KOMUNIKASI ANTARBUDAYA (ANALISIS SEMIOTIK DALAM FILM EAT, PRAY, LOVE)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian pada film animasi Barbie The Princess And The Popstar ini

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Film sebagai salah satu atribut media massa dan menjadi sarana

KONSEP DIRI DALAM IKLAN ROKOK A MILD (Analisis Semiotika Tentang Konsep Diri dalam Iklan Rokok A Mild Versi Cowok Blur Go Ahead 2011) Fachrial Daniel

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. film memiliki realitas yang kuat salah satunya menceritakan tentang realitas

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek kajian dalam penelitian ini adalah topeng dari grup band Slipknot.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV ANALISIS DATA. Film sebagai salah bentuk komunikasi massa yang digunakan. untuk menyampaikan pesan yang terkandung didalamnya.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. lagi pendekatan yang mencoba berebut nafas yaitu pendekatan Post

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. yang atas dasar konvensi sosial yang terhubung sebelumnya - dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dalam kasus ini adalah sifat penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan merupakan jenis penelitian deskriptif, dimana

BAB I PENDAHULUAN. selalu berinovasi dan memenuhi perkembangan kebutuhan konsumen tersebut. Bukan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat terpisahkan dengan komunikasi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan paradigma konstruktivis.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. produksi dan strukstur sosial. Pandangan kritis melihat masyarakat sebagai suatu

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Paradigma didefinisikan bermacam-macam, tergantung pada sudut

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Tipe penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah jenis penelitian deskriptif.

BAB I PENDAHULUAN. film memiliki realitas tersendiri yang memiliki dampak yang dapat membuat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah tentang sistem pendidikan nasional, dirumuskan bahwa:

13Ilmu. semiotika. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom. Analisis semiotik, pisau analis semiotik, metode semiotika, semiotika dan komunikasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. bentuk komunikasi verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, seni, lukisan, dan

REPRESENTASI BUDAYA INDONESIA PADA IKLAN KOPI KAPAL API. (Analisis Semiotika Representasi Budaya Indonesia pada Iklan Kopi Kapal Api Versi

BAB III METODE PENELITIAN. Tipe penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan adalah kualitatif (data yang tidak berupa angka-angka) 35

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. hal yang dikomunikasikan yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. penelitian baik yang mencakup objek penelitian, metode penelitian, dan hasil

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Komunikasi merupakan hal yang paling mendasar dan paling penting dalam interaksi sosial. Manusia berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Persoalan budaya selalu menarik untuk diulas. Selain terkait tindakan,

BAB I PENDAHULUAN. Film dalam perspektif praktik sosial maupun komunikasi massa, tidak

NIM : D2C S1 Ilmu Komunikasi Fisip Undip. Semiotika

12Ilmu. semiotika. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom. Sejarah semiotika, tanda dan penanda, macam-macam semiotika, dan bahasa sebagai penanda.

Semiotika, Tanda dan Makna

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dalam penyampaian pesan. Salah satu media audio visual yaitu film.

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN\ sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti. 1. Penelitian deskriptif yang ditujukan untuk: 2

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipandang sebagai faktor yang menentukan proses-proses perubahan.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Film adalah teks yang memuat serangkaian citra fotografi yang

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan media sering terjadi pada proses komunikasi massa.

BAB I PENDAHULUAN. perorangan, kelompok ataupun organisasi tidak mungkin dapat terjadi.

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya di takdirkan untuk menjadi seorang pemimpin atau leader, terutama

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dengan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menjelaskan atau menganalisis

BAB I PENDAHULUAN. game berjalan beriringan, dan para desainer saling bersaing secara kreatif. Fakta

BAB III METODE PENELITIAN. Ramadhan Halal Yayasan Darul Qur an. yang kemudian menggunakan model semiotik Roland Barthes. Semiotika

BAB III METODE PENELITIAN. atau nonlapangan yang menggunakan pendekatan paradigma kritis dan jenis

dapat dilihat bahwa media massa memiliki pengaruh yang besar dalam

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bertipe deskriptif dengan menggunakan pendekatan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. sistematis dan logis tentang pencarian data yang berkenaan dengan masalah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan

MITOLOGI KIAMAT DALAM FILM 2012 SKRIPSI. (S-1) Komunikasi Bidang Studi Broadcasting. Disusun oleh : ERY HARDIYANI FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

Bab 1. Pendahuluan. Film Hachiko : A Dog s Story adalah film drama yang didalamnya

BAB I PENDAHULUAN. diperbincangkan, baik dalam hal perpindahan kekuasaan atau kualitas

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. mengetahui bagaimana film Perempuan Punya Cerita mendeskripsikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. menggambarkan representasi diskriminasi agama Islam di balik teks media yang

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang mendasar dari suatu kelompok saintis (Ilmuan) yang menganut suatu pandangan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. membahas konsep teoritik berbagai kelebihan dan kelemahannya. 19 Dan jenis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. menjadi media hiburan juga berfungsi sebagai media informasi dan sarana

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Alwi, dkk 2003: 588).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Judul Perancangan 2. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bentuk atau gambar. Bentuk logo bisa berupa nama, angka, gambar ataupun

BAB I PENDAHULUAN. juga disebut dengan istilah sekar, sebab tembang memang berasal dari kata

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Produksi film di Indonesia kian hari kian berkembang, mulai dari yang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. sedalam dalamnya melalui pengumpulan data sedalam dalamnya.riset ini

BAB I PENDAHULUAN. yang cukup efektif dalam menyampaikan suatu informasi. potret) atau untuk gambar positif (yang di mainkan di bioskop).

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Setelah melakukan analisis terhadap film Air Terjun Pengantin

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia merupakan mahkluk hidup yang tidak dapat hidup tanpa

BAB I PENDAHULUAN. massa sangat beragam dan memiliki kekhasan yang berbeda-beda. Salah satu. rubrik yang ada di dalam media Jawa Pos adalah Clekit.

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang. Film merupakan salah satu produk media massa yang selalu berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Seni lukis ini memiliki keunikan tersendiri dalam pemaknaan karyanya.

2 sendiri tak bisa dilepaskan dari perkembangan sejarah kehidupan dan budaya manusia. Studi tentang gaya busana, pakaian atau fashion pun sudah banyak

BAB III METODE PENELITIAN. Sesuai dengan tema yang diangkat oleh peneliti yaitu berbicara. mengenai makna apa yang mengandung pesan dakwah anak dalam

BAB I PENDAHULUAN. perkembanganmasyarakat perkotaan dan industri, sebagai bagian dari budaya

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. video klip musik Lady Gaga Alejandro dan Applause. Produk media

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA (ANALISIS SEMIOTIK DALAM FILM EAT, PRAY, LOVE) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) Oleh SHOFA MAYONIA JERIC 1110051000047 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H./2014 M.

