BAB III HUBUNGAN ANTARA PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DENGAN PELAKSANAAN JAMSOSTEK DEMI PERLINDUNGAN TERHADAP HAK BURUH

dokumen-dokumen yang mirip
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1993 TENTANG PENYAKIT YANG TIMBUL KARENA HUBUNGAN KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 Tentang : Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja

KEPPRES 22/1993, PENYAKIT YANG TIMBUL KARENA HUBUNGAN KERJA PENYAKIT YANG TIMBUL KARENA HUBUNGAN KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NOMOR : PER.01/MEN/1981 TENTANG KEWAJIBAN MELAPOR PENYAKIT AKIBAT KERJA

PENTINGNYA IMPLEMENTASI K3 (KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA) DALAM PERUSAHAAN

PERATURAN KESEHATAN & KESELAMATAN KERJA (K3)

Hubungan Industrial Pancasila

BAB II PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN TERHADAP PELAKSANAAN JAMSOSTEK OLEH PENGAWAS KETENAGAKERJAAN. A. Gambaran Umum Seputar Pengawas Ketenagakerjaan

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Sejarah Umum BPJS Ketenagakerjaan Pekanbaru

Bab I. Pendahuluan. 1.1 Bentuk, Bidang, dan Perkembangan Usaha. keamanan dan kepastian terhadap resiko-resiko sosial ekonomi, dan

TINJAUAN TENTANG BENTUK DAN PELAKSANAAN PELINDUNGAN ASURANSI BAGI PEKERJA PADA DINAS KEBAKARAN KOTA SURAKARTA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1992 TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB 3 OBJEK PENELITIAN

UU R.I. NOMOR 3 TAHUN 1992 TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1992 TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1969 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK MENGENAI TENAGA KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1992 TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENYAKIT AKIBAT KERJA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1992 TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II BPJS KETENAGAKERJAAN KANTOR WILAYAH SUMBAGUT. jawab dan kewajiban Negara - untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi

PENYAKIT AKIBAT KERJA DAN PENCEGAHAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Jasa

BAB I PENDAHULUAN. program jaminan sosial berdasarkan funded social security, yaitu jaminan

BAB 3 ANALISIS SISTEM YANG SEDANG BERJALAN. sebagai hak dan bukan dari belas kasihan orang lain. membantu yang berpenghasilan rendah.

BAB II PERLINDUNGAN HAK-HAK PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK DARI PERUSAHAAN

JAMSOSTEK. (Jaminan Sosial Tenaga Kerja)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1992 TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Perluasan cakupan peserta dan peningkatan kolektabilitas Iuran Jamsos Bid. Ketenagakerjaan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, bahwa. pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja.

2016, No Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce

BAB 1 PENDAHULUAN. Dunia ketenagakerjaan Indonesia pada tahun 2014 menunjukan adanya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1992 TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Gambaran Umum Objek Penelitian

PELAKSANAAN PROGRAM JAMSOSTEK DITINJAU DARI PERSPEKTIF PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA. DAHLIA Dosen Fakultas Hukum UNISRI

BAB I PENDAHULUAN. bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan perlindungan (protection), pemajuan

BAB II PROFIL BPJS KETENAGAKERJAAN KANTOR WILAYAH. ekonomi kepada masyarakat. Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

*10099 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 25 TAHUN 1997 (25/1997) TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu bagian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan teknologi dan industri berdampak pula pada kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia tidak dapat berjalan lancar sesuai dengan harapan dan cita-cita luhur

NOMOR 14 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA KABUPATEN KENDAL

BAB I PENDAHULUAN. kepercayaan pada diri dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KECELAKAAN KERJA DAN JAMINAN KEMATIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1977 TENTANG ASURANSI SOSIAL TENAGA KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT DI PROVINSI JAWA TENGAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1992 TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM DAN TINJAUAN TEORITIS

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hukum dapat diartikan sebagai norma hukum yakni norma yang dibuat

BAB I PENDAHULUAN. namanya menjadi BPJS Ketenagakerjaan. 1 Jaminan Sosial adalah salah satu

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAB I PENDAHULUAN. tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea ke IV yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

No ekonomi. Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkel

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KECELAKAAN KERJA DAN JAMINAN KEMATIAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG

Kasus Drydocks, Batam

BAB I PENDAHULUAN. arti yang sebenarnya sejak Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I pada tahun

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

PERATURAN GUBERNUR BANTEN

BAB I PENDAHULUAN. perombakan struktural dalam cara dan sumber kehidupan yang berakibat

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KECELAKAAN KERJA DAN JAMINAN KEMATIAN

Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja, bahan, proses maupun lingkungan kerja. Di dalam berbagai jenis

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. 1 Perlindungan terhadap tenaga

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

AGENDA DALAM SISTEM EKONOMI INDONESIA

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. panjang, dimulai dari UU No. 33/1947 jo UU No. 2/1951 tentang kecelakaan

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1977 TENTANG ASURANSI SOSIAL TENAGA KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, JAMINAN SOSIAL, DAN BPJS KETENAGAKERJAAN

HUBUNGAN KERJA DAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

ANGGARAN DASAR LEGIUN VETERAN REPUBLIK INDONESIA MUKADIMAH "DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA"

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA

BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA ANAK DI KOTA DENPASAR

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TUGAS AKHIR DEMOKRASI PANCASILA MENURUT UUD 1945

KODE ETIK PENERBIT ANGGOTA IKAPI

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MEMBERIKAN KESEMPATAN KERJA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAB I PENDAHULUAN. pekerja terus berlanjut, yakni melalui pemberlakuan Peraturan Pemerintah

PERLINDUNGAN,PENGUPAHAN DAN KESEJAHTERAAN

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu

BAB IITINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA. A. Manajemen Sumberdaya Manusia Manajemen Sumberdaya Manusia adalah penarikan seleksi,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Yuridis Filosofis Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Transkripsi:

40 BAB III HUBUNGAN ANTARA PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DENGAN PELAKSANAAN JAMSOSTEK DEMI PERLINDUNGAN TERHADAP HAK BURUH A. Jamsostek Sebagai Upaya Perlindungan terhadap Hak-Hak Buruh 1. Sejarah Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) di Indonesia Soialisme Indonesia yang merupakan cita-cita luhur para pendiri bangsa Indonesia merupakan cita-cita yang lahir dari kesadaran dan keinginan untuk menciptakan suatu tatanan masayarakat Indonesia yang berkeadilan sosial, dan oleh karena cita-cita tersebutlah yang membuat jaminan sosial menjadi tidak terpisahkan dari sejarah perjalan bangsa Indonesia. Dan memang sudah sewajarnya ketika suatu negara sedang berkembang kearah yang lebih baik maka harus memperkuat fondasi masyarakat yang kuat secara sosial. Pada awal kemerdekaan Indonesia, masyarakat pada saat itu didominasi oleh kalangan ekonomi lemah seperti petani dan buruh dan oleh karena itu pemerintahan di masa itu sangat memperhatikan perlindungan ekonomi dan sosial terhadap rakyak terutama golongan pekerja/buruh. Langkah konkret yang dilakukan pemerintah adalah memberikan suatu jaminan hukum bagi perlindungan sosial rakyat Indonesia dengan mengaturnya dalam peraturan perundang-undangan. Sejarah jamsostek dapat kita lihat dari sejarah peraturan perundangundangan yang mengatur tentang jaminan sosial yang dimulai dari Undang- Undang No. 33 Tahun 1947 jo Undang-Undang No. 2 Tahun 1951 tentang kecelakaan kerja, Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No. 48/1952 jo PMP No. 48

