BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah



dokumen-dokumen yang mirip
Pengukuran Transmission Loss (TL) dan Sound Transmission Class (STC) pada Suatu Sampel Uji

PENERAPAN SISTEM AKUSTIK PADA RUANG AUDITORIUM BALAI SIDANG DI SURAKARTA

PENGARUH BENTUK PLAFON TERHADAP WAKTU DENGUNG (REVERBERATION TIME)

Kajian tentang Kemungkinan Pemanfaatan Bahan Serat Ijuk sebagai Bahan Penyerap Suara Ramah Lingkungan

STUDI TENTANG PENGARUH PROSENTASE LUBANG TERHADAP DAYA ABSORPSI BUNYI

PENENTUAN KOEFISIEN ABSORBSI DAN IMPEDANSI MATERIAL AKUSTIK RESONATOR PANEL KAYU LAPIS (PLYWOOD) BERLUBANG DENGAN MENGGUNAKAN METODE TABUNG

STUDI TENTANG PENGARUH RONGGA TERHADAP DAYA ABSORPSI BUNYI

Evaluasi kinerja Akustik dari Ruang Kedap Suara pada Laboratorium Rekayasa Akustik dan Fisika Bangunan Teknik Fisika -ITS

PENGUKURAN ABSORPSI BAHAN ANYAMAN ENCENG GONDOK DAN TEMPAT TELUR DENGAN METODE RUANG AKUSTIK KECIL

AKUSTIKA RUANG KULIAH RUANG SEMINAR 5 LANTAI 4 TEKNIK FISIKA. Dani Ridwanulloh

STUDI KELAYAKAN AKUSTIK PADA RUANGAN SERBA GUNA YANG TERLETAK DI JALAN ELANG NO 17. Disusun Oleh: Wymmar

PENGARUH JUMLAH CELAH PERMUKAAN BAHAN KAYU LAPIS (PLYWOOD) TERHADAP KOEFISIEN ABSORPSI BUNYI DAN IMPEDANSI AKUSTIK

DESAIN AKUSTIK RUANG KELAS MENGACU PADA KONSEP BANGUNAN HIJAU

PERANCANGAN AKUSTIK RUANG MULTIFUNGSI PADA TEATER A ITS DENGAN DESAIN MODULAR

DINDING PEREDAM SUARA BERBAHAN DAMEN DAN SERABUT KELAPA

Ujian Tengah Semester. Akustik TF Studi Analisis Kualitas Akustik Pada Masjid Salman ITB

KAJIAN PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP AKUSTIK STUDI KASUS: RUANG AUDITORIUM MULTIFUNGSI GEDUNG P1 DAN P2 UNIVERSITAS KRISTEN PETRA

Evaluasi Kinerja Akustik Dari Ruang Kedap Suara Pada Laboratorium Rekayasa Akustik Dan Fisika Bangunan Teknik Fisika ITS

UTS Akustik (TF-3204) Dosen : Joko sarwono. Kriteria Akustik Gedung Serba Guna Salman ITB

TINGKAT REDAM BUNYI SUATU BAHAN (TRIPLEK, GYPSUM DAN STYROFOAM)

MATERIAL PEREDAM SUARA DENGAN MENGGUNAKAN KOMBINASI DAMEN, SERABUT KELAPA, DAN DINDING BATA

STUDI SUBJEKTIF KELAYAKAN GEDUNG KESENIAN DAN KEBUDAYAAN RUMENTANG SIANG BANDUNG DARI SEGI AKUSTIK

Desain Akustik Ruang Kelas Mengacu Pada Konsep Bangunan Hijau

Nama : Beni Kusuma Atmaja NIM : Kelas : 02 Topik : Ruang Konser

PENGUKURAN KOEFISIEN ABSORPSI BUNYI DARI BAHAN AMPAS TEBU DENGAN METODE RUANG AKUSTIK KECIL. Oleh: Arif Widihantoro NIM: TUGAS AKHIR

ANALISA AKUSTIK RUANG KULIAH 9222 GKU TIMUR ITB UTS TF 3204-AKUSTIK. Disusun Oleh: Suksmandhira H ( )

KEMAMPUAN PEREDAMAN SUARA DALAM RUANG GENSET DINDING BATA DILAPISI DENGAN VARIASI PEREDAM YUMEN

STUDI PENERAPAN SISTEM AKUSTIK PADA RUANG KULIAH AUDIO VISUAL

2. TINJAUAN PUSTAKA Gelombang Bunyi Perambatan Gelombang dalam Pipa

PENGARUH PEMASANGAN ABSORBER DI LANGIT-LANGIT TERHADAP PERFORMANSI AKUSTIK DI RUANG RAPAT P213 GEDUNG P UNIVERSITAS TELKOM

Persepsi Visual Audience pada Penataan Interior Auditorium

Penilaian Karakteristik Akustik Bangunan. Masjid Salman ITB

PENGARUH LAY OUT BANGUNAN DAN JENIS MATERIAL SERAP PADA KINERJA AKUSTIK RUANG KELAS SEKOLAH DASAR DI SURABAYA TITI AYU PAWESTRI

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

PENGUKURAN KOEFISIEN ABSORPSI BUNYI DARI LIMBAH BATANG KELAPA SAWIT. Krisman, Defrianto, Debora M Sinaga ABSTRACT

STUDI PENERAPAN SISTEM AKUSTIK PADA RUANG KULIAH AUDIO VISUAL

TAKE HOME TEST TF 3204 AKUSTIK EVALUASI KONDISI AKUSTIK RUANG KULIAH 9212 GEDUNG KULIAH UMUM ITB

ANALISIS PENGARUH PEMASANGAN ABSORBER DAN DIFFUSOR TERHADAP KINERJA AKUSTIK PADA DINDING AUDITORIUM (KU )

ANALISIS GANGGUAN BISING JALAN GANESHA TERHADAP AKUSTIK RUANGAN UTAMA MASJID SALMAN ITB

KEMAMPUAN REDUKSI BUNYI DAN BIAYA PENGERJAAN PADA DINDING BATA KONVENSIONAL DAN DINDING BATA RINGAN

BAB II DASAR TEORI 2.1. Prinsip Kerja Penyerapan Bunyi

UJI KUALIFIKASI FASILITAS PENGUKURAN ABSORPSI BUNYI DI RUANG DENGUNG MULTIGUNA PUSAT LITBANG PERMUKIMAN

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 2, (2013) ISSN: ( Print) D-144