LEMBAR PERNYATAAN Denganinisayamenyatakanbahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan meraih gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ciputat, 10 Oktober 2014 Shofa Mayonia Jeric

ABSTRAK Shofa Mayonia Jeric Komunikasi AntarBudaya (Analisis Semiotika dalam Film Eat, Pray, Love) Eat, Pray, Love merupakan film yang bergenre drama Amerika Serikat pada tahun 2010. Film ini didasari dari novel Eat, Pray, Love yang kisahnya merupakan kisah nyata dari penulis novel itu sendiri, yang bernama Elizabeth Gilbert. Film yang berlokasi di 3 Negara yang berbeda ini, mengindikasikan bagaimana komunikasi antarbudaya terjadi didalam kehidupan. Kemudian film ini juga memperkenalkan sebagaian kebudayaan Indonesia kemancanegara. Film Eat, Pray, Love dapat dijadikan contoh betapa pentingnya melihat sisi lain dari sebuah proses komunikasi massa, yaitu pesan. Maka dalam hal peneliti merumuskan dua pertanyaan, Apa makna denotasi, konotasi, dan mitos dalam film Eat, Pray, Love? Kemudian, bagaimana unsur-unsur komunikasi antar budaya dibentuk dalam film Eat, Pray, Love? Penelitian ini berfokus pada makna denotasi, konotasi dan mitos dalam semiotik yang kemudian dikaitkan dengan unsur-unsur komunikasi antarbudaya. Dalam hal ini, peneliti menggunakan metode semiotika dengan menggunakan teori Roland Barthes, dimana ia menjelaskan tentang makna denotasi, konotasi serta mitos. Film ini adalah sebuah kisah nyata yang dialami oleh penulis novel dengan judul yang sama yaitu Eat, Pray, Love. Film ini mencoba menceritakan secara visual kisah perjalanan Elizabeth Gilbert di 3 Negara. Eat yang berarti Elizabeth ingin mencari kebebasan dengan pergi ke Itali untuk berkuliner. Kemudian Pray mencoba mendekatkan diri dengan cara melakukan ritual meditasi di India. Lalu yang terakhir Love yaitu mencoba belajar untuk keseimbangan diri dan mencari cinta sejatinya. Film Eat, Pray, Love yang menampilkan bagaimana cara berkomunikasi di 3 Negara yang berbeda perlu dikaji secara semiosis. Karena, banyak simbolsimbol atau tanda-tanda yang mungkin menghadirkan berbagai interpretasi dan pesan simbolik. Dan faktor inilah yang menjadikan film Eat, Pray, Love yang notabennya memuat simbol-simbol komunikasi antarbudaya secara dominan perlu dianalisis menggunakan semiotik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi antarbudaya terdapat pada makna tanda-tanda dan kode yang muncul dalam beberapa scene atau adegan di dalam film Eat, Pray, Love. Peneliti menjelaskannya dalam tabel makna denotasi, konotasi, dan mitos. Kemudian terdapat pula scene atau adegan yang berkaitan dengan unsur-unsur komunikasi antarbudaya. Kata kunci: Film Eat, Pray, Love, Komunikasi Antarbudaya, Denotasi, Konotasi, dan Mitos, Semiotik i

KATA PENGANTAR Rangkaian ucapan syukur yang tak terkira selalu penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan kasih sayang dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada pemimpin umat, Baginda Nabi Muhammad saw, beserta keluarga serta para sahabat yang telah menjadi suri tauladan bagi kita dalam melangkah.terima kasih penulis ucapkan khusus untuk Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang sudah memberikan segala fasilitas kepada penulis dalam menimba ilmu dan menambah wawasan. Sebagai manusia biasa, tentunya penulis memiliki keterbatasan kemampuan dan pengetahuan. Untuk itu, kiranya pembaca dapat memaklumi atas keterbatasan dan kekurangan yang ada pada skripsi ini.dibalik keberhasilan selalu ada kebersamaan yang memberikan semangat, bimbingan, motivasi dan doa. Oleh karena itu, tak lupa pada kesempatan ini dengan segenap kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulisberterimakasihkepada: 1. Dr. Arief Subhan, MA. selaku Dekan, Dr. Suparto, M.Ed. Ph.D, selaku Wakil Dekan Bidang Akademik, Drs. Jumroni, M.Si selaku Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum, dan Dr. H. Sunandar, MA selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. ii

2. Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Bapak Rachmat Baihaki, MA., dan Sekretaris Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Ibu Fita Fathurakhman M.si yang telah membantu dan memberikan motivasi serta menuntun penulis dalam menempuh pembuatan skripsi. 3. Bapak Dr. H. Sunandar, M.Ag, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu, membimbing penulis dalam membuat skripsi yang baik dan benar. 4. Bapak Drs. Hamdani, MA, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan arahan kepada penulis terima kasih. 5. Seluruh Dosen dan Staff Tata Usaha Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, atas segala pengetahuan dan pengalaman berharga sehingga penulis bisa menyelesaikan studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Seluruh staff Perpustakaan Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan Perpusatakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam mencari bahan referensi penelitian ini. 7. Kedua orang tua yang sangatpenuliscintai, Bapak H. Jepri Siddik dan Ibu Hj. Clara Nainggolan, yangdengansegenaphatimerekatidak pernah lelah dan penuh kesabaran dalam mendidik anak-anaknya, terimakasih untuk kasih sayang, do a-do a, serta nasihat-nasihatnya. Kakak-kakakpenulis Silky AgustoniaJericdanMirantySeptoniaJericsertakakakiparpenulisIrwan Faisal dan Semi Riawanyang senantiasamemberikansemangat, kasihsayangdanbantuanmaterikepadapenulis. iii

KepadakembaranpenulisMarwaMayoniaJeric yang bersamasamamenyelesaikanskripsisampaiakhirnyasidangpadabulandantahun yang sama. 8. Kepada kedua keponakan penulis Izzeldane Rajaby Irwasky dan Khaidera Imadeldane Irwaskyyang selalumembawadanmemberikankeceriaansertasemangatkepadapenulis. 9. Sahabat-sahabat setia KhairinaSabila, UrniaYumalita, Marliana, dan Nadia Pratama. Terimakasihbanyaksudahmenemanipenulisselama 4 (empat) tahun inidalamkeadaansusahmaupunsenang. 10. Teman seperjuangan penulis Rosma Aliah, Nurmaliza Nazarani, Popy Lukitawati selama menyelesaikan skripsi ini selalu menemani penulis dalam keadaan apapun. 11. Teman-teman KLISE FOTOGRAFI yang memberikanartikebersamaandanpengalamanserutakterlupakanuntukpenulis. 12. Para senior kakarga, kakfaqih, kakaldi, KakSendi, yang selalu memberikanjawabansetiap kali penulisbertanya. 13. Teman-teman dari KKN TUNAS 2013, Aziz, Fafaw, Jawa, Nia, Eya, Ryan, Bang Wahyu, Muamar, Titi, Winda, Encem, Azar, Terima kasihuntuk kekompakan dan keseruan yang kalian berikan selama satu bulan penuh sampai saat ini. 14. Teman-teman KPI A, KPI B, KPI C, KPI D, KPI E, KPI F dan KPI G angkatan 2010 yang telah banyak memberikan kenangan selama masa kuliah, terima kasih. iv

Dan untuk semua pihak yang telahmembantu baik secara langsung ataupun tidak langsung, penulismengucapkanterimakasihbanyak. SemogaAllah SWT membalas kebaikan dan jasa kalian semua. Penulis memohon maafapabila melakukan kesalahan dalam penulisan skripsi ini baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Semogaskripsi ini bisa bermanfaat bagi para pembaca. Amiiin Yaa Robbal Aalamiin. Wassalam Jakarta, 10 Oktober2014 Penulis v

