S-1081/PJ.313/2005 PENGENAAN TARIF ATAS JASA KONSTRUKSI (SE- 13/PJ.42/2002)

dokumen-dokumen yang mirip
Ruang Lingkup Jasa Konstruksi

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 140 TAHUN 2000 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI

BAB III DASAR PENGENAAN PPh PASAL 23 DAN DASAR PENGENAAN PPN ATAS EPC PROJECT. Jasa konstruksi merupakan salah satu jasa yang cukup berkembang di

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 pegawai tidak tetap adalah:

S-48/PJ.313/2006 KONFIRMASI PENGENAAN TARIF PPh PASAL 22 DAN PASAL 23

S-1034/PJ.322/2004 PERMOHONAN PENJELASAN PENGENAAN PPN DAN PPh ATAS KERJA SAMA OPERASIONAL BIDANG PE

BAB II LANDASAN TEORI PAJAK PENGHASILAN. II.1.1. Pengertian dan Pelaksanaan Pajak Penghasilan

PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26

BAB II KAJIAN PUSTAKA. karangan Prof. Dr. Mardiasmo (2011:1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

2017, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PELAPORAN DAN PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG/PEMUNGUT PAJAK PENGHASILAN DENGAN TARIF KHUSUS YANG BERSIFAT FINAL DAN TIDAK FINAL BAB V

2017, No tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tenta

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Modul Perpajakan PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 DEFINISI

Nama :... (1) NPWP :... (2) Alamat :... (3) Daftar Jumlah Penghasilan dan Pembayaran PPh Pasal 25. Peredaran Usaha (Perdagangan) Alamat

SE-02/PJ./2006 PEDOMAN PELAKSANAAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN DANA

MAKALAH PERPAJAKAN. Disusun Oleh : Florentina Rosalia Marseli UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Catatan: - Untuk Point 1, 3, 4 dan 5 dalam hal Wajib Pajak tidak mempunyai NPWP, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 20% (Dua puluh persen).

SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26

PEMOTONGAN/ PEMUNGUTAN PAJAK ATAS PENGGUNAAN DANA DESA

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah memperoleh NPWP

S-485/PJ.33/2005 PERMASALAHAN PEMERIKSAAN

Tanggal Terbit : 01 Februari 2006 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

Y. PEMBERITAHUAN PERPANJANGAN JANGKA WAKTU PENYAMPAIAN SPT TAHUNAN PPh WP ORANG PRIBADI FORMULIR TAHUN PAJAK

2017, No Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2017 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah. BAB V PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 4 AYAT (2)

..., ) Yth. Kepala Kantor Pelayanan Pajak... 3) Di... 4) Dengan hormat,

PAJAK PENGHASILAN PASAL 4 AYAT 2. Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Pajak Penghasilan menyebutkan, bahwa:

..., ) Yth. Kepala Kantor Pelayanan Pajak... 3) Di... 4) Dengan hormat,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 02/PJ.

Apakah Pemilik Indekos Harus Bayar Pajak Juga?

PER - 34/PJ/2010 BENTUK FORMULIR SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRI

Yth. Kepala Kantor Pelayanan Pajak. 3) Di.. 4)

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 187/PMK.03/2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2008 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI

257/PMK.011/2011 TATA CARA PEMOTONGAN DAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN LAIN KONTRAK

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 27/PJ.

BAB I PENDAHULUAN. Dokter merupakan seseorang yang memiliki kompetensi di bidang kesehatan dan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2008 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI

PENUNJUKAN BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG/PEMUNGUT PAJAK PAJAK NEGARA BAB I

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. 1. Perbedaan pelakuan pajak penghasilan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PER - 52/PJ/2009 PENUNJUKAN PEMOTONG, TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PERUBAHAN BENTUK USAHA (STUDI KASUS DI RESTORAN T)

BAB I PENDAHULUAN. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang

LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER-32/PJ/2009 TANGGAL : 25 MEI 2009

MINGGU KE LIMA PPH PASAL 23, 26, DAN 25 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23

I. PENDAHULUAN MAKSUD DAN TUJUAN

TINDAK LANJUT AMNESTI PAJAK

PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pasal 1 Undang-Undang No.16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata

