PEMODELAN KETAHANAN PANGAN KEDELAI (GLYSINE SOYA MAX (LENUS&MERRIL)) DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN PENDEKATAN SPATIAL REGRESSION

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

PEMODELAN SPATIAL ERROR MODEL (SEM) UNTUK INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) DI PROVINSI JAWA TENGAH

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab.

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah,

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

PEMODELAN PRODUKSI PADI DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN PENDEKATAN SPATIAL ECONOMETRICS

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PROPINSI JAWA TENGAH

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN

GUBERNUR JAWA TENGAH

METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN


PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015

I. PENDAHULUAN. Tahun Budidaya Laut Tambak Kolam Mina Padi

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. tahu, es krim, susu kedelai, tepung kedelai, minyak kedelai, pakan ternak,dan

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

BERITA RESMI STATISTIK

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP)

1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH. TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah)

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Trend Kesenjangann Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah

IR. SUGIONO, MP. Lahir : JAKARTA, 13 Oktober 1961

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S --

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang proses produksi barang. maupun jasa dalam kegiatan masyarakat (Arta, 2013).

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hasil dari uji heterokedastisitas tersebut menggunakan uji Park. Kriteria

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BAB III METODE PENELITIAN. kepada pemerintah pusat. Penulis melakukan pengambilan data

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Beras merupakan komoditi yang penting bagi Indonesia. Hal ini

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

PENEMPATAN TENAGA KERJA

PEMODELAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN PENDEKATAN SPASIAL AUTOREGRESSIVE MODEL PANEL DATA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan salah satu komoditas pertanian yang banyak menjadi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

GUBERNUR JAWA TENGAH,

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH

KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH

BAB III METODE PENELITIAN

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini dilakukan analisis model Fixed Effect dan pengujian

PEMODELAN KEMISKINAN DAERAH MENGGUNAKAN METODE FUZZY MULTI CRITERIA DECISION MAKING (MCDM) (STUDI KASUS : PROPINSI JAWA TENGAH)

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

I. PENDAHULUAN. negara untuk mengembangkan outputnya (GNP per kapita). Kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem

BAB I PENDAHULUAN. yang memenuhi untuk mencapai pertumbuhan angkatan kerja, yang

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi.

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya 2016 p-issn : ; e-issn :

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Zat-zat dalam Susu Nilai Kandungan

Gede Suwardika 1, korespondensi: 1 ABSTRAK

Transkripsi:

PEMODELAN KETAHANAN PANGAN KEDELAI (GLYSINE SOYA MAX (LENUS&MERRIL)) DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN PENDEKATAN SPATIAL REGRESSION 1 Fathikatul Arnanda, 2 Yusnia Kriswanto, 3 Imaroh Izzatun, 4 Devi Nurlita, 5 Azqia Fajriyani, 6 Tiani Wahyu Utami 1,2,3,4,5,6 Jurusan Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Muhammadiyah Semarang Alamat e-mail : adisty_arnanda@yahoo.co.id ABSTRAK Masalah pangan merupakan salah satu masalah nasional. Kedelai merupakan salah satu sumber bahan komoditas pangan yang telah lama dibudidayakan di Indonesia, yang saat ini tidak hanya diposisikan sebagai bahan baku industri pangan, namun juga ditempatkan sebagai bahan baku industri non-pangan. Beberapa produk yang dihasilkan antara lain tempe, tahu, es krim, susu kedelai, tepung kedelai, minyak kedelai, pakan ternak,dan bahan baku industri. Sifat multiguna yang ada pada kedelai menyebabkan tingginya permintaan kedelai di dalam negeri. Selain itu, manfaat kedelai sebagai salah satu sumber protein murah membuat kedelai semakin diminati. Variabel penelitian yang digunakan adalah variabel endogenous, yakni nilai total produktifitas kedelai (Y) berdasarkan Kabupaten-Kota di Jawa Tengah dan Variabel Exogenous luas panen kedelai di Kabupaten-Kota di Jawa Tengah (X 1 ) dan total produksi kedelai di Kabupaten-Kota di Jawa Tengah ( ଶ). Penelitian ini mengkaji efek dependensi spasial dengan menggunakan pendataan area. Spatial regression dengan lag di variable independen dinamakan Spatial Lag X (SLX). Model SLX merupakan model regresi linier lokal yang menghasilkan dugaan parameter model regresi yang bersifat lokal. Kata Kunci : Ketahanan Pangan, Kedelai, Spasial Regresi, SLX PENDAHULUAN Masalah pangan merupakan salah satu masalah nasional. Persediaan pangan sangat berkaitan dengan masalah kesejahteraan masyarakat serta kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Kedelai merupakan salah satu sumber bahan komoditas pangan yang telah lama dibudidayakan di Indonesia, yang saat ini tidak hanya diposisikan sebagai bahan baku industri pangan, namun juga ditempatkan sebagai bahan baku industri non-pangan. Beberapa produk yang dihasilkan antara lain tempe, tahu, es krim, susu kedelai, tepung kedelai, minyak kedelai, pakan ternak, dan bahan baku industri. Sifat multiguna yang ada pada kedelai menyebabkan tingginya permintaan kedelai di dalam negeri. Selain itu, manfaat kedelai sebagai salah satu sumber protein murah membuat kedelai semakin diminati. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, permintaan kedelai di dalam negeri pun berpotensi untuk meningkat setiap tahunnya. Menurut Rahman Pinem, Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, kebutuhan kedelai untuk industri tahu tempe cukup