41 8/1956 tentang Pengaturan Bantuan Untuk Usaha Penyelenggaraan Buruh, peraturan ini kemudian dilengkapi dengan Peraturan Menteri Perburuhan No. 15/1957 tentang Pembentukan Yayasan Sosial Buruh, PMP No. 5/1964 tentang Pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial (YDJS), dalam peraturan ini diuraikan tentang bantuan kepada badan yang menyelenggarakan usaha jaminan sosial, diberlakukannya Undang-Undang No. 14/1969 tentang Pokok-pokok Tenaga Kerja. Secara kronologis proses lahirnya asuransi sosial tenaga kerja semakin transparan. Setelah mengalami kemajuan dan perkembangan, baik menyangkut landasan hukum, bentuk perlindungan maupun cara penyelenggaraan, pada tahun 1977 diperoleh suatu tonggak sejarah penting dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 33 Tahun 1977 tentang Pelaksanaan Program Asuransi Sosial Tenaga Kerja (ASTEK) yang mewajibkan setiap pemberi kerja/pengusaha swasta dan Badan Usaha Milik Negara untuk mengikuti program ASTEK. Program-program yang ditangani Asuransi Tenaga Kerja adalah Asuransi Kecelakaan Kerja (AKK), Asuransi Kematian (AK), dan Tabungan Hari Tua. Bersamaan dengan ini terbit pula PP No. 34/1977 tentang Pembentukan Wadah Penyelenggara ASTEK yaitu Perum Astek. Status astek sebagai Perusahaan Umum (Perum) kemudian diubah menjadi Perseroan Terbatas (PT) melalui Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1990. Pada tahun 1992, pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menerbitkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, program jaminan sosial tenaga kerja meliputi empat program, yaitu jaminan hari tua, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan

42 pemeliharaan kesehatan. Selanjutnya sebagai peraturan pelaksana undang-undang ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek yang mewajibkan setiap pengusaha atau perusahaan yang memiliki karyawan minimal 10 orang atau mengeluarkan biaya untuk gaji buruh/pekerjanya minimal 1 juta/bulan untuk mengikut sertakan pekerjanya dalam program jamsostek (pasal 2 ayat 3). Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 menugaskan PT Jamsostek sebagai pelaksana program Jamsostek dan hal ini dipertegas melalui Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1995 yang mengatur ditetapkannya PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara Jamsostek. Program Jamsostek memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya, dengan memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hilang akibat resiko sosial. 2. Hak-Hak Buruh Dalam Program Jamsostek Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) sebagai implementasi dari perlindungan hak buruh dan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan merupakan suatu rangkaian yang bertujuan untuk menciptakan hubungan perburuhan yang berlandaskan pancasila demi kelangsungan usaha dan demi kesejahteraan buruh/pekerja. Bentuk perlindungan hak buruh tersebut dapat kita lihat dari programprogram jamsostek yang harus dilaksanakan, yaitu: 1) Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)

43 Kecelakaan kerja temasuk penyakit akibat kerja yang merupakan resiko yang harus dihadapi oleh tenaga kerja dalam melakukan pekerjaanya. Kecelakaan kerja menurut M. Sulaksono 18 adalah suatu kejadian yang tak terduga dan yang tidak dikehendaki yang mengacaukan suatu aktivitas yang telah diatur, kecelakaan ini terjadi tanpa disangka-sangka dalam sekejap mata dan setiap kejadian tersebut terdapat empat faktor bergerak dalam satu kesatuan berantai, yakni lingkungan, bahaya, peralatan dan manusia. Yang digolongkan sebagai penyakit yang timbul karena hubungan kerja sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 tentang Penyakit yang timbul akibat hubungan kerja yaitu : 1) Pnemokoniosis yang disebabkan debu mineral pembentuk jaringan parut (silicosis, antrakosilikosis, asbestosis) dan silikotuberkolosis yang silikosisnya merupakan factor utama penyebab cacat atau kematian. 2) Penyakit paru dan saluran pernapasan (bronkhopulmoner) yang disebabkan oleh debu logam keras. 3) Penyakit paru dan saluran pernapasan (bronkhopulmoner) yang disebabkan oleh debu kapas, vlas, henep dan sisal (bissisnosis) 4) Asma akibat kerja yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi dan zat perangsang yang dikenal yang berada dalam proses pekerjaan. 5) Alveolitis allergika yang disebabkan oleh faktor dari luar sebagai akibat penghirupan debu organik. 6) Penyakit yang disebabkan oleh berilium atau persenyawaannya yang beracun. 7) Penyakit yang disebabkan oleh kadmium atau persenyawaannya yang beracun. 8) Penyakit yang disebabkan oleh fosfor atau persenyawaannya yang beracun 9) Penyakit yang disebabkan oleh krom atau persenyawaannya yang beracun 10) Penyakit yang disebabkan oleh mangan atau persenyawaannya yang beracun. 11) Penyakit yang disebabkan oleh arsen atau persenyawaannya yang beracun. 18 Buchari, Penanggulangan kecelakaan, Medan: Universitas Sumatera Utara (USU) Repository, 2007. hal. 1

44 12) Penyakit yang disebabkan oleh raksa atau persenyawaannya yang beracun 13) Penyakit yang disebabkan oleh timbal atau persenyawaannya yang beracun 14) Penyakit yang disebabkan oleh fluor atau persenyawaannya yang beracun 15) Penyakit yang disebabkan oleh karbon disulfida atau persenyawaannya yang beracun 16) Penyakit yang disebabkan oleh derivate halogen dari persenyawaan hidrokarbon alifatik atau aromatic yang beracun. 17) Penyakit yang disebabkan oleh benzena atau homolognya yang beracun. 18) Penyakit yang disebabkan oleh derivate nitro dan amina dari benzene atau homolognya yang beracun. 19) Penyakit yang disebabkan oleh nitrogliserin atau ester asam nitrat lainnya. 20) Penyakit yang disebabkan oleh alcohol, glikol atau keton. 21) Penyakit yang disebabkan oleh gas atau uap penyebab asfiksia atau keracunan seperti karbon monoksida, hydrogensianida, hydrogen sulfide, atau derivatnya yang beracun, amoniak seng, braso dan nikel. 22) Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan. 23) Penyakit yang disebabkan oleh getaran mekanik (kelainankelainan otot, urat, tulang persendian, pembuluh darah tepi atau syaraf tepi). 24) Penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dalam udara yang bertekanan lebih. 25) Penyakit yang disebabkan oleh radiasi elektro magnetic dan radiasi yang mengion. 26) Penyakit kulit (dermatosis) yang disebabkan oleh penyebab fisik, kimiawi atau biologic. 27) Kanker kulit epitelioma primer yang disebabkan oleh ter, pic, bitumen, minyak mineral, antrasena atau persenyawaan, produk atau residu dari zat tersebut. 28) Kanker paru atau mesotelioma yang disebabkan oleh asbes. 29) Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit yang didapat dalam suatu pekerjaan yang memiliki risiko kontaminasi khusus. 30) Penyakit yang disebabkan oleh suhu tinggi atau rendah atau radiasi atau kelembaban udara tinggi. 31) Penyakit yang disebabkan bahan kimia lainnya termasuk bahan obat. 19 2) Program Jaminan Kematian Jamsostek, 1992 19 PT Jamsostek, Prinsiip dan Praktik Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Jakarta: PT

