Jusuf Kalla dan Wiranto: Perpaduan progresitas dan loyalitas Oleh: Nurlyta Hafiyah, Niniek L. Karim, Bagus Takwin, dan Dicky Pelupessy Mr. Get Things Done barangkali adalah sebutan yang tepat bagi Jusuf Kalla. Pria berusia 67 tahun ini berulang kali menekankan bahwa ia senang menuntaskan pekerjaan, ingin menyelesaikan krisis dengan segera, dan gemas melihat jalannya pemerintahan yang dinilainya lamban. Sementara pasangan wakil presidennya, Wiranto, adalah pengawal yang setia dan waspada. Ia senang memperbaiki kondisi yang tidak stabil, menegakkan aturan yang ada, menjadi sosok pelindung dan pemelihara. Sebagai sebuah pasangan pemimpin, keduanya dapat bekerja sama untuk menciptakan kemajuan dan perubahan yang berarti. Karena, mereka cukup banyak persamaan dan lebih banyak ciri karakter yang berbeda namun saling mengisi. Keinginan kuat menanggapi masalah dengan cepat dan kepandaian membaca situasi adalah persamaan pertama mereka. Dalam kedua hal ini, mereka saling sejalan. Jusuf Kalla penuh inisiatif, progresif, pikirannya lincah ketika meneropong masalah, begitu juga tindakannya. Ia tahu cara-cara menyelesaikan masalah, mampu membuat strategi efektif mencapai tujuan, dan mementingkan perbaikan konkret. Sementara Wiranto sigap, waspada dan tanggap terhadap situasi, jelas dan efisien dalam membuat program. Dengan kecenderungan ini, keduanya akan sigap dan tanggap terhadap isu-isu yang muncul di masyarakat dengan merespons segera. Kedua, Jusuf Kalla dan Wiranto adalah sosok yang sama-sama memiliki kebutuhan berprestasi yang kuat. JK adalah pekerja keras dengan corak berpikir realistik serta mementingkan kemajuan dan perbaikan nyata. Ia berusaha mendapatkan apa yang diinginkan dan selalu ingin hasil yang lebih baik. Wiranto yang pada dasarnya senang belajar, selalu ingin mengerjakan tugas dengan sebaik-baiknya dan tepat waktu. Keduanya juga memiliki kebutuhan kekuasaan yang menonjol. JK yang selama lima tahun terakhir ini semakin menunjukkan kemampuannya mempengaruhi dan mengendalikan orang lain sesuai dengan Wiranto yang sedari dulu memang memiliki
kebutuhan itu. Bersama Wiranto, JK akan ditopang untuk mampu membentuk tim di pemerintahan yang efisien dan kuat, mengontrol anak buah dan memiliki pengaruh besar yang menjamin penuntasan masalah. Apalagi, keduanya sama-sama tergolong orang yang terus terang yang suka menyatakan kepuasan atau ketidakpuasan dengan tegas. Kecenderungan ini akan membuat orang-orang di bawah mereka mendapat feedback yang jelas dan pasti untuk memperbaiki kinerja pemerintahan. Bicara perbedaan, keduanya memiliki perbedaan menonjol pada 5 hal. Pertama, Jusuf Kalla pandai melakukan improvisasi dan moderat, sementara Wiranto konvensional. Ketika menghadapi kejadian yang tak terduga atau situasi genting, JK dengan cepat mengorganisasi sumber daya, menggerakkan orang lain mencapai tujuan, dengan cara yang efisien. Bahkan ketika berhadapan dengan instrumen yang tidak mendukung, ia berusaha mengubah instrumen tersebut agar tidak menghalangi pencapaian target. Ia dengan lantang, misalnya dalam kasus Monorel DKI yang terbengkalai karena ketiadaan jaminan pemerintah pusat, menyatakan bahwa Kalau ada aturan yang tidak sesuai, aturannya yang diperbaiki, bukan targetnya yang dihentikan (Tempo, 1 Juni 2009). Di sisi lain, Wiranto pada dasarnya adalah seorang yang konservatif, suka menjaga hal-hal yang dianggapnya baik dan menjunjung tinggi aturan formal di atas kehendak individu. Ia bekerja dengan dasar yang jelas dan selalu terdorong menghindari penyimpangan. Oleh karenanya ia mungkin kurang fleksibel