BAB 4 ANALISIS. 4.1 Analisis Kemampuan Deteksi Objek

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 3 KALIBRASI DAN PENGOLAHAN DATA

BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Hasil Gambar 4.1

BAB 3 VERIFIKASI POSISI PIPA BAWAH LAUT PASCA PEMASANGAN

STUDI KASUS: SITE BAWEAN AREA, JAWA TIMUR

BAB 4 ANALISIS. Gambar 4.1 Gambar Garis Jalur Rencana Pipa

BAB 4 ANALISIS. Gambar 4.1 Indikator Layar ROV (Sumber: Rozi, Fakhrul )

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 3 PENGOLAHAN DATA SURVEI PRA-PEMASANGAN PIPA BAWAH LAUT (PRE-ENGINEERING ROUTE SURVEY)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV

BAB III MULTIBEAM SIMRAD EM Tinjauan Umum Multibeam Echosounder (MBES) SIMRAD EM 3002

BAB 4 ANALISIS. 4.1 Cara Kerja SonarPro untuk Pengolahan Data Side Scan Sonar

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, yaitu pada bulan Maret sampai

BAB III PROSES GENERALISASI GARIS PANTAI DALAM PETA KEWENANGAN DAERAH DI WILAYAH LAUT MENGGUNAKAN ALGORITMA DOUGLAS-PEUCKER

STUDI APLIKASI MULTIBEAM ECHOSOUNDER DAN SIDE SCAN SONAR UNTUK MENDETEKSI FREE SPAN PADA SALURAN PIPA BAWAH LAUT

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

BAB 1 ENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENENTUAN MODEL GEOID LOKAL DELTA MAHAKAM BESERTA ANALISIS

Jurnal Geodesi Undip April 2016

BAB I PENDAHULUAN. laut Indonesia, maka ini akan mendorong teknologi untuk dapat membantu dalam

BAB 3 PENERAPAN KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR PADA PERANGKAT LUNAK SONARPRO

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang

SURVEYING (CIV -104)

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III DATA dan PENGOLAHAN DATA

STEREOSKOPIS PARALAKS

BAB 3 PROSES REALISASI PENETAPAN BATAS LAUT (ZONA EKONOMI EKSKLUSIF) INDONESIA DAN PALAU DI SAMUDERA PASIFIK

BAB III METODE PENGUKURAN

Perbandingan Penentuan Volume Suatu Obyek Menggunakan Metode Close Range Photogrammetry Dengan Kamera Non Metrik Terkalibrasi Dan Pemetaan Teristris

3. METODOLOGI. Pengambilan data dengan menggunakan side scan sonar dilakukan selama

Gambar 3.1 Lokasi lintasan pengukuran Sumber: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

BAB 4 ANALISIS PELAKSANAAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN

Gosong Semak Daun. P. Karya. P. Panggang. Gambar 2.1 Daerah penelitian.

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM

Analisis Geohazard untuk Dasar Laut dan Bawah Permukaan Bumi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab III Pelaksanaan Penelitian. Penentuan daerah penelitian dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan, diantaranya adalah :

Abstrak PENDAHULUAN.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 3. Akuisisi dan Pengolahan Data

ILMU UKUR TANAH II. Jurusan: Survei Dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang 2017

BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007]

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

sensing, GIS (Geographic Information System) dan olahraga rekreasi

3. METODOLOGI PENELITIAN

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

VISUALISASI 3D LAHAN RENCANA PROYEK UNTUK PERHITUNGAN VOLUME GALIAN DAN TIMBUNAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

3.3.2 Perencanaan Jalur Terbang Perencanaan Pemotretan Condong Perencanaan Penerbangan Tahap Akuisisi Data...

Scientific Echosounders

BAB III PENGOLAHAN DATA ALOS PRISM

C I N I A. Survei dan Pemetaan Untuk Perencanaan Jaringan Gas Bumi Bagi Rumah Tangga Menggunakan Metode Terrestrial dan Fotogrametri Jarak Dekat

PDF Compressor Pro BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang

SURVEI HIDROGRAFI UNTUK KAJIAN ALKI DI PERAIRAN LAUT JAWA

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

3. METODOLOGI PENELITIAN

APLIKASI MULTIBEAM ECHOSOUNDER SYSTEM (MBES) UNTUK KEPERLUAN BATIMETRIK

3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2017

BAB V ANALISIS. V.1 Analisis Data

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Gambar 3.1. Rencana jalur survei tahap I [Tim Navigasi Survei LKI, 2009]

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN I. I.1

Bab I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang

III. BAHAN DAN METODE

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG. Winardi Puslit Oseanografi - LIPI

BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISIS

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Bab III Pelaksanaan Penelitian

