A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
M. Lutfi Hadi Wicaksono dan Luh Kadek Pande Ary Susilawati Psikologi Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN hingga (Unicef Indonesia, 2012). Menurut Departemen Sosial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Atas (SMA) untuk melanjutkan studinya. Banyaknya jumlah perguruan tinggi di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mutia Ramadanti Nur,2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi muda yang berperan sebagai penerus cita-cita

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia dikatakan makhluk sosial yang mempunyai akal pikiran di

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap pasangan yang telah menikah tentu saja tidak ingin terpisahkan baik

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa peralihan seseorang dari masa kanak-kanak menuju

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat penting dalam pembentukan karakter bangsa. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia terdapat 6 agama yang diakui negara yaitu Islam, Kristen,

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB 1 PENDAHULUAN. diwarnai dengan berbagai macam emosi, baik itu emosi positif maupun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman membuat manusia harus bisa beradaptasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mencari pengalaman hidup serta ingin menuntut ilmu yang lebih tinggi di

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dari mulai lahir sampai dengan meninggal dunia. Dari semua fase

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

Transkrip Wawancara dengan Anak Korban Broken Home

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

HUBUNGAN ANTARA GEGAR BUDAYA DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA BERSUKU MINANG DI UNIVERSITAS DIPONEGORO

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan Kecerdasan..., Leila, Fakultas Psikologi 2016

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Pada perguruan tinggi mahasiswa tahun pertama harus bersiap menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. didik, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Remaja. suatu konsep yang sekarang kita sebut sebagai remaja (adolescence). Ketika buku

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbatas pada siswa baru saja. Penyesuaian diri diperlukan remaja dalam menjalani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

SUSI RACHMAWATI F

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi

para1). BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dianggap sebagai masa topan badai dan stres, karena remaja telah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. individual yang bisa hidup sendiri tanpa menjalin hubungan apapun dengan individu

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Manusia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dimana pada masa tersebut merupakan periode peralihan dan perubahan. Hurlock

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori

BAB 1 PENDAHULUAN. pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Imas Halimatusa diah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala

BAB 1 PENDAHULUAN. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah bagian yang penting dalam masyarakat, terutama di negara

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, biasaya. perubahan penampilan pada orang muda dan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa Remaja merupakan suatu fase transisi dari anak-anak menjadi dewasa

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya,

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semua orang pasti menginginkan kehidupan yang sejahtera baik secara fisik, materi maupun psikologis dan menghindari kehidupan yang menekan serta tidak menyenangkan, remaja adalah salah satu fase yang membutuhkan bimbingan dalam kehidupan karena konflik psikologis dari dalam diri sangat dominan terjadi pada remaja yang disebabkan oleh perkembangan fisik, kognitif, kejiwaan, dan sosial (Said, 2015). Masa remaja adalah sebuah konstruksi sosial, sebelum abad ke-20 tidak ada konsep mengenai remaja karena dahulu anak-anak akan memasuki masa dewasa saat matang secara fisik atau saat sudah bekerja sedangkan pada masa kini persiapan menuju kedewasaan membutuhkan waktu yang lebih panjang dan tidak memiliki batasan yang jelas, proses masuk ke dunia kerja cenderung terjadi lebih lambat dalam masyarakat yang kompleks, serta membutuhkan periode pendidikan lebih panjang untuk mempersiapkan tanggung jawab sebagai orang dewasa (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak menuju kedewasaan, yang berlangsung sejak usia 10 atau 11 tahun sampai pada masa remaja akhir sekitar usia 18 sampai 21 tahun. Masa peralihan memberikan remaja kesempatan untuk tumbuh, tidak hanya dalam dimensi fisik, tetapi juga dalam kompetensi kognitif, sosial, kemandirian, harga diri, dan kedekatan hubungan dengan orang lain (Papalia, dkk 2009). Perubahan yang tampak jelas pada masa remaja adalah perkembangan fisik, yaitu masa alat-alat kelamin manusia mencapai 1