tinggi. Diperkirakan tiap tahun rata-rata kebutuhan sebanyak 2,3 juta ton/tahun, sedangkan produksi kedelai dalam negeri hanya sekitar 800 ribu sampai dengan 900 ribu ton. Padahal kebutuhan untuk pengrajin tahu dan tempe mencapai 1,6 juta ton (Majalah Dunia Industri, Minggu 24 Juli 2011). Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi kedelai dan industri dalam negeri maka nilai impor kedelai per tahun semakin melambung dan ketergantungan terhadap kedelai impor tidak dapat dihindari. Di Jawa Tengah industri kecil memberikan sumbangan dalam nilai tambah yang hampir sama dengan industri besar dan sedang. Industri kecil mempunyai potensi pengembangan yang cukup besar, salah satunya IKM kedelai yang tersebar di Jawa Tengah sebesar 39%, dengan kebutuhan kedelai sebanyak 2,3 juta ton pertahunnya. Namun, sekitar 67% dipasok dari Amerika, tiga persen diimpor dari China dan sisanya kedelai lokal, dari 2,3 juta ton kedelai tersebut sekitar 70% untuk produksi tempe, 20% untuk tahu, dan sisanya untuk produksi minyak. Konsumsi rata-rata kedelai di Jawa Tengah sebesar 14 kg per kapita per tahun [6]. Pemerintah memproduksi kedelai terkendala dengan penyempitan lahan garap yang beralih fungsi menjadi lahan pemukiman dan industri, sehingga berdampak pada hasil produksi kedelai nasional. Impor kedelai dilakukan pemerintah untuk mengatasi permintaan yang terus meningkat, karena ketidakmampuan produksi kedelai lokal untuk memenuhi kebutuhan kedelai di dalam negeri. Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu program utama Kementerian Pertanian adalah pencapaian swasembada kedelai pada tahun 2014. Jawa Tengah merupakan penghasil kedelai kedua di Indonesia setelah Jawa Timur. Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2010 berkontribusi sebesar 18% terhadap produksi kedelai dalam negeri. Namun perkembangan luas panen dan produksi kedelai di Jawa Tengah sejak tahun 2000 hingga 2010 mengalami penurunan sekitar 6% per tahun, dengan produktivitas relatif tetap. Hasil pengukuran ketahanan pangan di berbagai provinsi khususnya Jawa Tengah biasanya di tampilkan dalam bentuk tabel. Metode operasional yang ada sekarang ini sebagian besar belum menggunakan pendekatan spasial sebagai perangkat analisis objek, sehingga belum dapat memberikan gambaran pola penyebaran ketahanan pangan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, digunakan suatu metode pendekatan spasial yang memungkinkan pengukuran ketahanan pangan ditampilkan dalam bentuk visualisasi untuk memberikan informasi yang lebih mudah dipahami dan dianalisis. Visualisasi dalam bentuk peta diharapkan dapat memberikan gambaran kecenderungan spasial yang lebih baik untuk analisis spasial dalam melihat pola spasial dari ketahanan pangan. Metode spasial merupakan metode untuk mendapatkan pengamatan informasi pengamatan yang dipengaruhi efek ruang atau lokasi. Efek spasial sering terjadi antara satu wilayah dengan wilayah lain. Berbagai penelitian tentang ketahanan pangan kedelai telah dilakukan seperti [2], [5], dan [6]. Penelitian-penelitian 14

