Infrastruktur dan Logistik. Arianto A. Patunru LPEM-FEUI. Pendahuluan

dokumen-dokumen yang mirip
Analisis Perkembangan Industri

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah tidak bisa berjalan sendiri karena dibutuhkan biaya yang sangat besar.

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda

1. Tinjauan Umum

ANALISIS PELUANG INTERNASIONAL

Oleh : Ir. Hervian Tahier Wakil Ketua Umum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan yang terencana. Perencanaan wilayah adalah mengetahui dan

IV. GAMBARAN UMUM. 4.1 Gambaran Umum Perekonomian di Negara-negara ASEAN+3

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengambil langkah meningkatkan BI-rate dengan tujuan menarik minat

Perekonomian Suatu Negara

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi diartikan juga sebagai peningkatan output masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

Ketua Komisi VI DPR RI. Anggota Komisi VI DPR RI

KATA PENGANTAR. Terima kasih. Tim Penyusun. Penyusunan Outlook Pembangunan dan Indeks Daya Saing Infrastruktur

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan cerminan

Kemandirian Ekonomi Nasional: Bagaimana Kita Membangunnya? Umar Juoro

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

BAB I PENDAHULUAN. wilayah. Karena pada dasarnya, investasi merupakan satu pengeluaran

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala BAPPENAS

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan salah satu tolak ukur untuk

Ringkasan eksekutif: Tekanan meningkat

Disampaikan: Edy Putra Irawady Deputi Menko Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. menerus berupaya untuk mensejahterakan rakyatnya. Salah satu hal yang dapat

LAPORAN PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN I/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. A. Perkembangan Penanaman Modal Dalam Negeri di Indonesia

Artikel Prof Mudrajad Kuncoro di Investor Daily: Paket Kebijakan Plus Revolusi Mental Thursday, 19 May :39

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen)

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara yang memiliki banyak sumber daya alam dan

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, KINERJA DAN DAYA SAING INDUSTRI ELEKTRONIKA DI INDONESIA JOHANNA SARI LUMBAN TOBING H

IV. GAMBARAN UMUM NEGARA ASEAN 5+3

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JUNI 2015

Ekonomi 2009: Perlu langkah-langkah Baru

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

BAB 1 PENDAHULUAN. Grafik 1.1 Perkembangan NFA periode 1997 s.d 2009 (sumber : International Financial Statistics, IMF, diolah)

BAB I PENDAHULUAN. samping komponen konsumsi (C), investasi (I) dan pengeluaran pemerintah (G).

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011

Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) merupakan kunci dari kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan

Policy Brief Outlook Penurunan BI Rate & Ekspektasi Dunia Usaha No. 01/01/2016

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Ringkasan eksekutif: Penyesuaian berlanjut

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

PROYEKSI MAKROEKONOMI INDONESIA

Fokus Negara IMF. Fokus Negara IMF. Ekonomi Asia yang Dinamis Terus Memimpin Pertumbuhan Global

BAB I PENDAHULUAN. Penanaman modal yang sering disebut juga investasi merupakan langkah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN KAUSALITAS ANTARA EKSPOR NON MIGAS TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI JULI 2014

KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009

I. PENDAHULUAN. jasa. Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi

Bab I. Pendahuluan. Globalisasi mencerminkan hubungan tanpa batas antara negara satu

Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2013

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan internasional merupakan aspek yang sangat penting dalam. perekonomian setiap Negara di dunia. Tanpa adanya perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. saing global, dan memperbaiki iklim investasi secara keseluruhan.