Kata kunci: Transmission Loss

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penggunaan sebuah ruang untuk lebih dari satu fungsi akustik sudah menjadi

METODE PENELITIAN. A. Bahan dan Materi Penelitian. Dikarenakan objek studi masih dalam rupa desain prarancangan maka bahan

UJIAN TENGAH SEMESTER TF3204 AKUSTIK

ISSN : e-proceeding of Engineering : Vol.4, No.3 Desember 2017 Page 3892

TAKE HOME TEST AKUSTIK TF MASJID dan AKUSTIK RUANG

BAGIAN III : AKUSTIK

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PENILAIAN KUALITATIF KONDISI AKUSTIK RUANG KONFERENSI ASIA AFRIKA

Ujian Tengah Semester - Desain Akustik Ruang AULA BARAT INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

STUDI AWAL PENGUKURAN KOEFISIEN HAMBURAN DIFUSER MLS (MAXIMUM LENGTH SEQUENCES) Oleh : M Farid Ardhiansyah

ANALISIS WAKTU DENGUNG (REVERBERATION TIME) PADA RUANG KULIAH B III.01 A FMIPA UNS SURAKARTA

BAB II PARAMETER PARAMETER AKUSTIK RUANGAN

OPTIMASI MATERIAL AKUSTIK UNTUK PENINGKATAN KUALITAS BUNYI PADA RUANG AUDITORIUM MULTI-FUNGSI

TF4041- TOPIK KHUSUS A

(6.38) Memasukkan ini ke persamaan (6.14) (dengan θ = 0) membawa kita ke faktor refleksi dari lapisan

DATA HASIL PENGUJIAN DAN ANALISIS

MAKALAH UNTUK MEMENUHI NILAI UJIAN TENGAH SEMESTER MATA KULIAH TF-3204 AKUSTIK

LATAR BELAKANG UTS TF AKUSTIK [NARENDRA PRATAKSITA ]

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Optimalisasi Kenyamanan Akustik Ruang pada JX International Surabaya

Evaluasi Subjektif Kondisi Akustik Ruangan Utama Gedung Merdeka

Kondisi akustik ruangan 9231 GKU Timur ITB

PEMBUATAN ALAT UKUR DAYA ISOLASI BAHAN

FISIKA FMIPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 Alfan Muttaqin/M

Metode pengujian penyerapan bunyi pada bahan akustik dengan metode tabung

Keadaan Akustik Ruang TVST 82

PENENTUAN KOEFISIEN ABSORBSI BUNYI DAN IMPEDANSI AKUSTIK DARI SERAT ALAM ECENG GONDOK (EICHHORNIA CRASSIPES) DENGAN MENGGUNAKAN METODE TABUNG

Pengendalian Bising. Oleh Gede H. Cahyana

(2) dengan adalah komponen normal dari suatu kecepatan partikel yang berhubungan langsung dengan tekanan yang diakibatkan oleh suara dengan persamaan

PENGARUH LEBAR DIFUSER TERHADAP POLA HAMBURAN DENGAN TIPE DIFUSER Heru Widakdo, Drs. Gontjang Prajitno, M.Si

ANALISIS KINERJA AKUSTIK PADA RUANG AUDITORIUM MONO-FUNGSI (STUDI KASUS RUANG JELANTIK JURUSAN ARSITEKTUR ITS)

Perancangan Ulang Akustik pada Auditorium STIKES Bina Sehat PPNI Mojokerto

EVALUASI KONDISI AKUSTIK BANGUNAN KOST STUDI KASUS KOST DI JALAN CISITU LAMA NO. 95/152C

BAB I PENDAHULUAN. 1 Leslie L.Doelle dan L. Prasetio, Akustik Lingkungan, 1993, hlm. 91

I. PENDAHULUAN. bunyi dengan melakukan perhitungan koefisien penyerapan bunyi. Doelle pada

Pengaruh Variasi Jenis Bahan Terhadap Pola Hamburan pada Difuser MLS (Maximum Length Sequences)

Seminar Nasional - XII Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, Desember 2013

PENGARUH CELAH PERMUKAAN BAHAN KAYU LAPIS (PLYWOOD) TERHADAP KOEFISIEN ABSORPSI BUNYI DAN IMPEDANSI AKUSTIK SKRIPSI


BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Akustik TVST B

DESAIN ENCLOSURE SEBAGAI PERENCANAAN PENGENDALIAN KEBISINGAN PADA GAS ENGINE STUDI KASUS PT BOC GASES INDONESIA SITI KHOLIFAH

PRISMA FISIKA, Vol. IV, No. 02 (2016), Hal ISSN :

PERANCANGAN ULANG RUANG AULA SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) BINA SEHAT PPNI MOJOKERTO DARI SEGI AKUSTIK

RUANGAN 9231 GKU TIMUR ITB

DENDY D. PUTRA 1, Drs. SUWANDI, M.Si 2, M. SALADIN P, M.T 3. Abstrak

BAB I Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN

Pengaruh Variasi Jenis Bahan terhadap Pola Hamburan pada Difuser MLS (Maximum Length Sequence) Dua Dimensi

JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ( X Print) B-101

Perancangan dan Pembuatan Difuser QRD (Quadratic Residue Difuser) Dengan Lebar Sumur 8,5 Cm

BAB 7. INSTRUMENTASI UNTUK PENGUKURAN KEBISINGAN

PEMBUATAN KOTAK AKUSTIK KEDAP SUARA YANG DIGUNAKAN UNTUK KALIBRASI SOUND LEVEL METER

Resonator Rongga Individual Resonator rongga individual yang dibuat dari tabung tanah liat kosong dengan ukuran-ukuran berbeda digunakan di gereja- ge

APLIKASI VARIABEL PENYERAP BUNYI SEDERHANA UNTUK WAKTU DENGUNG FREKUENSI MENENGAH ATAS PADA AUDITORIUM FAKULTAS KEDOKTERAN UGM

Perancangan dan Pembuatan Difuser QRD (Quadratic Residue Difuser) Dengan Lebar Sumur 8,5 Cm