tersebut sebagian besar tidak menekankan aspek humaniora. Aspek humaniora, seperti kekhasan budaya yang direpresentasikan kekhasan lokasi (kabupaten/kota) masih terbatas untuk dikaji. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dikembangkan pemodelan ketahanan pangan kedelai yang mengakomodasi adanya aspek prilaku masyarakat yang direpresentasikan dalam spasial (lokasi). Demikian juga mengingat tiap kabupaten/kota di Jawa Tengah mempunyai otonomi daerah yang memungkinkan penentuan prioritas kebijakan ketahanan pangan akan berbeda-beda. Oleh karena itu dalam penelitian ini kami mengembangkan permodelan spasial untuk mengetahui Pemetaan dan memodelkan penyebaran ketahanan pangan produksi kedelai di Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Tengah. METODE PENELITIAN Sumber Data dan Variabel Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik dan Departemen Pertanian untuk periode tahun 2013. Pada penelitian ini yang dijadikan unit observasi adalah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Tengah. Data yang digunakan adalah produktifitas kedelai untuk 35 Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Tengah. Selain data produktifitas kedelai, data faktorfaktor pendukung seperti data total produksi kedelai dan luas panen kedelai digunakan sebagai variabel penelitian. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Tabel 1. Variabel Penelitian Nama Variabel Keterangan PVK Total Produktifitas Kedelai (km/ha) LP Total Luas Panen (hektar) PK Langkah Penelitian Total Produksi Kedelai (ton) Langkah penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Melakukan eksplorasi data peta tematik untuk mengetahui pola penyebaran dan dependensi masing-masing variabel untuk mengetahui pola hubungan varibel X dan Y. 2. Melakukan pemodelan regresi dengan metode Ordinary Least Square (OLS). 3. Identifikasi tentang keberadaan efek spasial dalam SLX adalah dengan menggunakan uji kebebasan residual. 4. Melakukan pemodelan SLX dengan tahapan sebagai berikut. a. Setelah matriks W terbentuk dengan elemen-elemennya (Wij) bernilai 1 dan 0, dilakukan koding pembobotan untuk mendapatkan matriks W. b. Melakukan estimasi parameter, pengujian signifikansi parameter dan uji asumsi regresi dari SLX yang terbentuk. c. Menginterpretasikan dan menyimpulkan hasil yang diperoleh 15

HASIL PENELITIAN Pola Penyebaran Produktifitas dan Komponen-Komponen Penyusunnya Berdasarkan data survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai produktifitas tahun 2013, Jawa Tengah menempati peringkat kedua untuk produktifitas kedelai tingkat nasional setelah Jawa Barat. Dengan nilai Produktifitas sebesar 15,21 kuintal per hektar. Angka tersebut masih terlalu rendah jika dibandingkan dengan konsumsi kedelai di Jawa Tengah. Berikut ini kami tampilkan hasil pola penyebaran Produktifitas dan komponenkomponen penyusunnya. Gambar 1. Persebaran Produktifitas Kedelai Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2013 Hasil output pada Gambar 1 menunjukkan persebaran produktifitas kedelai di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2013. Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa produktifitas kedelai antara 23-20 kuintal per hektar yaitu di Kab. Demak (22,64), Kab. Kudus (21,40) dan Kab. Temanggung (20,73). Produktifitas antara 19-15 kuintal per hektar yaitu Kab. Sukoharjo (19,37), Kab. Grobogan (18,56), Kab. Blora (18,43), Kab. Purbalingga (15,84). Produktifitas antara 14-11 kuintal per hektar yaitu Kab. Kendal (14,49), Kab. Wonogiri (14,23), Kab. Kebumen (14,11), Kab. Brebes (14,04), Kab. Purworejo (13,76), Kab. Karanganyar (13,67), Kab. Semarang (13,55), Kab. Cilacap (13,46), Kab. Sragen (13,06), Kab. Wonosobo (13,00), Kab. Pati (12,49), Kab. Tegal (12,44), Kab. Klaten (12,26), Kab. Boyolali (11,83), Kab. Banjarnegara (11,52). Produktifitas antara 10-1 kuintal per hektar yaitu Kab. Jepara (10,01), Kab. Pekalongan (9,72), dan Kab. Rembang (8,94). Sedangkan untuk produktifitas 0 yaitu di Kab. Magelang, Kab. Batang dan Kab. Pemalang. Gambar 2. Persebaran Luas Panen Kedelai Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2013 16