45 Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja akan mengakibatkan terputusnya penghasilan yang akan sangat berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi bagi keluarga yang ditinggalkan, oleh karena itu diperlukan jaminan kematian dalam upaya meringankan beban keluarga baik dalam bentuk biaya pemakaman maupun santunan berupa uang. Ketentuan pasal 12 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja member pengertian bahwa dalam program jaminan kematian yang dimaksud dengan keluarga yang ditinggalkan adalah istri atau suami pekerja, keturunan sedarah dari pekerja menurut garis lurus kebawah, dan garis lurus keatas, dihitung sampai derajat keduatermasuk anak yang disahkan. Apabila garis lurus keatas dan kebawah tidak ada maka diambil kesamping dan mertua. Bagi pekerja yang tidak memiliki keluarga maka hak atas jaminan kematian diberikan kepada pihak yang mendapat surat wasiat dari pekerja yang bersangkutan atau perusahaan untuk pengurusan pemakaman. Urutan keluarga yang diprioritaskan dalam pembayaran santunan kematian menurut pasal 13 Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah : a. janda atau duda; b. anak; c. orang tua; d. cucu; e. kakek atau nenek; f. saudara kandung;

46 g. mertua. Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja member batasan dan pengecualian bagi pekerja/buruh yang berhak menerima manfaat program ini. Pengecualian tersebut disebutkan dalam pasal 12 ayat (2) undang-undang ini, bidang-bidang pekerjaan yang tidak berhak menerima manfaat jaminan kematian manurut pasal ini antara lain : 1. murid atau pekerja yang sedang melakukan magang. 2. pekerja yang bekerja dalam pemborongan pekerjaan (outsourching). 3. narapidana yang melakukan pekerjaan. 3) Program Jaminan Hari Tua Hari tua adalah umur pada saat dimana produktivitas buruh atau pekerja telah dianggap menurun, sehingga perlu diganti dengan buruh/pekerja yang lebih muda termasuk cacat tetap dan total (total and permanent disability) yang dapat dianggap sebagai hari tua dini. 20 Hari tua dapat mengakibatkan terputusnya upah karena buruh/pekerja tidak mampu lagi bekerja. Akibat terputusnya upah tersebut dapat menimbulkan kesusahan bagi pekerja dan mempengaruhi ketenangan bekerja sewaktu masih bekerja, terutama bagi buruh yang memiliki penghasilan rendah. Jaminan hari tua merupakan program perlindungan bagi buruh/pekerja dan keluarganya yang manfaatnyaakan dibayarkan kepada peserta berdasarkan akumulasi dengan memenuhi salah satu persyaratan sebagai berikut : 21 a. Mencapai usia 55 tahun atau meninggal dunia, atau cacat total tetap. 20 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 190 21 PT Jamsostek, Annual Report PT Jamsostek Tahun 2008, Jakarta; PT Jamsostek, hal.23

47 b. Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) setelah menjadi peserta sekurang-kurangnya 5 tahun dengan masa tunggu 6 bulan. c. Pergi keluar negeri dan tidak kembali, atau menjadi pegawai negeri. 4) Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Kesehatan kerja pertama kali tertuang dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Ketenagakerjaan serta Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja yang menyatakan bahwa kesehatan kerja merupakan bagian dari keselamatan kerja. Selanjutnya Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan mengatur pula mengenai kesehatan kerja pada pasal 108 ayat (2) yang secara jelas menyebutkan bahwa untuk melindungi kesehatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya kesehatan kerja. Kesehatan kerja atau disebut juga Hyperkes (Hygiene Perusahaan dan Kesehatan) berkaitan dengan upaya-upaya : 22 a. Pemeriksaan tenaga kerja, baik pada awal bekerja maupun periodic selama bekerja; b. Tambahan gizi bagi tenaga kerja diberikan makan siang atau dalam bentuk lainnya; c. Kebersihan lingkungan kerja, termasuk pencegahan dan pengelolahan limbah; 22 Sentanoe Kertonegoro, Sistem Penyelenggaraan dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja Isu Privatisasi Jaminan Sosial, Jakarta: Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, 1998, hal. 180

48 d. Pencegahan dan penaggulangan sumber-sumber yang membahayakan kesehatan. Menurut Sujudi 23 berdasarkan Udang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan disebutkan pengertian kesehatan kerja adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan semua pekerja/buruh dapat bekerja secara sehat dengan produktivitas yang optimal, tanpa membahayakan diri, keluarga, masyarakat, dan lingkungan kerja sekitarnya. Dalam pasal 23 undang-undang ini disebutkan bahwa kesehatan kerja merupakan salah satu kegiatan pokok dari pembangunan kesehatan yang mencakup pengertian bahwa : 1. Kesehatan kerja dimaksudkan untuk mewujudkan produktivitas kerja yang optimal; 2. Kesehatan kerja meliputi pelayanan kesehatan kerja, pencegahan penyakit yang timbul dari pekerjaan dan syarat kesehatan kerja; 3. Setiap kerja wajib menyelenggarakan kesehatan kerja. Komite kerja sama ILO dan WHO menyebutkan bahwa tujuan kesehatan kerja, yaitu : 24 1. Meningkatkan dan memelihara kesehatan fisik, mental dan sosial dari pekerja/buruh pada semua jenis pekerjaan untuk meningkatkan kepastian kerjanya; 2. Mencegah terjadinya gangguan kesehatan atau penyakit pada pekerja/buruh yang disebabkan oleh kondisi kerjanya; 23 Departemen Kesehatan, 2001, hal. 2 24 Adrian Sutedi, hukum Perburuhan, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 198

49 3. Melindungi pekerja dari risiko akibat faktor-faktor lingkungan kerja yang mengganggu kesehatan; 4. Penempatan dan pemeliharaan pekerja/buruh dalam satu lingkungan kerja yang sesuai dengan kemampuan fisik dan psikologisnya; 5. Mengembangkan organisasi dan budaya kerja yang mendukung keselamatan dan kesehatan kerja yang tercermin dalam sistem manajemen pengembangan sumber daya manusia dan manajemen mutu perusahaan. B. Pengawas Ketenagakerjaan Sebagai Instrumen Terpenting Dalam Mengawasi Pelaksanaan Jamsostek 1. Mekanisme dan Tata Laksana Pengawasan Norma Ketenagakerjaan Proses pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan harus berlangsung sesuai mekanisme dengan standard operatif prosedur yang telah ditetapkan didalam konvensi ILO No.81 Tahun 1947, Undang-undang No. 3 Tahun 1951, Undang-undang No. 1 Tahun 1970 maupun peraturan pelaksana lainnya.. Tata laksana Pengawasan norma ketenagakerjaan yaitu menyangkut upaya pengumpulan, penyimpanan, distribusi serta pengolahan data/informasi yang berkaitan dengan pengawasan ketenagakerjaan. Operasional merupakan salah satu subsistem dari pengawasan ketenagakerjaan yang terdiri dari mekanisme, prosedur dan tata kerja pengawasan norma ketenagakerjaan dan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan yang

