POKOK-POKOK HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL

dokumen-dokumen yang mirip
PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

PEDOMAN PENGADUAN (KELUHAN) INDIVIDU BERDASARKAN PERSETUJUAN INTERNASIONAL

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

HUKUM INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERTEMUAN XXVII, XXVIII & XXIX. By Malahayati, SH, LLM

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

BAGIAN KEDUA NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL BABV EKSISTENSI NEGARA DALAM MASYARAKATINTERNASIONAL

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Institute for Criminal Justice Reform

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

LAYANAN PENASIHAT DAN KERJA SAMA TEKNIS DI BIDANG HAK ASASI MANUSIA. Lembar Fakta No. 3. Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK)

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB III PROBLEMATIKA KEMANUSIAAN DI PALESTINA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RESUME SKRIPSI. Dalam pergaulan internasional setiap negara tidak. bisa melepaskan diri dari hubungan atau kerjasama antar

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

UNOFFICIAL TRANSLATION

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan

15A. Catatan Sementara NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional

SEKILAS UNI EROPA SWEDIA FINLANDIA ESTONIA LATVIA LITHUANIA DENMARK INGGRIS BELANDA IRLANDIA POLANDIA JERMAN BELGIA REPUBLIK CEKO SLOWAKIA HONGARIA

LEMBAGA NASIONAL UNTUK MEMAJUKAN DAN MELINDUNGI HAK ASASI MANUSIA. Lembar Fakta No. 19. Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..?

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata

Mendorong Komitmen Indonesia Meratifikasi Statuta Roma untuk Memperkuat Perlindungan Hak Asasi Manusia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

INSTRUMEN INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA

K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011

K19 PERLAKUKAN YANG SAMA BAGI PEKERJA NASIONAL DAN ASING DALAM HAL TUNJANGAN KECELAKAAN KERJA

K100 UPAH YANG SETARA BAGI PEKERJA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN UNTUK PEKERJAAN YANG SAMA NILAINYA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH

K105 PENGHAPUSAN KERJA PAKSA

KOVENAN HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK, SEBUAH PENGANTAR

BAB II PENGATURAN PEKERJA RUMAHANMENURUT KONVENSI ILO N A. Konvensi Sebagai Produk ILO dan daya Ikatnya Bagi Negara-negara

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

TINJAUAN UMUM HUKUM HAK ASASI MANUSIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Mengakui di satu pihak, bahwa hak-hak dasar manusia berasal dari sifat-sifat umat manusia,

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG

Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak Penduduk CAB/LEG/67/3 rev. 5, 21 I.L.M.58 (Nairobi, Kenya, 1982) Berlaku pada 21 Oktober 1986.

K106 ISTIRAHAT MINGGUAN DALAM PERDAGANGAN DAN KANTOR- KANTOR

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERANGKAT HAK ASASI MANUSIA LEMBAR FAKTA NO. 1. Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 17 Februari 2008 yang lalu, parlemen Kosovo telah

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG

Transkripsi:

Seri Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 POKOK-POKOK HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL Rudi. M Rizki, SH, LLM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510 Telp (021) 7972662, 79192564 Fax : (021) 79192519 Website : www.elsam.or.id Email : office@elsam.or.id : advokasi@indosat.net.id

Pengantar Yang dimaksud dengan hukum HAM internasional di sini adalah hukum mengenai perlindungan terhadap hak-hak individu atau kelompok yang dilindungi secara internasional dari pelanggaran yang terutama dilakukan oleh pemerintah atau aparatnya, termasuk di dalamnya upaya penggalakkan hak-hak tersebut. Cabang hukum ini seringkali disebut sebagai perlindungan internasional terhadap HAM, atau hukum HAM internasional. Walaupun tidak terdapat kesepakatan mengenai peristilahan ini, tetapi istilah-istilah tersebut seringkali digunakan secara bergantian dalam berbagai kepustakaan. Masa Sebelum Perang Dunia ke-ii Hukum HAM internasional bermula dari sejarah perkembangan doktrin-doktrin dan institusi-institusi internasional. Yang penting diantaranya adalah doktrin dan lembaga, intervensi humaniter, tanggung jawab negara terhadap kerugian yang diderita orang asing, perlindungan golongan minoritas, Sistem Mandat dan Minoritas dari LBB, serta hukum Humaniter Internasional. HAM dan Hukum Internasional Tradisional Secara tradisional, hukum internasional diartikan sebagai hukum yang hanya mengatur hubungan antar negara. Oleh karena itu, negara merupakan satu-satunya subyek hukum internasional dan memiliki hak-hak hukum menurut hukum internasional. Definisi tradisional ini kemudian pada masa setelah Perang Dunia ke-ii diperluas hingga mencakup organisasi internasional sebagai subyek hukum internasional yang memiliki hak-hak tertentu berdasarkan hukum internasional. Manusia sebagai individu dianggap tidak memiliki hak-hak menurut hukum internasional, sehingga manusia lebih dianggap sebagai obyek hukum daripada sebagai subyek hukum internasional. Teori-teori mengenai sifat hukum internasional ini kemudian membentuk kesimpulan bahwa perlakuan negara terhadap warga negaranya tidak diatur oleh hukum internasional, sehingga tidak ada pengaruhnya terhadap hak negara-negara lainnya. Karena hukum internasional tidak dapat diterapkan terhadap pelanggaran HAM suatu negara terhadap warga negaranya, maka seluruh permasalahan ini secara eksklusif berada di bawah yurisdiksi domestik setiap negara. Dengan kata lain, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 1