2 kematangannya secara seksual, pertumbuhan secara cepat pada tinggi dan berat badan, serta perubahan bentuk tubuh yang sudah seperti tubuh orang dewasa, masa ini juga disebut sebagai pubertas (Sarwono, 2012). Remaja juga menunjukkan perkembangan yang pesat pada kemampuan kognitifnya, Piaget (dalam Ali & Asrori, 2012) mengatakan bahwa pada masa remaja sudah berada pada tahap operasional formal dan sudah mampu berpikir abstrak, logis, rasional, serta mampu memecahkan persoalan-persoalan yang bersifat hipotetis. Sejalan dengan perkembangan kognitif pada waktu yang sama remaja juga mengalami perkembangan moral. Kohlberg (dalam Papalia, dkk 2009) menyatakan remaja berada pada tingkat penalaran moral konvensional yaitu suatu tingkatan dimana remaja mulai mematuhi aturan sosial, menginternalisasi standar dari figur otoritas, berusaha menyenangkan orang lain, dan mempertahankan aturan sosial. Pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi pada masa remaja menyebabkan kebutuhan remaja juga meningkat. Kebutuhan psikologis adalah kebutuhan yang paling penting bagi remaja karena dengan terpenuhinya kebutuhan psikologis maka remaja akan mampu menunjukkan perilaku yang positif dalam hidup. Remaja sangat membutuhkan ketenangan, kedamaian, kesempatan mengembangkan potensi, cinta dan kasih sayang, pujian, motivasi, penghargaan, dikenal oleh orang lain, diterima dan dihargai oleh orang sekitar, kebebasan, sosialisasi dalam kehidupan dan kesetiakawanan, prestasi, arahan dan bimbingan, serta pendidikan agama (Said, 2015). Remaja yang kebutuhan psikologisnya terpenuhi akan memperoleh suatu kepuasan hidup, selanjutnya remaja akan merasa gembira, harmonis, dan produktif.

3 Sebaliknya, remaja akan mengalami kekecewaan, ketidakpuasan, atau bahkan frustrasi, dan pada akhirnya akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya jika kebutuhan psikologisnya tidak terpenuhi (Ali & Asrori, 2012). Kondisi kebutuhan remaja yang meningkat, memunculkan tugas-tugas baru yang harus dilakukan dan dicapai oleh remaja yang disebut tugas perkembangan. Hurlock (dalam Ali & Asrori, 2012) menyatakan tugas perkembangan remaja yang penting yaitu, mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai peran sosial pria dan wanita, menerima keadaan diri apa adanya, mencari kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya, mencapai jaminan kebebasan ekonomis, memilih dan menyiapkan lapangan pekerjaan, persiapan untuk memasuki kehidupan berkeluarga, mengembangkan keterampilan intelektual, memperoleh suatu himpunan nilai-nilai dan sistem etika sebagai pedoman tingkah laku. Havighurst (dalam Ali & Asrori, 2012) menyatakan bahwa jika berhasil menjalankan sebagian besar tugas perkembangan akan menimbulkan kebahagiaan dan membawa kearah keberhasilan, akan tetapi jika gagal akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya. Perkembangan fisik, kognitif, psikologis, dan sosial yang berlangsung sangat cepat membuat remaja membutuhkan bimbingan dan lingkungan yang sesuai untuk memahami karakteristik masa perkembangannya. Berbagai problematika yang muncul seringkali terjadi karena kurangnya pengalaman remaja dalam berinteraksi dengan tuntutan pertumbuhan dan kebutuhan remaja yang terus berkembang (Said, 2015). Sebagian remaja mengalami masalah dalam menghadapi berbagai perubahan yang terjadi secara bersamaan dan membutuhkan bantuan saat menjalani masa ini (Papalia, dkk 2009).