STUDI TENTANG PENGARUH PROSENTASE LUBANG PADA DINDING PENGHALANG TERHADAP PENGURANGAN SPL

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu alat ukur untuk menilai kualitas akustik sebuah ruang kegiatan (misalnya auditorium) adalah dengung atau reverberasi, atau lebih tepat waktu reverberasinya. Waktu reverberasi yang direkomendasi untuk suatu ruangan tergantung dari jenis kegiatannya. Sebuah ruang auditorium untuk musik seyogianya memiliki waktu dengung yang lebih panjang dari sebuah ruang auditorium untuk seminar dan kegiatan speech. Untuk memperoleh waktu dengung yang dikehendaki, perancang dihadapkan pada pilihan bahan penyerap bunyi (sound absorbing material) yang akan dipakainya. Bahan penyerap yang satu dan yang lain memiliki karakter penyerapan bunyi yang berbeda. Masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahannya sendiri. Bahan penyerap bunyi buatan pabrik yang dijual di toko maupun di distributor jenisnya sangat banyak. Padahal seorang arsitek atau perancang interior sangat ingin memberi nuansa dan jiwa pada ruang yang mereka desain. Seringkali seorang perancang/ahli dengan terpaksa bermain di antara bahanbahan yang tersedia di pasaran. Di samping itu, perancang seringkali sudah terikat dengan material finishing dasar seperti plesteran tembok, permukaan bata ekspos, kesan beton, batu tempel dan sebagainya. Disini akan distudi finishing interior akustik dengan nuansa kayu (timber) berupa resonator celah (slit resonator). 1.2 Perumusan Masalah Keluar dari kebiasaan menggunakan material finishing yang siap pakai (tersedia di pasaran) dengan melakukan kombinasi dua atau lebih material dengan susunan yang beraneka akan memberikan karakter akustik secara spesifik. Ketersediaan data mengenai pilihan ini masih terbatas. Pengenalan akan karakter 1

akustik sebagai kombinasi dan komposisi material ini perlu didalami, sehingga bermanfaat dalam pengaplikasian nanti. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruang yang secara fisik berfungsi dengan baik. Agar sebuah ruang bisa berfungsi dengan baik secara fisik ada banyak faktor yang menentukan perancanga sedemikian rupa sehingga memiliki lingkungan termal, visual dan aural dengan baik sesuai fungsi ruangannya. Lingkungan aural yang dimaksud disini adalah lingkungan akustiknya. 2.2. Lingkungan akustik yang mendukung. Untuk memperoleh lingkungan aural yang baik, perlu dilibatkan pertimbangan tingkat tekanan bunyinya, pantulan sound ray untuk memperoleh area dengan lateral reflection sebanyak mungkin, menghindari long-delayed sound dan echo, distribusi bunyi yang merata dan yang tidak kalah penting adalah waktu dengung yang memenuhi di ruangan sesuai fungsi ruangannya. 2.3. Waktu dengung (reverberation time ). Waktu dengung merupakan satu faktor yang penting secara akustikal walaupun bukan satu-satunya yang penting. Untuk mencapai tingkat waktu dengung yang direkomendasikan (oleh ahli akustik dan literatur),salah satunya didekati melalui rumus Sabine yang sederhana: RT = 0,161.V/( A + xv) Tampak di sini penyerapan bahan finishing A termasuk struktur pendukung di belakangnya, merupakan komponen yang menentukan di samping volume ruang. Bahan serta susunan material pendukung di lapisan / rongga belakangnya menjadi penting untuk memahami karakter nilai serap bunyi pada berbagai frekuensi yang digunakan. 2.4. Nilai absorpsi bunyi bahan. Karakter nilai absorpsi yang terjadi ternyata bergantung pada bagaimana bahan finishing, bahan pendukung dan bahan pengisi disusun. Misalnya kalau diinginkan mengisi tingkat penyerapan bunyi di lingkup frekuensi 3

rendah, maka susunan yang bagaimana yang sebaiknya dibuat dengan menggunakan elemen material yang sama. Dengan demikian bisa dicapai pengaturan komposisi bahan finishing interior sehingga diperoleh tingkat dengung yang sesuai dan semerata mungkin. 2.5. Jenis bahan absorpsi bunyi. Secara umum bahan absorpsi bunyi bisa digolongkan dalam 3 kelompok besar. a. Bahan absorpsi berbentuk berpori/berserat, sebagai bahan absorpsi bunyi yang efektif menyerap komponen bunyi berfrekuensi sedang dan tinggi. b. Bahan absorpsi berbentuk membran/bidang yang lebih efektif menyerap komponen bunyi berfrekuensi rendah. c. Bahan absorpsi bunyi berbentuk rongga/cavity/volume berkemampuan menyerap komponen bunyi berfrekuensi sedang dan rendah. Selanjutnya ada bahan absorpsi yang dirancang berupa gabungan/kombinasi dua atau tiga jenis material absorpsi diatas. Mengingat efektifitas penyerapan komponen bunyi yang berbeda-beda, maka perencana akustik dituntut agar lebih selektif dan kreatif memilih jenis bahan finishing akustik dan interior. 2.6. Resonator rongga. Bahan absorpsi bunyi berupa resonator rongga merupakan salah satu alternatif jenis bahan absorpsi bunyi yang membutuhkan sedikit kreativitas. Jenis absorpsi ini merupakan gabungan dua atau lebih jenis bahan absorpsi diatas. Lagi pula jenis openingsnya bisa mengadopsi aneka bentuk seperti celah (slit), lubang (perforate), segi empat maupun bulat dan sebagainya. Jenis absorben ini sering disebut juga sebagai Helmholtz resonator atau Helmholtz absorber. Dalam studi ini dipilih resonator celah. Di sini, slit resonator adalah jenis penyerap bunyi yang akan dikaji atau distudi lebih lanjut dalam penelitian ini, mengingat jenis ini memberi peluang luas untuk berkreasi dan bereksperimen. 4

BAB III TUJUAN, BATASAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.1 Tujuan Penelitian Karena penelitian ini akan mempelajari efek atas karakter dan nilai absorpsi akustik berbagai susunan bahan finishing akustik, maka ada beberapa tujuan yang mau dicapai : a. memperoleh berbagai nilai/koefisien absorpsi bunyi (α) dari berbagai susunan atau konfigurasi bahan finishing akustik dengan bahan kayu sebagai basis penelitian. b. Kesimpulan sebagai hasil pengolahan data terhimpun dari sejumlah banyak pengukuran akan dihasilkan untuk menggambarkan perbedaan karakter absorpsi masing-masing susunan terhadap susunan yang lain. c. Hasil yang diperoleh dapat membantu ahli akustik menentukan tipe susunan mana yang lebih sesuai untuk dipilih untuk suatu kasus rancangan akustik tertentu. 3.2 Batasan Penelitian Apabila tidak dilakukan pembatasan, maka varian yang mungkin dicoba bisa tidak terbatas jumlahnya, diberikanlah batasan sbb : a. Jenis bahan dasar dipilih dari jenis yang umum diperoleh di pasaran atau mudah diusahakan. b. Ukuran bahan untuk model dipilih dari yang umum terdapat di pasaran atau yang mudah pembuatannya. c. Percobaan pengukuran dilakukan untuk rentang frekuensi 125 Hz, 250 Hz, 500 Hz, 1 khz, 2 khz dan 4 khz, yang sering dijumpai/terdengar dalam lingkungan keseharian. d. Ruang yang akan dipakai sebagai ruang laboratorium bagi percobaan dan pengukuran pada penelitian ini adalah Ruang Reverberasi di Laboratorium Akustik Sains Arsitektur Jurusan Arsitektur UK Petra dengan segala keterbatasannya. 5