masalah HAM merupakan urusan dalam negeri setiap negara sehingga negara lain tidak berhak bahkan dilarang untuk turut campur tangan terhadap pelanggaran HAM di dalam suatu negara. Namun demikian, masih terdapat pengecualian terhadap aturan ini dalam bentuk intervensi humaniter. Intervensi Humaniter Doktrin intervensi humaniter yang dikemukakan oleh Grotius pada abad ke-17 dan diikuti oleh banyak pendukungnya, diartikan sebagai penggunaan kekuatan yang sah yang dilakukan oleh suatu atau beberapa negara terhadap negara lainnya guna menghentikan perlakuan yang menyimpang terhadap warga negaranya, khususnya terhadap perlakuan brutal dan berskala besar yang bertentangan dengan keyakinan masyarakat bangsa-bangsa. Doktrin ini pada kenyataannya sering disalahgunakan oleh negara-negara besar tertentu untuk menginvasi atau mengokupasi negara-negara yang lebih lemah. Namun demikian, doktrin ini merupakan pernyataan pertama yang membatasi kebebasan negara berdasarkan hukum internasional dalam memperlakukan warga negaranya. Berdasarkan doktrin ini pula, suatu organisasi internasional atau kelompok negara-negara menggunakan kekuatannya untuk mengakhiri suatu pelanggaran berat terhadap HAM di suatu negara. Dewasa ini, Dewan Keamanan PBB sering mengambil tindakan terhadap negaranegara yang dianggap telah melakukan pelanggaran berat terhadap HAM dengan memperkenankan penggunaan tindakan pemaksaan berdasarkan Bab VII Piagam PBB. Ketentuan ini hanya berlaku terhadap keadaan yang mengancam atau membahayakan perdamaian dan terhadap tindakan agresi. Tindakan Dewan Keamanan ini antara lain adalah yang dilakukan untuk melindungi Suku Kurdi di Irak, pada Negara Bekas Yugoslavia, dan di Haiti. Karena resolusi-resolusi yang mengesahkan tindakan Dewan Keamanan tersebut secara hukum dan secara faktual masih dianggap mendua (ambiguous), maka tindakan tersebut masih sulit untuk dikatakan sebagai suatu versi modern dari doktrin intervensi humaniter secara kolektif. Namun demikian, dapatlah dikatakan bahwa peran Dewan Keamanan tersebut telah mengarah ke sana. Pendirian Pengadilan Internasional untuk Bekas Yugoslavia oleh Dewan Keamanan yang dimaksudkan untuk mengadili orang-orang yang bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan, pembunuhan massal, dan kejahatan perang di wilayah tersebut, dapat pula dianggap sebagai suatu bentuk modern dari intervensi humaniter secara kolektif terhadap pelanggaran berat terhadap HAM. Perjanjian Internasional tentang HAM Sebelum Perang Dunia ke-ii Suatu prinsip dalam hukum internasional menyatakan bahwa suatu negara membatasi kedaulatannya dengan suatu perjanjian internasional, dan dengan demikian telah menginternasionalisasikan sesuatu hal yang sebelumnya tidak diatur oleh hukum internasional. Sebagai contoh, suatu negara membuat suatu perjanjian dengan negara lain yang pada intinya menyepakati untuk memperlakukan secara manusiawi warga negara mereka dan sekaligus mengukuhkan hak-hak asasi tertentu. Dalam hal ini telah Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 2