4 Salah satu contoh perubahan yang dialami remaja akhir adalah masa peralihan jenjang pendidikan dari Sekolah Menengah Atas (SMA) menuju Perguruan Tinggi (Hurlock, 1980). Tidak jarang remaja akhir harus pergi merantau untuk melanjutkan pendidikan menuju Perguruan Tinggi yang menyebabkan remaja akhir tinggal jauh dari orang tua, keluarga, dan teman-teman sewaktu SMA. Akibatnya remaja akhir bisa mengalami top-dog phenomenon yaitu fenomena berupa keadaan bergerak dari posisi teratas saat remaja menjadi senior di SMA menuju ke posisi paling bawah saat remaja menjadi junior di Perguruan Tinggi (Santrock, 2002). Tinggal jauh dari orang tua, teman-teman dekat sewaktu SMA, harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, memulai hubungan sosial dengan teman baru dan senior di Perguruan Tinggi menjadi situasi yang dihadapi oleh remaja akhir. Hasil studi pendahuluan yang didapatkan peneliti setelah mewawancarai kelompok remaja akhir yaitu tiga mahasiswa perantauan yang beragama Islam, adalah terjadi fenomena seperti merasa kesepian, kesendirian dan tidak ada orang yang bisa dimintai pertolongan saat pertama kali memasuki lingkungan perkuliahan di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, berikut kutipan wawancara: Karena disini saya sendiri dan otomatis tidak mempunyai siapa-siapa yang bisa saya mintai bantuan (Preliminary Study, VerLC11). Sejalan dengan pendapat dari Allen dan Laursen (dalam Papalia, dkk 2009) bahwa remaja merasa aman jika memiliki hubungan dan dukungan penuh dari orang tua yang memahami cara remaja melihat diri sendiri, mendorong usaha remaja untuk mencapai kemandirian, serta menyediakan tempat yang aman di saat remaja mengalami tekanan emosional, sedangkan mahasiswa yang jauh dari rumah mengalami hal yang sebaliknya ketika mengalami tekanan emosional mereka

5 kurang merasa aman karena jauh dari orang tua. Berikut kutipan wawancara tekanan emosional yang dihadapi responden pertama kali datang ke Bali untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana: Pertama ke Bali itu pastinya kaget, karena budayanya berbeda di lingkungan pertama, terus juga ee yang kedua itu kita harus belajar karena disini saya perantau untuk hidup mandiri untuk bisa ee mengatur keuangan sendiri ee biasanya dulu kalau masih SMA itu masih diatur sama orang tua diurus segala keperluannya, sedangkan disini kita harus ngurus segala sesuatunya itu sendiri jadinya disini kita harus belajar lebih dewasa dan mandiri. Terutama di masa ospek juga disana kita harus bisa gimana caranya sistemnya ini membuat kaget karena perubahan sistem belajar itu berubah banget, kalau misalnya ospek itu dari waktu SMA kita nggak pernah belajar cari jurnal disini kita harus tugas-tugas waktu ospeknya cari jurnal dan lain sebagainya, ngatur waktu malah waktu ospek kita nggak ada waktu tidur sama sekali dan itu bener-bener kaget banget. Beda banget ya sistem belajar waktu SMA sama waktu kuliah itu beda banget kadang ada rasa kesepian juga karena disini kita engga tahu siapa-siapa, engga punya temen siapa-siapa dan memang harus bisa survive hidup disini dan harus ee belajar lagi cari temen lagi dan ngatur semuanya sendiri. (Preliminary Study, VerLC1). Salah satu sarana untuk membantu mahasiswa perantauan khususnya yang beragama Islam dalam menjalani perkuliahan di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana adalah Islamic Medical Activists (IMA). IMA adalah organisasi kemahasiswaan yang beranggotakan mahasiswa Muslim di lingkup Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Mayoritas anggota IMA adalah remaja akhir yaitu remaja yang berusia 18-21 tahun, ini dikarenakan pada saat awal memasuki jenjang perkuliahan remaja pada umumnya berada pada rentang usia 18-21 tahun. Islamic Medical Activist (IMA) adalah organisasi yang bersifat independen dan berasaskan kekeluargaan yang berdiri pada tahun 1989. IMA merupakan organisasi yang bernuansa sosial, berwawasan cendekia, dan memiliki visi maju untuk menyongsong masa depan. IMA memiliki tujuan antara lain sebagai tempat untuk persaudaraan dan interaksi, meningkatkan kesejahteraan anggota, membina kepribadian anggota yang bermoral, berbudi, mengembangkan potensi kreatif dan