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB 1 : PERKEMBANGAN MAKRO REGIONAL

Perekonomian Indonesia Pada Masa Reformasi

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LPEM LAPORAN TRIWULAN PEREKONOMIAN 2017 Q1

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

Daya Saing Global Indonesia versi World Economic Forum (WEF) 1. Tulus Tambunan Kadin Indonesia

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JULI 2015

NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini hampir semua negara-negara di dunia menganut sistem pasar bebas

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

KRISIS EKONOMI DI INDONESIA MATA KULIAH PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN KABUPATEN WONOGIRI

KINERJA PENCIPTAAN LAPANGAN KERJA TIGA PEMERINTAHAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

sektor investasi dalam negeri, namun peningkatan dari sisi penanaman modal asing mampu menutupi angka negatif tersebut dan menghasilkan akumulasi

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

4. Outlook Perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. iklimnya, letak geografisnya, penduduk, keahliannya, tenaga kerja, tingkat harga,

Paket Kebijakan Ekonomi (Tahap XV)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

Infrastruktur dan Logistik Arianto A. Patunru LPEM-FEUI Pendahuluan Sebelum krisis ekonomi 1997/1998, perekonomian Indonesia mencatat kemajuan yang mengesankan: PDB tumbuh 7,5% per tahun selama dua dekade. Namun krisis merontokkan pertumbuhan hingga minus 13% pada tahun 1998 disertai inflasi 76% dan hilangnya 2/3 pendapatan per kapita. Sepuluh tahun kemudian perekonomian pulih: PDB, pendapatan per kapita, konsumsi, dan ekspor telah melebihi tingkat sebelum krisis. Inflasi relatif terkendali pada 6-7%, nilai tukar lebih stabil di sekitar Rp 9,100, dan indeks harga saham menembus 2,000. Defisit fiskal serta hutang dapat ditekan secara signifikan. Namun investasi masih belum mencapai tingkat sebelum krisis. Perekonomian masih sangat bergantung pada konsumsi (terutama oleh pemerintah) dan ekspor (terutama karena harga internasional yang tinggi). Ternyata pola perekonomian Indonesia pasca krisis tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Malaysia, Thailand, dan Korea: konsumsi melebihi tingkatnya sebelum krisis, namun tidak demikian halnya dengan investasi (kecuali Korea sejak 2004). Dalam hal ekspor, Indonesia masih relatif lambat dibanding negara-negara korban krisis lainnya. Kendala utama dari pertumbuhan ekspor yang lambat ini terjadi di sektor manufaktur yang mengandalkan tenaga kerja. Nilai dollar dari ekspor sektor ini turun drastis dari 23% tahun 1990-1996 ke 2% tahun 1996-2006. Pada tahun 2007 dan awal 2008, ekspor kembali bergeliat. Namun sebuah krisis baru yang berasal dari Amerika Serikat pada paruh kedua 2008 segera menjalar ke seluruh dunia, menyebabkan permintaan terhadap ekpsor Indonesia menurun drastis. Hingga paruh pertama 2009, ekspor Indonesia masih mengalami kontraksi. Basri dan Patunru (2008) menyimpulkan bahwa rendahnya tingkat investasi dan lambatnya pertumbuhan ekspor Indonesia pada masa normal (di luar krisis) di atas disebabkan oleh kendala-kendala di sisi penawaran yang pada gilirannya bermuara pada apresiasi nilai tukar, ekonomi biaya tinggi (termasuk kondisi infrastruktur yang jelek, pungutan liar, biaya logistik atau masalah iklim investasi pada umumnya), serta perubahan pola investasi dari sektor tradable (umumnya adalah komoditi ekstraktif) ke non-tradable (umumnya adalah konstruksi, transportasi, dan komunikasi). Tulisan ini menyoroti masalah dan isu seputar infrastruktur dan biaya logistik. Infrastruktur: Listrik, Air, Telekomunikasi Targat pertumbuhan ekonomi pemeritahan SBY 2004-2009 sebesar 7% akan sulit tercapai kecuali jika dilakukan perbaikan signifikan terhadap infrastruktur (LPEM-FEUI 2005a). Kondisi infrastruktur yang dianggap paling menghambat oleh pelaku bisnis 1

