I. PEMOHON RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 007/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 09 Mei 2006 F.X. Cahyo Baroto (ahli waris Drs. R.J.Kaptin Adisumarta) KUASA HUKUM Dominggus Maurits Luitnan, SH., dkk II. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Khususnya a. Pasal 11 ayat (1) b. Pasal 12 ayat (1) dan (2) c. Pasal 13 ayat (1) dan (2) d. Pasal 32 ayat (1),(2),(3),(4),dan (5) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial a. Pasal 21 b. Pasal 22 ayat (1e) c. Pasal 23 ayat (2),(3), (4), (5) dan (6) Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 a. Pasal 24 B ayat (1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim b. Pasal 28 D ayat (1) setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan serta perlakuan yang sama di hadapan hukum c. Pasal 27 ayat (1) segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya
III. ALASAN Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 13 ayat (1) dan (2), Pasal 32 ayat (1,2,3,4,5) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 21, Pasal 22 ayat (1e), Pasal 23 ayat (2),(3),(4),(5), dan (6) UU Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) karena: A. Pemohon memiliki hak milik tanah di Jl. Jenderal Gatot Soebroto Jakarta Selatan Kav. 96 dan 97 dibuktikan dengan dikuatkannya Putusan PK No.79/PK/Pdt/1993 tanggal 19 Mei 1997 jo Putusan Kasasi No.3619 K/Pdt/1988 tanggal 24 Juni 1992 jo Putusan No.160/Pdt/1988/PT.DKI tanggal 23 Mei 1988 Jo. No 2002/Pdt.G/1985/PN.JKT.SEL tanggal 19 Nopember 1987 yang telah mempunyai hukum tetap. Dalam pelaksanaannya Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan Penetapan Eksekusi No.202/Pdt.G/1985/PN.JKT.SEL dan terhadap tanah tersebut telah diserahkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kepada Pemohon (selaku ahli waris Drs. R.J Kaptin Adisumarta), sesuai Berita Acara Penyerahan No.202/Pdt.G/1985/PN.JKT.SEL tanggal 13 April 1999. 2 (dua) Tahun kemudian Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan Penetapan Eksekusi lagi No. 188/Pdt.G/1990/PN.JKT.SEL tanggal 10 Oktober 2000 terhadap obyek yang sama berdasarkan Putusan PK Nomor 618 PK/Pdt/1993 tanggal 28 Mei 1997, tetapi penetapan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan alasan batas-batas tanah tidak jelas, namun oleh Pengadilan yang sama, dengan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang sama, mengeluarkan Penetapan Revisi No. 188/Pdt.G/1990/PN.JKT.SEL tanggal 20 Agustus 2001 terhadap Penetapan tanggal 10 Oktober 2000, kemudian dilaksanakan berdasarkan Berita Acara No. 188/Pdt.G/1990/PN. JKT.SEL tanggal 17 September 2001, sehingga terhadap obyek yang sama terdapat dua putusan Mahkamah Agung yang keduanya masing-masing mempunyai kekuatan hukum tetap, menimbulkan putusan yang saling bertentangan. Pemohon mohon pembatalan terhadap putusan tersebut kepada Mahkamah Agung sesuai surat No. SUM.1/027/LAPD/III/03 tanggal 31 Maret 2003, tetapi laporan Pemohon tidak direspon.