terjadi internasionalisasi hal-hal yang sebelumnya secara eksklusif berada di dalam yurisdiksi nasional. Karenanya negara yang bersangkutan tidak dapat lagi menyatakan bahwa perlakuan terhadap warga negaranya sepenuhnya merupakan urusan dalam negeri. Prinsip ini sangat berperan penting di dalam perkembangan hukum HAM internasional dan internasionalisasi HAM secara gradual. Walaupun proses internasionalisasi ini sedang terus berlangsung dengan berlakunya berbagai perjanjian internasional mengenai HAM, tetapi pada awalnya bermula dari abad ke- 19, ketika dirumuskannya berbagai perjanjian internasional untuk melarang perbudakan dan untuk melindungi kaum minoritas Kristen di Ottoman (Turki). Misalnya Treaty of Paris 1856, dan Treaty of Berlin 1878, yang memberikan kewenangan kepada negara-negara yang tergabung dalam Concert of Europe untuk campur tangan secara diplomatik bahkan secara militer terhadap Turki atas nama penduduk yang beragama Kristen. Treaty of Berlin mempunyai kekhususan karena telah memberikan status hukum tertentu kepada berbagai kelompok pemeluk agama, dan telah menjadi model dalam membentuk Sistem Minoritas yang kemudian dibentuk di bawah Liga Bangsa-Bangsa. Liga Bangsa-Bangsa (LBB) The Covenant of the League of Nations yang mendirikan LBB dan berlaku sebagai konstitusi organisasi tersebut, tidak memuat ketentuan umum tentang HAM. Teori yang mengemukakan bahwa HAM perlu dilindungi secara internasional belum diterima secara meluas oleh masyarakat bangsa-bangsa, bahkan belum secara sungguh-sungguh dipertimbangkan oleh para perumus Covenant. Namun demikian, dua pasal (Pasal 22 dan 23) dari Covenant merupakan ketentuan yang penting dalam perkembangan hukum HAM internasional. LBB juga telah berperan penting dalam pengimplementasian perlindungan kelompok minoritas pada masa setelah Perang Dunia ke-ii. 1. Sistem Mandat Pasal 22 Covenant membentuk Sistem Mandat LBB yang diterapkan terhadap bekas wilayah-wilayah jajahan negaranegara yang kalah perang dalam Perang Dunia ke-i. Berdasarkan sistem ini, bekas koloni tersebut ditempatkan di bawah Mandat LBB dan dikelola oleh negaranegara pemenang perang. Para Pemegang Mandat ini setuju untuk memerintah berdasarkan prinsip bahwa kehidupan dan pembangunan penduduk daerah Mandat merupakan a sacred trust of civilization. Negara Pemegang Mandat berkewajiban memberikan laporan tahunannya kepada Liga mengenai tanggung jawab yang diberikannya, yang kemudian dibahas oleh Komisi Mandat LBB. Komisi Mandat LBB kemudian secara bertahap memperoleh kewenangan untuk mengawasi pemerintahan di daerah Mandat termasuk mengawasi perlakuan terhadap penduduknya. Ketika LBB digantikan PBB, Sistem Mandat ini digantikan dengan Sistem Perwalian, dimana PBB mempunyai kewenangan untuk mengawasi daerah-daerah Mandat yang masih tersisa dan wilayah-wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri. Salah satunya adalah Namibia (Afrika Barat Daya) ditempatkan di bawah Sistem Mandat dengan Pemegang Mandat Afrika Selatan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 3