terdapat di jalan, listrik, pelabuhan, air, dan telekomunikasi (LPEM-FEUI 2006, 2007). Tidak memadainya infrastuktur menurut Kong dan Ramayandi (2008) disebabkan oleh tiga faktor: kurangnya alokasi anggaran, penggunaan yang tidak optimal atas anggaran yang ada, serta koordinasi yang buruk antara yurisdiksi. Sayangnya, partisipasi swasta juga masih kurang. Narjoko dan Jotzo (2007) mencatat bahwa pihak swasta tidak banyak terlibat dalam proyek-proyek infrastuktur karena sektor perbankan domestik juga enggan mengucurkan kredit ke sektor tersebut, implementasi dari kebijakan infrastruktur tidak efektif, serta banyak proyek infrastruktur harus beroperasi di bawah kondisi non-pasar: jasa infrastruktur kebanyakan harus dijual pada harga jauh di bawah biaya pengadaannya. Dalam hal listrik, adalah benar bahwa penjualan PLN (dengan pertumbuhan rata-rata 15%) telah melebihi dua kali lipat penjualan sebelum krisis (Bank Dunia 2004). Namun permintaan dan kebutuhan akan listrik pasca krisis tumbuh jauh melebihi kemampuan penyediaannya. Akibatnya, dengan tarif yang dipatok, seringkali terjadi pemutusan aliran listrik kondisi yang sangat merugikan terutama bagi industri. Sekalipun waktu untuk mendapatkan sambungan baru tidak terlalu lama, masalah lebih besar timbul ketika perusahaan ingin meningkatkan kapasitas terpasangnya. Seringkali perusahaan harus membeli transformer sendiri lalu melakukan skema bagi-biaya dengan PLN: tarif lebih rendah selama periode waktu tertentu sampai transformer dinyatakan menjadi milik PLN dan tarif dinaikkan kembali. Biaya pembelian tansformer sendiri tidak kecil: untuk ukuran menengah sekitar Rp 500 juta. Gambaran yang hampir sama terjadi dalam hal penyediaan air. Dalam sebuah survei (LPEM-FEUI, 2005a) responden dari kalangan industri melaporkan bahwa dalam 6 bulan mereka mengalami masalah serius dengan air rata-rata sebanyak 29 kali (berkaitan dengan bau, warna, serta pemutusan aliran air). Karena kapasitas yang terbatas, PDAM memang memprioritaskan pelayanan kepada rumah tangga ketimbang industri. Akibatnya kebanyakan industri menggunakan sumber air sendiri (umumnya sumur dalam) untuk tujuan produksi dan hanya menggunakan air yang disediakan PDAM untuk kebutuhan aktivitas kantor. Sama halnya dengan PLN, PDAM juga menawarkan skema bagi-biaya, yang umumnya dimanfaatkan oleh industri yang berada di lokasi jauh dari pipa distribusi air. Pengusaha akan menanggung biaya instalasi pipa dari terminal air terdekat ke lokasi industri. Dalam hal telekomunikasi, gambarannya tidak separah listrik dan air. Survei LPEM tahun 2005 tersebut melaporkan rata-rata 9 kali gangguan serius dalam 6 bulan pada sambungan telpon tetap yang dioperasikan oleh PT Telkom. Namun pertumbuhan yang sangat pesat dari industri telpon seluler tampaknya telah membantu meringankan masalah dalam hal telekomunikasi. Studi LPEM-FEUI (2007) melaporkan bahwa jumlah sambungan telpon seluler untuk setiap 100 individu di wilayah tertentu ( teledensitas ) pada tahun 2005 meningkat lebih dari 20 kali sambungan pada thaun 1999. Dengan revoulusi alat komunikasi seluler dewasa ini, masalah di bidang telekomunikasi dapat dikatakan minimal. 2