DAFTAR ISI ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Batasan dan Perumusan Masalah... 4 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 5 D. Metodologi Penelitian... 5 E. Tinjauan Pustaka... 7 F. Sistematika Penulisan... 8 BAB II LANDASAN TEORI... 10 A. Tinjauan Umum Film... 10 1. Definisi Film... 10 2. Sejarah Film... 12 3. Jenis dan Klasifikasi Film... 14 4. Sinematografi... 17 5. Film sebagai Media Dakwah... 19 6. Hubungan Film dengan Kebudayaan... 20 B. Tinjauan Umum Semiotika... 22 1. Konsep Dasar Semiotika... 22 2. Konsep Semiotika Roland Barthes... 26 C. Komunikasi AntarBudaya 1. Definisi Komunikasi AntarBudaya... 31 2. Unsur-unsur Komunikasi AntarBudaya... 36 BAB III GAMBARAN UMUM FILM... 41 A. Sinopsis Film Eat, Pray, Love... 41 vi

B. Tim Produksi... 46 BAB IV TEMUAN DAN HASIL PENELITIAN... 55 A. Objek Semiotik dalam Film Eat, Pray, Love... 55 B. Pengantar Adegan dalam Film Eat, Pray, Love... 58 BAB V PENUTUP... 80 A. Kesimpulan... 80 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN vii

DAFTAR TABEL 1. Penjelasan Petanda dan Penanda... 23 2. Trikotomi Ikon/ Indeks/ Simbol Pierce... 26 3. Peta Tanda Roland Barthes... 29 4. Analisis Tanda Denotasi, Konotasi, Mitos... 63 viii

DAFTAR GAMBAR (ILUSTRASI) 1. Analisis Potongan Scene Terhadap Unsur-unsur Komunikasi Antarbudaya, Sistem Kepercayaan, Nilai, dan Sikap... 68 2. Analisis Potongan Scene Terhadap Unsur-unsur Komunikasi Antarbudaya, Unsur Pandangan Dunia (World View)... 71 3. Analisis Potongan Scene Terhadap Unsur-unsur Komunikasi Antarbudaya, Unsur Organisasi Sosial (Social Organization)... 73 ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Eat, Pray, Love merupakan film yang bergenre drama Amerika Serikat pada tahun 2010. Film ini didasari dari novel Eat, Pray, Love yang kisahnya merupakan kisah nyata dari penulis novel itu sendiri, yang bernama Elizabeth Gilbert. Dalam proses pembuatannya, film ini berlokasi di 3 negara besar yang pertama Iltali kemudian berpindah ke India dan terakhir di Indonesia (Bali). Film ini bercerita tentang si penulis novel yang merasa ada sesuatu yang hilang di dalam dirinya, sehingga dia memutuskan untuk pergi ke 3 negara besar yaitu Itali, India, dan Indonesia (Bali). Dia memilih Itali karena disana ia ingin merasakan bebasnya hidup tanpa ada rasa beban sama sekali. Kemudian dia memilih India karena dia ingin mendekatkan diri kepada Tuhan karena selama ini ia merasa sangat jauh dengan Tuhan, dan yang terakhir dia memilih untuk pergi ke Indonesia (Bali) karena disana ia ingin mencari keseimbangan hidup, ketenangan jiwa atau spiritual. Film Eat, Pray, Love bukan hanya sekedar film yang bercerita tentang kisah nyata perjalanan seorang penulis novel dalam menemukan sesuatu yang hilang dalam dirinya, namun film ini juga mencoba untuk memperlihatkan bagaimana cara berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda bahasa serta budaya. Film ini juga memperlihatkan potret kebiasaan atau budaya diketiga Negara tersebut. 1

2 Dalam menjelajahi 3 negara besar, komunikasi antarbudaya sangat dibutuhkan disini. Karena tanpa berkomunikasi, kita tidak dapat mendapatkan feedback dari segala sesuatu yang kita dan orang lain inginkan. Komunikasi antarbudaya menurut Alo Liliweri adalah definisi yang paling sederhana dari komunikasi antarbudaya yaitu menambah kata budaya ke dalam pernyataan komunikasi antara dua orang/lebih yang berbeda latar belakang kebudayaan. 1 Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan. Karena budaya dan komunikasi sama-sama menentukan siapa berbicara dengan siapa, tentang apa, bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisi untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Perilaku kita sangat bergantung pada budaya tempat tinggal kita sendiri. Budaya merupakan landasan komunikasi jadi bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula komunikasinya. 2 Film adalah medium komunikasi massa yang ampuh, bukan hanya untuk hiburan tetapi juga untuk penerangan dan pendidikan. Film digunakan untuk menyampaikan suatu pesan dan membantu untuk memberikan suatu penjelasan kepada masyarakat. Menikmati cerita dalam film lebih menarik dari pada membaca buku atau novel. 3 1 Dr. Alo Liliweri, M.S., Dasar-dasar Komunikasi AntarBudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 8 2 Dr. Deddy Mulyana, M.A dan Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc. Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 19 3 Prof. Onong Uchjana Effendy.,M.A. Ilmu, Teori, Dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: Cipta Aditya Bakti,2003), hlmn 208

3 Cerita dalam novel atau buku biasanya lebih cenderung menggunakan huruf-huruf, sehingga membuat masyarakat harus membaca dengan teliti. Karena setiap huruf itu adalah sebuah tanda yang memiliki arti atau pesan. Jadi masyarakat yang membaca sebuah cerita di dalam buku atau novel harus benar-benar mengerti akan arti atau pesan yang disampaikan cerita di dalam buku atau novel tersebut. Berbeda dengan cerita dalam film. Di dalam film, masyarakat tidak perlu membaca dengan teliti. Karena film menyajikan cerita berupa tingkah laku para pemain cerita di dalam film tersebut. Sehingga ceritanya terlihat seperti kenyataan. Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Rangkaian gambar dalam film menciptakan imajinasi dan sistem penandaan. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (Meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda. Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk nonverbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda disusun. 4 Komunikasi antarbudaya adalah pertukaran makna yang berbentuk simbol yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang memiliki perbedaan latar belakang budaya. Proses penyampaian informasi, gagasan atau perasaan di antara mereka disampaikan dengan cara lisan atau tertulis, bahasa tubuh, 2009), h. 15 4 Drs. Alex Sobur, M.Si. Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

4 gaya atau tampilan pribadi, atau bantuan hal-hal lain yang ada di sekitar mereka agar pesan atau informasi yang ingin disampaikan jelas maksud dan tujuannya. 5 Berdasarkan latar belakang diatas, penulis memberikan judul Komunikasi Antarbudaya (Analisis Semiotik dalam Film Eat, Pray, Love) B. Batasan dan Rumusan Masalah Untuk lebih memfokuskan penelitian dan memberi arah yang tepat dalam pembatasan masalah ini sehingga tidak terlalu meluasnya pembahasan, maka dalam penelitian ini penulis membatasi masalah dengan mengambil adegan-adegan yang berhubungan dengan komunikasi antarbudaya dalam film Eat, Pray Love yang berupa potongan-potongan adegan dan teks dari film Eat, Pray, Love. Berdasarkan batasan di atas, maka penulis merumuskan permasalahan yaitu sebagai berikut: 1. Apa makna denotasi, konotasi, dan mitos dalam film Eat, Pray, Love? 2. Bagaimana unsur-unsur komunikasi antarbudaya dibentuk, dikemas, dan ditetapkan dalam film Eat, Pray, Love? C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Pelajar, 2007), h. 10 5 Dr. Alo Liliweri, M.S., Dasar-dasar Komunikasi AntarBudaya, (Yogyakarta: Pustaka