50 diperlukan agar pengawasan ketenagakerjaan dapat menjalankan fungsi dan tugasnyasesuai dengan wilayah kerjanya yaitu: 25 1) Pengawasan ditingkat kabupaten/kota melaksanakan tugas diwilayah yang menjadi kewenangan yang meliputi pemeriksaan pertama, pemeriksaan berkala, pemeriksaan ulang dan pemeriksaan khusus. 2) Pengawasan ditingkat provinsi melaksanakan tugas diwilayah yang menjadi kewenangan yang meliputi pemeriksaan ulang dan pemeriksaan khusus yang tidak terselesaikan ditingkat kabupaten/kota. 3) Pemeriksaan ditingkat pusat melaksanakan tugas diseluruh wilayah Indonesia yang meliputi pemeriksaan ulang dan khusus yang tidak terselesaikan ditingkat kabupaten/kota dan provinsi. Operasional pengawasan norma ketenagakerjaan biasanya meliputi halhal sebagai berikut: 26 a) Pemasyarakatan Norma Ketenagakerjaan; kegiatan ini dilakukan dalam bentuk sosialisasi melalui berbagai kesempatan dan media sosialisasi agar masyarakat industri dapat mengetahui dan memahami norma ketenagakerjaan sehingga diharapkan mampu melaksanakan peraturan perundang-undangan ditempat kerjanya. b) Penerapan Norma Ketenagakerjaan; dalam penerapan norma ketenagakerjaan dilakukan beberapa tahap pelaksanaan sebagai berikut: 1) Tindakan Preventif Educatif Kegiatan preventif edukatif ini dilakukan melalui pemeriksaan, pengujian, bimbingan teknis atau konsultasi setelah mendapat 25 Wawancara dengan Dra. Akrida : Pengawas Ketenagakerjaan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan, 29 juni 2011 26 Ibid

51 informasi atau pengaduan ataupun karena pelaksanaan rutinsesuai dengan yang direncanakan. Upaya ini diarahkan pada pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan oleh masyarakat indudtri dengan cara-cara yang efektif dan efisien sedemikian rupa sehingga ketenangan bekerja dan berusaha, peningkatan produktifitasdan kesejahteraan dapat terwujud. Pada umumnya tindakan preventif edukatif menghasilkan nota pemeriksaan, penetapan atau rekomendasi dan cara-cara yang efektif dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut. Tindakan preventif pada umumnya dilakukan pada setiap kunjungan aparat pengaawas keperusahaan atau tempat kerja baik dalam rangka pemeriksaan/pengujian atau pada kesempatan lain dalam bentuk bimbingan teknis maupun konsultasi. Setelah dilakukan proses penyidikan terhadap dugaan pelanggaran tersebut, maka baik terbukti maupun tidak terbukti terhadap pelanggaran tersebut harus dibuat pernyataan untuk hal tersebut sebagai kesimpulan dari penyidikan yang dilakukan. Khusus terhadap dugaan pelanggaran yang dapat dibuktikan mempunyai bukti pelanggaran, maka tindakan terhadap pihak yang melanggar harus ditindak lanjuti melalui lembaga peradilan. 2) Tindakan Represif Non Justisial Apabila dalam tempo sesuai dengan yang telah ditentukan dalam nota pemeriksaan atau penetapan rekomendasi ternyata pihak yang diwajibkan tidak melakukan kewajibannya, maka akan diadakan

52 upaya pemaksaan diluar lembaga peradilan sehingga yang bersangkutan menyadari kekeliruannya dan membuat surat pernyataan untuk itu. 3) Tindakan Represif Justitial (pro justicia) Apabila ada kasus-kasus tertangkap tangan yang sifatnya mendesak atau pemaksaan diluar lembaga peradilan menurut hukum harus diambil tindakan represif justitial, maka hal itu harus dituangkan dalam bentuk risalah yang menggambarkan suatu dugaan telah terjadi pelanggaran dan disusun dalam bentuk Laporan Kejadian Perkara. 2. Pengawas Ketenagakerjaan Sebagai Pengawal Berjalannya Hubungan Industrial Pancasila Pengusaha mempunyai kepentingan atas kelangsungan dan keberhasilan perusahaan adalah hal yang jelas dan wajar, yaitu karena tanggung jawab morilnya sebagai pimpinan, sebagai sumber penghidupannya dan untuk mendapat keuntungan yang sesuai dengan modal yang ditanamkannya. Namun pekerja dan serikat pekerja juga mempunyai kepentingan yang sama atas perusahaan, yaitu sebagai sumber penghasilan dan penghidupannya. Bagi setiap pekerja, perusahaan merupakan tempat untuk berkarya dan berbakti sekaligus sebagai sumber penghasilan dan penghidupan. Kalau misalnya suatu perusahaan terpaksa harus ditutup, maka bukan saja pengusaha yang kehilangan modalnya tetapi juga seluruh pekerja akan kehilangan pekerjaannya dan sumber penghidupannya.

53 Didorong oleh adanya kepentingan yang sama antara pengusaha dan pekerja atas jalannya perusahaan dan dengan adanya keterlibatan keduanya dalam proses produksi, maka timbullah hubungan antara pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja. Hubungan tersebut dinamakan Hubungan Industrial atau industrial Relations. Hubungan Industrial adalah keseluruhan hubungan kerja sama antara semua pihak yang tersebut dalam proses produksi disuatu perusahaan. 27 Ada beberapa system hubungan industrial yang kita kenal, seperti: 28 1. Hubungan Industrial berdasarkan Demokrasi Liberal. Hubungan Industrial ini berlandaskan kepada falsafah individualism dan liberalismeyang dianut negara-negara industri barat pada umumnya. Cirri-ciri hubungan industrial atas ddasar demokrasi liberal ini adalah: a) Pekerja dan pengusaha mempunyai kepentingan yang berbeda. Kepentingan pihak pekerja adalah bagaimana mendapatkan upah yang setinggi-tinginya sedangkan kepentingan pihak pengusaha adalah bagaimana keuntungan dapat dicapai setinggi-tingginya. b) Perbedaan pendapat diselesaikan dengan kekuatan. Buruh/pekerja senjatanya adalah mogok, sedangkan pengusaha senjatanya adalah pemecatan atau lock out (penutupan perusahaan) c) Pekerja sebagai mahluk pribadi sosial. d) Partisipasi pekerja dalam membuat kebijaksanaan; karena pekerja telah dianggap sebagai mahluk sosial (bukan lagi sebagai mesin) maka ia diikutsertakan didalam membuat kebijaksanaan. 27 Sendjun Manullang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hal 140. 28 Opcit, hal 142