3.3 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi arsitek, perancang interior dan ahli akustik. Paling tidak secara umum lebih dikenali efek lubang, rongga dan celah udara pada konstruksi resonator absorber, sehingga arsitek dan perancang interior lebih bisa memilih mana yang sesuai dengan rancangan akustiknya dengan mempermainkan komposisi bilah, celah, lubang dan rongga yang ada. Gambar 3.1. Penggunaan cavity resonator dan slit resonator pada dinding sebuah ruang ibadah ( Doelle, Leslie L). 6

BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan menggunakan metode eksperimental. Susunan/komposisi dan gabungan beberapa elemen akustik dan finishing sebagai satu kesatuan akan memberikan nilai besaran akustik yang berbeda, dalam hal ini nilai absorpsi bunyinya pada berbagai frekuensi. Untuk memperoleh besaran nilai yang nyata dan aplikatif, akan sangat terbantu dengan perlakuan penelitian secara percobaan atau eksperimen. 4.1 Bahan penelitian Bahan finishing dengan berbagai keanekaragaman jenis bahan, dimensi, tekstur, kekenyalan, dan sebagainya akan sangat banyak jumlahnya. Dalam penelitian ini akan dilakukan perngukuran nilai absorpsi bahan finishing jenis kayu-kayuan (timber work). Materi yang akan dipelajari berhubungan dengan finishing bernuansa kayu. Bisa untuk dinding, bisa untuk plafond. Dalam penelitian ini digunakan komponen berbahan kayu yang umum terdapat di pasaran, sehingga memberi peluang bagi siapa saja yang ingin menggunakannya tanpa kesulitan pengadaannya. Bahan kayu bisa berupa papan, bilah-bilah, lis, balok dan masih banyak lagi. Namun disini bahan kayu yang akan dipakai akan diarahkan untuk membentuk resonator bunyi, bisa jenis slit, Helmholtz ataupun perforated resonator. 4.2. Variabel Penelitian Penelitian ini menstudi tentang satu susunan kayu lapis (plywood) dengan varian sebagai berikut : a. Dimensi tebal plywood; b. Porositas (besar celah); yang dimaksud celah di dalam hal ini ialah ruang kosong di antara bilah-bilah plywood; c. Besar / tinggi rongga; yang dimaksud rongga di sini ialah ruang di bawah susunan bilah-bilah plywood dengan permukaan lantai. 7

a. Dimensi (ketebalan) yaitu 9mm, 12mm, 18mm dan 24mm; Gambar 4.1. Ketebalan (urut dari kiri): 9mm, 12mm, 18mm dan 24mm. b. Porositas (besar celah) yaitu 3mm, 6mm, 9mm, 12mm dan 15mm; Gambar 4.2. Lebar celah (urut dari kiri atas ke kanan, dst.): 3mm, 6mm, 9mm, 12mm dan 15mm. 8

c. Besar/tinggi rongga yaitu 40mm dan 80mm; serta varian kombinasi di antara ketiganya Gambar 4.3. Tinggi rongga (dari kiri ke kanan): 40mm, 80mm. Studi ini dilakukan dengan dimensi/ketebalan volume absorber sedemikian rupa dengan memperhatikan efisiensi perolehan tingkat absorpsi terhadap volume ruang yang digunakannya. 4.3. Tahapan Penelitian. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah : a. melakukan penelaahan awal materi kepustakaan yang menitikberatkan pada lingkup penelitian sekitar absorben, resonator, slit, rongga dan cavity; b. menetapkan tujuan penelitian yang lebih membumi; c. menetapkan variabel yang akan diteliti dan kemungkinan variabel yang akan timbul yang punya efek berarti; d. menetapkan jenis bahan, komponen bahan, ukuran, konfigurasi dan volume rongga antara; e. menstudi ruang laboratorium yang mungkin akan untuk digunakan untuk percobaan dengan mempelajari kekurangan dan keterbatasan yang ada serta cara mengatasinya; f. penetapan peralatan dan alat bantu pengukuran yang akan dilakukan; g. menetapkan metode pengukuran h. menetapkan batas besaran yang akan diukur sehubungan dengan dimensi ruang eksperimen. 9

i. menetapkan sistem mounting komponen yang akan digunakan j. melaksanakan kalibrasi peralatan ukur yang dipakai secara periodik k. mengukur dan mencatat hasil pengukuran l. melakukan pengolahan data hasil percobaan m. memeriksa akurasi pengukuran dengan memperhatikan standar deviasinya. n. mempelajari efek dan kecenderungan pola tingkat penyerapan bunyi pada berbagai variabel percobaan yang dilakukan. o. menarik kesimpulan dan memberikan komentar serta rekomendasi. 4.4. Metode pengukuran. Metode pengujian yang dilakukan melalui dan menggunakan cara pengukuran waktu dengung (reverberation time measurement) ruang uji dengan dan tanpa sampel/bahan uji dan perhitungan menggunakan formula Sabine. Dengan menempatkan bahan uji di bidang lantai dengan membandingkan terhadap kondisi akustik lantai kosong akan diperoleh nilai penyerapan bunyi bahan uji. 4.5 Sarana Ruang Penelitian. Untuk penelitian ini dipakai Ruang Dengung (reverberation chamber) di Laboratorium Sains Arsitektur Jurusan Arsitektur UK Petra (Gedung J, Ruang J.101). Ruang uji ini belum sepenuhnya memenuhi standar yang tersedia (Australian Standard dan ISO). Lihat lampiran. Terhadap ruang penelitian perlu dilakukan pengujian kerataan distribisi sinyal bunyi di dalamnya untuk menetapkan apakah perlu dilakukan modifikasi pada sejumlah reflektor yang terpasang. Ruang Reberberasi yang ada di Gedung-J UK Petra berdimensi : 4,26 x 3,80 x 3,30 meter. Volume ruang adalah 53,4 m3. Rekomendasi ISO (4) dan Australian Standard (1) sedikitnya 180 m3. Percobaan yang akan dilakukan perlu diberi batasan sehubungan dengan mode gelombang bunyi pada ruang yang dimensinya lebih kecil. 10