BAB 2 DASAR TEORI 2.1. Pengertian Dan Sejarah ROV

III. METODE PENELITIAN

Tugas 1. Survei Konstruksi. Makalah Pemetaan Topografi Kampus ITB. Krisna Andhika

BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Data Ketelitian Data Terkait Kedetailan Informasi

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP

BAB. I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA

BAB III TAHAPAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS KEWENANGAN WILAYAH LAUT DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH

BAB III PENGAMBILAN DAN PENGOLAHAN DATA

Gambar 4.1 Macam-macam Komponen dengan Bentuk Kompleks

Pemodelan Aliran Permukaan 2 D Pada Suatu Lahan Akibat Rambatan Tsunami. Gambar IV-18. Hasil Pemodelan (Kasus 4) IV-20

III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA Oleh : Winardi & Abdullah S.

Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Kemampuan Deteksi Objek 4.1.1 Ketelitian koordinat objek Pada kajian ketelitian koordinat ini, akan dibandingkan ketelitian dari koordinatkoordinat objek berbahaya pada area kajian SBES SSS dengan koordinat objek berbahaya yang sama pada area kajian MBES. Secara teori, area kajian MBES memilki ketelitian koordinat yang lebih baik daripada area kajian SBES-SSS arena karena melalui satu kali perhitungan koreksi posisi, yaitu koreksi offset statis. Sedangkan untuk area kajian SBES-SSS harus melalui koreksi offset dan koreksi USBL. Pada area kajian SBES SSS akan ditentukan satu buah titik dimana titik tersebut merupakan titik kedalaman SBES yang mewakili koordinat dari suatu objek, dan juga mewakili koordinat salah satu objek-objek berbahaya dasar laut. Titik tersebut ditandai dengan bintang warna merah pada Gambar 4.1. Pada area MBES juga akan diletakkan titik kajian dengan posisi yang sama relatif terhadap posisinya pada objek dasar laut yang dikaji agar dapat dilihat seberapa besar perbedaan koordinat dari kedua area kajian. Titik tersebut dapat dilihat pada gambar 4.2. Koordinat titik pada area kajian SBES-SSS dan SBES sama, yaitu UTM 49S 6344175,500 S; 9328518, 554 E. Dapat dilihat pada gambar titik kajian yang diperjelas bahwa terdapat perbedaan lokasi titik, padahal kedua area menggunakan datum dan proyeksi yang sama dalam pengolahannya di dua jendela Global Mapper yang berbeda. Jarak perkiraan dari kedua titik adalah sebanyak 10-11 meter seperti yang dapat dilihat pada gambar 4.3. 54

Gambar 4.1 Titik kajian koordinat objek untuk SBES-SSS 55

Gambar 4.2 Titik kajian koordinat objek untuk MBES 56

Gambar 4.3 Titik perkiraan SBES-SSS dan jaraknya dengan titik MBES 4.1.2 Ketelitian kedalaman objek Menggunakan titik perkiraan yang sama dalam kajian ketelitian koordinat pada Gambar 4.3, pada kajian ini akan dilihat kedalaman dari titik perkiraan SBES-SSS tersebut untuk kemudian dibanduingkan dengan kedalaman dari titik MBES. Kedalaman pada titik perkiraan pada area kajian MBES adalah 75,89 meter, sedangkan pada titik kajian aktual di area kajian SBES-SSS kedalamannya sebesar 76.54. Kedua kedalaman tersebut berbeda 0,65 meter, dan perbedaan tersebut masih didalam batas toleransi antara perbedaan kedalaman survei dengan spesifikasi 1B (a=0,5, b=0.013, d=76.54) yaitu 1.13 meter. Hal ini mengindikasikan bahwa ketelitian kedalaman area kajian SBES-SSS cukup baik di titik-titik yang memiliki 57