54 2. Hubungan industrial atas dasar perjuangan kelas (Class Struggle) Hubungan industrial ini berlandaskan kepada falsafah marxisme/komunisme, ciri-cirinya adalah : a) Berdasarkan kepada teori nilai lebihdari Karl Marx, yaitu dimana pengusaha selalu berusaha agar ada nilai lebih yang bias didapatkan untuk ditambahkan kepada upah buruh/pekerja. b) Pekerja dan pengusaha adalah dua pihakyang bertentangan kepentingan. 3. Hubungan industrial atas dasar komitmen seumur hidup (Long life employment) di Jepang, yaitu berlandaskan kepada falsafah dan budaya Jepang. Sedangkan hubungan Indistrial Pancasila (HIP) sendiri adalah system hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan jasa (Pekerja, Pengusaha dan Pemerintah) yang didasarkan atas nilai-nilai yang merupakan manifestasi dari keseluruhan sila-sila dari Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 yang tumbuh dan berkembang diatas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia. Hubungan Industrial Pancasila (HIP) mempunyai dua tujuan yaitu secara makro dan secara mikro. Secara makro, tujuan Hubungan Industrial Pancasila adalah mengemban cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 didalam pembangunan nasional, ikut mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dari segi mikro, tujuan HIP adalah menciptakan

55 ketenangan, ketentraman, ketertiban, kegairahan kerja serta ketenangan usaha, meningkatkan produktivitas dan meningkatkan kesejahteraan pekerja serta derajatnya sesuai dengan martabat manusia. Hubungan Industrial Pancasila dalam mencapai tujuannya mendasarkan diri pada asas-asas pembangunan yaitu: 29 1. Asas Manfaat Artinya segala usaha dan kegiatan pembangunan harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan kesejahteraan rakyat. 2. Asas Usaha Bersama dan Kekeluargaan Artinya usaha mencapai cita-cita dan aspirasi bangsa harus merupakan usaha bersama seluruh rakyat yang dilakukan secara gotong royong dan kekeluargaan. 3. Asas Demokrasi Artinya didalam menyelesaikan masalah-masalah Nasional ditempuh dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat. 4. Asas Adil dan Merata Artinya bahwa hasil yang dicapai dalam pembangunan harus dapat dinikmati secara adil dan merata sesuai darma baktinya. 5. Asas Perikehidupan dalam Keseimbangan Artinya harus diseimbangkan antara kepentingan-kepentingan dunia dan akhirat, materil dan spiritual, jiwa dan raga, individu dan masyarakat, dan lain-lain. 29 Sendjun H. manullang, Opcit, hal.145

56 6. Asas Kesadaran Hukum Setiap warga negara harus taat dan sadar pada hukum dan mewajibkan negara menegakkan hukum. 7. Asas Kepercayaan Pada Diri Sendiri Pembangunan berdasarkan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, serta bersendikan pada kepribadian bangsa. Dalam pelaksanaanya Hubungan Industrial Pancasila berlandaskan kepada dua asas kerja yang sangat penting, yaitu: a) Asas Kekeluargaan dan Gotong Royong b) Asas Musyawarah untuk mufakat Sebagai manifestasi dari kedua asas diatas, maka HIP mendasarkan diri pada tiga asas kerja sama, yaitu: 30 1. Kerja sama dalam produksi, (Partner in product) Artinya, bahwa antara pekerja dan pengusaha adalah teman seperjuangan dalam proses produksi, yang berarti baik pekerja maupun pengusaha wajib bekerja sama serta membantu dalam kelancaran usaha dalam meningkatkan dan menaikkan produksi. 2. Kerja sama dalam menikmati hasil perusahaan Artinya, bahwa pekerja dan pengusaha adalah teman seperjuangan dalam pemerataan menikmati hasil perusahaan yang berarti hasil usaha yang 30 Ibid, hal.147

57 diterima perusahaan, dinikmati bersama dengan bagian yang layak dan serasi dengan prestasi kerja. 3. Kerja sama dalam bertanggung jawab Artinya, bahwa pekerja dan pengusaha adalah teman seperjuangan di dalam bertanggung jawab, yang meliputi: a) Tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa b) Tanggung jawab kepada Bangsa dan Negara c) Tanggung jawab kepada masyarakat dan sekeliling d) Tanggung jawab kepada pekerja dan keluarganya e) Tanggung jawab kepada perusahaan dimana mereka bekerja Asas kerja sama antara pekerja dan pengusaha tersebut dikenal dengan istilah TRIDHARMA, yaitu: 31 1. Melu Handarbeni (merasa ikut memiliki) 2. Melu Hangrungkebi (merasa ikut bertanggung jawab) 3. Mulad Saliro Hangrosowani (mawas diri demi kemajuan perusahaan) Pengawas ketenagakerjaan sebagai lembaga representasi langsung dari pemerintah yang mengawasi hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja/buruh dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya harus berpegangan pada pedoman-pedoman yang sesuai dengan apa yang dicita-cita kan dalam konsep Hubungan Industrial Pancasila seperti yang dituliskan diatas. Ada beberapa landasan dalam Hubungan Industrial Pancasila yang harus diperhatikan oleh Pengawas Ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, yaitu: 32 31 G. Kartasapoetra, R.G Kartasapoetra, A.G Kartasapoetra, Hukum Perburuhan di Indonesia Berlandaskan Pancasila, Sinar Grafika, Cet. IV, 1994, hal. 234

58 1. Pancasila sebagai landasan idiil. HIP berlandaskan pada keseluruhan sila-sila daripada Pancasila secara bulat dan utuh, artinya sila-sila dari Pancasila harus digunakan terkait satu sama lain dan tidak boleh menonjolkan yang lebih dari yang lain. 2. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional. HIP juga berlandaskan pada Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional mulai dari Pembukaan, Batang Tubuh maupun pada Penjelasannya. 3. Ketetapan MPR No. II Tahun 1978 sebagai landasan structural dan operasional. HIP mempunyai landasan structural dan landasan operasional TAP. MPR No. II/1978 yaitu tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). 4. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai landasan operasional. 5. Peraturan Perundang-undangan dan Kebijakan-kebijakan Pemerintah sesuai Trilogi Pembangunan Nasional, yaitu: a) Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. b) Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. c) Stabilitas Nasional yang sehat dan dinamis. 32 Ibid,hal 236

59 3. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) sebagai bagian dari manifestasi Hubungan Industrial Pancasila. Sebagaimana yang tertulis diatas tentang Hubungan Industrial Pancasila yang mengatur tentang hubungan yang seharusnya tercipta bagi pengusaha dan pekerja maka timbulah hak dan kewajiban masing-masing bagi pengusaha dan pekerja dalam menciptakan Hubungan Industrial Pancasila. Dalam hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh sering kali pihak pekerja/buruh menjadi pihak yang inferior di hadapan pengusaha, jaminan sosial tenaga kerja yang merupakan hak pekerja/buruh sering dikesampingkan oleh pihak pengusaha. Pemerintah sebagai salah satu pihak yang bertanggung jawab atas terciptanya Hubungan Industrial Pancasila juga menyadari hal tersebut sehingga dalam perjalanan perundang-undangan Indonesia Pemerintah juga menempatkan permasalahan Jamsostek sebagai hal yang perlu dan harus diatur pelaksanaannya dalam undang-undang. Sejarah terbentuknya PT Jamsostek (Persero) mengalami proses yang panjang, dimulai dari Undang-Undang No. 33 Tahun 1947 jo Undang-Undang No. 2 Tahun 1951 tentang Kecelakaan Kerja, Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No. 48/1952 jo PMP No. 8/1956 tentang Pengaturan Bantuan Untuk Usaha Penyelenggaraan Kesehatan Buruh, peraturan ini kemudian dilengkapi dengan PMP No. 15/1957 Tentang Pembentukan Yayasan Sosial Buruh, PMP No. 5/1964 Tentang Pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial (YDJS), dalam peraturan ini diuraikan tentang bantuan kepada badan yang menyelenggarakan usaha jaminan