yang pada masa PBB selama bertahuntahun tidak mentaati segala aturan yanag ditetapkan berdasarkan Sistem Perwalian PBB. Bahkan Afrika Selatan pada masa itu menerapkan sistem politik apartheid dan sangat rasialist. 2. Standar Perburuhan Internasional Pasal 23 Covenant sangat erat hubungannya dengan HAM, karena menekankan pentingnya kondisi yang adil dan manusiawi bagi buruh pria, wanita, dan anak-anak. Pasal ini pun mendasari pembentukan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang masih menjalankan fungsinya hingga sekarang dan merupakan badan khusus PBB. Kegiatan legislasi dan prosedur pengawasan yang dimilikinya telah mendorong ketaatan terhadap standar perburuhan internasional dan telah cukup banyak memberikan sumbangan berharga terhadap peningkatan kondisi kerja dan perkembangan hukum HAM internasional. 3. Sistem Minoritas LBB sangat berperan pula di dalam pengembangan sistem perlindungan bagi golongan minoritas. Walaupun tidak tercantum di dalam Covenant, namun kewenangan untuk melindungi kaum minoritas ini diperolehnya melalui serangkaian perjanjian yang dibuat setelah usainya Perang Dunia ke-i. Berakhirnya perang tersebut telah merubah peta bumi politik Eropa dan Timur Tengah dimana lahir beberapa negara baru atau menyebabkan beberapa negara mendapatkan kembali kemerdekaannya. Diantaranya adalah Polandia, Chekoslovakia, Hongaria, Yugoslavia, Bulgaria, Albania, dan Rumania, termasuk kantong-kantong golongan minoritas berdasarkan etnis, bahasa, dan agama. Golongan minoritas ini mempunyai cukup alasan berdasarkan sejarah atas kekuatiran bahwa tata politik yang baru dapat mengancam kelangsungan budaya mereka. Untuk itu pemerintah-pemerintah dari negara-negara pemenang perang (Principal Allied and Associated Powers) dan negaranegara baru membentuk perjanjian khusus untuk melindungi kaum minoritas tersebut. Perjanjian pertama yang membentuk sistem perlindungan ini adalah Perjanjian antara Principal Allied and Associated Powers dan Polandia yang ditandatangani di Versailles pada tanggal 29 Juni 1919, yang kemudian dijadikan model bagi perjanjian-perjanjian serupa. Pada intinya, perjanjian-perjanjian tersebut mengharuskan negara-negara yang menganut sistem minoritas untuk menerapkan prinsip non-diskriminasi terhadap anggota golongan minoritas yang dilindungi dan menjamin hak-hak khusus untuk melestarikan integritas etnis, bahasa, dan agamanya, termasuk hak untuk menggunakan bahasanya secara resmi, hak untuk menjalankan pendidikan dan hak untuk menjalankan peribadatan. Untuk menjamin penataan terhadap perjanjianperjanjian ini, setiap perjanjian berisikan klausula yang menyatakan bahwa kewajiban untuk melindungi kaum minoritas ini merupakan kewajiban internasional serta menempatkan LBB sebagai penjamin penataan kewajiban tersebut. LBB bersedia menjadi penjamin dari kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh para pihak peserta perjanjian-perjanjian tersebut yang pelaksanaannya dijalankan dengan mengembangkan suatu institusi untuk menangani petisi yang diajukan kaum minoritas atas pelanggaran terhadap hak-haknya. Petisi tersebut dibahas oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 4

Komite III LBB dan memberikan kesempatan kepada negara-negara yang bersangkutan untuk mengemukakan pandangannya. Apabila diperlukan, Mahkamah Internasional Permanen dapat memberikan pendapatnya dari segi hukum. Walaupun beberapa perjanjian mengenai perlindungan minoritas ini masih berlaku hingga kini, tetapi Sistem Minoritas LBB tidak dikenal lagi dalam kerangka PBB. Namun demikian, di dalam perkembangannya kemudian tampak bahwa kelembagaan hukum HAM internasional yang modern ternyata menyerupai kelembagaan yang pertama kali dikembangkan oleh LBB khususnya dalam menangani sistem minoritas. Untuk beberapa tahun sejak berdirinya PBB tampak bahwa perhatian PBB dan lembaga internasional lainnya terhadap perlindungan kaum minoritas sangatlah kecil. Mereka lebih memusatkan perhatiannya kepada hak-hak individu, non-diskriminasi, dan perlindungan yang sama (equal protection). Dengan berakhirnya Perang Dingin dan munculnya gelombang nasionalisme di berbagai bagian dari dunia ini, masyarakat internasional kembali mulai memberikan perhatiannya kepada pengembangan norma-norma dan institusi internasional yang diperlukan untuk melindungi hak-hak minoritas. Dalam hal ini, telah dilakukan berbagai langkah baik dalam kerangka PBB ataupun organisasi regional Eropa. Pertanggungjawaban Negara atas Kerugian Orang Asing Pada mulanya hukum internasional tradisional mengakui bahwa negara mempunyai kewajiban untuk memperlakukan warga negara asing di wilayahnya sesuai dengan standar minimum peradaban dan keadilan. Kewajiban ini dianggap harus dipenuhi oleh negara yang merupakan kewarganegaraan dari para individu karena manusia tidak mempunyai hak berdasarkan hukum internasional. Dengan demikian, apabila seseorang diperlakukan dengan cara-cara yang melanggar hukum internasional oleh suatu pemerintahan asing, maka negara yang merupakan kewarganegaraan orang tersebutlah yang berhak melakukan tindakan terhadap negara pelanggar tersebut. Apabila terjadi kerugian yang diderita orang tersebut, maka negara yang telah melakukan tindakan kepada negara pelanggar memberikan ganti rugi atas kerugian yang dideritanya kepada warga negara yang dirugikan tersebut. Namun demikian, pembayaran ganti rugi ini tidak diatur oleh hukum internasional. Persengketaan mengenai tuntutan berdasarkan hukum pertanggungjawaban negara atas kerugian yang diderita orang asing ini biasanya diselesaikan melalui perundingan diplomatik. Apabila ganti rugi tidak dipenuhi oleh negara pelanggar, kadang-kadang digunakan penggunaan kekerasan. Di samping melalui saluran diplomatik, penyelesaian sengketa ini seringkali dilakukan melalui lembaga arbitrase ataupun lembaga peradilan internasional. Fiksi hukum yang menyatakan bahwa kerugian yang diderita seseorang di luar negeri merupakan kerugian dari negara yang merupakan kewarganegaraan dari orang yang bersangkutan, mengakibatkan timbulnya anggapan bahwa negara merupakan satu-satunya subyek hukum internasional. Di samping fiksi ini tidak memberikan perlindungan kepada orang yang tanpa kewarganegaraan dan kepada orang yang merupakan warga negara dari negara yang melakukan pelanggaran. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 5

