penyulaman dilakukan pada 1 MST, dan penjarangan dilakukan pada 2 MST dengan menyisakan dua tanaman tiap lubang. Pemupukan Pemupukan dilakukan dua kali, yaitu pemupukan dasar yang dilakukan bersamaan dengan tanam dan pemupukan susulan untuk pupuk urea pada 3 MST. Pupuk yang digunakan adalah pupuk SP-18 sebanyak 200 kg/ha, KCl 100 kg/ha, dan urea 200 kg/ha, khusus untuk pupuk urea diberikan dua kali, yaitu sepertiga bagian (66.67 kg) pada saat pemupukan dasar dan sisanya (133.33 kg) diberikan saat pemupukan susulan pada 3 MST. Pupuk diberikan dengan cara ditugal dengan jarak 7-10 cm dari lubang tanam kemudian ditutup dengan tanah. Pengendalian gulma sesuai dengan perlakuan. Penyiangan dilakukan secara manual menggunakan alat bantu berupa kored atau cangkul. Penyemprotan Score dilakukan jika telihat gejala serangan hama dan penyakit, seperti; hama belalang, Spodoptera litura, dan penyakit hawar daun yang umumnya menyerang tanaman jagung. Pemanenan Tanaman jagung dapat dipanen saat 95% daun dan kelobot menguning dan kering serta adanya black layer pada pangkal biji.

12 Pengamatan Peubah yang diamati pada jagung : Pengamatan pada komponen vegetatif jagung dilakukan pada sepuluh tanaman contoh per petak yang ditentukan secara acak dan bukan tanaman pinggir, sedangkan pengamatan komponen generatif dilakukan secara ubinan dengan luas 2 m x 2 m tiap petak. Komponen vegetatif: 1. Tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah hingga ujung daun tertinggi dilakukan pada 4, 6, dan 8 MST 2. Jumlah daun per tanaman, dihitung pada 4, 6, dan 8 MST Komponen generatif: 3. Umur berbunga, umur tanaman 75% mengeluarkan tasel 4. Jumlah tongkol per tanaman 5. Hasil ubinan bobot basah dan bobot kering tongkol berkelobot yang diambil dari hasil tiap petak panen bersih tanpa tanaman pinggir. 6. Bobot brangkasan, bobot biji pipilan kering hasil ubinan, bobot 100 biji, dan potensi hasil. Peubah yang diamati pada gulma: 1. Nisbah Jumlah Dominansi (NJD) atau Summed Dominance Ratio (SDR), yang dilakukan pada 2 minggu sebelum tanam (MSbT), 4, 6, dan 8 MST. 2. Persentase penutupan gulma diamati secara visual pada 2 minggu sebelum tanam, 4, dan 12 MST. 3. Bobot kering gulma dominan pada 2 minggu sebelum tanam, 4, 6, 8 MST, dengan menggunakan metode kuadrat berukuran 0.5 m x 0.5 m. Contoh gulma yang terdapat di dalam kuadrat dipotong sampai dengan permukaan tanah dan dipisahkan berdasarkan spesiesnya kemudian dioven selama 24 jam dengan suhu 105 0 C dan ditimbang.