6 keilmuan anggota, membina kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, berperan aktif dalam dunia pendidikan, serta berpartisipasi secara konstruktif dalam pembangunan masyarakat (AD/ART IMA, 2015). Berdasarkan hasil wawancara terhadap tiga mahasiswa perantauan yang pada awal memasuki perkuliahan di Fakultas Kedokteran belum bergabung dengan IMA namun sekarang sudah menjadi anggota IMA lebih dari satu tahun, diperoleh informasi bahwa IMA mempunyai kegiatan-kegiatan yang positif seperti mengadakan seminar tentang melakukan prosesi sunat (sirkumsisi), mengadakan pelayanan kesehatan gratis untuk masyarakat, mengadakan prosesi sunat gratis bagi masyarakat, dan khusus untuk hari raya Idhul Adha IMA mengadakan penyembelihan hewan untuk dikorbankan (qurban) dan dagingnya dibagikan kepada panti asuhan (Preliminary Study, VerLC6 & VerLC7). IMA memiliki perbedaan dengan organisasi lain yang ada di lingkungan Fakultas Kedokteran diantaranya karena IMA adalah organisasi yang bersifat independen jadi dalam melakukan kegiatan dana yang dikeluarkan bersifat swadaya dari anggota atau mencari dana lewat sponsor. Selain itu yang membedakan IMA dengan organisasi lain di Fakultas Kedokteran adalah sifatnya yang tidak mengikat, contohnya jika organisasi lain mewajibkan calon anggotanya menjadi anggota muda terlebih dahulu setelah itu wajib menjadi panitia suatu kegiatan agar bisa diangkat menjadi anggota sebuah organisasi maka hal ini tidak diwajibkan dalam IMA karena seluruh mahasiswa Muslim yang sedang menempuh studi di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana merupakan anggota IMA sehingga tidak ada istilah calon anggota IMA (AD/ART IMA, 2015). Responden wawancara menyampaikan bahwa setelah menjadi anggota IMA responden mulai merasakan dan mendapatkan manfaat positif. Manfaat yang di

7 dapat setelah menjadi anggota IMA dan mengikuti kegiatan-kegiatan IMA diceritakan melalui kutipan wawancara berikut: emm rasanya seneng sih ketemu temen baru terus ketemu temen seperjuangan sama-sama perantau sama sama se-muslim terus sama-sama senasib sepenanggungan, sama-sama enggak tau apa-apa. Seneng aja ternyata ada lo tempat dimana kita bisa ketemu orang yang sama backgroundnya gitu. Ehmm bermanfaat banget ya kalo saya ikut kegiatan IMA itu karena yang pertama menambah silaturahmi ternyata kita nggak sendiri di Bali karena kan ee mayoritas di Bali penduduknya beragama Hindu ternyata disini kita bisa ketemu lagi sama temen-temen yang sama kayak kita terus tambah lagi eee temen-temen gak hanya satu prodi tapi dari prodi lainnya juga banyak, dan karena eee di IMA juga ee sangat kekeluargaan ya jadi saya ngerasa nyaman di IMA. Banyak banget manfaat ikut IMA missal ikut tenda tensi dan pelayanan kesehatan itu disitu kita diajarkan untuk belajar ilmu baru seperti mengukur tensi, asam urat eee cek gula darah akhirnya saya belajar dan bisa. Ada juga kegiatan refreshing, ada juga animasi itu kan ee menjalin hubungan dan mengenal sama alumni, kakak kelas, adik kelas juga yang baru jadinya menambah banyak link dan juga dari IMA sendiri eee apa ya ada ya bertemu dengan sahabat-sahabat misalnya temen itu enggak dari satu prodi aja malah temen deket saya itu ada yang dari temen IMA itu sendiri. Jadi karena kenal itu jadi temen satu kos terus juga saling sharing kehidupan di Bali itu gimana, terus juga abis itu di IMA kan ada yang namanya Liqo (sharing ilmu agama dan sekaligus perkumpulan tetapi hanya khusus sesama perempuan) nah kebetulan saya juga ikut nah itu banyak manfaatnya terutama untuk kita yang perantau gimana kita di daerah rantau harus bisa bergaul dengan baik dan memilih temen dengan baik nah menurut saya itu IMA bisa jadi tempat bagi para perantau untuk eee tidak terbawa arus yang tidak baik atau gimana. (Preliminary Study, VerLC3-4) Masa remaja bisa disebut sebagai masa sosial karena sepanjang masa remaja hubungan sosial makin tampak jelas dan dominan. Kesadaran akan kesunyian menyebabkan remaja mencari kompensasi dengan mencari hubungan dengan orang lain atau berusaha mencari pergaulan. Penghayatan kesadaran akan kesunyian yang mendalam dari remaja merupakan dorongan pergaulan untuk menemukan pernyataan diri akan kemampuan kemandiriannya (Ali & Asrori, 2012). Mahasiswa yang membutuhkan hubungan sosial dan menyadari akan kesunyian membuat mahasiswa berusaha untuk mencari pergaulan.