5 Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Ingin mengetahui makna denotasi, konotasi, dan mitos dalam film Eat, Pray, Love melalui konsep semiotika Roland Barthes yang menjelaskan tentang makna denotasi, konotasi, dan mitos. 2. Ingin mengetahui bagaimana unsur-unsur komunikasi antarbudaya dibentuk, dikemas, dan ditetapkan dalam film Eat, Pray, Love. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis Penelitian ini diharapkan bisa menambah keilmuan para mahasiswa/i ilmu komunikasi dalam mengkaji semiotika, khususnya semiotika dalam film yang dalam penelitian ini menggunakan analisis model Roland Barthes. b. Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan bisa memjadi contoh kepada para mahasiswa/i untuk mengetahui cara menggali makna dalam sebuah proses media massa, khususnya film dengan menggunakan analisis semiotika. D. Metodologi Penelitian 1. Metode Semiotika merupakan salah satu analisis isi yang menggunakan pendekatan analisis isi kualitatif. Kemudian metode yang digunakan adalah deskriptif, yaitu penelitian yang memberikan gambaran secara

6 objektif, dengan menggambarkan pesan-pesan secara simbolis dalam film Eat, Pray, Love. 2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kediaman penulis yaitu, Ciputat, Tangerang Selatan. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan selama maksimal enam bulan sesuai dengan ketentuan yang diberikan. Terhitung dari tanggal 28 April 2014 sampai dengan 28 Oktober 2014. 3. Objek dan Subjek Penelitian Adapun subjek penelitian ini adalah film Eat, Pray, Love. Dan yang menjadi objeknya adalah potongan-potongan gambar atau visual yang terdapat dalam film Eat, Pray, Love yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian. 4. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini data-data dikumpulkan dibagi menjadi dua bagian yang mengamati langsung data-data yang sesuai dengan pertanyaan penelitian. Adapun instrument penelitiannya adalah: 1) Data Primer, berupa dokumen elektronik satu keping DVD Original film Eat, Pray, Love dengan teks bahasa Indonesia dan Inggris. 2) Data Sekunder, berupa dokumen tertulis, yaitu seperti resensi film Eat, Pray, Love baik dari majalah, artikel di internet, dan buku-buku yang relevan dengan penelitian.

7 5. Tehnik Analisis Data Analisis data penelitian ini diawali dengan mengklasifikasikan adeganadegan film Eat, Pray, Love yang berhubungan dengan rumusan masalah. Kemudian, data dianalisis dengan menggunakan konsep semiotika Roland Barthes yaitu dengan cara menganalisis setiap adegan yang berhubungan dengan rumusan masalah berupa makna denotasi, konotasi, dan mitos. E. Tinjauan Pustaka Dalam menentukan judul skripsi ini, penulis mengadakan tinjauan kepustakaan di Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan Perpustakaan Umum Universitas Islam Negeri Jakarta. Banyak judul skripsi mahasiswa/i Universitas Islam Negeri Jakarta yang meneliti tentang Analisis Semiotika Film, yaitu diantaranya adalah Uray Noviandy Taslim (108051000190) yang meneliti tentang Semiotika Perjuangan Said Nursi Menulis Kitab Risalah Nur dalam Film Nur Adam. Dalam penelitiannya, uray menggunakan metode analisis Roland Barthes dan Christian Metz karena keduanya adalah tokoh penting yang memperkenalkan metode semiotika film. Adapun konsep yang ingin diteliti oleh uray adalah perjuangan Said Nursi menulis kitab risalah dalam film Nur Adam. 6 Ika Kurnia Utami (108051000094) meneliti tentang Semiotika Taubat dalam Film Mama Cake. Dalam penelitiannya, ika menerapkan metode analisis Roland Barthes kemudian dikaitkan dengan komponen elemen 6 Uray Noviandy Taslim, Semiotika Perjuangan Said Nur Menulis Kitab Risalah Nur dalam Film Nur Adam S1, (Jakarta: Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012)

8 semiotika Steven Campsall, yang mengkaji tentang sinematografi pada adegan-adegan yang diteliti. 7 Rinal Rinoza (104051001846) memiliki judul skripsi Perspektif Komunikasi AntarBudaya dalam Film Al-Kautsar. Disini rinal meneliti dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif analisis. Metodologi ini digunakan karena sesuai dengan konteks Film Al-Kautsar yang mengisahkan perbedaan antara kedua pemahaman dalam menginterpretasikan ajaran agama islam dan keteguhan tokoh protagonis dalam menggunakan kebenaran menuju perubahan di penduduk desa sekarlangit. Dari beberapa tinjauan pustaka diatas, maka penulis ingin mengkaji tentang unsur-unsur komunikasi antarbudaya yang dibentuk, dikemas, dan ditentukan didalam film Eat, Pray, Love. Kemudian dalam penelitian ini, penulis mengunakan konsep semiotika Roland Barthes, yang menjelaskan tentag makna denotasi, konotasi, dan mitos. F. Sistemika Penulisan Skripsi ini dalam penulisannya akan dibagi menjadi 5 (lima) bab, dan masing-masing bab akan dibagi-bagi lagi menjadi sub-sub bab, yaitu sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan, Pada bab ini, dijelaskan apa saja yang akan dibahas dari Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan 7 Ika Kurnia Utami, Semiotika Taubat dalam Film Mama Cake S1, (Jkarata: Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013)

9 Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka serta Sistematika Penulisan. BAB II : Tinjauan Teoritis terdiri dari Defini dan Konsep Film, Definisi dan Konsep Semiotika, dan Definisi dan Konsep Komunikasi AntarBudaya. BAB III : Gambaran umum Film Eat, Pray, Love, Ringkasan Film dan profil tentang sutradara beserta pemeran dan crew dalam film Eat, Pray, Love. BAB IV : Analisis Semiotika Film Eat, Pray, Love. Berisi tentang hasil penelitian. BAB V : Penutup. Berisi kesimpulan dan Saran.