13 4. Koefisien komunitas gulma pada saat 2 MSbT yang diperoleh dari rumus (Numata, 1982): C = 2W 100 % a + b Keterangan: C = Koefisien komunitas W= Jumlah dari dua kuantitas terendah untuk jenis dari masing-masing komunitas a = Jumlah dari seluruh kuantitas pada komunitas pertama b = Jumlah dari seluruh kuantitas pada komunitas kedua Nilai C > 75 %, berarti dua komunitas dinyatakan homogen Nilai C <75 %, berarti dua komunitas dinyatakan heterogen Nilai NJD digunakan untuk melihat dominansi gulma-gulma dominan yang terdapat pada setiap perlakuan dalam petak percobaan. Nilai NJD diperoleh dari rumus yang dikembangkan oleh Numata (1982) yaitu: Kerapatan Mutlak (KM) Kerapatan Relatif (KR) = KM spesies tertentu Frekuensi Mutlak (FM) = Jumlah individu spesies tertentu dalam petak contoh Jumlah KM seluruh spesies Frekuensi Relatif (FR) = FM spesies tertentu Dominansi Mutlak (DM) = Jumlah petak contoh yang memiliki spesies tertentu Jumlah FM seluruh spesies = Berat kering spesies dalam petak contoh Dominansi Relatif (DR) = DM spesies tertentu Nilai Penting (NP) Nisbah Jumlah Dominansi = NP 3 Jumlah DM seluruh spesies = KR + FR + DR

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Kondisi lahan sebelum dilaksanakan penelitian adalah tidak ditanami tanaman budidaya (bera) selama tiga bulan. Pada pengamatan awal sebelum dilakukan aplikasi herbisida, persentase penutupan gulma pada tiap perlakuan cukup tinggi yaitu sebesar 90 %. Selain pengamatan penutupan gulma, juga dilakukan analisis vegetasi awal untuk mengetahui komposisi gulma awal dan koefisien komunitas (C) antar petak perlakuan. Koefisien komunitas dilakukan untuk mengetahui keseragaman komunitas gulma antar petak percobaan. Dua komunitas dinyatakan homogen apabila nilai C > 75% dan dinyatakan heterogen jika C < 75% (Numata, 1982). Pada petak percobaan diperoleh nilai koefisien komunitas sebesar > 75% (Lampiran 3). Hal ini menunjukkan lahan percobaan memiliki komposisi gulma yang homogen. Waktu aplikasi herbisida glifosat berbeda dengan waktu aplikasi herbisida paraquat. Aplikasi herbisida glifosat dilakukan pada 8 hari sebelum tanam (HSbT) dan herbisida paraquat 4 HSbT. Perbedaan waktu aplikasi kedua herbisida tersebut didasarkan atas perbedaan sifat dan karakteristik kedua herbisida. Herbisida glifosat bersifat sistemik dan herbisida paraquat bersifat kontak. Sedangkan untuk olah tanah sempurna, lahan dibersihkan dengan traktor tangan dan diratakan dengan cangkul pada tiga hari sebelum tanam. Benih jagung yang sudah dicampur dengan Rhidomil ditanam dengan cara ditugal. Benih jagung sudah mulai berkecambah pada 4-7 hari setelah tanam dan mempunyai daya berkecambah sebesar 95%. Kegiatan penyulaman dilakukan pada 1 MST dan penjarangan pada 2 MST dengan menyisakan dua tanaman per lubang tanam. Hama yang menyerang tanaman selama percobaan adalah belalang (Sexava spp.) dengan gejala daun rusak dan berlubang. Namun, hama belalang tidak menyebabkan penurunan hasil yang berarti. Pada saat tanaman berumur 11 MST terjadi kerebahan pada sebagian tanaman yang disebabkan intensitas hujan yang tinggi disertai angin yang cukup besar. Saat menjelang panen, terdapat serangan burung yang memakan biji jagung yang sudah mulai masak.

15 Pengamatan pada Gulma Nisbah Jumlah Dominansi (NJD) Keberadaan gulma dalam areal pertanian dapat menimbulkan kerugian hasil baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini disebabkan adanya kompetisi antara gulma dengan tanaman budidaya dalam pemanfaatan sarana pertumbuhan yang ada dalam keadaan terbatas secara bersamaan. Sarana tumbuh merupakan faktor pendukung pertumbuhan suatu tanaman, yang meliputi; cahaya, air, hara, dan ruang tumbuh. Penguasaan sarana tumbuh dapat dilihat dari Nisbah Jumlah Dominansi (NJD) gulma. Semakin besar nilai NJD gulma berarti semakin tinggi kemampuan spesies gulma tersebut dalam penguasaan sarana tumbuh. Nilai NJD dapat diperoleh dari kegiatan analisis vegetasi dengan mengamati jenis, kerapatan, frekuensi, dan bobot kering gulma dalam suatu komunitas. Adanya perlakuan teknik persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma menyebabkan perubahan komposisi gulma, baik pada spesies maupun jumlah gulma. Hasil analisis vegetasi awal pada 2 minggu sebelum tanam (Lampiran 4) menunjukkan ada 17 spesies gulma yang dikelompokkan atas 7 spesies golongan rumput, 9 spesies golongan daun lebar, 2 spesies golongan teki. Pada saat 4 MST terdapat 18 spesies gulma yang terdiri atas 6 spesies golongan rumput, 11 spesies gulma golongan daun lebar, dan 1 spesies teki. Komposisi gulma pada 6 MST tidak berbeda dengan komposisi gulma pada saat 4 MST, yaitu terdiri dari 18 spesies gulma dengan pengelompokan 6 spesies golongan rumput, 11 spesies golongan daun lebar, dan 1 spesies teki. Pada 8 MST terjadi penurunan jumlah spesies gulma menjadi 17 spesies gulma yang terdiri dari 6 spesies golongan rumput dan 11 spesies golongan berdaun lebar. Penurunan spesies gulma tersebut dapat disebabkan karena adanya perlakuan penyiangan gulma pada 6 MST, sehingga memungkinkan adanya spesies gulma tercabut. Terdapat 5 spesies gulma yang dominan pada lahan percobaan yang terdiri dari: Axonopus compressus, Brachiaria mutica, Borreria alata, Cleome rutidosperma, dan Euphorbia hirta.