Substansi hukum yang dapat diberlakukan terhadap tuntutan negara atas nama warga negaranya diturunkan dari prinsip-prinsip umum hukum (Lihat sumber hukum internasional menurut Pasal 38 ayat 1 (c) Statuta Mahkamah Internasional). Prinsipprinsip ini berawal dari hukum alam dan berbagai doktrin hukum nasional mengenai perlakuan individu. Lembaga arbitrase dan peradilan internasional menggunakan asasasas hukum dan doktrin tersebut untuk merumuskan konsep-konsep antara lain, denial of justice dan minimum standard of justice. Ketika hukum internasional modern memberikan pengakuan bahwa individu, tanpa memperdulikan kewarganegaraannya, memiliki HAM tertentu yang sangat mendasar, kemudian prinsip-prinsip substantif dari hukum pertanggungjawaban negara yang berupa kumpulan norma-norma digunakan untuk mengkodifikasikan hukum HAM. Karena dewasa ini terjadi evolusi yang dramatis dan kodifikasi yang ekstensif dari hukum HAM, maka dapatlah dikatakan bahwa hukum HAM memberikan sumbangan yang besar bagi hukum pertanggungjawaban negara. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa antara hukum pertanggungjawaban negara tentang kerugian yang diderita orang asing dan hukum HAM memiliki hubungan yang erat dan timbal balik. Sementara hukum HAM berkembang, hukum pertanggungjawaban negara tentang kerugian yang diderita orang asing menunjuk kepada pelanggaranpelanggaran terhadap HAM yang fundamental, negara-negara juga menyandarkan kepada norma-norma HAM yang kontemporer sebagai dasar tuntutan bagi kerugian yang diderita oleh warga negaranya. Walaupun hukum HAM tumbuh berkembang, hukum pertanggungjawaban negara terhadap kerugian yang diderita orang asing terus memegang peranan yang penting di dalam hubungan diplomatik kontemporer. Negara-negara tetap mendukung tuntutan warga negaranya, baik sebagai orang perorangan maupun sebagai badan hukum atau korporasi. Dewasa ini tindakan berdasarkan hal ini lebih sering digunakan dibanding dengan digunakannya hak-hak dan kewajiban yang dituangkan di dalam perjanjian investasi bilateral dan multilateral. Hukum Humaniter Hukum humaniter yang merupakan cabang dari hukum internasional, sekarang dapat diartikan sebagai komponen HAM di dalam hukum perang. Hukum ini lebih tua usianya dibandingkan dengan hukum HAM. Perkembangannya yang modern dapat ditelusuri dari serangkaian gagasan yang dikemukakan oleh Swiss pada abad ke-19 yang kemudian melahirkan perjanjian internasional mengenai aturan-aturan kemanusiaan yang diterapkan dalam melakukan peperangan. Gagasan ini telah melahirkan Konvensi Jenewa 1864 yang ditujukan untuk melindungi tenaga-tenaga medis dan rumah sakit serta mengharuskan penampungan dan perawatan kombatan yang luka dan sakit. Konvensi ini kemudian diikuti oleh Konvensi Hague III tahun 1899 yang berisikan aturan-aturan kemanusiaan bagi peperangan di laut. Konvensi-konvensi ini kemudian diperbaiki dan disempurnakan beberapa kali, yang kemudian sekarang merupakan suatu hukum yang secara lengkap mencakup hampir semua aspek sengketa bersenjata yang modern. Kesemuanya itu dituangkan ke dalam Konvensi Jenewa 1949 dengan dua protokolnya. Walaupun hukum humaniter modern lebih dahulu lahir dibandingkan dengan hukum HAM internasional, namun pengaruh hukum HAM dapat ditemukan di dalam hukum humaniter. Sebagai contoh, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 6