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Umum Film 1. Definisi Film Film hadir ke tengah kehidupan maysrakat sebagai suatu hasil produksi yang melibatkan banyak tenaga, modal dan peralatan. Tenaga yang diperlukan membutuhkan kualifikasi tertentu. Pada tingkat tertentu tenaga-tenaga yang terlibat dalam produksi film harus merupakan tenaga yang professional. Sebagai suatu hasil produksi, film sebagaimana juga hasil produksi lainya dituntut untuk memuaskan masyarakat. Dan masyarakat sebagai konsumen mempunyai faktor-faktor determinan yang ikut menetukan arah dan lenturnya tuntutan pada suatu hasil produksi. 1 Film adalah bagian kehidupan sehari-hari dalam banyak hal. Bahkan ketika kita sedang bicara sangat dipengaruhi oleh metafora film. Pada mulanya film tumbuh dengan menyerap penemuan-penemuan yang telah atau yang tengah terjadi, baik sains, teknologi, dan estetika, seperti fotografi, kinetograf, dan fonograf. Hasil dari beberapa penemuan itu terwujud dalam senimatograf, sebuah mesin yang sekaligus bisa difungsikan sebagai kamera dan proyektor, sehingga memungkinkan sebuah film bisa ditonton oleh banyak orang dalam satu waktu. 2 Selama ini kita dapat mengikuti perkembangan film sebagai suatu transformasi yang memperoleh sukses. Sejak dimulai dengan apa dengan 1 Drs. Ton Kertapati, Dasar-dasar Publisistik, (Jakarta: Bina Aksara, 1986), hal 209 2 Misbach Yusa Biran, sejarah film 1900-1950: bikin film jawa, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009) hal. xv 10

11 apa yang disebut nickelodeon, hingga mencapai tinngkatan seni stereoscopic, film senantiasa popular dikalangan masyarakat. Dan sebagai suatu karya seni, maupun alat hiburan atau komersial film selalu berada di tengah-tengah masyarakat manusia. Kemudian film juga memiliki keunggulan-keunggulan yang khusus didalam menciptakan ruang dan waktu tertentu dalam dunia imajinasi publik penontonnya. Sejalan dengan impressi visual yang semakin sempurna, tekhnik suara yang dibawakan oleh film pun semakin maju. Dunia dari suara telah dapat disaring dan dipecah-pecah sampai ke unsur-unsurnya, untuk kemudian secara selektif diciptakan kembali dalam suatu bentuk suara synthesis yang harmonis dan memberikan kesegaran dan kepuasan baru bagi mass audience nya. 3 Film memiliki definisi yang beragam, tergantung dari sudut pandang orang yang mendefinisikannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret). Menurut UU No. 23 Tahun 2009 tentang Perfilman, Pasal 1 menyebutkan bahwa film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah senimatografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan. Menurut Onong Uchjana Effendy dalam Kamus Komunikasi, film adalah media yang bersifat visual atau audio visual untuk menyampaikan pesan kepada sekelompok orang yang berkumpul disuatu tempat. 3 Drs. Ton Kertapati, Dasar-dasar Publisistik, (Jakarta: Bina Aksara, 1986), hal 267

12 Amura dalam bukunya Perfilman Indonesia dalam Era Baru, mengatakan bahwa film bukan semata-mata barang dagangan melainkan alat penerangan dan pendidikan. Film merupakan karya sinematografi yang dapat berfungsi sebagai alat Cultural Education atau Pendidikan Budaya. Dengan demikian film juga efektif untuk menyampaikan nilainilai budaya. Secara umum film memiliki empat fungsi yaitu film sebagai alat hiburan, film sebagai sumber informasi, film sebagai alat pendidikan, dan film sebagai pencerminan nilai-nilai sosial budaya suatu bangsa. 4 2. Sejarah Film Awal industri film kebanyakan dibangun oleh wirausaha yang ingin mendapatkan uang dengan menghibur semua orang. Laumiere bersaudara adalah ahli mesin yang hebat, dan ayah mereka memiliki pabrik pembuat plat fotografis. Film mereka yang pertama lebih kecil dari pada film hitamputih. Film yang ditampilkan hanya berisi kisah-kisah yang sederhana. Tidak ada penyunting, kameranya hanya dinyalakan, kemudian dimatikan saja. Tidak ada transisi pudar, hapus atau kilas balik. Tidak ada grafis komputer, tidak ada dialog, dan tidak ada musik. Namun demikian, banyak penonton yang takut melihat lokomotif sistematis yang seperti berjalan kearah mereka. Mereka sama sekali buta dengan bahasa film. Khalayak untuk menonton film pertama Lumiere tidak dapat berbicara bahasa film. Menonton film bagaikan sedang terdampar di negeri asing yang tidak anda ketahui bahasa dan budayanya. Anda harus 4 Teguh Trianto, Film Sebagai Media Belajar, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013) hal. 3

13 dapat berhasil dengan setiap pengalaman baru yang membantu anda memahami bahasa dan orang-orangnya dengan lebih baik. Mereka harus mengembangkan pemahaman perubahan sinematik dalam ruang dan waktu. Mereka harus mempelajari bagaimana gambar dan suara digabungkan untuk menciptakan suatu makna. Pembuat film dan penonton harus tumbuh secara bersama-sama. 5 Pendahulu teknis film adalah fotografi. Penemuan tahun 1727 bahwa cahaya menyebabkan nitrat perak menjadi gelap adalah dasar dari perkembangan teknologi film. Demikian pula fenomena manusia yang disebut persistensivisi. Mata manusia menangkap gambar selama sepersekian detik. Jika serangkaian foto menangkap sesuatu yang bergerak dan jika foto itu digerakkan secara berurutan dengan cepat, maka mata manusia akan melihatnya sebagai gambar yang bergerak tak putus-putus. Yang diperlukan adalah kamera yang tepat dan film untuk menangkap sekitar 16 gambar per detik. Peralatan ini muncul pada 1888. William Dickson dari laboratorium Thomas Edison mengembangkan sebuah kamera film. Dickson dan Edison menggunakan film seluloid yang kemudian disempurnakan oleh George Eastman, yang memperkenalkan kamera Kodak. Pada 1891 Edison telah mulai memproduksi film. Film Edison dilihat dengan cara melongok ke sebuah kotak. Di Perancis, Lumiere bersaudara, yakni Auguste dan Louis, menggunakan proyeksi untuk film. Dengan memutar film di depan sebuah lampu yang terang, Lumiere bersaudara memproyeksi gambar film ke tembok. Pada 5 Stanleyn J. Baran, Pengantar Komunikasi Massa Melek Media & Budaya, (Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, 2012) hal. 211

14 tahun 1895 mereka membuka hall eksibisi di Paris yaitu bioskop pertama. Edison menyadari keuntungan komersial dari proyeksi itu dan dia sendiri mematenkan proyektor Vitascope, yang dipasarkan pada 1896. 6 Di Indonesia film dikenal dengan nama Gambar Idoep. Gambar idoep muncul di Batavia dan untuk pertama kalinya dipertontonkan pada warga adalah pada tanggal 5 desember 1900. Pertunjukkan film berlangsung di Tanah abang, Kebonjae. Film Indonesia mulai muncul pada masa penjajahan Belanda. Film pertama yang diputar adalah film dokumenter tentang peristiwa yang terjadi di Eropa dan Afrika Selatan, termasuk film dokumenter tentang politik yang berisi gambar Sri Baginda Maha Ratu Belanda bernama Yang Mulia Hertog Hendrig memasuki kota DenHaag. Belanda mendirikan bioskop pada masa jajahannya di Indonesia. Pada awal munculnya film diputar di bioskop. Beberapa bioskop yang terkenal pada masa itu adalah bioskop Rialto di Tanah Abang (kini menjadi bioskop surya). Pada tahun 1926, bioskop Indonesia diramaikan dengan munculnya film Loetoeng Kasaroeng. Cerita film ini diangkat dari cerita legenda rakyat Jawa Barat. Film ini tergolong sukses pada masanya, bahkan sempat diputar selama satu minggu penuh di Bandung. 7 3. Jenis-jenis dan Klasifikasi Film a. Jenis-jenis Film Ada tiga jenis film yang umum dikenal, yaitu film fitur, film dokumenter, dan film animasi atau kartun. Berikut ini penjelasannya: 6 John Vivian, Teori Komunikasi Massa, (Jakarta: Putra Grafika, 2008) hal. 161 7 Teguh Trianto, Film Sebagai Media Belajar, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013) hal. 13