16 N J D (%) 35 30 25 20 15 10 5 A. compressus B. mutica B.alata E. hirta C. rutidosperma 0 2 MSbT 4 MST 6 MST 8 MST Umur Gambar 1.Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Komposisi Gulma Dominan Gambar 1 menunjukkan adanya perubahan nilai NJD gulma dominan setelah diberikan perlakuan teknik persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma. Pada 4 MST, hampir seluruh gulma dominan mengalami penurunan nilai NJD, kecuali Cleome rutidosperma yang mengalami kenaikan nilai NJD. Penurunan nilai NJD gulma-gulma dominan selain persiapan lahan, lebih disebabkan adanya perlakuan pengendalian gulma pada 3 MST. Hal ini dapat dilihat dari analisis vegetasi pada 4 MST, dimana tidak adanya gulma yang diperoleh pada perlakuan penyiangan dua kali maupun penyiangan tiga kali. Pengamatan gulma pada 6 MST menunjukkan hampir semua gulma dominan mengalami peningkatan nilai NJD, hanya gulma Cleome rutidosperma yang mengalami penurunan nilai NJD. Brachiaria mutica memiliki NJD tertinggi pada 6 MST. Pada 4 dan 6 MST, terdapat perbedaan antara gulma Cleome rutidosperma dengan gulma dominan lainnya. Hal ini dapat terjadi karena Cleome rutidosperma merupakan kelompok gulma daun lebar yang berbatang lunak yang cepat tumbuh pada lahan yang baru diolah/ditanami, namun akan terdesak dengan gulma yang berbatang keras baik dari rumput maupun daun lebar seiring berjalannya waktu. Selain itu, kemampuan spesies gulma tertentu dalam menyerap fosfor tersedia dalam tanah dapat memberi pengaruh terhadap serapan herbisida

17 oleh gulma. Spesies gulma yang menyerap fosfor lebih tinggi akan menyebabkan herbisida yang diaplikasikan menjadi kurang efektif pada gulma tersebut. Pada 8 MST, hampir semua gulma dominan mengalami penurunan nilai NJD, hanya Borreria alata yang mengalami peningkatan nilai NJD. Meskipun mengalami penurunan nilai NJD, namun Brachiaria mutica pada 8 MST lebih dominan di petak percobaan dibanding gulma dominan lainnya. Hal ini disebabkan Brachiaria mutica memiliki frekuensi mutlak dan kerapatan mutlak yang lebih tinggi dibanding gulma lainnya. Perubahan komposisi gulma dominan diakibatkan adanya perlakuan teknik persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma dapat dilihat dari perubahan nilai NJD gulma dominan (Gambar 1). Gulma Axonopus compressus yang awalnya sangat dominan sebelum adanya perlakuan tergantikan oleh gulma Brachiaria mutica setelah diberikan perlakuan. Gulma Axonopus compressus dan Brachiaria mutica merupakan gulma golongan rumput yang mempunyai perakaran dalam dan rhizome yang luas. Namun, gulma Brachiaria mutica lebih mampu bertahan dalam keadaan terbuka maupun ternaungi. Hal ini berbeda dengan gulma Axonopus compressus yang termasuk tanaman C-4 sehingga harus membutuhkan cahaya matahari yang cukup dalam pertumbuhannya (Skerman dan Riveros, 1989). Muncul dan berkembangnya jenis-jenis gulma dominan pada lahan pertanian, selain dipengaruhi oleh iklim, keadaan tanah, dan sifat biologi jenis gulma, juga ditentukan oleh sistem persiapan lahan, pola tanam, dan cara pengendalian. Selain itu, spesies gulma tertentu memiliki daya adaptasi yang berbeda terhadap perubahan kondisi lingkungan yang mengakibatkan terjadinya perubahan komposisi dominansi gulma dalam sebuah komunitas. Spesies gulma yang memiliki daya adaptasi tinggi akan mampu tumbuh dan mendominasi komunitas tersebut (Moenandir, 1993) Pengaruh