TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama

TINJAUAN PUSTAKA. mudah diperoleh di pasaran (Yulisma dkk., 2012). Klasifikasi Ikan Kembung menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3. METODE PENELITIAN

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut :

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. yang lokasinya di pantai Timur Sumatera Utara yaitu Selat Malaka. Kegiatan

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii : Perciformes

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan peperek (Leiognathus spp.) Sumber : dkp.co.id

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Perciformes

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

3. METODE PENELITIAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan morfologi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Sardinella sp. merupakan kelompok ikan-ikan pelagis kecil, dari famili

DINAMIKA STOK DAN ANALISIS BIO-EKONOMI IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta) DI TPI BLANAKAN, SUBANG, JAWA BARAT

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta)

2. METODOLOGI PENELITIAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Sumber :

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

PEMANTAUN PARAMETER DINAMIKA POPULASI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger sp) DI PERAIRAN PESISIR PULAU TERNATE PROVINSI MALUKU UTARA

structure Population of Indian Mackerel, Rastrelliger kanagurta Catch in Pancana Waters, Barru District

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

TINJAUAN PUSTAKA. jika dibandingkan dengan panjangnya, dengan perkataan lain jumlah mesh depth

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. adalah sekitar 220 mil laut dan berakhir pada ujung sebelah selatan yang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Aspek Biologi Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta) Sebagai Landasan Pengelolaan Teknologi Penangkapan Ikan di Kabupaten Kendal

KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA, PROVINSI DKI JAKARTA

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

3. METODE PENELITIAN

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

3.3 Pengumpulan Data Primer

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Ikan Tembang Klasifikasi dan deskripsi

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

TINJAUAN PUSTAKA. : Euthynnus yaito, Thynnus affinis, Wanderer wallisi. Nama umum : Tongkol Komo, Kawakawa, Eastern Little Tuna, Black Skipjack,

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi

BAB I PENDAHULUAN. dunia merupakan hasil tangkap sampingan dari perikanan rawai tuna (Prager et

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru.

PERTUMBUHAN DAN MORTALITAS IKAN TAWES (Barbonymus gonionotus) DI DANAU SIDENRENG KABUPATEN SIDRAP Nuraeni L. Rapi 1) dan Mesalina Tri Hidayani 2)

PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp.) DI PERAIRAN SELAT MALAKA PROVINSI SUMATERA UTARA

Growth Analysis and Exploitation rate of Tuna Fish (Auxis thazard) landed on Belawan Ocean Fishing Port Sumatera Utara

3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu 3.2 Teknik Pengambilan Data Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove Kepiting Bakau

Jaring Angkat

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA

TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Barbichthys laevis (Froese and Pauly, 2012)

PENDUGAAN POTENSI LESTARI KEMBUNG (Rastrelliger spp.) DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA BELAWAN SUMATERA UTARA ABSTRACT

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Pepetek Klasifikasi dan morfologi

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.09/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA SRIKANDI

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU, BANTEN

KAJIAN STOK SUMBERDAYA IKAN SELAR (Caranx leptolepis Cuvier, 1833) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN MENGGUNAKAN SIDIK FREKUENSI PANJANG

3. METODE PENELITIAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber :

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN SUMBERDAYA IKAN KURISI

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus).

POTENSI LESTARI IKAN LAYANG (Decapterus spp) BERDASARKAN HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI SELAT SUNDA

3. METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya

Length-Weight based Stock Assesment Of Round Scad ( Decapterus russelli ) From Mapur Fishing Ground and Landed at Pelantar KUD Tanjungpinang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2 Peta lokasi penelitian PETA LOKASI PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Ikan Kembung (Rastrelliger spp.) Ikan Kembung merupakan salah satu ikan pelagis yang sangat potensial di Indonesia dan hampir seluruh perairan Indonesia ikan ini tertangkap dalam jumlah besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung yaitu: Rastrelliger kanagurta, Rastrelliger neglectus, dan Rastrelliger branchysoma. Tetapi Rastrelliger branchysoma jarang ditemukan dan hanya terdapat di perairan Indonesia bagian timur saja yaitu sekitar Maluku (Lubis, 1990). Gambar ikan Kembung dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Ikan Kembung (Rastrelliger spp.) Klasifikasi ikan Kembung menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Chordata : Pisces : Percomorpy : Scombridae : Rastrelliger : Rastrelliger spp.