SE - 11/PJ/2011 PELAKSANAAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-1/PJ/2011 TENTANG TATA CARA

PPh Pasal 21. Maksud. Dasar Hukum. Objek Pemotongan Pemotong PPh Pasal 21. Bukan Pemotong PPh Pasal 21. Penerima Penghasilan

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: 15/PJ/2006 TENTANG

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 42/PJ/2013 TENTANG

BAB III KEBIJAKAN PENETAPAN TARIF EFEKTIF DALAM PEMUNGUTAN PPh PASAL 23 ATAS JASA LAIN

I. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 9/PMK.03/2018

BAGIAN PERTAMA : PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26

PER - 32/PJ/2015 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. PPH. Pemotongan. Dibayarkan sekaligus.

PERTEMUAN 13: PPh Pasal 25 (Umum /Perhitungan)

Soal Kasus Pembukuan atau Pencatatan( contoh ini menggunakan aturan lama untuk ptkpnya lebih baik lihat aturan terbaru)

A. Dasar Hukum. Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.65755/PP/M.VIIIA/12/2015. Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Pasal 23. Tahun Pajak : 2008

Peraturan pelaksanaan Pasal 21 ayat (5) Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah

PER - 32/PJ/2009 BENTUK FORMULIR SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PASAL

BAB II LANDASAN TEORI

Kementerian Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak PJ.091/PL/S/006/

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PETUNJUK PENGISIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PETUNJUK UMUM

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 16/PMK.03/2010 TENTANG

BAB III PELAKSANAAN KERJA PRAKTEK

Pemotongan yang bersifat final Objek pemotongan (Pasal 2, PP Nomor 68 Tahun 2009) Pemotong (Pasal 1 angka 9, PP Nomor 68 Tahun 2009)

Perpajakan Joint Operation Usaha Jasa Konstruksi

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN. Nomor : SE-42/PJ/2013 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEUANGAN. Pajak Penghasilan. Jasa Kontruksi. Penyetoran. Tata Cara.

Pertemuan 5 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23, 25, & 26

BAB II KAJIAN PUSTAKA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB III PELAKSANAAN KERJA PRAKTEK

LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1

Yth. Kepala Kantor Pelayanan Pajak... di...

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG

DAFTAR PUSTAKA. Anastasia Diana dan Lilis Setiawati Perpajakan Indonesia, Andi, Yogyakarta.

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015 TENTANG

AKUNTANSI PERPAJAKAN KELOMPOK : IV APRIDA DEWI DEVI JUNIANTY ( ) TASLIM GOTAMI

BAB 3 GAMBARAN UMUM SEJARAH BESARAN PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (TAHUN )

SE - 67/PJ/2009 PENGANTAR PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-40/PJ/2009 TENTANG TATA CARA P

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5916); Menetapkan MEMUTUSKAN: : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENYETOR

BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 BAB IV

LAMPIRAN I. Yth. Kepala Kantor Pelayanan Pajak : di...

Oleh : I Nyoman Darmayasa, SE., M.Ak., Ak. BKP. Politeknik Negeri Bali 2011

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

S-1081/PJ.313/2005 PENGENAAN TARIF ATAS JASA KONSTRUKSI (SE- 13/PJ.42/2002) Contributed by Administrator Thursday, 22 December 2005 Pusat Peraturan Pajak Online PENGENAAN TARIF ATAS JASA KONSTRUKSI (SE-13/PJ.42/2002) Sehubungan dengan surat Saudara tanpa nomor tanggal 9 September 2005 perihal tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Dalam surat tersebut pada intinya dikemukakan bahwa: a. Berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha Jasa Konstruksi, antara lain diatur bahwa yang dimaksud dengan Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk perawatannya. Saudara mohon penegasan dari kalimat: - keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan - untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain - termasuk perawatannya b. Apabila sebagian jasa pelaksanaan konstruksi misalnya jasa pekerjaan elektrikal, jasa mekanikal, pekerjaan specialist (anti rayap, water proofing), pekerjaan sipil (tiang pancang, pondasi), landscap, dan interior disubkontrakkan kepada sub kontraktor, bagaimana tarif Pajak Penghasilan kepada subkontraktor tersebut baik yang memiliki sertifikasi maupun yang tidak memiliki sertifikasi sebagai pengusaha jasa konstruksi, apakah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KMK.04/2000, atau berlaku ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan; c. Bagaimana pengenaan tarif atas pekerjaan jasa borongan kepada orang perseorangan (tidak memiliki NPWP) yang berdasarkan Surat Perjanjian Kontrak Kerja; d. Berapa besar PTKP untu upah harian, apakah disesuaikan dengan PTKP karyawan tetap yaitu WP Rp.12.000.000,-/tahun, dan untuk harian menjadi Rp 100.000/hari. 2. Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur bahwa: a. Pasal 21 ayat (4), Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; b. Pasal 23 ayat (1) huruf c, atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas: 1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; 2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. 3. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak

Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi jo. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KMK.04/2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, antara lain diatur bahwa: a. Pasal 1 ayat (1), atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dari usaha di bidang jasa konstruksi, dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan; b. Pasal 1 ayat (2), atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh Lembaga yang berwenang, dan mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; c. Pasal 2 ayat (2), atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2): a) dikenakan pemotongan pajak yang bersifat final sesuai ketentuan Pasal 3 oleh pengguna jasa, dalam hal pengguna jasa adalah badan Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 pada saat pembayaran uang muka dan termijn; b) dikenakan pajak yang bersifat final sesuai ketentuan Pasal 3, dengan cara menyetor sendiri Pajak Penghasilan yang terutang pada saat menerima pembayaran uang muka dan termijn, dalam hal pemberi penghasilan adalah pengguna jasa lainnya selain yang dimaksud dalam huruf a. d. Pasal 3, besarnya Pajak Penghasilan yang terutang dan harus dipotong oleh pengguna jasa atau disetor sendiri oleh Wajib Pajak penyedia jasa yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) ditetapkan sebagai berikut: a) 2% (dua persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pelaksanaan konstruksi; b) 4% (empat persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa perencanaan konstruksi; c) 4% (empat persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pengawasan konstruksi. 4. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-545/PJ./2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan, Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, antara lain diatur bahwa: a. Pasal 1 angka 13, upah borongan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar penyelesaian pekerjaan tertentu; b. Pasal 13 ayat (1), tarif sebesar 5% (lima persen) diterapkan atas upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian yang jumlahnya melebihi Rp24.000,00 (dua puluh empat ribu rupiah) sehari, tetapi tidak melebihi Rp 240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) dalam satu bulan takwim dan tidak dibayarkan secara bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2); c. Pasal 13 ayat (2) huruf c, untuk mendapatkan jumlah upah harian atau uang saku harian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku ketentuan dalam hal berupa upah borongan, adalah jumlah upah borongan dibagi dengan banyaknya hari yang dipakai untuk menyelesaikan pekerjaan dimaksud. 5. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.03/2005 tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 447/KMK.03/2002 tentang Bagian Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang tidak dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan, antara lain diatur bahwa: a. Pasal 1, batas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh pegawai harian dan

mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 sampai dengan Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) sehari tidak dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan; b. Pasal 2, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak berlaku dalam hal penghasilan bruto dimaksud jumlahnya melebihi Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) sebulan atau dalam hal penghasilan dimaksud dibayar secara bulanan. 6. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur bahwa: a. Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan pengadaan material/barangnya; b. Jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/telepon/air/gas/ac/tv kabel, kecuali dilakukan Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, termasuk dalam jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 dengan perkiraan penghasilan neto sebesar 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN; c. Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, termasuk dalam jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 dengan perkiraan penghasilan neto sebesar 40% jumlah bruto tidak termasuk PPN; d. Jasa pelaksanaan konstruksi, termasuk jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan, jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/telepon/air/gas/ac/tv kabel, sepanjang jasa tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, besarnya perkiraan penghasilan neto sebesar 13 1/3% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN; e. Jasa perencanaan konstruksi dan jasa pengawasan konstruksi, besarnya perkiraan penghasilan neto sebesar 26 2/3% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 7. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ.42/2002 tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, antara lain disebutkan bahwa: a. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain termasuk perawatannya; b. Usaha pelaksanaan konstruksi adalah pemberian layanan jasa pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi; c. Pekerjaan perawatan berupa pembersihan dan pengecetan bangunan atau bentuk fisik lainnya yang dilakukan oleh bukan pengusaha jasa konstruksi, pekerjaan pemasangan dan pemeliharaan/perbaikan mesin dan peralatan mekanik atau elektrik serta komponen-komponen bangunan siap pasang (prefabricated) sebagai pelayanan purna jual (after sales services) yang dilakukan langsung oleh pabrikan atau pemasok mesin dan peralatan tersebut, serta pekerjaan jasa teknik, disain interior dan pertamanan yang dilakukan oleh bukan pengusaha jasa konstruksi, tidak termasuk dalam pengertian pekerjaan konstruksi; d. Perlakuan PPh final (Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000) atas