Berdasarkan Gambar 2, Kabupaten yang memiliki luas panen terluas yaitu kisaran 15606-5561 hektar adalah Kab. Grobogan (15606 ha) dan Kab. Wonogiri (14753 ha). Kabupaten yang mempunyai luas panen antara 5560-2478 ha adalah Kab. Rembang (5560 ha), Kab. Brebes (3785 ha), Kab. Kebumen (3217 ha), Kab. Pati (3192 ha), Kab. Demak (2921 ha), Kab. Blora (2824 ha). Kabupaten/Kota yang mempunyai luas panen antara 2477-739 hektar adalah Kab. Sragen (2477 ha), Kab. Boyolali (1959 ha), Kab. Purworejo (1927 ha), Kab. Cilacap (1555 ha), Kab. Kendal (1448 ha). Kabupaten/kota yang mempunyai luas panen kedelai antara 738-278 adalah Kab. Banyumas (738 ha) dan Kab. Klaten (630 ha). Sedangkan kabupaten/kota yang mempunyai luas panen antara 277-0 adalah Kab. Banjarnegara (277 ha), Kab. Klaten (630 ha), Kab. Purbalingga (129 ha), Kab. Semarang (99 ha), Kab. Kudus (67 ha), Kab. Tegal (36 ha), Kab. Pekalongan (35 ha), Kab. Jepara (35 ha), dan Kab. Magelang (0 ha). Gambar 3. Persebaran Produksi Kedelai Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2013 Jika luas panen kedelai di kabupaten/kota Jawa Tengah tinggi maka produksi kedelainyapun tinggi. Hasil pemetaan penyebaran produksi kedelai di kabupaten/kota Jawa Tengah yang ditunjukan gambar 4.1.3. Kabupaten/kota yang memiliki produksi tertinggi yaitu kisaran 28973-6613 ton adalah Kab. Grobogan (28973 ton) dan Kab. Wonogiri (21000 ton). Kabupaten/kota yang memiliki produksi antara 6612-3524 ton adalah Kab. Demak ( 6612 ton), Kab. Brebes (5312 ton), Kab. Blora (5206 ton), Kab. Rembang (4972 ton), Kab. Kebumen (4593 ton), Kab. Pati (3988 ton). Kabupaten/kota yang memiliki produksi antara 3523-851 adalah Kab. Sukoharjo (3523 ton), Kab. Sragen (3235 ton), Kab. Purworejo (2652 ton), Kab. Boyolali (2317 ton), Kab. Kendal (2099 ton), Kab. Cilacap (2093 ton). Kabupaten/kota yang memiliki produksi antara 850-320 ton adalah Kab. Banyumas (850 ton) dan Kab. Klaten (773 ton). Kabupaten/kota yang memiliki produksi antara 319-0 adalah Kab. Banjarnegara (319 ton), Kab. Karanganyar (236 ton), Kab. Purbalingga (204 ton), Kab. Kudus (143 ton), Kab. Semarang (134 ton), Kab. Tegal (45 ton), Kab. Jepara (35 ton), Kab. Pekalongan (34 ton), Kab. Wonosobo (18 ton), Kab. Temanggug (4 ton), Kab. Batang dan Kab. pemalang (0 ton). Matriks Pembobot Dalam sebuah model regresi, sifatsifat yang dimiliki oleh error tidak lain merupakan sifat-sifat yang dimiliki oleh variabel dependen. Berdasarkan Gambar 17