6 Ikan Kembung Lelaki memiliki ciri-ciri terdapat dua sirip punggung secara terpisah yang masing-masing terdiri dari 8 hingga 9 jari-jari lemah. Sirip dada terdiri dari 16 hingga 19 jari-jari sirip lemah, sirip perut terdiri dari 7 hingga 8 jari-jari lemah, sirip ekor terdiri dari 50 hingga 52 jari-jari lemah bercabang dan sisik pada garis rusuk (linea lateralis) terdiri atas 127 hingga 130 buah sisik. Selain itu, ikan ini memiliki panjang total 3,4 sampai 3,8 kali tinggi badan dan panjang kepala lebih dari tinggi kepala (Fandri, 2012). Ikan Kembung perempuan memiliki bentuk tubuh pipih dengan bagian dada lebih besar daripada bagian tubuh yang lain dan ditutupi oleh sisik yang berukuran kecil dan tidak mudah lepas. Warna tubuh biru kehijauan di bagian punggung dengan titik gelap atau bintik-bintik hitam di atas garis rusuk sedangkan bagian bawah tubuh berwarna putih perak. Sirip punggung (dorsal) terpisah nyata menjadi dua buah sirip, masing-masing terdiri atas 10 hingga 11 jari-jari keras dan 12 hingga 13 jari-jari lemah. Sirip dubur (anal) berjari-jari lemah 12. Di belakang sirip punggung kedua dan sirip dubur terdapat 5 sampai 6 sirip tambahan yang disebut finlet. Sirip perut (ventral) terdiri dari 1 jari-jari keras dan 5 jari-jari lemah. Sirip ekor (caudal) bercagak dalam dan sirip dada (pectoral) lebar dan meruncing. Mata mempunyai selaput yang berlemak, gigi yang kecil pada tulang rahang. Tapis insang halus 29-34, pada bagian bawah busur insang pertama tapis insang panjang (Astuti, 2007). Distribusi Ikan Kembung (Rastrelliger spp.) Ikan Kembung yang tergolong dalam kelompok mackerel ini penyebarannya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: penyebaran secara vertikal

7 dan horizontal. Penentuan batas penyebaran secara vertikal penting sekali diketahui supaya kedalaman alat tangkap dapat disesuaikan dengan kedalaman renang ikan tersebut. Penyebaran ikan secara horizontal perlu diketahui untuk penentuan daerah penangkapan ikan (Laevastu dan Hayes, 1981). Secara umum penyebaran ikan Kembung di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Peta Distribusi Ikan Kembung di Indonesia (GBIF OBIS, 2010) Distribusi ikan Kembung lelaki secara geografis sangat luas, kecuali bagian selatan perairan pantai Australia, bagian barat Laut Merah dan bagian timur Jepang. Ikan Kembung lelaki daerah penyebarannya hampir terdapat di seluruh perairan Indonesia dengan konsentrasi terbesar di Kalimantan Timur (Tanjung Satai), Kalimantan Selatan (Pegatan), Laut Jawa, Selat Malaka, Sulawesi Selatan dan Arafuru. Ikan Kembung lelaki merupakan ikan pelagis yang sering ditemukan dalam bentuk kelompok besar di permukaan. Makanannya adalah mikroorganisme plankton, terutama crustacea. Ikan Kembung perempuan penyebarannya meliputi Laut Andaman (Indonesia), Thailand, Philipina, dan bagian Utara Kepulauan Fiji. Di Indonesia sendiri penyebarannya meliputi perairan pantai dengan konsentrasi terbesar di Kalimantan, Sumatera Barat, Laut Jawa, Selat Malaka, Sulawesi Tenggara (Muna-Buton) dan Arafur. Ikan Kembung perempuan (Rastrelliger branchysoma) hidup berkelompok dalam