60 sosial, diberlakukannya Undang-Undang No. 14 Tahun 1969 tentang Pokok- Pokok Tenaga Kerja. Secara kronologis proses lahirnya asuransi sosial tenaga kerja semakin transparan. Setelah mengalami kemajuan dan perkembangan, baik menyangkut landasan hukum, bentuk perlindungan maupun cara penyelenggaraan, pada tahun 1977 dioeroleh suatu tonggak sejarah penting dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 33 Tahun 1977 tentang Pelaksanaan Program Asuransi Sosial Tenaga Kerja (ASTEK), yang mewajibkan setiap pemberi kerja/pengusaha swasta dan Badan Usaha Milik Negara untuk mengikuti program ASTEK. 33 Pada tahun 1992, pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menerbitkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja ini meliputi empat program, yaitu Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JK), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK). Selanjutnya sebagai peraturan pelaksana undang-undang ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek yang mewajibkan setiap pengusaha atau perusahaan yang memiliki karyawan minimal 10 orang atau mengeluarkan biaya untuk gaji buruh/pekerjanya minimal 1 juta/bulan untuk mengikutsertakan pekerjanya dalam program Jamsostek (pasal 2 ayat 3). Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 menugaskan PT Jamsostek sebagai pelaksana program Jamsostek dan hal ini dipertegas melalui Peraturan 33 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 184

61 Pemerintah No. 36 Tahun 1995 yang mengatur ditetapkannya PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Adapun yang menjadi visi PT Jamsostek adalah menjadi lembaga penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang terpercaya dengan mengutamakan pelayanan prima dan manfaat optimal bagi seluruh peserta. Adapun yang menjadi misi PT Jamsostek adalah sebagai berikut: 34 a) Meningkatkan dan mengembangkan mutu pelayanan dan manfaat kepada peserta berdasarkan prinsip profesionalisme b) Meningkatkan jumlah kepesertaan program Jaminan Sosial Tenag Kerja c) Meningkatkan budaya kerja melalui kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan penerapan Good Corporate Governance (GCG) d) Mengelola dana peserta secara optimal dengan mengutamakan prinsip kehati-hatian (Prudent) e) Meningkatkan Corporate Values dan Corporate Images. Ada dua aspek penting yang tercakup dalam program Jamsostek, yaitu: 1) Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan minimal bagi pekerja/buruh beserta keluarganya 2) Merupakan penghargaan kepada pekerja/buruh yang telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada perusahaan tempat dia bekerja. Untuk lebih lanjut, manifestasi Hubungan Industrial Pancasila dapat kita lihat dengan terkandungnya asas-asas pancasila dalam program Jamsostek, yaitu: 1992 34 PT Jamsostek, Prinsip, Praktik Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Pt Jamsostek, Jakarta.

62 1. Sila Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. HIP mengaku dan menyakini bahwa bekerja bukan hanya bertujuan untuk sekedar mencari nafkah saja, akan tetapi sebagai pengabdian manusia kepada Tuhannya, kepada sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara. Jamsostek memberikan jaminan atau garansi akan biaya kematian yang menimpa tenaga kerja sehingga tenaga kerja merasa nyaman bekerja dan merasakan rasa kemanusiaan yang tinggi dalam lingkungan perusahaan. 2. Sila Kemanusiaan HIP menganggap pekerja bukan hanya sekedar faktor produksi belaka akan tetapi sebagai manusia pribadi dengan segala harkat dan martabatnya. Dalam sejarah perkembangan industri dunia banyak terjadi pelanggaran kemanusiaan, system industri yang negative dapat memposisikan manusia sebagai benda dan benda sebagai manusia dan benda dalam hal ini adalah mesin. Dengan adanya jaminan yang diberikan kepada tenaga kerja seperti halnya Jamsostek maka adagium diatas dapat disingkirkan karena Jamsostek menjadi hak tenaga kerja sebagai manusia sehingga tenaga kerja dapat meningkatkan harkat dan martabatnya. 3. Sila Persatuan Indonesia HIP melihat antara pekerja dan pengusaha bukanlah mempunyai kepentingan yang bertentangan, akan tetapi mempunyai kepentingan yang sama yaitu kemajuan perusahaan. Karena dengan perusahaan semua pihak

63 akan dapat meningkatkan kesejahteraan. Pekerja/buruh merupakan salah satu komunitas masyarakat indonesi yang cukup besar dan solidaritas antara pekerja/buruh juga kuat sehingga ketika pekerja/buruh merasa bahwa hak-hak mereka sebagai warga negara dan sebagai pekerja sudah dikesampingkan maka ini dapat menimbulkan perpecahan sosial dalam bangsa dan negara. Jamsostek memberikan jaminan akan hak-hak pekerja/buruh sehingga pekerja/buruh merasa sebagian hak-haknya telah terlindungi dan hal ini akan mengurangi potensi perpecahan tersebut. 4. Sila Kerakyatan/Musyawarah Di dalam HIP setiap ada perbedaan pendapat antara pekerja dan pengusaha harus diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mencari mufakat yang dilakukan secara kekeluargaan (bukan dengan adu kekuatan). Begitu juga dengan penyelesaiaan permasalahan Jamsostek harus diselesaikan dengan musyawarah terlebih dahulu 5. Sila Keadilan Sosial Di dalam menikmati hasil perusahaan dibagi secara kekeluargaan, secara adil dan merata sesuai dengan pengorbanan masing-masing. Jamsostek juga merupakan bagian dari pembagian hasil perusahaan yang dialokasikan untuk melindungi dan menjamin hak-hak pekerja/buruh sehingga Jamsostek juga dapat menimbulkan rasa keadilan bagi pekerja/buruh.

64 C. Hubungan Pengawasan dan Pelaksanaan Jamsostek menurut Peraturan Ketenagakerjaan yang berlaku. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah perkembangan hukum perburuhan nasional. Peraturan perundang-undangan yang pertama sekali mengatur tentang jaminan bagi tenaga kerja yaitu Undang-Undang No. 33 Tahun 1947 jo Udang-Undang No. 2 Tahun 1951 tentang Kecelakaan Kerja, kemudian Undang-Undang No. 14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Tenaga Kerja, dan terakhir Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Peraturan pelaksana dari Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 yang memuat pengaturan lebih lanjut tentang teknis-operasional pelaksanaan Jamsostek pertama sekali diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja. PP ini telah direvisi beberapa kali untuk menyesuaikan aturan dengan perkembangan masyarakat melalui : 35 1) PP No. 79 Tahun 1998 2) PP No. 83 Tahun2000 3) PP No. 28 Tahun 2002 4) PP No. 64 Tahun 2005, dan 5) PP No. 76 Tahun 2007 Eksistensi jaminan sosial bagi redistribusi pendapatan telah diratifikasi dalam deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai Universal Declaration of Human Rights dan deklarasi ini telah mendapat dukungan penuh 35 Agusmidah, Op.Cit hal. 117