1, Produktifitas kedelai di Provinsi Jawa Tengah nampak berpola mengelompok antara wilayah yang saling berdekatan. Kabupaten Kudus dan Demak tergolong wilayah yang memiliki tingkat Produktifitas berkisar antara 20-23 kuintal/hektar. Kabupaten Grobogan dan Blora tergolong wilayah yang memiliki tingkat Produktifitas antara 15-19 kuintal/hektar. Begitu juga pada Kabupaten Brebes, Tegal, Kota Tegal, Banyumas, Cilacap, Kebumen, Purworejo dengan Produktifitas berkisar antara 11,14 kuintal/hektar. Sehingga matriks pembobot spasial yang sesuai dalam penalitian ini adalah matriks pembobot Queen Contiguity. Matriks pembobot ini mensyaratkan adanya pengelompokan wilayah yang memiliki persinggungan antara sisi dan sudut dari wilayah tersebut, dimana Wij = 1 untuk wilayah yang bersisian (common side) atau titik sudutnya (common vertex) bertemu dengan wilayah yang menjadi perhatian, Wij = 0 untuk wilayah lainnya. Permodelan Spasial Lag X Model SLX yang terbentuk adalah sebagai berikut : Yi = 1.316e+03-0,8213X 1i + 0,9415WX 1i + 0,8312X 2i + 0,4457WX 2i + εi Keterangan : Yi : PVK di kabupaten/kota ke-i X1i : LP di kabupaten/kota ke-i X2i : PK di kabupaten/kota ke-i Wij : matriks penimbang spasial εi : residual dari kabupaten/kota ke-i Model SLX dapat diinterpretasikan bahwa pengaruh LP terhadap PVK adalah sama untuk setiap kabupaten/kota dengan elatisitasnya sebesar -0,8213. Artinya apabila faktor lain dianggap konstan, jika nilai LP di suatu kabupaten/kota naik sebesar 1 satuan maka nilai IPM akan bertambah sebesar 0,8213 satuan. Adapun pengaruh PK terhadap PVK juga sama untuk setiap kabupaten/kota dengan elatisitasnya sebesar 0,8312. Artinya apabila faktor lain dianggap konstan, jika nilai PK di suatu kabupaten/kota naik sebesar 1 satuan maka nilai IPM akan bertambah sebesar 0,8312 satuan. Pengujian Residual Asumsi Model SLX Model SLX yang terbentuk perlu dilakukan pengujian asumsi, untuk mengetahui kelayakan dan keabsahan dari modelnya diantaranya yaitu asumsi normalitas residual, dan asumsi ada autokorelasi dari residualnya. 1. Normalitas Pada Output Minitab Pengujian Asumsi Normalitas Residual pada Model SLX. Pemeriksaan asumsi kenormalan residual menggunakan uji Anderson Darling (AD) menghasilkan nilai AD sebesar 0.566 dengan nilai p- value (0,132) lebih besar dari taraf nyata 5%, sehingga diperoleh keputusan terima H 0 yang berarti bahwa residual menyebar normal. 2. Autokorelasi Asumsi ini menggunakan Uji Durbin Watson dengan hipotesis yang diajukan sebagai berikut. H0 : (Tidak ada autokorelasi antar lokasi) H1 : (Ada autokorelasi antar lokasi) Hasil output dari software R pengujian residual DW yaitu DW = 1.2452 dengan p-value = 0.008423 lebih kecil dari 0,05. Ini menunjukkan bahwa pada taraf signifikansi 5% H0 ditolak, artinya terdapat autokorelasi spasial pada residual SLX. 18

KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisa data dan pembahasan, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Model SLX yang terbentuk adalah sebagai berikut : Yi = 1.316e+03-0,8213X 1i + 0,9415WX 1i + 0,8312X 2i + 0,4457WX 2i + εi Keterangan : Yi : PVK di kabupaten/kota ke-i X1i : LP di kabupaten/kota ke-i X2i : PK di kabupaten/kota ke-i Wij : matriks penimbang spasial εi : residual dari kabupaten/kota ke-i 2. Berdasarkana Model SLX dapat disimpulkan bahwa pengaruh LP terhadap PVK adalah sama untuk setiap kabupaten/kota dengan elatisitasnya sebesar -0,8213. Artinya apabila faktor lain dianggap konstan, jika nilai LP di suatu kabupaten/kota naik sebesar 1 satuan maka nilai IPM akan bertambah sebesar 0,8213 satuan Sedangkan pengaruh PK terhadap PVK juga sama untuk setiap kabupaten/kota dengan elatisitasnya sebesar 0,8312. Artinya apabila faktor lain dianggap konstan, jika nilai PK di suatu kabupaten/kota naik sebesar 1 satuan maka nilai IPM akan bertambah sebesar 0,8312 satuan. DAFTAR PUSTAKA [1] Badan Pusat Statistika. 2013. Berita Resmi Statistik:Produksi Padi, Jagung, kedelai [2] Basuki, Paulus. 2006. Pemodelan Produksi Kedelai Nasional dengan Metode SUR.Bogor.IPB. [3] Departemen Pertanian. Sub Sekor Tanaman Pangan 2010-2011 [4] Kementrian perdagangan Republik Indonesia Edisi:09/KDL/TKSPP/2013 [5] Pranoto, Endro. 2008. Potensi Wilayah Komoditas Pertanian dalam Mendukung Ketahanan Pangan Berbasis Arginisnis Kabupaten Banyumas.Semarang.UNDIP [6] Setiawati, Devia. 2013. Faktor- Faktor yang mempengaruhi Produksi Tempe.Semarang. [7] Wahyu, Diana. 2014. Pemodelan Spasial Eror Model (SEM) untuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Jawa Tengah. Semarang.UNIMUS UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh DIKTI melalui Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian (PKMP) 2015 sesuai SK. 19