15 1) Film fitur merupakan karya fiksi yang strukturnya selalu berupa narasi, yang dibuat dalam tiga tahap, yang pertama tahap praproduksi, tahap produksi dan tahap post-produksi. Tahap praproduksi merupakan periode ketika skenario diperoleh. Skenario bisa berupa adapatsi dari novel, cerita pendek, atau karya lainnya. Tahap produksi merupakan masa berlangsungnya pembuatan film berdasarkan skenario. Kemudian tahap postproduksi (editing) ketika semua bagian film yang pengambilan gambarnya tidak sesuai dengan urutan cerita, disusun menjadi suatu kisah yang menyatu. 2) Film dokumenter merupakan film nonfiksi yang menggambarkan situasi kehidupan nyata dengan setiap individu menggambarkan perasaannya dan pengalamannya dalam situasi yang apa adanya. Film dokumenter (documentary film) didefinisikan oleh Robert Flaherty sebagai karya ciptaan mengenai kenyataan (creative treatment of actuality). Berbeda dengan film berita yang merupakan kenyataan, maka film dokumenter merupakan hasil interpretasi pribadi (pembuatnya) mengenai kenyataan tersebut. 3) Film Animasi atau (cartoon film) dibuat untuk dikonsumsi anakanak. Tujuan utama dari film kartun adalah untuk menghibur. Walaupun tujuan utamanya adalah untuk menghibur, tapi terdapat pula film-film kartun yang mengandung unsur-unsur pendidikan. Animasi merupakan teknik pemakaian film untuk

16 menciptakan ilusi gerakan dari serangkaian gambaran benda dua atau tiga dimensi. Pada masa kini, hampir semua film animasi dibuat secara digital dengan komputer. 8 b. Klasifikasi Film Mengklasifikasikan film dalah berdasarkan genre. Genre secara umum membagi film berdasarkan jenis dan latar ceritanya. Istilah genre berasal dari bahasa Perancis yang bermakna bentuk atau tipe. Pada dasarnya istilah genre mengacu pada istilah Biologi yaitu genus yang artinya sebuah tingkatakan klasifikasi untuk flora dan fauna yang tikatannya berada diatas spesies. Dalam film, genre merupakan jenis dari sekelompok film yang mempunyai karakter atau pola sama (khas) seperti setting, isi dan subyek cerita. Dari klasifikasi itu muncullah genre-genre popular seperti aksi, petualangan, drama, komedi, horror, film noir, roman dan sebagainya. Macam-macam genre yang paling umum dan sudah kita ketahu adalah sebagai berikut: 1) Action-Laga Film yang biasanya bercerita tentang perjuangan hidup yang pemeran ini biasanya di perankan oleh orang yang ahli untuk mempertahankan diri dalam sebuah pertarungan di dalam film. 2) Comedy-Humor 8 http://sinthiasinor.blogdetik.com/2011/07/17/tentang-film/ pkl 13.45, Sabtu, 27 sep 2014

17 Jenis film yang menggunakan faktor kelucuan dalam penyajiannya. Genre ini biasanya paling digemari dan bisa menambah segmentasi penonton. 3) Roman-Drama Genre ini juga menjadi yang terpopuler dikalangan masyarakat karena lebih terlihat nyata seperti kehidupan sehari-hari. 4) Mistery-Horor Genre ini adalah genre khusus dalam dunia perfilman. Karena genre ini memiliki cakupan yang sempit dan pembahasannya sering kali diulang bahkan tidak diganti-ganti. 9 4. Sinematografi Yaitu perlakuan terhadap kamera dan filmnya serta hubungan antara kamera dan objek yang akan di ambil gambarnya. Cut, close up, two shot, zoom in, slow motion, dan lain-lain, itu semua merupakan istilahistilah dalam bidang sinematografi. Berikut penjelasan masing-masing istilah sinematografi: 1) Acting adalah sebuah proses pemahaman dan penciptaan tentang perilaku dan karakter pribadi dari seseorang yang diperankan. 2) Action adalah gerak laku pemeran, yang terjadi dalam suatu adegan. 3) Addes scene yaitu penambahan adegan. 4) Angle adalah sudut pengambilan gambar 9 M. Bayu Widagdo & Winastwan Gora S, Bikin Film Indie itu Mudah!, (Yogyakarta: C.V. Andy Offset, 2007) h. 26-27

18 5) Animator adalah sebutan bagi seorang yang berprofesi sebagai pembuat animasi 6) Art department atau bagian artistik bertanggung jawab terhadap rancangan set film 7) Art director yaitu pengarah artistik dari sebuah produksi 8) Asisten producer adalah seorang yang membantu produser dalam menjalankan tugas 9) Camera department adalah orang yang bertanggung jawab untuk merawat dan menjaga semua peralatan kamera yang dibutuhkan untuk memfilmkan sebuah motion picture. Camera departement juga bertanggung jawab untuk penanganan film, pengisian film, dan berhubungan dengan laboraturium pemprosesan. 10) First Cameraman atau Penata Fotografi (Director of Photography), bertanggung jawab terhadap pergerakan dan penempatan kamera dan juga pencahayaan dalam suatu adengan. 11) Second cameraman bertindak sesuai intstruksi dari kameramen utama dan melakukan penyesuaian pada kamera atau mengoperasikan kamera selama syuting. 12) Costume designer yaitu orang yang merancang dan memastikan produksi kostum secara sementara maupun permanen untuk sebuah film. 13) Cut atau Hold merupakan perintah dari sutradara agar adegan diberhentikan namun pemain tetap berada dalam posisi awal pada saat syuting berlangsung.

19 14) Cut Back yaitu tehnik mengubah gambar dalam film secara cepat dari adegan yang sekarang ke adegan lain yang telah dilihat sebelumnya. 15) Fade in adalah transisi gambar dari gelap ke terang dengan cara lambat. 16) Fade out adalah transisi gambar dari terang ke gelap dengan cara lambat. 5. Film Sebagai Media Dakwah Dakwah adalah mengajak orang lain agar menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-nya. Namun secara syar i, makna dakwah adalah menjalankan perintah Allah SWT, baik berupa perkataan maupun perbuatan, serta meninggalkan semua larangan Allah baik perbuatan ataupun perkataan. 10 Di era informasi sekarang ini, media menjadi suatu hal yang tidak bisa lepas dari masyarakat. Aktifitas dakwah tidak akan berjalan jika tidak menggunakan alat atau media. Dan salah satu media yang cukup berkembang pesat pada saat ini adalah film. Film merupakan salah satu jenis media yang dapat memberikan pengaruh besar kepada masyarakat. Oleh karena itu film dapat menjadi media yang cukup efektif dalam menjalanan dakwah. Dengan film kita dapat memperoleh informasi dan gambaran tentang realitas tertentu yang sudah diseleksi. Seorang sutradara akan memilih tokoh-tokoh tertentu untuk ditampilkan, dan akan mengesampingkan tokoh lain yang dianggap tidak pas untuk ditampilkan. 2008). h. 19 10 Fawwaz bin Hulayyil as-suhaimi, Begini Seharusnya Berdakwah, (Jakarta: Darul Haq,