data kedalaman SBES, akan tetapi tetap memiliki data kedalaman yang buruk diluar garis survei SBES tersebut. 4.1.3 Kualitas interpretasi objek 4.1.3.1 Kualitas penggambaran area objek Pada kajian kemampuan interpretasi, akan dibandingkan kemampuan dari SBES-SSS dan MBES dalam memberikan keterangan interpretatif mengenai objek-objek berbahaya dasar laut, dalam hal ini pockmark atau lubang dasar laut. Yang dimaksud keterangan mengenai objek-objek dasar laut tersebut adalah kualitas penggambaran area dari objek-objek berbahaya tersebut dan keterangan mengenai kedalamannya. Dari Gambar 4.4 dan Gambar 4.5 dapat terlihat dengan jelas perbedaan yang cukup besar dalam kualitas interpretasi objek untuk area kajian MBES dan SBES-SSS. Pada MBES, area-area yang menggambarkan pockmark terinterpretasi dengan baik dan jelas, dimana bentuk dari area-area yang menggambarkan pockmark dapat ditentukan secara pasti batas-batasnya. Sedangkan pada area kajian SBES-SSS terdapat banyak objek-objek yang terpotongpotong sehingga bentuk asli dan batas dari objek tersebut juga tidak dapat ditentukan seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4.5. Hal tersebut dapat disebabkan oleh sistem USBL yang digunakan oleh SSS tidaklah seakurat MBES sehingga visualisasi yang didapatkan pun dapat menemui ketidakcocokan dan mengakibatkan terpotongnya objek. Ketidakakuratan USBL tersebut salah satunya dipengaruhi oleh faktor jauhnya beacon penerima sinyal USBL dengan USBL yang terpasang di kapal.sss harus melakukan survei pada kedalaman 10% dari kedalaman survei, dan hal ini berarti jarak antara beacon dengan USBL pada kedalaman survei ± 75 meter adalah 67.5 meter. Untuk USBL Sonardyne Ranger yang digunakan, ketelitiannya adalah 5,4 meter untuk kedalaman dibawah 1000 meter, dan hal tersebut memberikan kesalahan dari koordinat SSS lebih besar dari kesalahan koordinat MBES sebanyak 5,4 meter. 58

Gambar 4.4 Batas-batas objek pada area kajian MBES Gambar 4.5 Batas-batas objek pada area kajian SBES-SSS 59

4.1.3.2 Resolusi penggambaran objek SBES-SSS memiliki resolusi penggambaran objek yang lebih baik dari MBES. Untuk alat SSS C-Max resolusi yang didapat adalah 39mm sedangkan untuk MBES EM 3002 resolusi yang didapat adalah 50mm. Dengan resolusi yang lebih baik tersebut, SBES-SSS mampu memberikan gambaran objek yang lebih mendetail. Karena setiap sinyal akustik dari SSS dan MBES membentuk sudut tertentu didalam pemancarannya, maka resolusi dari MBES akan semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman karena posisinya di lambung kapal mengakibatkan sinyalsinyal akustik terpencar akibat terbentuknya jarak mendatar yang semakin besar dengan titik tengah transponder. Pada SSS, resolusi citranya tetap terjaga karena SSS terpasang pada towfish yang secara aktif terus menjaga kedalaman terhadap dasar laut sehingga jarak mendatar dari sinyal akustik tidak berubah. 4.1.3.3 Kualitas penggambaran nilai kedalaman Untuk kajian penggambaran kedalaman akan dibentuk suatu area pada area kajian MBES dan SBES-SSS yang teridentifikasi memiliki pockmark. Area tersebut akan dinamakan pockmark X. Untuk penggambaran data kedalaman pada area kajian MBES, kontur kedalaman dari pockmark X seperti pada gambar 4.4 dapat dilihat dengan mudah, mengingat MBES mencatat setiap titik kedalaman di setiap area pockmark X. Data titik kedalaman yang berjumlah ribuan tersebut dapat diinterpretasikan secara 3-dimensi pada QINSy seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4.6. Untuk penggambaran data kedalaman di area kajian SSS-SBES seperti pada gambar 4.5, hanya dapat ditentukan kedalaman di sepanjang garis survei SBES, sehingga kedalaman pasti dari SBES untuk seluruh area diluar garis survei tidak dapat diketahui. Untuk mengatasi hal ini, penentuan kedalaman di lokasi lainnya dapat dilakukan dengan menggunakan rumus panjang bayangan citra SSS. Metode ini hanya dapat menentukan kedalaman dari objek-objek yang menghasilkan bayangan, 60

sehingga area dasar laut yang landai dan tidak menghasilkan bayangan tidak dapat ditentukan kedalamannya. Gambar 4.6 Lokasi pockmark X pada area kajian MBES Gambar 4.7 Lokasi pockmark X pada area kajian SSS-SBES 61

Gambar 4.8 Kontur kedalaman pockmark X pada area kajian MBES Gambar 4.9 Data kedalaman pockmark X pada area kajian SBES-SSS 62

4.2 Analisis Efektifitas Waktu 4.2.1 Kebutuhan waktu untuk akuisisi data Mengingat biaya survei lokasi yang cukup besar, maka keefektifan waktu pelaksaanaan selalu menjadi pertimbangan yang besar dalam perencaanaan sebuah survei lokasi. Analisa akan dilakukan dengan menghitung waktu yang dibutuhkan bagi MBES dan SBES-SSS dalam mensurvei area seluas 1.000.000 m².dalam sistem SBES-SSS, yang memiliki kemampuan visualisasi area adalah SSS, sehingga yang akan diperbandingkan disini hanyalah SSS. Tabel 3.5 memperlihatkan spesifikasi dan ilustrasi cakupan dari SSS C-Max dan MBES EM 3002 yang digunakan dalam mensurvei area tersebut. Tabel 3.5 Spesifikasi dan ilustrasi cakupan SSS dan MBES SBES-SSS MBES Lebar cakupan 150 m (untuk 325 khz) 4 x kedalaman rata-rata (75 m) = 300 m Pertampalan cakupan 30% 200% Ilustrasi Dengan menganggap kecepatan kapal dan keadaan laut sama serta jalur survei keduanya merupakan jalur survei utama yang searah, maka dengan pembulatan keatas SSS membutuhkan lajur survei sebanyak ((1000-100)/70)+1 = 13,8 = 14 jalur survei. Sedangkan untuk MBES dibutuhkan ((1000-300)/150)+1 = 5,66 = 6 jalur survei. 63