Teknik Persiapan Lahan Perlakuan teknik persiapan lahan menyebabkan terjadinya perubahan komposisi gulma dominan dan gulma lainnya. Pengaruh teknik persiapan lahan terhadap dinamika populasi gulma tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan terhadap Komposisi Gulma Dominan Umur Perl. NJD (%) Jumlah Gulma Ac Bm Ba Eh Cr lain 4 P0 9.06 33.38 32.47 5.18 10.63 90.72 9.28 MST P1 11.67 38.9 26.93 7.49 6.04 91.03 8.97 P2 8.29 31.43 26.89 4.28 9.46 80.35 19.65 6 P0 9.81 33.68 29.74 12.66 2.98 88.87 11.13 MST P1 16.35 45.09 18.32 14.34 1.62 95.73 4.27 P2 14.61 37.00 21.86 12.01 2.47 87.96 12.04 8 P0 18.23 24.80 27.20 9.84 6.95 87.03 12.97 MST P1 21.09 29.99 24.13 11.27 1.47 87.95 12.05 P2 23.57 26.41 20.68 6.19 3.41 80.27 19.73 Keterangan: NJD = Nisbah jumlah dominansi; MSbT = Minggu sebelum tanam; MST = Minggu setelah tanam; P0 = Olah tanah sempurna; P1 = Tanpa olah tanah + paraquat; P2 = Tanpa olah tanah + glifosat Ac = Axonopus compressus; Bm = Brachiaria mutica; Ba = Borreria alata ; Eh = Euphorbia hirta ; Cr = Cleome rutidosperma Perlakuan olah tanah sempurna mampu menekan pertumbuhan gulma Axonopus compressus yang awalnya mendominasi petak percobaan. Namun, pengolahan tanah sempurna tidak mampu menekan pertumbuhan gulma Borreria alata, dan cleome rutidosperma. Hal ini dapat disebabkan kedua gulma golongan daun lebar tersebut berkembang biak dengan biji, sehingga pada saat pengolahan tanah biji-biji gulma terangkat ke permukaan dan segera berkecambah. Moenandir (1993) menjelaskan bahwa pengolahan tanah akan mendorong biji berpindah tempat, yang menyebabkan keadaan dormansinya tertekan dan dapat segera berkecambah. Perlakuan TOT + paraquat memiliki NJD gulma dominan paling tinggi dibanding dengan perlakuan lainnya (Tabel 1). Pada Tabel 1 juga terlihat perlakuan TOT + herbisida paraquat tidak mampu dalam menekan pertumbuhan kembali gulma dominan, khususnya Axonopus compressus dan Brachiaria mutica yang keduanya berasal dari golongan rumput. Kurang efektifnya paraquat pada beberapa spesies gulma dominan, khususnya gulma golongan rumput, disebabkan herbisida yang bersifat kontak dan morfologi daun gulma. Tjitrosoedirdjo et. al., (1984) menyatakan bahwa herbisida kontak hanya mematikan bagian tanaman 18

yang terkena larutannya, sehingga bagian tanaman yang berada di bawah tanah seperti akar atau akar rimpang tidak terpengaruhi dan pada waktunya dapat tumbuh kembali. Sukman dan Yakup (2002) menambahkan bahwa herbisida paraquat kurang efektif dalam mematikan gulma golongan rumput yang memiliki akar rimpang atau stolon. Selain itu, butiran paraquat juga sulit menempel pada daun yang berkedudukan tegak, sempit, dan berlilin. Perlakuan TOT + glifosat cukup berhasil dalam menekan pertumbuhan gulma dominan seperti Brachiaria mutica dan Borreria alata. Selain itu, perlakuan TOT + glifosat memiliki NJD gulma dominan yang lebih rendah dibanding dengan perlakuan lainnya (Tabel 1). Hal ini disebabkan herbisida glifosat bersifat sistemik yang memiliki spektrum luas artinya dapat mengendalikan gulma annual, biannual, dan perennial dengan jenis gulma rumput-rumputan, teki, dan daun lebar (Ashton dan Monaco, 1991). Pengaruh Frekuensi Pengendalian Gulma Komposisi gulma dominan dan gulma lainnya mengalami perubahan dengan adanya perlakuan frekuensi pengendalian gulma. Dinamika komposisi gulma dominan dan lainnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Pengaruh Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Komposisi Gulma Dominan Umur Perl. NJD (%) Jumlah Gulma Ac Bm Ba Eh Cr lain 4 G0 10.12 36.90 24.79 7.32 12.38 91.52 8.48 MST G1 0 0 0 0 0 0 G2 0 0 0 0 0 0 6 G0 18.40 31.12 26.89 12.22 1.47 87.22 12.78 MST G1 16.15 39.95 21.30 12.55 0.38 79.05 20.95 G2 8.22 41.71 19.73 18.24 2.60 90.51 9.49 8 G0 21.13 33.78 26.51 9.94 2.09 93.46 6.54 MST G1 24.47 17.89 28.11 11.09 3.96 85.54 14.46 G2 24.29 23.52 18.39 6.27 4.78 77.25 22.75 Keterangan: NJD = Nisbah jumlah dominansi; MSbT = Minggu sebelum tanam; MST = Minggu setelah tanam; G0 = Tanpa pengendalian gulma; G1 = Pengendalian gulma 2 kali; P2 = Pengendalian gulma 3 kali Ac = Axonopus compressus; Bm = Brachiaria mutica; Ba = Borreria alata ; Eh = Euphorbia hirta ; Cr = Cleome rutidosperma 19

20 Pada 4 MST, nilai NJD gulma dominan pada G1 dan G2 tidak ada, nilai NJD hanya terdapat pada G0. Hal ini disebabkan perlakuan pengendalian gulma yang dilakukan pada 3 MST, sehingga petak-petak percobaan yang disiangi belum terdapat gulma yang tumbuh. Pada petak G0 (tanpa pengendalian gulma), nilai NJD Brachiaria mutica lebih tinggi dibanding gulma dominan lainnya. Pada 6 dan 8 MST hanya terdapat perubahan nilai NJD pada gulma-gulma dominan. Meskipun adanya pengendalian gulma (perlakuan G1 dan G2) tetapi tidak mengubah komposisi gulma Brachiaria mutica sebagai gulma yang lebih dominan di areal percobaan, Hal ini dapat disebabkan karena pengendalian gulma yang dilakukan secara manual, sehingga masih adanya sisa perakaran gulma yang tersisa. Brachiaria mutica merupakan gulma golongan rumput yang memiliki perakaran yang kuat dan menjalar. Selain itu, Brachiaria mutica mampu untuk menghasilkan tunas dari setiap bukunya. Persentase Penutupan Gulma Persentase penutupan gulma dilakukan secara visual dengan tujuan untuk mengetahui besarnya penutupan gulma pada suatu komunitas/areal percobaan. Teknik persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma mempengaruhi persentase pengendalian gulma. Terdapat interaksi antara teknik persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma (Lampiran 5 dan Lampiran 7). Tabel 3. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Persentase Penutupan Gulma Perlakuan Persentase Penutupan Gulma (%) 4 MST 12 MST Teknik Persiapan lahan OTS (P0) 13.67b 54.44 TOT + Paraquat (P1) 17.33a 54.33 TOT + Glifosat (P2) 14.78b 51.78 Frekuensi Pengendalian Gulma Kontrol (G0) 28.22p 77.56p Penyiangan 2 kali (G1) 9.56q 56.44q Penyiangan 3 kali (G2) 8.00q 24.56r Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji DMRT (5%)

21 Tabel 3 memperlihatkan bahwa pada pengamatan 4 MST, perlakuan TOT + paraquat mempunyai persentase penutupan gulma paling tinggi. Meskipun pada 12 MST, persentase penutupan gulma tidak berbeda nyata di setiap perlakuan, namun terdapat kecenderungan perlakuan TOT + paraquat mempunyai persentase penutupan gulma yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan TOT + paraquat kurang efektif dalam mematikan seluruh bagian gulma sehingga gulma yang tersisa pada waktunya dapat tumbuh kembali. Zubachtirodin dan Amir (1998) menyatakan bahwa gulma yang dapat berkembang biak dengan umbi, rimpang atau tunas dari buku-bukunya dapat tumbuh subur kembali meskipun telah diaplikasikan herbisida paraquat. Pengolahan tanah sempurna secara nyata memberikan