20 Lewat peran yang dimainkan tokoh-tokoh tersebut, film dapat menyajikan pengalaman imajiner bagi para penontonnya, merindukan pengalaman ideal yang diidamkannya, atau imajiner itu akan ikut membentuk sikap dan perilaku khalayak yang menyaksikannya. Pengalaman hidup yang dihadirkan oleh sosok pribadi terpuji yang menegakkan kebajikan serta ikut memengaruhi sikap dan konsep idealisasi hidup untuk melihatnya. 11 Islam bukanlah agama ritual semata. Sebagian orang juga telah menganggap Islam sebagai falsafah dan jalan hidup. Itu berarti upaya untuk mengajak orang lain untuk mengikuti agama Islam sebagai jalan hidup (way of life) individu maupun kehidupan sosial politik, harus dilakukan sebagik mungkin. Islamisasi melalui media film, juga merupakan wacana penting di era digital ini. Hal ini dikarenakan sifat dari penikmat film yang tergolong gencar memakai budaya konsumsi kontemporer. Islam, dalam kasus ini, dapat ditampilkan dengan segar, menarik, hybrid dan modern dalam rangka menjadikan Islam sebagai agama yang relevan dengan budaya yang saat ini sedang didominasi kaum kapitalis. 12 6. Hubungan Film dengan Kebudayaan Film mempunyai kesanggupan untuk menciptakan suatu realitas rekaan sebagai bandingan terhadap realitas. Realitas yang ditampilkan dalam film adalah realitas yang dibangun oleh pembuat film dengan mengangkat nilai-nilai atau unsur budaya yang terdapat di dalam 11 Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Dakkwah, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2012), h. 112 12 Andi Faisal Bakti, Globalisasi: Dakwah Cerdas Era Globalisasi: Antara Tantangan dan Harapan (Lecture at Palembang), h. 59

21 masyarakat. Atau sebaliknya, realitas rekaan yang ditampilkan dalam film kemudian menjadikan sebuah bentukan budaya yang diikuti oleh penonton. Deddy Mulyana menyatakan hubungan film dan budaya bersifat timbal balik. Sama halnya dengan komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya seperti yang dikatakan Edward T. Hall bahwa komunikasi adalah budaya dan budaya adalah komunikasi. Pada satu sisi komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Film adalah bagian dari produk budaya yang didalamnya juga memuat nilai-nilai budaya, sehingga film juga menjadi media efektif untuk menanamkan nilai budaya. Menurut Deddy Mulyana hubungan film dan budaya saling mempengaruhi. Di satu sisi, film seperti media massa pada umumnya merupakan cerminan kondisi masyarakat. Nilai, norma, dan gaya hidup yang berlaku pada masyarakat akan disajikan dalam film yang diproduksi. Namun, di sisi lain film juga berkuasa menetapkan nilai-nilai yang penting dan perlu dianut oleh masyarakat, bahkan nilai-nilai yang rusak sekalipun. Artinya tidak setiap film dapat dijadikan media

22 pendidikan, sebab banyak film-film yang isinya dapat merusak moral dan budaya anak bangsa. Tidak semua film dapat dijadikan media pembelajaran atau pendidikan karakter. Meskipun sesungguhnya setiap film yang diproduksi dan beredar selalu mencerminkan budaya masyarakat pada masanya. Filmfilm yang bertema hantu, sebenarnya merupakan rekaman budaya masyarakat. Artinya di dalam film-film tersebut terkandung nilai-nilai budaya. Namun unsur entertainment atau hiburannya mendapat porsi yang lebih dominan, sehingga kurang tepat dijadikan media pendidikan budi pekerti atau karakter. Karena ingin menghibur, tak jarang film-film ini memasukkan unsur adegan yang berbau seks yang vulgar, sehingga dapat mempengaruhi mental remaja yang menontonnya. 13 Film bertema cinta juga mengandung nilai-nilai budaya pada masanya. Namun, film-film yang mengangkat budaya popular kerap kali terjebak pada unsur hiburan semata dan jatuh pada tema roman picisan, sehingga kurang memberikan pendidikan berharga bagi penontonnya. Film-film dengan tema hantu dan cinta memang dibuat untuk tujuan komersil saja sehingga tak jarang film-film seperti itu lebih mengedepankan sisi hiburannya saja. B. Tinjauan Umum Semiotika 1. Konsep dasar Semiotika Semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti tanda atau seme yang berarti penafsir tanda. Kata semiotika atau semiologi 13 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), hal 13

23 memiliki beberapa istilah dalam sejarah linguistik yaitu semasiologi, sememik, dan semik. Nama bidang studi yang disebut semiotika telah muncul di Negara-negara Anglo-Saxon. Seseorang menyebut semiologi jika dia berfikir tentang tradisi Saussurean. Dalam penerbitan-penerbitan Prancis, istilah semiologie kerap dipakai. Elements de Semiologie, adalah salah satu judul yang dipakai oleh Roland Barthes. Namun istilah semiotics digunakan dalam kaitannya dengan karya Charles Sanders Pierce dan Charles Morris. Kedua istilah semiotics dan semiologie sebenarnya memiliki arti yang sama. Baik semiotika maupun semiologi, keduanya kurang lebih dapat saling menggantikan karena sama-sama digunakan untuk mengacu kepada ilmu tentang tanda. Satu-satunya perbedaan kedua istilah ini adalah bahwa istilah semiologi biasanya digunakan di Eropa, sedangkan semiotika cenderung dipakai oleh mereka yang berbahasa Inggris. 14 Dalam definisi Saussure, semiologi merupakan sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat. Tujuan semiologi adalah untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah-kaidah yang mengaturnya. Kemudian istilah semiotika atau semiotik, yang muncul pada abad ke-19 oleh filsuf aliran pragmatik Amerika, Charles Sanders Pierce, merujuk pada doktrin formal tentang tanda-tanda. Yang menjadi dasar pada semiotika adalah konsep tentang tanda, tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda- 14 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), hal 14

24 tanda, melainkan dunia itu sendiri pun ikut terkait sejauh hubungannya dengan realitas. Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau ide dan suatu tanda. Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk nonverbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda tersebut disusun. 15 Semiotika seperti kata Lechte adalah teori tentang tanda dan penandaan. Lebih jelas lagi, semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana sign tanda-tanda. Hjelmslev mendefinisikan tanda sebagai suatu keterhubungan antara wahana ekspresi (expression plan) dan wahana isi (content plan). Cobley dan Jansz menyebutnya sebagai discipline is simply the analysis of signs or the study of the functioning of sign systems artinya adalah ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi. Charles Sanders Pierce mendefinisikan semiosis sebagai a relationship among a sign, an object, and a meaning yang berarti suatu hubungan di antara tanda, objek, dan makna. Dua aspek tanda memiliki nama standar. Kesan mental bunyi disebut penanda dan konsep umum yang dimunculkan disebut petanda. Dengan kata lain, satu aspek tanda bertindak menandakan. Aspek lainnya 15 Ibid, hal 14