8 Salah satu wadah yang menyediakan tempat untuk mahasiswa perantauan yang beragama Islam memulai hubungan sosial pertama kali di lingkungan kampus adalah IMA, karena pada mulai awal mahasiswa Muslim mengikuti ospek, IMA sudah mulai mendata mahasiswa Muslim lalu mengajak berinteraksi dan memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan contohnya memberikan pinjaman buku untuk kuliah, memberikan informasi tentang perkuliahan di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan memperkenalkan mahasiswa baru dengan mahasiswa senior dikampus, jadi bisa dikatakan IMA sebagai keluarga awal bagi mahasiswa Muslim dan perantauan saat berada di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. IMA juga bisa disebut sebagai batu pijakan untuk memulai hubungan dan interaksi sosial yang lebih besar lagi dengan seluruh mahasiswa di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (Preliminary Study, VerLC2). Islamic Medical Activists (IMA) bisa menjadi lingkungan positif yang mendukung bagi mahasiswa perantauan tentang perkuliahan di Bali, karena IMA bisa menjadi sarana yang membantu remaja untuk memenuhi kebutuhan psikologis remaja seperti kebutuhan akan kesempatan mengembangkan potensi, cinta dan kasih sayang, pujian, motivasi, penghargaan, dikenal oleh orang lain, diterima dan dihargai oleh orang sekitar, kebebasan, sosialisasi dalam kehidupan dan kesetiakawanan, prestasi, arahan dan bimbingan, serta pendidikan agama karena jika kebutuhan psikologis remaja terpenuhi maka akan timbul suatu kepuasan hidup, selanjutnya remaja akan merasa gembira, harmonis, dan produktif (Ali & Asrori, 2012) Havighurst (dalam Ali & Asrori, 2012) juga menyatakan bahwa jika remaja berhasil menjalankan sebagian besar tugas perkembangannya maka akan timbul kebahagiaan dan membawa kearah keberhasilan. Remaja yang berhasil memenuhi

9 kebutuhan dan tugas perkembangannya membuat remaja memperoleh kepuasan hidup dan juga kebahagiaan yang diyakini dapat membentuk kesejahteraan dalam dirinya. Hal-hal positif seperti kebahagiaan dan kepuasan juga turut berpengaruh dalam pembentukan kondisi psikologis yang positif (positive psychological functioning) yang membawa kepada terbentuknya kesejahteraan psikologis (psychological well-being) dalam diri seseorang (Ryff & Keyes, 1995). Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesejahteraan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi secara positif. Menurut Papalia, dkk (2009) deskripsi orang yang memiliki kesejahteraan psikologis yang baik adalah orang yang mampu merealisasikan potensi yang dimilikinya secara berkelanjutan, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, mandiri dalam menghadapi tekanan sosial, menerima diri apa adanya, memiliki arti dalam hidup, serta mampu mengontrol lingkungan eksternal. Psychological well-being merupakan kesejahteraan psikologis yang ditentukan oleh hasil evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya. Evaluasi dari pengalaman-pengalaman dapat membuat psychological well-being seseorang rendah atau sebaliknya justru membuat psychological well-being meningkat (Ryff, 1989). Pengalaman-pengalaman selama menjadi anggota IMA ternyata memberikan manfaat yang sifatnya positif seperti pengalaman berinteraksi dengan masyarakat saat melakukan pelayanan kesehatan, memperoleh pengetahuan tentang cara melakukan penyunatan (sirkumsisi) sekaligus mempraktekkannya, IMA bisa menjadi keluarga baru bagi mahasiswa perantauan sehingga mereka tidak merasa kesepian sekaligus bisa saling tolong-menolong jika terjadi sesuatu, IMA bisa menjadi tempat untuk berdiskusi tentang materi perkuliahan dan saling