RG. REVERBERASI 4.26 RG. OPERATOR Keterangan : 3.80 Sp = Speaker SLM = Sound Level Meter dan filter LR = Level Recorder A = Amplifier RNG = Random Noise Generator M = Microphone Gambar 4.4. Layout ruang percobaan di J.101 (NTS) Hasil perekaman Waktu Dengung ruang Reverberasi kosong adalah 4,2 detik pada frekuensi 125Hz, 4,8 detik pada 250Hz, 4,7 detik pada 500Hz, 3,9 detik pada 1000Hz, 3,4 detik pada 2000Hz dan 2,9 detik pada 4000Hz. Data nyata ruang tersebut tidak terlalu jauh dari rekomendasi yang diberikan oleh Australian Standards (1) dan Lawrence (7) yang menyebutkan sedikitnya 5 detik untuk frekuensi rendah (125-250Hz) dan 2 detik pada frekuensi tinggi (4 khz). 11

4.6. Peralatan Ukur. Untuk pengukuran ini selain sebuah ruang reverberasi, secara garis besar digunakan peralatan sebagai berikut : a. 1 unit alat pembangkit sinyal bunyi : noise generator ex RION buatan Jepang. Gambar 4.5. Noise Generator b. 1 set peralatan penguat sinyal yang terdiri atas power amplifier dan loudspeaker. c. 1 set alat pengukur tingkat bunyi yang biasa dinamakan sound level meter dan filter ex RION, lengkap dengan tripod pemegang di dalam ruang reverberasi. Gambar 4.6. Kiri: Sound level meter dengan filter; Kanan: Tripod 12

d. 1 set peralatan perekam sinyal : level recorder ex RION. Gambar 4.7. Level Recorder e. 1 set kertas cetak hasil rekaman : recording printing paper. f. Protraktor pembantu-baca waktu reverberasi hasil rekaman sinyal bunyi. g. 1 unit kalibrator jenis pistonphone untuk pengujian dan kalibrasi alat sound level meter. 13

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengaruh Ketebalan Plywood, Plywood Rapat (tanpa celah) Di Lantai (tanpa rongga) Dari hasil pengukuran dapat dilihat bahwa ada kecenderungan nilai absorpsi meningkat sesuai penambahan tebal plywood. 0.35 Pengaruh Ketebalan Plywood (tinggi 0mm, celah 0mm) 0.30 absorption (a) 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 9mm 12mm 18mm 24mm thickness (mm) 125 Hz 250 Hz 500 Hz 1k Hz 2k Hz 4k Hz Gambar 5.1. Pengaruh ketebalan material Untuk frekuensi 125 Hz, nilai absorpsi meningkat dari 0.06 (tebal 9 mm) sampai 0.17 (tebal 24 mm); di frekuensi 250 Hz, nilai absorpsi meningkat dari 0.04 (tebal 9 mm) sampai 0.15 (tebal 24 mm). Demikian pula pada frekuensi tinggi yakni 2k Hz, nilai absorpsi meningkat dari 0.15 sampai 0.32 dan di frekuensi 4k Hz nilai absorpsi meningkat dari 0.15 sampai 0.28. Di frekuensi 1k Hz, nilai absorpsi juga meningkat dari 0.09 (tebal 9mm) sampai 0.28(tebal 18mm), namun di ketebalan 24mm nilai absorpsi turun ke 0.24. 14

Sedangkan di frekuensi 500 Hz, justru terjadi sedikit penurunan dari nilai absorpsi 0.14 (tebal 9mm dan 12mm) menjadi 0.12 di ketebalan 18mm dan 24 mm. 5.2. Pengaruh Ketebalan Plywood, Plywood dengan Celah 3mm, Di Lantai (tanpa rongga) Untuk frekuensi 125 Hz dan 250 Hz, nilai absorpsi meningkat dari 0.05 (tebal 9mm) sampai 0.12 (tebal 24 mm). 0.30 Pengaruh Ketebalan Plywood (celah 3mm, tinggi 0mm) 0.25 absorption (a) 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 9mm 12mm 18mm 24mm thickness (mm) 125 Hz 250 Hz 500 Hz 1k Hz 2k Hz 4k Hz Gambar 5.2. Pengaruh ketebalan dan celah Nilai absorpsi naik turun terjadi di frekuensi 1k Hz; nilai absorpsi turun dari 0.13 (tebal 9mm) menjadi 0.09 (tebal 12mm) lalu meningkat tajam 0.24 di tebal 18mm, lalu turun lagi 0.21 di ketebalan 24mm. Pola yang sama terjadi di frekuensi 2k Hz, yakni 0.21 (tebal 9mm), turun ke 0.13 (12mm), meningkat tajam 0.28 (tebal 18mm), lalu turun 0.24 di ketebalan 24mm. 15

Kebalikan dari frekuensi 1k dan 2k Hz, di frekuensi 4k Hz, nilai absorpsi justru menurun tajam dari 0.28 (di ketebalan 9mm dan 12mm) ke 0.15 di ketebalan 18mm, lalu naik lagi menjadi 0.19 di ketebalan 24mm. Sedangkan di frekuensi 500 Hz nilai absorpsi cenderung menurun seiring penambahan ketebalan. Dari 0.06 di ketebalan 9mm, meningkat tajam menjadi 0.17 (tebal 12mm), lalu menurun sampai 0.1 di ketebalan 24mm. Apabila dibandingkan dengan plywood rapat tanpa celah; dapat disimpulkan bahwa penambahan celah 3mm tidak signifikan untuk meningkatkan nilai absorpsi. 5.3. Pengaruh Ketinggian Rongga Udara, Plywood Tebal 12mm dengan Celah 3mm 0.30 Pengaruh Ketinggian Rongga Udara (tebal 12mm, celah 3mm) 0.25 absorption (a) 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 0mm 40mm 80mm air depth (mm) 125 Hz 250 Hz 500 Hz 1k Hz 2k Hz 4k Hz Gambar 5.3. Pengaruh ketinggian rongga udara 16