B. Putusan Mahkamah Agung Nomor 618 PK/Pdt/1993 tersesat atau illegal disebabkan amar putusan tersebut terdapat kata atau merupakan kalimat alternatif yang menyatakan menyerahkan tanah atau membayar ganti rugi kepada Penggugat dengan harga tanah dikawasan Jl. Jenderal. Gatot Subroto Jakarta Selatan, pada waktu pembayaran gati rugi yang besarnya ditentukan oleh suatu Panitia yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan susunan kepanitian: 1. Ketua Pengadilan Jakarta Selatan sebagai Ketua Merangkap Anggota 2. Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagai Sekretaris merangkap Anggota; 3. Seorang Wakil dari Pihak Penggugat sebagai Anggota; 4. Seorang wakil dari Pihak Tergugat sebagai Anggota; 5. Seorang Pejabat/Pegawai dari Kantor Pajak Bumi dan Bangunan Jakarta Selatan sebagai Anggota; Amar putusan PK tentang susunan kepanitian ganti rugi yang demikian tidak ada permintaan di dalam gugatan Pemohon. Sehingga putusan tersebut melebihi apa yang diminta. C. Majelis Hakim Agung yang menangani perkara tersebut telah melebihi kewenangannya, sebab tidak ada susunan Kepanitiaan ganti rugi tanah milik Pemohon di dalam petitum gugatan putusan Perkara Nomor 618 PK/Pdt/1993 yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, menurut ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR, Pasal 189 ayat (3) RBg dan Pasal 50 RV amar putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan di dalam petitum. Gugatan larangan ini disebut Ultra Petitum Partium, hakim yang mengabulkan melebihi posita maupun petitum gugatan dianggap telah melampaui batas wewenang atau Ultra Veres yakni bertindak melampaui wewenang Apabila putusan mengandung Ultra Petitum harus dinyatakan putusan tersebut cacat / invalid, walaupun dilakukan hakim dengan itikad baik, hal yang demikian telah ditegaskan Yurisprudensi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1001 K/Sip/1972 Jo. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 77 K/Sip/1973 Jo. Yurisprudensi
Mahkamah Agung No. 372 K/Sip/1970 (buku Hukum Acara Perdata, karangan Yahya Harahap, SH). D. Tugas dan wewenang Mahkamah Agung memberikan teguran atau peringatan maupun sanksi, menurut Pasal 32 ayat (4) UU Nomor Tahun 2004, atas pengaduan Pemohon terhadap Penetapan N188/Pdt.G/1990/PN.JKT.SEL tanggal 20 Agustus 2001 melalui penyidikan Polda Metro Jaya, karena penetapan eksekusi ke-ii kental dengan unsur pidana. Namun laporan tersebut juga tidak berjalan bahkan dikeluarkan SP-3 perihal Pemberitahuan Penghentian Penyidikan, tertanggal 3 Desember 2002 ternyata dikeluarkannya Surat Edaran Nomor 4 tahun 2002 yang ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung RI, surat edaran tarsebut menjelaskan bahwa terhadap hakim, panitera dan jurusita dilarang memberikan keterangan dihadapan penyidik. Larangan tersebut berlawanan dengan memberikan sanksi Pasal 21 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan yang demikian menunjukkan sikap dan prilaku Mahkamah Agung selaku pimpinan tertinggi di lingkungan peradilan, tidak cakap melaksanakan tugas dengan melanggar sumpah dan janji jabatan yang seharusnya dikenakan sanksi Pasal 11 ayat (1) huruf e, Pasal 12 ayat (2)huruf d dan Pasal 13 ayat (1) UU Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Ketiga pasal dan ayat tersebut tidaklah efektif, karena dengan terbitkannya UU Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial khusus Pasal 21 dan Pasal 22 ayat (le) dan Pasal 23 ayat (2), (3), (4), (5), (6) tidak memberikan kesempatan kepada Komisi Yudisial untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya, padahal Komisi Yudisial menurut Pasal 24D ayat (1) UUD 1945 bersifat mandiri. Sehingga hak-hak konstitusional Pemohon dirugikan. E. Berlakunya ketentuan Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 13 ayat (1) khusus kalimat "atas usul Ketua Mahkamah Agung, Pasal 32 ayat (1,2,3,4,5) UU Nomor 5 Tahun 2004 dan Pasal 21, Pasal 22, ayat (1e), Pasal 23 ayat (2), (3), (4), (5), (6) UU Nomor 22 Tahun 2004, perkataan kalimat "atas usul Ketua Mahkamah Agung", menimbulkan multitafsir, andaikata Ketua Mahkamah Agung selaku Hakim Agung ternyata tidak cakap dalam melaksanakan tugasnya