Logistik: Jalan, Pelabuhan, Kelancaran Arus Barang Studi LPEM-FEUI (2005b) menemukan bahwa biaya logistik di Indonesia mencapai 14% dari biaya produksi total, jauh melebihi biaya di Jepang misalnya yang hanya mencapai 4,9%. Survei tersebut memilah biaya logistik ke dalam tiga segmen, yaitu logistik input (dari vendor atau pelabuhan ke pabrik), logitik internal (dalam pabrik), serta logistik output (dari pabrik ke pelabuhan). Biaya logistik terbesar terjadi di segmen logistik input yaitu 7.2%, diikuti oleh logistik output 4% dan logistik internal 2.9%. Masalah-masalah utama dalam logitik meliputi infrastruktur jalan yang jelek, pungutan liar di jalan dan di pelabuhan, serta peraturan pemerintah (terutama pajak lokal dan upah minimum). Manajemen pelabuhan yang buruk disertai infrastruktur yang tidak memadai memberi jalan lebih luas bagi pungutan liar. Waktu tunggu menjadi lebih panjang karena fasilitas seperti crane, forklift, dan docking juga terbatas, kompetensi sumber daya manusia masih rendah (lebih rendah daripada Singapura, Malaysia, China, Thailand, dan India, menurut survei Bank Dunia 2008), serta perangkat elektronik untuk pertukaran data belum berfungsi efisien. Dalam situasi seperti ini insentif untuk meminta dan membayar pungutan tambahan meningkat untuk mempercepat proses klarifikasi barang maupun dokumen. Benar bahwa, sekalipun masih lebih kompleks daripada di Malaysia dan Singapura (Bank Dunia 2008) prosedur impor dan ekspor mengalami perbaikan dalam hal waktu penyelesaiannya di pelabuhan (LPEM-FEUI 2007). Namun ada indikasi bahwa semakin cepatnya proses klarifikasi adalah fungsi dari pembayaran informal. Selain itu, sistem manajemen PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo), BUMN yang ditugaskan mengelola pelabuhan bersama Administrasi Pelabuhan (Adpel dari Departemen Perhubungan) menyebabkan insentif untuk berbenah diri sangat kecil, karena ada unit Pelindo yang mengalami kerugian akan pasti ditutup oleh unit Pelindo lain yang mencatat untung (Patunru, Nurridzki, Rivayani 2009). Di jalan, hal yang serupa terjadi. Pungutan liar memang sebagian besar terjadi di dalam proses pengantaran. Pemungut bervariasi dari oknum aparat pemerintah sampai oknum petugas polisi, dari organisasi yang mengaku LSM sampai preman secara kelompok maupun individu (LPEM-FEUI 2007). Pungutan liar ini berkisar antara 1,3% (survei 2007) sampai 1,7% (survei 2005) dari biaya produksi total, berdasarkan informasi dari responden. Studi lain juga menemukan bahwa biaya operasi kendaraan truk untuk kebutuhan usaha dagang di Indonesia lebih tinggi daripada di negara lain di Asia, sebagian dikarenakan oleh buruknya infrastrukutur jalan maupun kondisi geografis serta terbebaninya supir truk oleh berbagai pungutan: retribusi lokal, pungutan resmi maupun tidak resmi di jembatan timbang, serta pungutan oleh oknum polisi dan preman (LPEM- FEUI dan The Asia Foundation 2008). Apa yang Telah Dilakukan Patut dicatat bahwa pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah-masalah di atas. Untuk tujuan umum menarik investasi, pemerintah telah mengeluarkan 3 paket kebijakan pada tahun 2006: paket infrastruktur (Peraturan Menteri Keuangan No. 38/PMK.01/2006), paket investasi (Instruksi Presiden No. 3/2006), paket 3