penghasilan dari usaha jasa konstruksi yang diterima/diperoleh Wajib Pajak Pengusaha kecil hanya berlaku sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan dapat memberikan fotokopi sertifikat kualifikasi sebagai usaha kecil yang masih berlaku dan dilegalisir dan sepanjang jumlah nilai kontrak per proyek yang dikerjakan olehnya tidak lebih dari Rp1.000.000.000,00. Fotokopi sertifikat dimaksud diberikan kepada pemotong pajak atau dilampirkan dalam SPT Tahunan Wajib Pajak yang bersangkutan dalam hal tidak dilakukan pemotongan pajak. Apabila salah satu persyaratan tidak dipenuhi, maka atas penghasilan dari kontrak/proyek yang tidak memenuhi persyaratan tersebut berlaku ketentuan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000. 8. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan bahwa: a. Dalam hal jasa pelaksanaan konstruksi berupa jasa pekerjaan elektrikal, jasa mekanikal, pekerjaan specialist (anti rayap, water proofing), pekerjaan sipil (tiang pancang, pondasi), landscap, dan interior disubkontrakkan kepada pengusaha konstruksi yang mempunyai sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, maka atas penghasilan yang diterima oleh pengusaha konstruksi tersebut berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KMK.04/2000 sebagai berikut: 1) atas penghasilan yang diterima pengusaha di bidang konstruksi dari jasa pelaksanaan konstruksi dikenakan pemotongan pajak berdasarkan Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan oleh pengguna jasa sebesar 15% X 13 1/3% atau 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN; 2) apabila pengusaha konstruksi tersebut memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh Lembaga yang berwenang, dan yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar), atas penghasilan yang diterima dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto. b. Apabila jasa pelaksanaan konstruksi berupa jasa pekerjaan elektrikal, jasa mekanikal, pekerjaan specialist (anti rayap, water proofing), pekerjaan sipil (tiang pancang, pondasi), landscap, dan interior disubkontrakkan kepada pengusaha yang tidak mempunyai sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, maka atas penghasilan yang diterima oleh pengusaha tersebut termasuk penghasilan dari jasa lain dalam KEP-170/PJ/2002 sehingga berlaku ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat 1 huruf c dan dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 15% X 40% atau 6% (enam persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN; c. Atas penghasilan bruto yang diterima pegawai harian yang jumlahnya tidak lebih dari Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) sehari, tidak dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 sepanjang jumlah penghasilan bruto tersebut dalam satu bulan takwim tidak melebihi Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) sebulan dan tidak dibayarkan secara bulanan. d. Untuk mendapatkan upah harian dalam hal berupa upah borongan, yaitu dengan membagi jumlah upah borongan dengan banyaknya hari yang dipakai untuk menyelesaikan pekerjaan dimaksud, dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang dalam sehari adalah dengan menerapkan tarif sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto sehari setelah dikurangi Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). Demikian harap maklum. DIREKTUR, ttd HERRY SUMARDJITO Sehubungan dengan surat Saudara tanpa nomor tanggal 9 September 2005 perihal tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Dalam surat tersebut pada intinya dikemukakan bahwa: a. Berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha Jasa Konstruksi, antara lain diatur bahwa yang dimaksud dengan Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian

kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk perawatannya. Saudara mohon penegasan dari kalimat: - keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan - untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain - termasuk perawatannya b. Apabila sebagian jasa pelaksanaan konstruksi misalnya jasa pekerjaan elektrikal, jasa mekanikal, pekerjaan specialist (anti rayap, water proofing), pekerjaan sipil (tiang pancang, pondasi), landscap, dan interior disubkontrakkan kepada sub kontraktor, bagaimana tarif Pajak Penghasilan kepada subkontraktor tersebut baik yang memiliki sertifikasi maupun yang tidak memiliki sertifikasi sebagai pengusaha jasa konstruksi, apakah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KMK.04/2000, atau berlaku ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan; c. Bagaimana pengenaan tarif atas pekerjaan jasa borongan kepada orang perseorangan (tidak memiliki NPWP) yang berdasarkan Surat Perjanjian Kontrak Kerja; d. Berapa besar PTKP untu upah harian, apakah disesuaikan dengan PTKP karyawan tetap yaitu WP Rp.12.000.000,-/tahun, dan untuk harian menjadi Rp 100.000/hari. 2. Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur bahwa: a. Pasal 21 ayat (4), Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; b. Pasal 23 ayat (1) huruf c, atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas: 1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; 2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. 3. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi jo. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KMK.04/2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, antara lain diatur bahwa: a. Pasal 1 ayat (1), atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dari usaha di bidang jasa konstruksi, dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan; b. Pasal 1 ayat (2), atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh Lembaga yang berwenang, dan mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; c. Pasal 2 ayat (2), atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2):

a) dikenakan pemotongan pajak yang bersifat final sesuai ketentuan Pasal 3 oleh pengguna jasa, dalam hal pengguna jasa adalah badan Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 pada saat pembayaran uang muka dan termijn; b) dikenakan pajak yang bersifat final sesuai ketentuan Pasal 3, dengan cara menyetor sendiri Pajak Penghasilan yang terutang pada saat menerima pembayaran uang muka dan termijn, dalam hal pemberi penghasilan adalah pengguna jasa lainnya selain yang dimaksud dalam huruf a. d. Pasal 3, besarnya Pajak Penghasilan yang terutang dan harus dipotong oleh pengguna jasa atau disetor sendiri oleh Wajib Pajak penyedia jasa yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) ditetapkan sebagai berikut: a) 2% (dua persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pelaksanaan konstruksi; b) 4% (empat persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa perencanaan konstruksi; c) 4% (empat persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pengawasan konstruksi. 4. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-545/PJ./2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan, Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, antara lain diatur bahwa: a. Pasal 1 angka 13, upah borongan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar penyelesaian pekerjaan tertentu; b. Pasal 13 ayat (1), tarif sebesar 5% (lima persen) diterapkan atas upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian yang jumlahnya melebihi Rp24.000,00 (dua puluh empat ribu rupiah) sehari, tetapi tidak melebihi Rp 240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) dalam satu bulan takwim dan tidak dibayarkan secara bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2); c. Pasal 13 ayat (2) huruf c, untuk mendapatkan jumlah upah harian atau uang saku harian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku ketentuan dalam hal berupa upah borongan, adalah jumlah upah borongan dibagi dengan banyaknya hari yang dipakai untuk menyelesaikan pekerjaan dimaksud. 5. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.03/2005 tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 447/KMK.03/2002 tentang Bagian Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang tidak dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan, antara lain diatur bahwa: a. Pasal 1, batas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh pegawai harian dan mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 sampai dengan Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) sehari tidak dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan; b. Pasal 2, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak berlaku dalam hal penghasilan bruto dimaksud jumlahnya melebihi Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) sebulan atau dalam hal penghasilan dimaksud dibayar secara bulanan. 6. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur bahwa: a. Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian

jasa dan pengadaan material/barangnya; b. Jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/telepon/air/gas/ac/tv kabel, kecuali dilakukan Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, termasuk dalam jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 dengan perkiraan penghasilan neto sebesar 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN; c. Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, termasuk dalam jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 dengan perkiraan penghasilan neto sebesar 40% jumlah bruto tidak termasuk PPN; d. Jasa pelaksanaan konstruksi, termasuk jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan, jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/telepon/air/gas/ac/tv kabel, sepanjang jasa tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, besarnya perkiraan penghasilan neto sebesar 13 1/3% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN; e. Jasa perencanaan konstruksi dan jasa pengawasan konstruksi, besarnya perkiraan penghasilan neto sebesar 26 2/3% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 7. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ.42/2002 tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, antara lain disebutkan bahwa: a. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain termasuk perawatannya; b. Usaha pelaksanaan konstruksi adalah pemberian layanan jasa pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi; c. Pekerjaan perawatan berupa pembersihan dan pengecetan bangunan atau bentuk fisik lainnya yang dilakukan oleh bukan pengusaha jasa konstruksi, pekerjaan pemasangan dan pemeliharaan/perbaikan mesin dan peralatan mekanik atau elektrik serta komponen-komponen bangunan siap pasang (prefabricated) sebagai pelayanan purna jual (after sales services) yang dilakukan langsung oleh pabrikan atau pemasok mesin dan peralatan tersebut, serta pekerjaan jasa teknik, disain interior dan pertamanan yang dilakukan oleh bukan pengusaha jasa konstruksi, tidak termasuk dalam pengertian pekerjaan konstruksi; d. Perlakuan PPh final (Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000) atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi yang diterima/diperoleh Wajib Pajak Pengusaha kecil hanya berlaku sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan dapat memberikan fotokopi sertifikat kualifikasi sebagai usaha kecil yang masih berlaku dan dilegalisir dan sepanjang jumlah nilai kontrak per proyek yang dikerjakan olehnya tidak lebih dari Rp1.000.000.000,00. Fotokopi sertifikat dimaksud diberikan kepada pemotong pajak atau dilampirkan dalam SPT Tahunan Wajib Pajak yang bersangkutan dalam hal tidak dilakukan pemotongan pajak. Apabila salah satu persyaratan tidak dipenuhi, maka atas penghasilan dari kontrak/proyek yang tidak memenuhi persyaratan tersebut berlaku ketentuan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000. 8. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan bahwa: a. Dalam hal jasa pelaksanaan konstruksi berupa jasa pekerjaan elektrikal, jasa mekanikal, pekerjaan specialist (anti rayap, water proofing), pekerjaan sipil (tiang pancang, pondasi), landscap, dan interior disubkontrakkan kepada pengusaha konstruksi yang mempunyai sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, maka atas penghasilan yang diterima oleh pengusaha konstruksi tersebut berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KMK.04/2000 sebagai berikut: 1) atas penghasilan yang diterima pengusaha di bidang konstruksi dari jasa pelaksanaan konstruksi dikenakan pemotongan pajak berdasarkan Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan oleh pengguna jasa sebesar 15% X 13 1/3% atau 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN; 2) apabila pengusaha konstruksi tersebut memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh Lembaga yang berwenang, dan yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar), atas penghasilan yang diterima dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto. b. Apabila jasa pelaksanaan konstruksi berupa jasa pekerjaan elektrikal, jasa mekanikal, pekerjaan specialist (anti rayap, water proofing), pekerjaan sipil (tiang pancang, pondasi), landscap, dan interior disubkontrakkan kepada pengusaha yang tidak mempunyai sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, maka atas penghasilan yang diterima oleh pengusaha tersebut termasuk penghasilan dari jasa lain dalam KEP-170/PJ/2002 sehingga berlaku ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat 1 huruf c dan dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 15% X 40% atau 6% (enam persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN; c. Atas penghasilan bruto yang diterima pegawai harian yang jumlahnya tidak lebih dari Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) sehari, tidak dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 sepanjang jumlah penghasilan bruto tersebut dalam satu bulan takwim tidak melebihi Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) sebulan dan tidak dibayarkan secara bulanan. d. Untuk mendapatkan upah harian dalam hal berupa upah borongan, yaitu dengan membagi jumlah upah borongan dengan banyaknya hari yang dipakai untuk menyelesaikan pekerjaan dimaksud, dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang dalam sehari adalah dengan menerapkan tarif sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto sehari setelah dikurangi Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). Demikian harap maklum. DIREKTUR, ttd HERRY SUMARDJITO