dan melanggar sumpah janji jabatan, siapa yang mengusulkan untuk mengambil tindakan? menurut Pasal 34 ayat (1), (2), (3) UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial akan tetapi munculnya UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial khusus Pasal 21, Pasal 22 ayat ( l ) h u r u f e dan Pasal 23 ayat (2), (3), (4), (5), (6), ternyata usulan memberikan sanksi dikembalikan lagi kepada Ketua Mahkamah Agung, terhadap pasal dan ayat tersebut tidak sesuai dengan Pasal 24D ayat (1) UUD 1945, hal-hal yang demikian merugikan hak/ kewenangan konstitusional pemohon, sebagai seorang warga negara yang menjadi korban, menderita akibat perlakukan oknum hakim yang melakukan kejahatan. F. Adanya hubungan sebab-akibat dari berlakunya ketentuan Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), (2), Pasal 13 ayat (1), Pasal 32 ayat (1,2,3,4,5) UU Nomor 5 Tahun 2004 dan Pasal 21, Pasal 22 ayat (l) huruf e dan Pasal 23 ayat (2), (3), (4), (5), (6) UU Nomor 22 Tahun 2004, yang mengatur tentang pengawasan, dan penindakan atas perilaku oknum hakim dilakukan oleh Ketua / Mahkamah Agung, secara logis dan praktis tidak dapat berjalan secara efektif, karena oknum hakim yang melakukan kejahatan yang dilaporkan oleh pemohon tidak diambil tindakan oleh Ketua atau Mahkamah Agung, justru malahan sebaliknya oknum hakim yang dilaporkan tersebut dilindungi oleh Ketua / Mahkamah Agung agar tidak terkena tindakan kepolisian, antara lain berupa pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan dan penyitaan, dsb. Adapun wujud perlindungan oleh Ketua/ Mahkamah Agung terhadap oknum hakim yang melakukan kejahatan atau tindakan pidana, dengan cara mengeluarkan Surat Edaran Nomor 04 tahun 2002 yang melarang oknum hakim, panitera, jurusita memenuhi panggilan penyidik untuk diperiksa. G. Tindakan Ketua/ Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran tersebut sangat merugikan hak konstitusional pemohon, sehingga pemohon mengajukan pencabutan terhadap surat edaran tersebut, sesuai surat Nomor SUM.1/008/LAPD/I/04 tanggal 20 Januari 2004 kepada Mahkamah Agung, karena Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap UUD 1945, berdasarkan Pasal 31 UU Nomor 5 Tahun 2004, namun laporan tersebut tidak juga dilaksanakan, hal
yang demikian merupakan pelanggaran sumpah jabatan Ketua Mahkamah Agung Pasal 12 ayat (1) huruf d UU Nomor 5 tahun 2001, karena proses tindakan hukum terhadap oknum hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, terlapor yang mendapat perlindungan itu, tidak dapat berjalan, dan malahan di SP3-kan oleh penyidik dan ini merupakan wujud diskriminasi hukum, memperkosa hak pemohon, dsb, yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Jo. Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945, (Bukti konkret adalah kasus aktual yang menimpa pemohon, berupa laporan yang kandas akibat pengawasan dan penindakan terhadap hakim oleh Ketua/ Mahkamah Agung menurut pasal-pasal dimaksud dan akibat lebih jauh ialah keluarnya Surat Edaran Nomor 04 tahun 2002, dan keluarnya SP-3; H. Pemohon berkeyakinan selama ketentuan Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), (2), Pasal ayat (1) khusus kalimat "atas usul Ketua Mahkamah Agung", Pasal 32 ayat (1,2,3,4,5) khusus pengawasan UU Nomor 5 Tahun 2004 dan Pasal 21, Pasal 22 ayat (le) dan Pasal 23 ayat (2), (3), (4), (5), (6) UU Nomor 22 Tahun 2004, usul sanksi dari Komisi Yudisial kepada Pimpinan Mahkamah Agung masih berlaku, maka praktis pengawasan dan tindakan terhadap hakim disatu pihak tetap dilakukan oleh Ketua/ Mahkamah Agung yang ingin melindungi korpsnya di lain pihak pengawasan dan penindakan terhadap hakim yang seharusnya menurut UUD 1945 dilakukan oleh Komisi Yudisial, tidak ada artinya, tidak akan dapat berjalan secara efektif, sebab Komisi Yudisial tidak mandiri dan selalu tergantung kepada kebijakan/ kehendak Ketua / Mahkamah Agung. Agar pengawasan oleh Komisi Yudisial sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dapat berlangsung dan mandiri, serta demi dapat terjaminnya hak, kewajiban dan perlindungan hukum yang obyektif tanpa diskriminasi terhadap segala warga negara termasuk pemohon yang ternyata telah dirugikan hak konstitusionalnya. I. Berlakunya UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung khususnya Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), (2), Pasal 13 ayat (1), (2), Pasal 32 ayat (2), tidak sejalan dengan undang-undang lainnya, misalnya dengan UU Nomor 4 Tahun 2004 Pasal 34 ayat (1), (2), (3) tentang Kekuasaan Kehakiman telah terjadi benturan kepentingan dengan UU