persentase penutupan gulma yang lebih rendah pada 4 MST, artinya persiapan lahan secara OTS mampu menekan pertumbuhan kembali gulma dengan baik pada awal penanaman. Namun keadaan ini tidak berlanjut pada 12 MST, dimana pada pengamatan 12 MST terdapat kecenderungan perlakuan olah tanah sempurna memiliki persentase penutupan gulma yang lebih tinggi (Tabel 3). Hal ini dapat disebabkan karena adanya kegiatan pembalikan tanah dan kodisi tanah yang terbuka memungkinkan seed bank yang sebelumnya mengalami dormansi panjang menjadi tertekan dan dapat berkecambah. Moenandir (1993) menyatakan bahwa pada sistem olah tanah sempurna, adanya kegiatan pembalikan tanah lapisan bawah ke permukaan atas menyebabkan biji-biji gulma juga terangkat ke permukaan dan mendorong pecahnya dormansi dengan didukung kondisi keseimbangan air dan udara di dalam tanah yang kondusif. Perlakuan pengendalian gulma secara nyata mempengaruhi persentase penutupan gulma pada 4 dan 12 MST (Tabel 3). Pada 4 MST, adanya pengendalian gulma memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap persentase penutupan gulma dibandingkan dengan tanpa pengendalian gulma. Pengamatan 12 MST juga menunjukkan pengendalian gulma tiga kali secara nyata berbeda pengaruhnya terhadap persentase penutupan gulma dibandingkan pengendalian gulma dua kali maupun tanpa pengendalian gulma. Meskipun penyiangan tiga kali berbeda nyata dengan penyiangan dua kali, namun perlu diperhatikan pengaruhnya terhadap tanaman pokok.

Interaksi Teknik Persiapan Lahan Dan Frekuensi Pengendalian Gulma. Interaksi antara kedua faktor terlihat pada pengamatan 4 MST. Perlakuan TOT + paraquat tanpa penyiangan menghasilkan persentase penutupan gulma yang tertinggi. Selain itu terdapat pengaruh nyata persentase penutupan gulma pada OTS tanpa penyiangan dengan TOT + glifosat tanpa penyiangan. Pengendalian gulma dua kali tidak berbeda nyata dengan pengendalian gulma tiga kali terhadap persentase penutupan gulma, tetapi keduanya berbeda nyata terhadap perlakuan tanpa penyiangan (Tabel 4). Tabel 4. Interaksi Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Persentase Penutupan Gulma Teknik Persiapan Lahan Persentase Penutupan Gulma (%) G0 G1 G2 Olah Tanah Sempurna (P0) 23.00b 9.33a 8.67a TOT + Paraquat (P1) 34.00d 10.00a 8.00a TOT + Glifosat (P2) 27.67c 9.33a 7.33a Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT (5 %) G0= Tanpa penyiangan ; G1 = Penyiangan 2 kali ; G2 = Penyiangan 3 kali Berat Kering Gulma Dominan Axonopus compressus Perlakuan teknik persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma mempengaruhi berat kering gulma Axonopus compressus. Terdapat interaksi antara kedua perlakuan (Lampiran 5 dan Lampiran 8). Gulma Axonopus compressus merupakan gulma perenial yang berkembang biak secara vegetatif dengan geragih (stolon) dan secara generatif dengan biji. Geragih Axonopus compressus beruas-ruas dengan tiap ruas berpotensi membentuk tunas dan akar pada bukunya. Selain itu, gulma Axonopus compressus termasuk tanaman C-4 yang tidak tahan terhadap intensitas cahaya rendah dan lama penyinaran yang tidak cukup. Secara umum, perlakuan persiapan lahan cukup efektif dalam mengendalikan dan menekan pertumbuhan kembali gulma Axonopus compressus. Hal ini dapat dilihat dari dominansi awal gulma Axonopus compressus yang paling tinggi diantara gulma dominan lainnya. Namun setelah adanya perlakuan 22