sektor finansial (Keputusan Bersama Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri BUMN, dan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 5 Juli 2006). Bulan Juni 2007 pemerintah kembali mengeluarkan sebuah paket kebijakan (Instruksi Presiden No. 6/2007) untuk investasi, sektor keuangan, infrastruktur, dan UMKM. Juga pada tahun 2007 DPR akhirnya mensahkan undang-undang investasi setelah sekian lama dibahas (UU No. 25/2007) yang selain menghilangkan dikotomi PMA-PMDN juga menyederhanakan regulasi, melindungi hak milik dan investasi, dan memberikan insentif fiskal. Peraturan yang menyertai undang-undang ini antara lain adalah kriteria dan daftar negatif investasi (Peraturan Presiden No. 76 dan 77/2007). Seperti diduga, daftar negatif langsung menimbulkan kontroversi (Takii dan Ramstetter 2007). Merespon hal ini, pemerintah mengeluarkan revisi atas daftar negatif tersebut (Peraturan Presiden No.111/2007 dan lanjutannya). Inpres 6/2007 sendiri dilanjutkan oleh Inpres 5/2008 yang meliputi program-program perbaikan yang akan diselesaikan sampai akhir masa kepemimpinan SBY tahun 2009. Lebih spesifik untuk isu infrastruktur dan logistik, pemerintah melakukan beberapa kebijakan yang bertujuan untuk memberi insentif kepada pihak swasta untuk berinvestasi di sektor infrastruktur di samping kebijakan lain untuk membantu pendanaan dan untuk memperbaiki manajemen. Misalnya, pada tahun 2006 Menteri Keuangan membentuk Unit Manajemen Risiko untuk mengawasai pelaksanaan mekanisme bagi-risiko proyekproyek kerjasama pemerintah-swasta. Pemerintah juga memutuskan memberikan dukungan kredit untuk proyek listrik 10,000 megawatt dan untuk proyek tol Trans-Jawa. Untuk memperbaiki proses pembebasan tanah yang seringkali menjadi masalah dalam proyek infrastruktur, pemerintah juga membentuk Unit Investasi Pemerintah dan mengalokasikan sekitar Rp 2 triliun tahun 2006, 2007, dan 2008 kepada unit ini untuk membantu percepatan pembangunan infrastruktur. (Dapat dicatat pula di sini, bahwa sebagai respon atas krisis 2008, pemerintah telah melakukan kebijakan stimulasi fiskal. Sebagian dari stimulasi tersebut diarahkan juga untuk perbaikan infrastruktur. Sayang sekali realisasi pengeluaran ternyata menjadi sangat lamban). Apa yang Perlu Dilakukan Pembangunan infrsatruktur tentu saja perlu terus dilanjutkan. Dalam jangka pendek dan menengah, selayaknya fokus diberikan kepada listrik dan air. Untuk jalan dan pelabuhan yang menjadi tulang punggung sistem logistik, pembangunan hard infrastructure (penambahan ruas dan panjang jalan, dsb) sama pentingnya dengan soft infrastructure (mis. perbaikan SDM dan pemberantasan pungli di jalan). Untuk memperbaiki sistem logistik diperlukan reformasi yang berfokus kepada pendirian dan optimalisasi fungsi pusat distribusi logistik. Pelembagaan seharusnya bisa dilakukan dalam jangka pendek (1 tahun). Setelah itu, dalam jangka menengah (hingga 5 tahun), sistem logistik perlu terintegrasi dengan layanan perbankan dan kepelabuhanan dengan berbasis teknologi informasi. Dalam jangka lebih panjang (lebih dari 5 tahun), sistem yang efisien dan meminimalkan tatap muka manusia-ke-manusia (sebaliknya, lebih mengandalkan teknologi tanpa kertas) dapat terus dipromosikan. 4

Selain itu, khusus untuk pelabuhan dan transportasi laut (baik domestik maupun internasional), perkuatan azas cabotage perlu terus dilakukan, tanpa mengurangi potensi manfaat yang didapatkan perekonmian domestik dengan berkerjasama dengan pelayaran internasional. Dalam jangka pendek dan menengah, perbaikan administrasi perlu disempurnakan. Hal ini mencakup penyelesaian masalah tumpang-tindih wewenang dan tugas Pelindo, Adpel, Polisi Laut, dsb.; konsolidasi hukum dan peraturan, penyederhanaan perijinan, dan penertiban penomoran kapal. Infrastruktur pelabuhan juga perlu diperbaiki (port crane, container crane, fasilitas roll-on-roll-off, serta pelebaran dan pendalaman beberapa pelabuhan utama untuk memenuhi standar international hub). Dalam jangka lebih panjang, peningkatan SDM perlu terus dilanjutkan. 5