Oleh karena itu dapat dilihat bahwa MBES membutuhkan waktu survei yang lebih singkat dibandingkan dengan SBES-SSS. 4.2.2 Kebutuhan waktu untuk pengolahan data Untuk pengolahan data survei lokasi, MBES lebih memakan waktu lebih singkat dibandingkan dengan waktu pengolahan data SBES maupun SSS. Hal ini dikarenakan meskipun MBES mengakuisisi data yang lebih banyak dan lengkap daripada SBES maupun SSS, akan tetapi tidak membutuhkan persyaratan survei yang banyak seperti SBES dan SSS. Pengolahan data MBES membutuhkan proses pembersihan data-data noise yang banyak didapatkan sewaktu survei, penyamaan level dari garis-garis survei yang tidak sama dengan yang lainnya, penghalusan gambar menggunakan interpolasi, digitasi objek-objek berbahaya dasar laut, serta penggabungan gambar akhir dengan garis-garis survei. Untuk SBES, tidak dibutuhkan pengolahan data yang rumit karena data-data kedalaman dari SBES berada dalam garis-garis dan tidak terlalu dipengaruhi efek perubahan posisi kapal yang berkontribusi sangat besar dalam membentuk noise. Akan tetapi, pengolahan data SSS memakan waktu cukup banyak karena akan menggabungkan gambar dari setiap garis survei hingga menjadi satu kesatuan, dimana visualisasi dari setiap line dapat berbeda seperti kasus pada Gambar 4.6 dan membutuhkan perhatian ekstra. 4.3 Analisis Biaya Operasional 4.3.1 Biaya penyewaan Biaya penyewaan yang digunakan adalah biaya penyewaan pada perusahan rental alat yang berlokasi di Indonesia dan Norwegia dengan estimasi peminjaman 20-30 hari. Berikut adalah hasil dari pencarian di situs internet mengenai harga sewa dari MBES EM 3002, SBES EA 500, dan SSS C-Max. Sumber harga yang digunakan adalah dari PT Fifan Jaya Makmur dan Kongsberg Maritime. 64

Biaya penyewaan MBES Simrad EM 3002 : Rp 9.057.490/hari Biaya penyewaan SBES Simrad EA 500 : Rp 1.088.776/hari Biaya penyewaan SSS C-Max : Rp 2.064.920 /hari Dari data diatas dapat dilihat bahwa harga untuk penyewaan MBES hampir 3 kali lipat dari penyewaan SBES dan SSS. Biaya penyewaan ini juga terkait dengan biaya penundaan survei yang diakibatkan cuaca buruk, dimana banyaknya biaya yang keluar perhari tanpa survei dari MBES mencapai 3 kali lipat dari SBES-SSS. Dari poin tersebut dapat dikatakan bahwa pada lokasi area survei yang memiliki cuaca ekstrim, menggunakan MBES dapat 3 kali lipat lebih merugikan dalam segi biaya daripada menggunakan SBES-SSS. 4.3.2 Biaya SDM Untuk biaya yang dibutuhkan untuk mempekerjakan data processor atau surveyor, kedua alat memiliki jumlah data processor atau surveyor yang relatif sama tergantung keahliannya. Apabila mengambil sampel di instansi swasta, maka jumlah dari data processor dan surveyor untuk MBES adalah 3 orang dengan latar belakang keilmuan geodesi, dan untuk data processor dan surveior dari SBES dan SSS sebanyak 3 orang dengan latar belakang keilmuan geologi dan geofisika. Yang dapat membedakan adalah biaya pelatihan software. Berikut adalah data mengenai harga pelatihan perangkat lunak untuk pengolahan data MBES, SBES, dan SSS. MBES training : Rp 5.600.000 SSS Training : Rp 2.350.000 SBES Training : Rp 3.700.000 Total SSS+SBES Training : Rp 6.050.000 Dari data tersebut dapat dilihat bahwa biaya total pelatihan untuk alat SSS dan SBES sedikit lebih mahal dibandingkan dengan pelatihan MBES. 65