Kecenderungan peningkatan nilai absorpsi meningkat seiring dengan penambahan ketinggian rongga terjadi pada frekuensi 500 Hz dan 1k Hz. Di frekuensi 500 Hz, nilai absorpsi meningkat dari 0.17 (tanpa rongga) sampai 0.26 (rongga 80 mm) dan di frekuensi 1k Hz, nilai absorpsi meningkat dari 0.09 (tanpa rongga) sampai 0.19 (rongga 80 mm). Sedang di frekuensi 2k Hz, justru terjadi kecenderungan nilai absorpsi menurun seiring penambahan ketinggian rongga; dari 0.13 (tanpa rongga dan 40mm) menjadi 0.1 (rongga 80mm). Di frekuensi 125 Hz dan 250 Hz, terjadi pola nilai absorpsi naik di ketinggian rongga 40 mm lalu turun di ketinggian rongga 80mm. Di frekuensi 125 Hz, nilai absorpsi dari 0.06 (tanpa rongga), naik menjadi 0.12 (40mm), turun lagi 0.06 (80mm). Di frekuensi 250 Hz, nilai absorpsi dari 0.1 (tanpa rongga), naik menjadi 0.24 (40mm), turun lagi 0.09 (80mm). Sedang kebalikan pola ini terjadi di frekuensi 4k Hz, yakni nilai absorpsi menurun tajam dari 0.23 menjadi 0.12 di ketinggian rongga 40mm, lalu naik lagi menjadi 0.15 di ketinggian rongga 80mm. 5.4. Pengaruh Lebar Celah, Plywood Tebal 12mm dengan Ketinggian Rongga 40mm 0.25 Pengaruh Lebar Celah (tebal 12mm, rongga 40mm) 0.20 absorption (a) 0.15 0.10 0.05 0.00 3 mm 6 mm 9 mm 12mm 15mm spacing (mm) 125 Hz 250 Hz 500 Hz 1k Hz 2k Hz 4k Hz Gambar 5.4. Pengaruh lebar celah 17

Dari frekuensi 250 Hz, 500 Hz, 1k Hz dan 2k Hz; terdapat nilai absorpsi tertinggi pada celah 9mm. Sedangkan di frekuensi 125 Hz, nilai absorpsi tertinggi pada celah 6mm. Di frekuensi 4k Hz, terlihat bahwa nilai absorpsi tetap di semua celah. Pola naik turun nilai absorpsi yang sama ialah pada frekuensi 1k Hz dan 2k Hz. Di frekuensi 1k Hz celah 3mm dan 6mm, nilai absorpsi tetap di 0.16, naik menjadi 0.19 di celah 9mm lalu turun ke 0.16 di celah 12mm dan 15mm. Di frekuensi 2k Hz, di celah 3mm dan 6mm nilai absorpsi 0.13 lalu naik ke 0.15 di celah 9mm dan turun lagi ke 0.13 di celah 12mm dan 15mm. Di frekuensi 250 Hz, nilai absorpsi dari 0.24 menurun ke 0.22 di celah 6mm, naik menjadi 0.24 di celah 9mm, turun 0.07 di celah 12mm dan turun lagi menjadi 0.02 di celah 15mm. Di frekuensi 500 Hz, nilai absorpsi dari 0.24 menurun ke 0.19 di celah 6mm, naik menjadi 0.24 di celah 9mm, turun 0.09 di celah 12mm lalu naik menjadi 0.15 di celah 15mm. Sedangkan di frekuensi 4k Hz, nilai absorpsi tetap di 0.12 pada semua celah. 5.5 Pengaruh Lebar Celah dan Ketinggian Rongga Udara sekaligus Dapat dilihat bahwa untuk frekuensi rendah (125 Hz dan 250 Hz), peningkatan nilai absorpsi sangat efektif hingga celah 9mm, lalu menurun di lebar celah 12mm dan 15mm. Sedangkan pengaruh ketinggian rongga yang efektif ialah di ketinggian 40mm, tetapi kemudian menurun seiring penambahan lebar celah. Sedangkan di rongga 0mm dan 80mm, nilai absorpsi naik-turun tetapi dengan selisih yang tidak terlalu signifikan. Absorption (a) 0.50 0.00 Role of Spacing at freq 125Hz 125Hz,40mm Spacing (mm) 125Hz,80mm Absorption (a) 0.50 0.00 Role of Spacing at freq 250 Hz Spacing (mm) 250Hz,40mm 250Hz,80mm Gambar 5.5. Pengaruh lebar celah di frekuensi 125 Hz dan 250 Hz 18

Absorption (a) 0.30 0.20 0.10 0.00 Role of Spacing at freq 500 Hz 3mm 6mm 9mm 12mm 15mm Spacing (mm) 500Hz,40mm 500Hz,80mm Gambar 5.6. Pengaruh lebar celah di frekuensi 500 Hz Dari grafik terlihat bahwa untuk ketinggian rongga 0mm dan 80mm terjadi penurunan nilai absorpsi seiring penambahan lebar celah. Sedangkan pada ketinggian rongga 40mm terlihat nilai absorpsi naik-turun seiring penambahan lebar celah. Absorption (a) 0.30 0.20 0.10 0.00 Role of Spacing at freq 1k Hz 3mm 6mm 9mm 12mm 15mm Spacing (mm) 1kHz,40mm 1kHz,80mm Gambar 5.7. Pengaruh lebar celah di frekuensi 1000 Hz Di frekuensi 1000Hz, hasil yang signifikan ialah semakin besar ketinggian rongga, nilai absorpsi semakin meningkat. Sedangkan pengaruh lebar celah kurang signifikan, terlihat dari nilai absorpsi yang cenderung tetap. 19

Absorption (a) 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 Role of Spacing at freq 2k Hz 3mm 6mm 9mm 12mm 15mm Spacing (mm) 2kHz, 40mm 2k Hz, 80mm Gambar 5.8. Pengaruh lebar celah di frekuensi 2000 Hz Pada frekuensi 2000Hz terlihat bahwa ketinggian rongga 80mm memiliki nilai absorpsi yang paling besar; sedangkan untuk ketinggian rongga 0 dan 40mm nilai absorpsi cenderung sama. Sedangkan penambahan lebar celah tidak terlalu memberikan pengaruh yang signifikan. Absorption (a) 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 Role of Spacing at freq 4k Hz 3mm 6mm 9mm 12mm 15mm Spacing (mm) 4kHz, 40mm 4kHz, 80mm Gambar 5.9. Pengaruh lebar celah di frekuensi 4000 Hz Pada frekuensi 4000 Hz, terlihat hasil yang meragukan yaitu justru ketinggian rongga 0mm memberikan nilai absorpsi yang lebih tinggi dibandingkan 40mm dan 80mm. Serta adanya nilai absorpsi yang tepat sama untuk seluruh lebar celah di ketinggian rongga 40mm. Dengan demikian diperlukan pengukuran ulang supaya didapat hasil yang lebih masuk akal. 20