25 adalah apa yang ditandakan. Relasi di antara keduanya disebut sistem tanda (signification). Tabel 1: Petanda dan Penanda Penanda adalah kesan indrawi suatu tanda. Contoh: imaji mental meninggalkan marka (marks) pada sebuah halaman kertas, atau imaji mental bunyi udara. Petanda adalah konsep yang dimunculkan sebuah tanda. Relasi antara penanda dan petanda, cara kesan indrawi menunjuk pada atau memunculkan suatu konsep, disebut sistem pertandaan (signification). Kedua istilah ini merupakan istilah yang berguna untuk menekankan dua cara berbeda bagaimana sebuah tanda harus berfungsi agar bisa menjadi tanda. Penanda dan petanda selalu berjalan bersama. 16 Ferdinand de Saussurean mengatakan bahwa tanda-tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan sebuah konsep dimana citra bunyi disandarkan. Pandangan Saussurean ini merupakan manifestasi konkret dari citra bunyi dan ini sering diidentifikasi dengan citra bunyi itu sebagai penanda (signifier). Dalam tanda terungkap citra bunyi ataupun konsep sebagai dua komponen yang tak terpisahkan. Bagi Saussurean, hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbiter (bebas), baik secara kebetulan maupun ditetapkan. Prinsip arbiteran bahasa atau tanda tidak dapat diberlakukan secara mutlak atau sepenuhnya. Ada tanda-tanda yang benarbenar arbiteran, tetapi ada pula yang hanya relatif. Keartbiteran bahasa 16 Tony Thwaites, dkk, Introducing Cultural And Media Studies Sebuah Pendekatan Semiotik, (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), hal. 42

26 sifatnya bergradasi. Disamping itu, ada pula tanda-tanda yang bermotivasi, yang relatif non-arbitrer. Kemudian Charles Sanders Pierce menyatakan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut. Pierce menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan sebab-akibat, dan simbol untuk asosiasi konvensional. Berikut ini tabel yang bisa memperjelas: Tabel 2: Trikotomi Ikon/ Indeks/ Simbol Pierce 17 TANDA IKON INDEKS SIMBOL Ditandai dengan: Persamaan (kesamaan) Hubungan sebab-akibat Konvensi Contoh: Gambar-gambar Asap/ api Kata-kata Patung-patung Gejala/ penyakit Isyarat Tokoh besar Foto Reagan Bercak merah/ campak Proses Dapat dilihat Dapat diperkirakan Harus dipelajari 2. Konsep Semiotika Roland Barthes Roland Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya Prancis. Ayahnya seorang perwira angkatan laut, meninggal dalam sebuah pertempuran di Laut Utara. Sepeninggalan ayahnya, Barthes kecil di asuh oleh ibu, kakek, dan neneknya. 17 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), hal 15

27 Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Prancis yang ternama, eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Bartens menyebutnya sebagai tokoh yang memainkan peranan sentral dalam strukturalisme tahun 1960-an dan 70-an. Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Barthes telah menulis banyak buku, dan beberapa diantaranya telah menjadi bahan rujukan penting untuk studi semiotika di Indonesia. Dalam bukunya yang terkenal, S/Z (1970), yang oleh Bartens pantas disebut sebuah buku dengan judul cukup aneh. Buku ini merupakan salah satu contoh bagus tentang cara kerja Barthes. Dalam buku ini Barthes menganalisa sebuah novel kecil yang relatif kurang dikenal, berjudul Sarrasine, ditulis oleh sastrawan Prancis abad ke-19, Honore de Balzac. Dalam penilaian John Lechte, buku ini ditulis Barthes sebagai upaya untuk mengeksplisitkan kode-kode narasi yang berlaku dalam suatu naskah realis. Barthes berpendapat bahwa Sarrasine ini terangkai dalam kode rasionalisasi, suatu proses yang mirip dengan yang terlihat dalam retorika tentang tanda mode. Ada lima kode yang ditinjau oleh Barthes yaitu, kode hermeneutic (kode teka-teki), kode semik (makna konotatif), kode simbolik, kode proaretik (logika tindakan), dan kode gnomic atau kode cultural yang membangkitkan suatu badan pengetahuan tertentu.

28 Pada tahun 1954-1956, sebuah rangkaian tulisan muncul dalam majalah Prancis, Le Letters nouvelles. Pada setiap terbitannya Roland Barthes membahas Mythology of the Month (Mitologi Bulan Ini), sebagian besar dengan menunjukkan bagaimana aspek denotatif tandatanda dalam budaya pop menyikapkan konotasi yang pada dasarnya adalah mitos-mitos (myths) yang dibangkitkan oleh sistem tanda yang lebih luas yang membentuk masyarakat. John Lechte memaparkan, imaji dan pesan iklan, hiburan, kultur popular dan literer, serta barang-barang konsumsi sehari-hari menemui telaah subjektif yang cukup unik dalam hasil dan penerapannya. Cobley & Jansz mengungkapkan bahwa Barthes membahas fenomena keseharian yang luput dari perhatian. Dia menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukkan bahwa konotasi yang terkandung dalam mitologimitologi tersebut biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat. 18 Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem kedua ini oleh Barthes diebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau 18 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), hal 63-68

29 sistem pemaknaan tataran pertama. Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja. 1. Signifier 2. Signified (penanda) (Petanda) 3. Denotative sign (tanda denotatif) Tabel 3: Peta Tanda Roland Barthes 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER 5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PENANDA KONOTATIF) (PETANDA KONOTATIF) 6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF) Dari tabel diatas, dijelaskan bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur materi: hanya jika kita mengenal tanda singa, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin. Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussurean, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif. Dalam pengertian umum, denotasi adalah konotasi tanda yang paling stabil dan teruji secara objektif. Sebagai hipitesis bahwa stabilitas relatif denotasi bisa muncul dengan sejumlah cara: 1) Ketika rentangan makna umum tertentu berlaku umum yaitu dinisbatkan kepada suatu tanda oleh sejumlah kode dimana tanda beroperasi.

30 2) Ketika kode tertentu berfungsi dominan. 3) Ketika tanda bekerja dalam berbagai kode objektif atau ilmiah tertentu. Walaupun denotasi merupakan makna yang relatif stabil, namun denotasi dihasilkan dalam permainan diferensial nilai di antara tanda dan kode, bukan oleh korespondensi sederhana antara penanda dan petanda. Stabilitas denotasi sama sekali merupakan perkara relatif, dan oleh karenanya tak ada perbedaan yang jelas dan absolute antara denotasi dan konotasi Konotasi merupakan kumpulan petandanya yang mungkin. Konotasi muncul melalui kode yang pada dasarnya dimiliki bersama dan bersifat sosial. Konotasi bukanlah sesuatu yang diciptakan secara personal dari suatu tanda. Konotasi adalah sesuatu yang diciptakan dari kode yang tersedia dari suatu tanda. Konotasi sangatlah terstruktur, sekalipun dengan cara yang sangat aktif dan fleksibel. Mitos adalah pengkodean. Mitos merupakan sebuah peristilahan dominan secara metonimis mewakili semua peristilahan dalam suatu sistem. Sebuah relasi metonimis dominan diantara berbagai peristilahan secara metonimis mewakili semua relasi. Efek dari mitos adalah simplifikasi radikal atas semua relasi didalam sistem. Mitos mengkodekan secara belebihan (over code) keseluruhan sistem kepada satu unsur dominan tunggal dan satu relasi tunggal. 19 19 Tony Thwaites, dkk, Introducing Cultural And Media Studies Sebuah Pendekatan Semiotik, (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), hal. 89-98