protokol-protokol yang lahir kemudian mencerminkan asas-asas hukum HAM modern. Perlu dicatat bahwa degoration clauses dari hukum HAM internasional diambil dari hukum humaniter, termasuk juga kewajiban-kewajiban para negara peserta. memberikan perlindungan terhadap manusia baik dalam keadaan damai maupun perang. Dengan demikian, hukum HAM internasional modern mencakup juga hukum humaniter, yang berupaya untuk Hukum HAM Tradisional dan Modern Hukum internasional tradisional telah mengembangkan berbagai doktrin dan institusi untuk melindungi berbagai kelompok manusia, seperti budak belian, kelompok minoritas, penduduk asli, warga negara asing, korban pelanggaran berat HAM, dan kombatan. Hukum dan praktek negara-negara telah melahirkan dukungan konsepsual dan kelembagaan bagi perkembangan hukum HAM internasional kontemporer. Terlebih-lebih banyak institusi dan doktrin lama yang hidup terus secara berdampingan yang kemudian sekarang telah membentuk bagian yang tak terpisahkan dari hukum HAM modern. Dalam berbagai bidang tertentu, cabang hukum ini telah terpengaruh secara keseluruhan oleh pendahulunya. Perhatian terhadap akar sejarah hukum HAM internasional akan memberikan pemahaman yang mendalam terhadap bidang hukum ini. Sebagaimana yang akan diuraikan pada bagian berikutnya, hukum HAM internasional modern sangatlah berbeda dari yang dikenal di dalam sejarah yang mendahuluinya, di mana manusia sebagai individu dianggap memiliki jaminan secara internasional atas hak-haknya, dan tidak sebagai warga negara dari suatu negara tertentu. Saat ini telah lahir berbagai lembaga internasional yang memiliki yurisdiksi untuk melindungi individu dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negaranya maupun oleh negara lain. Walaupun mekanisme ini masih dirasakan kurang memadai dan kurang efektif, namun kecenderungan menunjukkan bahwa instrumen dan institusi HAM internasional yang tumbuh menjamur dibentuk untuk mengimplementasikan hukum tersebut, sehingga internasionalisasi HAM mengatasi harapan-harapan lain. Perkembangan ini pada gilirannya telah menimbulkan iklim politik yang menempatkan perlindungan HAM sebagai hal yang terpenting di dalam agenda panggung politik internasional kontemporer yang melibatkan pemerintah, organisasi pemerintah, termasuk pula LSM yang memiliki jaringan internasional. Akibatnya adalah, manusia di seluruh muka bumi ini semakin menyadari bahwa negara dan masyarakat internasional memiliki kewajiban untuk melindungi HAM. Harapan dari fenomena ini menimbulkan kesulitan politis ketika banyak negara yang menolak bahwa mereka memiliki kewajiban, yang tentu saja dapat memberikan kemudahan di dalam mendorong perlindungan HAM secara internasional. Dengan kata lain, apa yang kita saksikan saat ini adalah tengah berlangsungnya revolusi HAM, dimana banyak yang telah dihasilkan tetapi masih banyak pula yang harus dilakukan. Kebanyakan dari hukum ini telah tercantum di dalam berbagai instrumen hukum (internasional dan nasional) dan literatur, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 7

tetapi penegakkan hukumnya masih lemah. Dengan demikian tugas kita adalah memberikan gigi kepada hukum yang antara lain dengan memperkuat mekanisme internasional untuk melindungi HAM dan memperluas yurisdiksinya agar dapat menjangkau seluruh pelosok dunia. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 8