10 meminjamkan buku yang menjadi acuan dalam mata kuliah (Preliminary Study, VerLC8 & VerLC11). Wood, Joseph, dan Maltby (2009) menyatakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang adalah rasa syukur. Rasa syukur berkorelasi signifikan dengan kesejahteraan psikologis, rasa syukur berkaitan dengan positive coping, fungsi sosial dan memiliki efek sebab-akibat pada positive well-being dan hubungan sosial. Mahasiswa perantauan yang mampu dan senantiasa bersyukur karena mendapat keluarga baru salah satunya melalui IMA diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan psikologisnya. Penelitian juga membuktikan rasa syukur berkorelasi negatif dengan perilaku anti-sosial, phobia, gangguan kecemasan, gangguan panik, dan mental hyperorexia (Kendler, 2003). Rasa syukur juga memberikan pandangan positif bagi individu terhadap kehidupannya (Wood, 2008) yang berkorelasi dengan kesejahteraan psikologis (Wood, 2009). Psychological well-being pada mahasiswa yang mengikuti IMA juga dapat ditingkatkan melalui pengembangan perilaku-perilaku yang positif, diharapkan dari perilaku positif tersebut dapat membantu mahasiswa mengembangkan pertumbuhan dirinya karena pertumbuhan pribadi (personal growth) merupakan salah satu aspek dari psychological well-being (Ryff, 1989). Perilaku positif yang mendukung pertumbuhan pribadi sudah termanifestasi dalam program-program IMA yang sifatnya perilaku prososial. William (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) membatasi perilaku prososial secara lebih rinci sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara

11 material dan psikologis, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa perilaku prososial bertujuan untuk meningkatkan well-being orang lain. Perilaku prososial yang dilakukan oleh IMA seperti melakukan tebar daging pada saat hari raya Idhul Adha dan juga pelayanan kesehatan gratis seperti cek tensi, wawancara kesehatan, sampai pemberian pengobatan melalui oral dan injeksi merupakan intensi untuk mengubah keadaan fisik dan psikologis orang lain agar menjadi lebih baik. Seseorang memunculkan perilaku yang rela mengorbankan diri sendiri demi orang lain ketika sebenarnya mampu untuk tidak peduli dikarenakan oleh perilaku prososial, yaitu setiap perilaku yang mempunyai tujuan menguntungkan orang lain. Organisasi IMA walaupun secara kelembagaan bersifat independen dan tidak berada dibawah dekanat sehingga setiap kegiatan yang dilakukan harus menggunakan dana swadaya dari masing-masing anggota, tidak menghalangi untuk menjalankan kegiatan yang membantu orang lain dan dilakukan tanpa pamrih. Perilaku prososial yang dilakukan oleh IMA juga tidak memandang sekat-sekat keagamaan walaupun organisasi ini dalam namanya bernafaskan Islam akan tetapi setiap perilaku prososial yang dilakukan selalu terbuka untuk masyarakat umum dibawah bingkai kebhinekaan (AD/ART IMA, 2015). Menurut riset yang dilakukan oleh Williamson dan Clark (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2009) mahasiswa yang bisa memberi pertolongan kepada orang lain melaporkan bahwa perasaannya menjadi lebih senang dan tenang dibanding mahasiswa yang tidak diberi kesempatan untuk membantu. Mahasiswa yang memberi pertolongan juga melaporkan bahwa merasa dirinya lebih baik (misalnya lebih sabar, tidak egois, dan dapat diandalkan). Menurut riset melakukan hal-hal positif seperti perilaku prososial ternyata terbukti bisa membuat kondisi perasaan mahasiswa menjadi lebih baik dan membuatnya lebih yakin terhadap kemampuan

12 diri sendiri. Dengan demikian, diharapkan perilaku prososial yang dilakukan oleh remaja akhir anggota IMA dapat memberikan kontribusi yang positif bagi psychological well-being dirinya. Berdasarkan penjelasan diatas peneliti tertarik untuk mengangkat penelitian dengan judul Hubungan Rasa Syukur dan Perilaku Prososial terhadap Psychological Well-Being pada Remaja Akhir Anggota Islamic Medical Activist Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan fungsional antara rasa syukur dan perilaku prososial terhadap psychological wellbeing pada remaja akhir anggota Islamic Medical Activists Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan rasa syukur dan perilaku prososial terhadap psychological well-being pada remaja akhir anggota Islamic Medical Activists Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kajian pemikiran dalam ilmu pengetahuan psikologi khususnya dalam Psikologi Perkembangan, Psikologi Positif, Psikologi Sosial serta dapat berkontribusi terhadap teori yang berkaitan dengan rasa syukur, perilaku prososial dan psychological well-being.