untuk mengambil keputusan di luar aturan meski dibutuhkan. Manakala improvisasi JK berhadapan dengan formalitas Wiranto, maka potensi masalah dapat muncul dalam interaksi keduanya. Namun perbedaan ini juga bisa memberi nilai. Wiranto dapat berperan sebagai pengerem sang atasan dari keputusan yang tergesa-gesa dan tidak matang. JK pun dapat sedikit menahan nafas, merefleksikan pertimbangannya dengan lebih hati-hati, agar mengeluarkan kebijakan yang lebih bijak. Kedua, JK terbuka pada ide-ide baru dan perubahan. Ini sedikit berbeda dengan Wiranto yang sebenarnya yang bersikap agak sulit menerima situasi perubahan yang drastis. Mereka sebenarnya sama-sama bersikap positif terhadap perubahan. Bedanya, JK lebih berani melakukan perubahan yang beresiko besar, sebagaimana yang ia tunjukkan dengan mengawal program konversi minyak tanah ke elpiji dalam waktu 1 bulan, yang seharusnya 1 tahun menurut Bank Dunia. Sementara Wiranto bersikap sangat
hati-hati terhadap perubahan. Baginya perubahan itu sebaiknya perlahan, sebagaimana ia tunjukkan ketika mengawal proses transisi demokrasi era reformasi dengan memberikan smooth landing kepada mantan Presiden Soeharto. Untuk menghindari pertentangan antara keduanya, sebaiknya ada kesepakatan antara mereka, mana yang boleh diubah atau dipertahankan dengan pengertian kata sepakat yang jelas. Ketiga, JK moderat dan cenderung memandang manusia setara. Ia sering bertindak di luar aturan birokrasi, apalagi dalam situasi yang menurutnya genting. Sebaliknya, Wiranto konvensional dan birokrastis, menekankan pentingnya hierarki dalam interaksi, yang mungkin dilatarbelakangi oleh budaya militer tempat ia menjadi dan kultur Jawa. Tetapi, perbedaan ini dapat memberi poin bagi pasangan ini. Jika terpilih nanti sebagai pasangan pemimpin, JK sebagai presiden akan memberi ruang yang luas kepada Wiranto, memperhatikan masukan-masukannya, dan melibatkannya secara optimal dalam pemerintahan. Wiranto sebagai wakil presiden RI akan setia, loyal mendukung sang atasan, dan menempatkannya JK sebagai otoritas formal yang ia jaga dan lindungi. Ia akan berupaya untuk dapat diandalkan membantu presiden mengawasi pelaksanaan tugas pejabat pemerintah, memastikan terselesaikan. Keempat, JK memiliki kesan kurang berwibawa sebagai pemimpin dan kurang kharismatik. Wiranto memiliki sisi sebaliknya, disegani dan menampilkan kesan superior yang mungkin menciptakan rasa rendah diri pada bawahan, sehingga menghambat mereka untuk bersikap asertif. Akibatnya bawahan dapat merasa kurang memiliki ruang gerak dan didikte. Dipadu adanya kesan JK yang kurang menghargai orang lain karena kecenderungan untuk bicara terus terang dan ekspresi kritisisme yang ringan, keduanya mungkin dapat menekan anak buah dengan menciptakan atmosfer kerjasama yang kaku. Hal ini dapat ditutupi apabila keduanya bersikap lebih hangat, menunjukkan perhatian kepada tim dan anak buah. Namun di sisi lain juga dapat menjadi nilai tambah karena menciptakan pola kepemimpinan yang memberikan kepastian dan ketegasan. Kelima, JK memiliki pola penalaran sistematis dan kompleksitas pikiran tinggi dalam penyelesaian masalah. Ia dapat melihat masalah dari berbagai sudut pandang dan menemukan solusi praktis yang efektif. Ia mampu berpikir satu langkah ke depan, realistik, mementingkan fakta, dan menekankan hasil. Dengan cepat, ia melakukan analisis yang obyektif dan kritis terhadap situasi yang dihadapi. Sedikit berbeda, Wiranto