BAB VI KESIMPULAN 1. Pada susunan rapat (tanpa rongga dan tanpa celah); bahan plywood makin tebal, koefisien absorpsi makin besar. 2. Semakin tebal bahan plywood (dengan celah tetap= 3mm), koefisien absorpsinya makin besar, dengan perkecualian (penyimpangan) pada frekuensi 4000 Hz (perlu kajian ulang pada frekuensi 500 Hz). 3. Semakin besar rongga udaranya (makin tinggi), nilai absorpsinya relatif meningkat dan peranan resonator celah makin signifikan (penyimpangan pada 4000 Hz, perlu kajian ulang). 4. Pada frekuensi rendah-menengah (125, 250 dan 500 Hz) dengan celah yang makin lebar, nilai absorpsinya makin kecil (kurang absorptif); pada frekuensi menengah-tinggi (1k,2k dan 4k Hz) peningkatan lebar celah tidak mengubah nilai absorpsi (lebih absorptif pada frekuensi menengah). 5. Manfaat penelitian ini lebih kepada memberikan gambaran perubahan spesifik perilaku absorptivitas aneka komposisi resonator celah daripada nilai serapan absolut yang terukur. 21

DAFTAR PUSTAKA 1. AS 1045-1971, Measurement of Absorption Coefficients in a Reverberation Room, Standards Association of Australia, 1971. 2. Doelle, Leslie L., Environmental Acoustics, McGraw-Hill B.C., New York, 1972 3. Ginn,K.B., Architectural Acoustics, Bruel & Kjaer, Copenhagen, 1978. 4. ISO/R 354 Measurement of Absorption Coefficients in a Reverberation Room, ISO Standards and Recommendations, Bruel & Kjaer, Copenhagen. 5. Kinsler, Lawrence E. et al, Fundamentals of Acoustics, John Wiley & Sons, New York, 1982. 6. Kuttruff, Heinrich, Acoustics an Introduction, Taylor & Francis, London, 2007. 7. Lawrence, Anita, Architectural Acoustics, Applied Science Publishers, London,1970 8. Mehta, Madan et al, Architectural Acoustics, Prentice Hall, New Jersey, 1999. 9. Miller, Harry B.(Ed), Acoustical Measurements Methods and Instrumentation, Hutchinson Ross Publishing Coy, Stroudsburg, 1982. 10. Vigran, Tor Eric, Building Acoustics, Taylor & Francis, London, 2008. 22

Lampiran 1 : Australian Standard 1045-1971: Measurement of Absorption in A Reverberation Room. Catatan atas standar ini : bersifat praktis, tidak complicated. 1. Pengukuran koefisien serap dilakukan dengan membandingkan waktu reverberasi ruang uji kosong dan ruang uji berisi benda uji. 2. Untuk ruang uji yang kosong, akan diperoleh waktu dengung sebesar T1 detik. Sedangkan apabila sudah ditambahkan bahan uji, waktu dengungnya berkurang menjadi T2 detik. Dengan memperbandingkan kedua waktu dengung tersebut, bisalah dihitung selisih nilai penyerapan bunyi oleh bahan uji (nilai absorpsi ekivalen). Atau dengan perkataan lain, peningkatan nilai absorpsi ekivalen sesudah penambahan bahan uji dalam ruang, akan memungkinkan menghitung berapa besarnya koefisien absorpsi bahan uji tersebut. 3. Besarnya selisih nilai absorpsi ekivalen dirumuskan sbb : A = 55,5 V (1/T2 1/T1) / c, dimana : A = selisih nilai absorpsi ekivalen (sabins) V = volume ruang uji (m3) T1 = waktu dengung ruang uji kosong (detik) T2 = waktu dengung ruang uji berisi bahan uji (detik) 4. Koefisien absorpsi yang dicari besarnya adalah : αs = A/S, dimana αs = koefisien absorpsi bahan uji yang dicari A= selisih nilai absorpsi ekivalen (sabins) S = luas bidang uji (m2). 23

Lampiran 1 : Australian Standard 1045-1971: Measurement of Absorption in A Reverberation Room. (sambungan) Namun untuk pencarian koefisien serap benda uji yang relatif kecil, keberadaan koefisien serap bidang nyang tertutup oleh benda uji perlu diperhitungkan. 1. Pembacaan Waktu dengung dilakukan untuk frekuensi 125 Hz, 250 Hz, 500 Hz, 1 khz, 2 khz, dan 4 khz. 2. Ruang Uji. Ruang uji yang akan dipakai untuk pengujian diberi beberapa batasan, sbb : 6.1. Volume ruang uji minimum 180 m3 200 m3. 6.2. Bentuk ruangan harus memenuhi ketentuan L max < 1,9 V 1/3 L max = diagonal terbesar 6.3. Ruang harus cukup difus. 6.4. Ruangan harus cukup reverberan (dengung panjang) dengan waktu dengung sedikitnya : 5 detik pada 125 Hz, 5 detik pada 250 Hz, 5 detik pada 500 Hz, 4,5 detik pada 1 khz, 3,5 detik pada 2 khz dan 2 detik pada 4 khz. 6.5 Luas benda uji secara utuh memiliki luas 10-12 m2. 6.6. Rasio panjang lebar (dimensi) ruang berada diantara 0,7-1,0 6.7. Benda uji tidak boleh berjarak kurang dari1,0 m dari dinding di dekatnya. 6.8. Loudspeaker yang menghasilkan buinyoi di dalam ruang uji haruslah memberikan medan bunyi yang difus. 24

Lampiran 1 : Australian Standard 1045-1971: Measurement of Absorption in A Reverberation Room. (sambungan) 6.9. Sumber bunyi jenis white noise agar dipergunakan. 6.10. Dipergunakan filter pita bunyi jenis 1/1 (satu oktaf). 6.11. Mikrofon penerima signal sebisanya dari jenis nondirectional. 6.12. Pembacaan kurva dilakukan pada rentang 5 db sampai 35 db dibawah stationary level. 6.13. Jumlah pembacaan. Untuk setiap frekuensi disarankan dilakukan sedikitnya 6 kali pembacaan kecuali dari pengalaman didapatkan jumlah yang lebih sedikit sudah dianggap cukup. 25