Nomor 22 Tahun 2004, Pasal 2, Pasal 22 (le) dan Pasal 23 tentang Komisi Yudisial, setelah kedua undang-undang tersebut di atas terjadi sesudah amandemen UUD 1945 sedangkan UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung diberlakukan sebelum amandemen UUD 1945 terdapat ketentuan Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), (2), Pasal 13 ayat (1), (2) terdapat kalimat "atas usul Ketua Mahkamah Agung" dan Pasal 32 ayat (2) menyangkut kalimat Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim. Namun dengan diberlakukannya UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung setelah amandemen UUD 1945, ternyata Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), (2) Pasal 13 ayat (1), (2), Pasal 32 ayat (2) tetap tidak berubah, maka terjadi benturan kepentingan dengan Pasal 21, Pasal 22 ayat (le) dan Pasal 2 ayat (3), (4), (5), (6) UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Apabila kedua ketentuan tersebut tetap dipertahankan, konsekwensinya Hakim pada Peradilan Umum merupakan Raja di atas segala Raja (king of the king), dengan melakukan perbuatan sewenang-wenang tanpa pengawasan. J. Dengan demikian antara UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), (2), Pasal 13 ayat (1), (2) dan Pasal 32 ayat (2) dengan UU Nomor Tahun 2004 Pasal 34 ayat (1), (2), (3) tentang Kekuasaan Kehakiman talah terjadi benturan kepentingan dengan UU Nomor 22 Tahun 2004 Pasal 21 Pasal 22 ayat (le) dan pasal 23 tentang Komisi Yudisial menyangkut pemberhentian, pengawasan dan pengusulan, tidak sinkron atau saling bertentangan. Hal ini menurut Prof. DR. Harun Al Rasjid merupakan pelanggaran terhadap tertip tata undang-undang yang sekaligus merupakan pertentangan antara Tata Hukum Indonesia yang saling bertentangan antara aturan hukum yang satu dengan aturan hukum yang lainnya, yang harus dijaga oleh Mahkamah Konstitusi. (BMK Edisi No. 06 September 2004, hat 7). Dari uraian di atas, Pemohon menyatakan bahwa keberadaan UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkmah Agung, Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), (2), Pasal 13 ayat (1), (2), menyangkut kalimat "atas usul Ketua /
Mahkamah Agung" dan Pasal 32 ayat (2), menyangkut kalimat Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim", ketentuan yang demikian telah terjadi benturan kepentingan dengan UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial khusus Pasal 21, Pasal 22 ayat (le) dan Pasal 23 ayat (3), (4), (5), (6), dua ketentuan pasal dan ayat tersebut saling tumpang tindih menyangkut pengawasan, mengakibatkan kemandirian Komisi Yudisial tidak berfungsi / tidak berjalan efektif, sehingga tidak sesuai / bertentangan dengan Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945, Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, ditinjau dari Tertib Tata Undang-undang. IV. PETITIUM 1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Khusus Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), (2), Pasal 13 ayat (1), (2), menyangkut kalimat "atas usul Ketua /Mahkamah Agung", dihapus diganti menjadi "atas usul Komisi Yudisial" dan Pasal 32 ayat (1,2,3,4,5) menyangkut kalimat : "Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim ", bertentangan dengan Pasal 34 ayat (3) UU Nomor 4 Tahun 2004 dan UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial khusus Pasal 21, Pasal 22 ayat (le) dan Pasal 23 ayat (2), (3), (4), (5), (6) khusus kalimat : "atas usul Komisi Yudisial kepada Pimpinan Mahkamah Agung", dihapus menjadi "atas usul Komisi Yudisial kepada Presiden" karena pasal dan ayat dari kedua UU tersebut bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945; 3. Menyatakan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung khususnya Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), (2), Pasal 13 ayat (1), (2) menyangkut kalimat atas usul Ketua/Mahkamah Agung dan Pasal 32 ayat (1,2,3,4,5) menyangkut kalimat Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim dan UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial khususnya Pasal 21, Pasal 22 ayat (1e) dan Pasal 23 ayat (2), (3), (4), (5), (6) khususnya kalimat atas usul Komisi Yudisial kepada Pimpinan Mahkamah Agung tidak punya kekuatan hukum mengikat.