13 2. Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi peneliti sendiri maupun bagi pihak-pihak lainnya, uraian manfaat praktis dari penelitian ini sebagai berikut: a. Manfaat bagi remaja akhir 1) Memberikan informasi bagi anggota IMA maupun remaja akhir yang tergabung dalam organisasi mengenai hubungan antara rasa syukur dan perilaku prososial terhadap kesejahteraan psikologis. 2) Penelitian ini diharapkan bisa memengaruhi wawasan dan pola pikir anggota IMA maupun remaja akhir yang tergabung dalam organisasi sehingga senantiasa bersyukur dan menolong orang lain dalam kehidupannya karena akan menciptakan evaluasi pengalaman positif dengan harapan agar remaja akhir bisa memperoleh kesejahteraan psikologis. b. Manfaat bagi orang tua 1) Memberi informasi kepada orang tua mengenai hubungan fungsional antara rasa syukur dan perilaku prososial terhadap psychological well-being pada remaja akhir, agar orang tua bisa mulai mengajarkan anak sejak dini untuk senantiasa bersyukur dan melakukan tindakan untuk membantu sesama dengan ikhlas dengan begitu anak akan tumbuh dengan pengalaman-pengalaman yang positif sehingga diharapkan mampu menciptakan keadaan kesejahteraan psikologis sejak dini dan semakin matang ketika mencapai fase remaja.

14 c. Manfaat bagi Perguruan Tinggi 1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada pihak perguruan tinggi terkait keadaan psikologis remaja akhir saat berada di bangku perkuliahan khususnya remaja perantauan, serta menjadi acuan agar perguruan tinggi senantiasa mendukung dan memfasilitasi kegiatan-kegiatan organisasi IMA maupun organisasi lainnya yang bersifat prososial dengan harapan agar remaja akhir dapat mencapai psychological well-being yang baik. d. Manfaat bagi peneliti 1) Memberikan pemahaman yang lebih mendalam terkait dengan hubungan rasa syukur dan perilaku prososial terhadap pembentukan kesejahteraan psikologis anggota IMA maupun remaja yang tergabung dalam organisasi.

15 E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian mengenai rasa syukur, perilaku prosial dan psychological well-being telah dilakukan sebelumnya. Berikut beberapa penelitian mengenai rasa syukur, perilaku prososial dan psychological well-being, antara lain : 1. Hubungan antara Gratitude dan Psychological Well-Being pada Mahasiswa oleh Fitri Oktaviani Putri pada tahun 2012 dari Universitas Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara gratitude dan psychological well-being pada mahasiswa.variabel gratitude diukur dengan SS8 (skala syukur 8). Variabel psychological well-being diukur dengan alat ukur self-report yang diadaptasi dari penelitian sebelumnya oleh Hapsari (2011), yang menggunakan Ryff s Scale of Psychological Well-Being (1989). Penelitian ini melibatkan 340 responden berusia 17 sampai 25 tahun. Hasil penelitian ini adalah terdapat hubungan positif yang signifikan antara gratitude dan psychological wellbeing. Penelitian ini menemukan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara responden yang tergabung dan tidak tergabung dalam perkumpulan keagamaan baik pada gratitude maupun psychological well-being. 2. Gratitude Predicts Psychological Well-Being Above the Big Five Facets oleh Wood, Joseph, dan Maltby pada tahun 2009. Penelitian ini untuk menguji apakah rasa syukur mempengaruhi psychological well-being. Responden dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang berjumlah 201 orang terdiri dari 128 perempuan dan 73 laki-laki berusia 18-26 tahun. Pengukuran rasa syukur dalam penelitian ini menggunakan gratitude questionnaire-6 (GQ-6), sedangkan untuk psychological well-being diukur menggunakan skala psychological well-being dari Ryff. Metode analisis dengan menggunakan analisis multiple regression. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa rasa syukur memiliki korelasi yang lemah dengan