8 jumlah yang besar pada perairan pantai dengan kedalaman antara 10-50 m (Fischer dan Whitehead, 1974). Ikan Kembung di Laut Jawa dipengaruhi angin musim. Pada saat musim angin timur yaitu pada bulan Desember-Februari sekelompok ikan Kembung bergerak dari arah Laut Jawa menuju arah Barat. Kelompok ikan Kembung ini perlahan-lahan menghilang dari Laut Jawa kemudian selang beberapa minggu ikan Kembung yang baru memasuki Laut Jawa dari arah Timur. Sebaliknya terjadi pada saat Musim Barat yaitu pada bulan Juni-September, dinamika stok ikan Kembung yang masuk ke Laut Jawa berasal dari Laut Cina Selatan dan Samudra Hindia melalui Selat Sunda (Hardenberg, 1938). Alat Tangkap Ikan Kembung (Rastrelliger spp.) Nelayan di Belawan dalam melakukan operasi penangkapan ikan menggunakan berbagai alat penangkapan ikan. Ikan Kembung biasanya ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin, jaring insang dan lampara dasar. Aktivitas perikanan di daerah Belawan tergolong tinggi. Hasil tangkapan purse seine mendominasi jumlah hasil tangkapan yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Belawan. Secara umum, hasil tangkapan yang didaratkan di PPS Belawan masih cukup baik dan layak dikonsumsi. Hal ini disebabkan operasi penangkapan kapal purse seine umumnya cukup lama (Ismy dkk., 2014). Purse seine digolongkan dalam jenis jarang lingkar yang cara operasinya adalah dengan melingkarkan jaring pada suatu kelompok ikan di suatu perairan, kemudian ditarik ke kapal. Alat ini merupakan jaring lingkar yang telah

9 mengalami perkembangan setelah beach seine (jaring tarik pantai) dan ring net. Disebut pukat cincin, karena alat ini dilengkapi dengan cincin dan juga termasuk didalamnya tali cincin dan tali kerut ini penting terutama waktu pengoperasian jaring. Sebab dengan adanya tali kerut tersebut jaring yang semula tidak berkantong akan terbentuk kantong pada saat akhir penangkapan (Genisa, 1998). Pukat cincin termasuk alat tangkap yang produktif khususnya untuk menangkap ikan-ikan pelagis baik yang terdapat di perairan pantai maupun lepas pantai. Penangkapan ikan dengan menggunakan pukat cincin merupakan salah satu metode penangkapan yang paling agresif dan ditujukan untuk penangkapan gerombolan ikan pelagis. Alat tangkap ini dapat menangkap ikan dari segala ukuran mulai dari ikan-ikan kecil hingga ikan-ikan besar tergantung pada ukuran mata jaring yang digunakan. Semakin kecil ukuran mata jaring semakin banyak ikan-ikan kecil yang tertangkap karena tidak dapat meloloskan diri dari mata jaring (Sainsbury, 1996). Alat tangkap pukat cincin dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Alat Tangkap Pukat Cincin (Dirjen KKP, 2015)

10 Jaring insang adalah alat penangkapan ikan berupa jaring yang pada umumnya berbentuk empat persegi panjang yang mempunyai ukuran mata jaring (mesh size) yang sama pada seluruh badan jaring, di mana jumlah mata jaring ke arah panjangnya lebih banyak daripada jumlah mata jaring ke arah lebarnya atau dalamnya. Jaring insang dikenal dengan sebutan gill net, hal ini karena ikan-ikan yang tertangkap bagian insangnya atau operkulumnya terjerat atau terpuntal pada mata jaring tersebut (Efkipano, 2012). Alat tangkap ini berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan pelampung, pemberat ris atas, ris bawah (kadang tanpa ris bawah). Besar mata jaring bervariasi disesuaikan dengan sasaran yang akan ditangkap (ikan, udang). Ikan yang tertangkap itu karena terjerat (gilled) pada bagian belakang lubang penutup insang (operculum), terbelit atau terpuntal (entangle) pada mata jaring yang terdiri dari satu lapis, dua lapis maupun liga lapis. Jaring ini terdiri dari satuan-satuan jaring yang biasa disebut tinting (piece). Dalam operasi penangkapannya biasanya terdiri dari beberapa tinting yang digabung menjadi satu sehingga merupakan satu perangkat (unit) yang panjang (300-500 m), tergantung dari banyaknya tinting yang akan dioperasikan. Jaring insang termasuk alat tangkap selektif, besar mata jaring dapat disesuaikan dengan ukuran ikan yang akan ditangkap (Genisa, 1998). Pengoperasian jaring dilakukan pada sore hari atau menjelang matahari terbenam dan selesai pada pagi dini hari. Sekitar pukul 15.00 kapal berangkat dari gudang kapal, sekitar sekitar pukul 17.00 kapal sudah berada dilokasi fishing base yang kemudian bersiap untuk melakukan setting. Penebaran jaring (setting)