Lampiran 2 : ISO/R 354, Measurement of Absorption Coefficients in Reverberation Room. Garis besar standar ini : 1. Ruang harus cukup difus. 2. Luas benda uji secara utuh memiliki luas 10-12 m2. 3. Loudspeaker yang menghasilkan bunyi di dalam ruang uji haruslah memberikan medan bunyi yang difus. 4. Sumber bunyi jenis white noise agar dipergunakan. 5. Dipergunakan filter pita bunyi jenis 1/1 oktaf. 6. Pembacaan kurva dilakukan pada rentang 5 db sampai 35 db dibawah stationary level. 3. Jumlah pembacaan. Untuk setiap frekuensi disarankan 4. Dilakukan sedikitnya 6 kali pembacaan dengan posisi speaker dan mikrofon yang berbeda. Catatan : Standar yang lebih mutakhir, Australian Standard AS ISO 354-2006 tentang Acoustics Measurement of Sound Absorption in a Reverberation Room memiliki persyaratan yang lebih sulit untuk dipenuhi pada kondisi ruang dan peralatan yang dimiliki Laboratorium Akustik Universitas Kristen Petra. 26

Lampiran 3 : Hasil Bacaan Waktu Reverberasi Dari Berbagai Konfigurasi Resonator Celah OBYEK STUDI CELAH / TEBAL / RONGGA 125 Hz F R E K U E N S I (Hertz) Ruang Kosong 4.5 5.2 4.5 3.7 3.5 2.9 3.6 3.5 4 3.8 3.4 2.8 Plywood penuh di lantai 9mm 4 4.7 3.5 3.2 2.8 2.4 α = 0.06 0.04 0.14 0.09 0.15 0.15 12mm 4 4.6 3.5 3.1 2.6 2.2 α = 0.06 0.05 0.14 0.11 0.21 0.23 18mm 3.4 3.8 3.6 2.5 2.3 2.2 α = 0.15 0.15 0.12 0.28 0.32 0.23 24mm 3.3 3.8 3.6 2.6 2.3 2.1 α = 0.17 0.15 0.12 0.24 0.32 0.28 9mm 4.5 4.6 4.0 3.0 2.6 2.1 α = 0.00 0.05 0.06 0.13 0.21 0.28 3mm / 12mm / 0mm 2.5 3.4 3 2.3 2.1 1.7 α = 0.38 0.22 0.24 0.35 0.41 0.52 Ketebalan Plywood 12mm 4 4.2 3.3 3.2 2.9 2.1 α = 0.06 0.10 0.17 0.09 0.13 0.28 18mm 3.7 4.1 3.5 2.6 2.4 2.4 α = 0.10 0.11 0.14 0.24 0.28 0.15 24mm 3.6 4 3.7 2.7 2.5 2.3 α = 0.12 0.12 0.10 0.21 0.24 0.19 Lebar Celah 3 mm 3.6 3.3 3 2.9 2.9 2.5 α = 0.12 0.24 0.24 0.16 0.13 0.12 6 mm 3.4 3.4 3.2 2.9 2.9 2.5 α = 0.15 0.22 0.19 0.16 0.13 0.12 9 mm 3.6 3.3 3 2.8 2.8 2.5 α = 0.12 0.24 0.24 0.19 0.15 0.12 12mm 4.3 4.4 3.8 2.9 2.9 2.5 α = 0.02 0.07 0.09 0.16 0.13 0.12 15mm 4.3 5 3.4 2.9 2.9 2.5 α = 0.02 0.02 0.15 0.16 0.13 0.12 15mm / 12mm / 40mm 3.4 4.3 4 2.7 2.8 2.3 α = 0.15 0.09 0.06 0.21 0.15 0.19 250 Hz 500 Hz 1k Hz 2k Hz 4k Hz 27

Lampiran 3 : Hasil Bacaan Waktu Reverberasi Dari Berbagai Konfigurasi Resonator Celah (sambungan) OBYEK STUDI CELAH / TEBAL / RONGGA 125 Hz F R E K U E N S I (Hertz) 250 Hz 500 Hz 1k Hz 2k Hz 4k Hz Ketinggian Rongga Udara 0mm 4 4.2 3.3 3.2 2.9 2.2 α = 0.06 0.10 0.17 0.09 0.13 0.23 40mm 3.6 3.3 3 2.9 2.9 2.5 α = 0.12 0.24 0.24 0.16 0.13 0.12 80mm 4 4.3 2.9 2.8 3 2.4 α = 0.06 0.09 0.26 0.19 0.10 0.15 Lebar Celah vs Rongga 3mm 4 4.3 2.9 2.8 3 2.4 te 12 mm, ti 80 mm 0.06 0.09 0.26 0.19 0.10 0.15 6mm 3.45 4.15 3 2.55 2.6 2.3 0.14 0.10 0.24 0.26 0.21 0.19 9mm 3.65 3.8 3.5 2.6 2.65 2.3 0.11 0.15 0.14 0.24 0.20 0.19 12mm 3.5 4.2 3.5 2.7 2.65 2.35 0.14 0.10 0.14 0.21 0.20 0.17 15mm 3.65 3.95 3.65 2.7 2.75 2.25 0.11 0.13 0.11 0.21 0.17 0.21 Lebar Celah vs Rongga 3mm 4 4.2 3.3 3.2 2.9 2.2 te 12 mm, ti 0 mm 0.06 0.10 0.17 0.09 0.13 0.23 6mm 3.6 4.55 3.9 3.35 2.8 2.1 0.12 0.06 0.07 0.06 0.15 0.28 9mm 3.7 4.35 3.95 3.4 2.9 2.15 0.10 0.08 0.07 0.05 0.13 0.26 12mm 3.55 4.4 4 3.35 2.9 2.05 0.13 0.07 0.06 0.06 0.13 0.31 15mm 3.2 4.35 4 3.25 2.85 2.05 0.19 0.08 0.06 0.08 0.14 0.31 28

Lampiran 4 : Foto Dokumentasi Foto ruang reverberasi dengan dan tanpa benda uji 29

Lampiran 4 : Foto Dokumentasi (sambungan) Foto ruang operator 30