memiliki pola penalaran linier, namun mampu berpikir dengan cepat, lurus, dengan kategori-kategori yang tegas untuk menyelesaikan masalah. Meski memiliki kompleksitas pikirannya cukup tinggi, Wiranto pada prakteknya ia lebih suka penyelesaian masalah secara sederhana, praktis, cepat, dan efisien. Dalam masalah yang menuntut penyelesaian secara komprehensif, mereka berdua dapat terjebak pada simplifikasi masalah. Akibatnya, permasalahan yang kompleks belum tentu mendapatkan solusi yang komprehensif. Baik JK maupun Wiranto sama-sama menekankan penyelesaian masalah hari ini. Dalam performa, JK yang cepat diimbangi oleh Wiranto yang stabil menyelesaikan persoalan. Keduanya lebih menekankan kemajuan sedikit demi sedikit yang terukur pasti, sehingga kurang imajinatif untuk menciptakan dentuman besar perubahan. Hal tersebut tak terelakkan karena adanya penekanan mereka berdua akan urgensi penyelesaian krisis. Secara politik, Wiranto memandang kehidupan politik saat ini sebagai masa yang kelam, konflik antarelite politik yang tajam. Secara sosial ekonomi, JK melihat kehidupan negara sebagai keterpurukan, ketiadaan kemandirian bangsa dan ketergantungan pada kekuatan asing yang mencengkram lewat utang. Reformasi birokrasi, membangun kemandirian ekonomi, menjaga keutuhan NKRI, memelihara stabilitas keamanan akan menjadi fokus keduanya. Untuk mengoptimalkan kinerja pasangan ini, diperlukan orang-orang yang mampu bekerja keras, mampu memenuhi target-target pencapaian yang tinggi, loyal, mampu memahami perintah atasan, menyelesaikan pekerjaan dengan tepat waktu, melaporkan kegagalan dan keberhasilan dengan transparan. Lebih dari itu, pasangan ini sebaiknya dikelilingi oleh lingkaran yang beretos tinggi, bekerja cerdas, dan berspirit voluntarism. Pasangan ini membutuhkan orang-orang yang memiliki semangat yang sama seperti mereka: bekerja karena panggilan, kebanggaan, keinginan untuk melayani dan mengabdi. Dengan demikian, realisasi kemajuan menjadi nyata, tidak sekadar menjadi hasrat sang pemimpin yang menggebu-gebu. Seandainya terpilih, dengan kegesitan berpikir dan kelincahan bertindak, progresitas dan loyalitas, pasangan ini tampak menjanjikan untuk mengatasi problem-problem bangsa yang semakin hari semakin banyak.***
Tabel Perbandingan Aspek-Aspek Yang Menonjol dari Jusuf Kalla dan Wiranto Jusuf Kalla Wiranto Kecocokan Moderat, mau berubah, terbuka pada ide baru, realistik, memanfaatkan kesempatan Menjunjung tinggi kehormatan dan memandang manusia setara Kebutuhan prestasi menonjol dan kebutuhan kekuasaan yang menguat Penuh inisiatif, kemampuan membuat keputusan secara cepat, kemampuan organisasi, dan berpikir strategis Penalaran Sistematik dan kompleksitas pikiran tinggi dalam penyelesaian masalah kongkret Penampilan-diri apa adanya, terus-terang, dan sederhana, sehingga terkesan kurang berwibawa sebagai pemimpin dan kurang kharismatik Kehidupan politik sebagai harmoni Hangat, pandai berbaur dengan banyak orang, melampaui birokrasi Konvensional, sabar, tekun, berhati-hati terhadap perubahan, mengandalkan ketangguhan dan kekuasaan, serta berpegang pada citra dan prinsip ideal Setia, patuh pada atasan, Menjunjung tinggi kehormatan, mengutamakan moralitas dan norma-norma tradisional Kebutuhan kekuasaan Waspada dan tanggap terhadap situasi, cepat dalam menemukan adanya bahaya. Penalaran linier, pemikir cepat, lurus, dan tertib dengan kategori-kategori yang tegas untuk menyelesaikan masalah. Mementingkan penampilan fisik, berwibawa dan kharismatik, disegani, dan dituruti. Kehidupan politik sebagai konflik Serius, mengambil jarak dalam interaksi, memperhatikan prosedur dan aturan detil Bisa saling isi, bisa bertentangan Bisa saling isi atau saling bertentangan.