16 aspek otonomi, korelasi sedang dengan aspek penguasaan lingkungan dan tujuan hidup, serta korelasi yang kuat dengan aspek pertumbuhan pribadi, aspek hubungan positif dengan orang lain, dan aspek penerimaan diri. Korelasi ini menunjukkan bahwa rasa syukur adalah prediktor penting dari psychological well-being. 3. Hubungan antara Perilaku Prososial dengan Psychological Well-Being pada Remaja oleh Megawati pada tahun 2015 dari Universitas Udayana. Metodologi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perilaku prososial dengan psychological well-being pada remaja di kota Denpasar. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah cluster random sampling. Subjek dalam penelitian ini adalah 214 remaja berusia 15-17 tahun, remaja laki-laki berjumlah 91 orang dan remaja perempuan berjumlah 123 orang. Pengukuran variabel psychological well-being dan perilaku prososial menggunakan skala. Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis menggunakan analisis regresi sederhana untuk melihat hubungan antara variabel perilaku prososial dan psychological well-being. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan signifikan dan positif antara perilaku prososial dengan psychological well-being yang berarti semakin tinggi nilai perilaku prososial semakin tinggi pula psychological well-being remaja. Nilai koefisien determinasi sebesar 0,372 menunjukkan sumbangan perilaku prososial terhadap psychological well-being sebesar 37,2% sedangkan sisanya 62,8% disumbang oleh faktor-faktor lain seperti usia, kelas sosial ekonomi, relasi sosial, dan faktor kepribadian. 4. Pengaruh Kedekatan Dengan Korban dan Sikap terhadap Bullying terhadap Tindakan Prososial Bystander Bullying di SMA oleh Sudibyo (2012) dari Universitas Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh

17 kedekatan dengan korban dan sikap terhadap bullying terhadap perilaku prososial pada siswa SMA di Jakarta dan sekitarnya. Subjek pada penelitian ini adalah siswa/i, SMA dalam tahap remaja yakni 15-19 tahun berjumlah 80 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan accidental sampling panel (pengambilan sampel dipilih berdasarkan tersedianya individu dan kemauan untuk mengikuti penelitian). Pengukuran sikap menggunakan alat ukur sikap terhadap bullying. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara kedekatan dengan korban terhadap perilaku prososial pada siswa SMA. Artinya, seseorang yang ingroup dengan korban tidak memiliki perbedaan skor prososial yang signifikan daripada orang yang outgroup dengan korban. Namun terdapat pengaruh yang signifikan sikap terhadap bullying terhadap perilaku prososial pada siswa SMA. Artinya, seseorang yang memiliki sikap negatif terhadap bullying akan memiliki lebih tinggi skor prososial secara signifikan daripada orang yang memiliki sikap positif terhadap bullying. Selain itu, tidak ada interaksi pengaruh kedekatan dan sikap terhadap bullying terhadap perilaku prososial. 5. Psychological Well-Being pada Remaja yang Orang Tua Bercerai dan Yang Tidak Bercerai (Utuh) oleh Werdyaningrum (2013) dari Universitas Muhammadiyah Malang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan psychological well-being yang signifikan antara remaja yang orang tuanya bercerai dengan remaja yang orang tuanya tidak bercerai (utuh). Subjek dalam penelitian ini adalah 102 remaja usia 14-19 tahun yang terdiri dari 51 remaja yang orang tuanya bercerai dan 51 remaja yang orang tuanya utuh. Data dikumpulkan dengan skala Ryff s Psychological Well-Being Scale. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan nilai psychological well-being yang signifikan antara remaja yang orang tuanya bercerai dan remaja dengan orang tua yang utuh

18 (t= 9.813; p = 0.000, p < 0.01). Remaja yang orang tuanya bercerai memiliki nilai psychological well-being yang lebih rendah dibandingkan remaja yang orang tuanya tidak bercerai (utuh). Penelitian yang peneliti lakukan berbeda dari penelitian yang sudah dijabarkan sebelumnya. Perbedaan tersebut antara lain terletak pada variabel penelitian yang peneliti pilih yaitu psychological well-being, rasa syukur, dan perilaku prososial. Metodologi penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik pengambilan sampel berupa cluster sampling. Lokasi tempat peneliti melakukan penelitian juga berbeda dengan lokasi penelitian yang telah dijabarkan di atas. Lokasi penelitian bertempat di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar, Bali. Karakteristik subjek penelitian juga berbeda yaitu remaja akhir anggota IMA dengan rentang usia 18-21 tahun. Berdasarkan beberapa penelitian yang dijabarkan sebelumnya belum pernah ada yang melakukan penelitian dengan judul hubungan rasa syukur dan perilaku prososial terhadap psychological wellbeing pada remaja akhir anggota Islamic Medical Activists (IMA) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.