65 dari anggota PBB. Sebagaimana yang dimuat dalam article 22 Universal Declaration of Human Rights yang berbunyi Everyone, as a member of a society, has the right to social security and is entitiled to realization, trought national effort and international co-operation an in accordance with the organization and resources of each state, of the economic, social and cultural rights indispensable for his dignity and the free development of his personality. 36 Pemerintah bertanggung jawab atas terlaksananya setiap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ketenagakerjaan terutama yang mengatur tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja, khususnya pasal 10 dan 15 37 Pasal 10 menyatakan : Pemerintah membina perlindungan tenaga kerja yang mencakup; a) Norma Keselamatan Kerja b) Norma Kesehatan Kerja dan Hygiene perusahaan c) Norma Kerja dan d) Pemberian Ganti Kerugian, perawatan dan rehabilitasi dalam hal kecelakaan kerja. Pasal 15 menyatakan : Pemerintah mengatur penyelenggaraan pertanggungan sosial dan bantuan sosial bagi tenaga kerja dan keluarganya. Atas dasar amanat peraturan perundang-undangan tersebutlah pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab membentuk Pengawas 36 Ahmad Fauzan, Konvensi ILO yang Berlaku dan Mengikat di Indonesia, Bandung: Penerbit Yrama Widya,2005, hal.15 37 Sendjun H Manullang, Op.Cit, hal. 129

66 Ketenagakerjaan yang bertugas mengawasi pelaksanaan peraturan ketenagakerjaan dan menindak pelanggaran peraturan ketenagakerjaan. Tahun 1948 pemerintah mengeluarkan peraturan tentang Pengawasan Tenaga Kerja yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 1948 jo Undang-Undang No. 3 Tahun 1951. Pengawasan Ketenagakerjaan juga diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja seperti yang tertulis dalam pasal 16 yang berbunyi: Guna menjamin pelaksanaan pengaturan ketenagakerjaan serta peraturanperaturan pelaksanaannya diadakan suatu sistem pengawasan tenaga kerja. Pengawasan ini bukanlah alat perlindungan, melainkan lebih merupakan cara untuk menjamin pelaksanaan peraturan perlindungan. Ada tiga tugas pokok dalam pengawasan yaitu: 38 1. Melihat dengan jalan memeriksa dan menyelidiki sendiri apakah ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan dilaksanakan dan jika tidak dapat mengambil tindakan-tindakan yang wajar untuk menjamin pelaksanaannya itu; 2. Membantu baik buruh maupun pimpinan perusahaan dengan jalan memberi penjelasan-penjelasan teknis dan nasehat yang mereka perlukan agar mereka menyelami apakah yang dimintakan oleh peraturan dan bagaimanakah melaksanakannya; 3. Menyelidiki keadaan perburuhan dan mengumpulkan bahan yang diperlukan untuk penyusunan perundang-undangan perburuhan dan penetapan kebijaksanaan pemerintah. 38 Agusmidah, Fungsi Pengawasan Pemerintah Terhadap Perlindungan Buruh Perempuan Pada Perusahaan Industri Di Kabupaten Deli Serdang, Tesis, Medan: PPs USU, 2001, hal. 40

67 Jamsostek mulai dari pendaftaran kepesertaan sampai dengan pemberian santunan merupakan rangkaian yang tidak dapat terlepas dari obyek pengawasan. Petugas pengawas ketenagakerjaan dalam menjalankan tugas pengawasannya harus berpegang pada peraturan-peraturan yang berlaku yang berkaitan dengan pengawasan ketenagakerjaan. Dalam hal pelaksanaan Jamsostek petugas pengawas dapat merinci hal-hal apa saja dalam jamsostek yang menjadi objek pengawasannya yaitu : 39 1. Syarat-syarat kepesertaan Jamsostek 2. Prosedur pendaftaran peserta Jamsostek 3. Hak dan kewajiban peserta Jamsostek 39 Wawancara dengan Dra. Akrida: Petugas Pengawas Ketenagakerjaan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan

68 BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI KENDALA YANG DIHADAPI PENGAWAS KETENAGAKERJAAN DALAM PENGAWASAN PELAKSANAAN JAMSOSTEK A. Faktor Internal Pengawasan ketenagakerjaan bukanlah alat perlindungan, melainkan lebih kepada cara untuk menjamin pelaksanaan peraturan perundangundangan ketenagakerjaan. Ada tiga tugas pokok dalam pengawasan ketenagakerjaan yaitu 40 : 1. Melihat dengan jalan memeriksa dan menyelidiki sendiri apakah ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan dilaksanakan, dan jika tidak maka pengawas dapat mengambil tindakan-tindakan yang wajar untuk menjamin pelaksanaannya itu; 2. Membantu baik buruh maupun pengusaha dengan jalan memberi penjelasan-penjelasan teknis dan nasihat yang mereka perlukan agar mereka menyelami apakah yang dimintakan oleh peraturan dan bagaimanakah melaksanakannya; 3. Menyelidiki keadaan perburuhan dan mengumpulkan bahan yang diperlukan untuk penyusunan perundang-undangan perburuhan dan penetapan kebijaksanaan pemerintah. Tujuan pengawasan adalah untuk mengusahakan agar hasil yang dicapai sesuai dengan rencana. Agar realisasi rencana tercapai maka pengawasan pada tahap pertama bertujuan agar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan prinsip-prinsip dan ketentuan serta perundang-undangan 40 Agusmidah:Tesis, Opcit, hal 40

69 yang berlaku. Dengan adanya ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku maka dapat diukur sejauh mana kesalahan yang telah dilakukan, dan berdasarkan penemuan-penemuan tersebut dapat diambil tindakan untuk memperbaiki kesalahan. Dalam menjalankan tugas pengawasan demi tercapainya tujuan pengawasan ketenagakerjaan, pengawas ketenagakerjaan memiliki kendala-kendala yang harus dihadapi baik itu yang disebabkan faktor internal maupun faktor eksternal. Sebagai lembaga yang berada dibawah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi maka pengawas ketenagakerjaan harus selalu berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sehingga efektifitas dari pengawasan ketenagakerjaan di daerah sangat tergantung dengan kebijakan pemerintah pusat. Pemerintah pusat harus mengerti kebutuhan setiap pengawas ketenagakerjaan di semua daerah agar koordinasi antara pusat dan daerah dapat berjalan dengan baik. Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan yang memiliki wewenang pengawasan ketenagakerjaan di kota Medan juga tidak luput dari permasalahan-permasalahan internal dalam melaksanakan fungsi pengawasannya. Dra. Akrida 41 sebagai salah satu pengawas ketenagakerjaan di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja mengemukakan permasalahan internal yang saat ini menjadi kendala terbesar dapat dirinci sebagai berikut : 41 Wawancara dengan Dra. Akrida; pengawas ketenagakerjaan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan

70 1. Kelembagaan Pengawas ketenagakerjaan menjadi wewenang pemerintah pusat yang mana dalam pelaksanaan wewenang tersebut di delegasikan kepada pengawas ketenagakerjaan yang ada di Pemerintah Daerah tingkat Provinsi dan Pemerintah Daerah tingkat Kabupaten/Kota sehingga dalam melaksanakan fungsi pengawasan tersebut pengawas ketenagakerjaan harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat sesuai dengan hierarki kelembagaan. Namun koordianasi antara lembaga ini tidak berjalan efektif dan efesien sehingga pengawas ketenagakerjaan tidak dapat melakukan hal-hal yang inovatif dalam menjalankan tugasnya dan kurang baiknya koordinasi ini menyebabkan kurang diperhatikannya pengawas ketenagakerjaan didaerah, akibat lain dari lemahnya koordinasi tersebut juga menghambat pelaksanaan dan penentuan program kerja nasional bagi pengawasan ketenagakerjaan 2. Peraturan Pengawasan Ketenagakerjaan telah diatur dalam berbagai peraturan yang bertujuan untuk meningkatkan efektifitas dari fungsi pengawasan. Namun walaupun demikian tetap saja ada kendala yang dihadapi pengawas ketenagakerjaan dalam menghadapi tugasnya yang disebabkan oleh masih lemahnya peraturan-peraturan tersebut sehingga masih ada celah yang dapat digunakan pelanggar ketenagakerjaan untuk mengantisipasi pengawasan yang dilakukan petugas.

71 3. Sumber Daya Manusia Inilah kendala internal terbesar yang dihadapi pengawas ketenagakerjaan dalam menjalankan tugasnya. Minimnya jumlah petugas pengawas ketenagakerjaan yang ada didaerah tidak sebanding dengan jumlah perusahaan yang harus diawasi, Pengawas Ketenagakerjaan yang ada di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan hanya memiliki 15 orang petugas pengawas sementara jumlah perusahaan yang menjadi objek pengawasan adalah berjumlah 15.000 lebih perusahaan. Selain permasalahan kuantitas petugas tadi, kualitas dan skill petugas pengawas ketenagakerjaan juga masih perlu untuk ditingkatkan karena tidak sedikit petugas pengawas yang kurang memahami tugasnya sebagai pengawas ketenagakerjaan khususnya dalam hal pengawasan pelaksanaan Jamsostek. B. Faktor Eksternal Selain kendala internal, pengawas ketenagakerjaan juga menghadapi kendala yang timbul diluar dari lembaga tersebut atau kendala eksternal. Kendala eksternal biasanya kendala yang dihadapi pada saat melakukan pengawasan ketenagakerjaan yang dijumpai di lapangan. Dalam hal ini kendala biasanya datang dari pihak pengusaha maupun pekerja/buruh.

72 1. Kendala dari Pengusaha Pengusaha sebagai pihak yang paling sering berurusan dengan pengawas ketenagakerjaan biasanya sering mempersulit jalannya fungsi pengawasan. Pengusaha tidak jarang memanipulasi laporan ketenagakerjaan guna mengelabui petugas pengawas ketenagakerjaan khususnya dalam hal pelaksanaan Jamsostek, sebagai contoh pengusaha sering membuat laporan tentang upah yang tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya untuk menghindari dari kewajiban pelaksanaan Jamsostek 2. Kendala dari Pekerja/Buruh Pekerja/buruh sebagai pihak yang diperhatikan nasibnya dalam jalannya fungsi pengawasan juga jarang bersifat pro aktif, pekerja/buruh lebih sering melaporkan permasalahan-permasalahan yang hanya berkaitan dengan pemecatan dan masalah pembayaran gaji semantara permasalahan-permasalahan ketenagakerjaan lain yang bersifat normatif sering tidak diperhatikan pekerja/buruh. Pekerja/buruh juga lebih sering melaporkan permasalahanpermasalahan ketenagakerjaan yang menimpa mereka kepada lembaga hukum yang lain tanpa melalui pengawas ketenagakerjaan terlebih dahulu.

73 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Pengawas Ketenagakerjaan memiliki peran yang sangat penting dalam berjalannya peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, dengan kata lain peran pengawas ketenagakerjaan adalah mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan. Sesuai pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 1948 tentang Pengawas Ketenagakerjaan, guna pengawasan perburuhan adalah : a) Mengawasi berlakunya undang-undang dan peraturan perburuhan pada khususnya b) Mengumpulkan bahan keterangan tentang soal hubungan kerja dan keadaan perburuhan dalam arti yang seluas-luasnya, guna membuat undang-undang dan peraturan perburuhan 2. Manfaat pengawasan ketenagakerjaan dalam pelaksanaan Jamsostek adalah memberikan jaminan kepada peserta Jamsostek dalam bentuk pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran perundang-undangan ketenagakerjaan terutama dalam hal pelaksanaan Jamsostek. Namun pengawasan terhadap pelaksanaan Jamsostek belum begitu maksimal dan belum begitu efektif, hal ini dapat kita lihat dari masih banyaknya terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam hal pelaksanaan jamsostek yang dilakukan oleh perusahaan dan masih adanya perusahaan-perusahaan yang belum mendaftarkan tenaga kerja nya dalam program Jamsostek.

74 3. Kendala yang dihadapi Pengawas Ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugas pengawasannya dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok yaitu yang berasal dari faktor internal yang terdiri dari permasalahan kelembagaan, peraturan, dan sumber daya manusia (SDM). Sedangkan kelompok yang kedua adalah kendala yang berasal dari faktor eksternal yaitu yang berasal dari luar pengawas ketenagakerjaan yang terdiri dari kendala yang datangnya dari pihak pengusaha dan kendala yang datang dari pihak pekerja/buruh. B. Saran Memperhatikan pembahasan pada bab-bab sebelumnya serta kesimpulan yang penulis uraikan pada bab ini, maka penulis mencoba mengemukakan beberapa saran yang dianggap penting oleh penulis, diantaranya : 1. Pengawas Ketenagakerjaan harus menjalin kerjasama dan komunikasi yang berkelanjutan dengan pihak pekerja/buruh dan memberikan pemahaman tentang hak-hak buruh sehingga diharapkan pekerja/buruh juga dapat lebih bersifat pro aktif dalam mengawasi pelaksanaan Jamsostek di perusahaannya dan melaporkan pelanggaran-pelanggaran Jamsostek yang terjadi di perusahaan tersebut. 2. Pengawas Ketenagakerjaan juga dapat menjalin kerjasama dengan PT. Jamsostek agar pengawas ketenagakerjaan memiliki data pembanding dan pendukung tentang jaminan sosial tenaga kerja yang dapat diperoleh dari PT. Jamsostek dan membantu PT. Jamsostek dalam

75 mensosialisasikan pelaksanaan program Jamsostek sehingga dapat meminimalisir terjadinya pelanggaran terhadap pelaksanaan Jamsostek. 3. Pengawas Ketenagakerjaan harus menjalin koordinasi yang benar-benar terpadu antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah agar program kerja pengawasan ketenagakerjaan dapat lebih efektif sehingga pemerintah pusat mengetahui dan memperhatikan kendala-kendala yang dihadapi pengawas ketenagakerjaan di daerah- daerah sehingga dapat mengeluarkan suatu kebijakan unruk menyelesaikan kendala tersebut seperti minimnya jumlah tenaga pengawas ketenagakerjaan yang ada di daerah-daerah sehingga perlu untuk ditambah jumlahnya.