11 dilakukan 2 kali dalam 1 malam untuk 1 ukuran mata jaring (mesh size) (Tambunan dkk., 2010). Alat tangkap jaring insang dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Alat Tangkap Jaring Insang (PERMEN-KP 8, 2008) Lampara dasar termasuk alat tangkap pukat tarik. Pengoperasian alat penangkapan ikan pukat tarik dilakukan dengan cara melingkari gerombolan ikan pelagis atau ikan demersal dengan menggunakan kapal atau tanpa kapal. Pukat ditarik kearah kapal yang sedang berhenti atau berlabuh jangkar atau ke darat/pantai melalui tali selambar di kedua bagian sayapnya. Pengoperasiannya dilakukan pada permukaan, kolom maupun dasar perairan umumnya untuk menangkap ikan pelagis maupun ikan demersal tergantung jenis pukat tarik yang digunakan. Pukat tarik pantai dioperasikan di daerah pantai untuk menangkap ikan pelagis dan demersal yang hidup di daerah pantai. Dogol dan lampara dasar - 9 - dioperasikan pada dasar perairan umumnya menangkap ikan demersal. Payang dioperasikan di kolom perairan umumnya menangkap ikan pelagis (KEPMEN 6, 2010). Alat tangkap lampara dasar dapat dilihat pada Gambar 6.

12 Gambar 6. Alat Tangkap Lampara Dasar (PERMEN-KP 2, 2015) Pertumbuhan Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dapat digolongkan menjadi dua bagian yang besar yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor-faktor ini ada yang dapat dikontrol dan ada juga yang tidak. Faktor dalam umumnya adalah faktor yang sulit untuk dikontrol, diantaranya adalah keturunan, jenis kelamin, umur, parasit, dan penyakit. Faktor luar yang utama mempengaruhi pertumbuhan seperti suhu air, kandungan oksigen terlarut, amonia, salinitas, dan fotoperiod (panjang hari). Faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain dan bersama-sama dengan faktor-faktor lainnya seperti kompetisi, jumlah dan kualitas makanan, umur, serta tingkat kematian yang dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ikan (Effendie, 1997). Ikan-ikan muda akan memiliki pertumbuhan yang relatif cepat sedangkan ikan-ikan dewasa akan semakin lambat untuk mencapai panjang asimptot atau panjang maksimumnya, selanjutnya akan terhenti pada saat mencapai panjang asimptotnya. Hal ini disebabkan karena energi yang diperoleh dari makanan tidak lagi dipergunakan untuk mengganti sel-sel tubuh yang rusak dan kematangan gonad (Nikolsky, 1963).

13 Ada beberapa metode yang umum digunakan untuk menduga parameterparameter pertumbuhan (K = koefisien pertumbuhan; L = panjang asimtotik; t 0 = umur ikan ketika panjangnya sama dengan nol), yaitu plot Gulland & Holt, plot Ford-Walford, metode Chapman, dan plot von Bertalanffy. Plot Gulland & Holt hanya akan masuk akal jika nilai Δt (interval waktu) kecil. Keunggulan metode ini adalah nilai Δt tidak perlu menjadi konstanta. Plot Ford-Walford dapat mengestimasi nilai L dan K secara cepat tanpa penghitungan-penghitungan. Akan tetapi, metode yang dikembangkan oleh Chapman dan Gulland ini hanya bisa diaplikasikan jika observasi-observasi yang dilakukan bersifat berpasangan karena nilai Δt menjadi suatu konstanta. Plot von Bertalanffy dianggap lebih baik dari metode-metode lain karena dapat mengestimasi nilai K yang lebih masuk akal, dengan catatan digunakan suatu estimasi yang masuk akal dari L. Kekurangan dari metode ini adalah tidak bisa menerima Lt yang lebih besar dari L padahal hal tersebut mungkin saja terjadi pada ikan yang sangat tua (Sparre dan Venema, 1999). Determinasi nilai K sangat efektif untuk menganalisis perkembangan atau penurunan aktivitas makan sesuai dengan perubahan ketersediaan makanan. Penurunan nilai L dan K untuk jenis yang sama di perairan yang sama dapat disebabkan oleh perbedaan waktu pengambilan contoh, tekanan penangkapan yang semakin tinggi dengan penggunaan ukuran mata jaring yang relatif lebih kecil (Amir, 2006). Analisis hubungan panjang berat bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan dengan menggunakan parameter panjang dan berat. Berat dapat dianggap sebagai salah satu fungsi dari panjang. Nilai yang didapat dari

14 perhitungan panjang berat ini adalah untuk menduga berat dari panjang atau sebaliknya. Selain itu juga dapat diketahui pola pertumbuhan, kemontokan, dan pengaruh perubahan lingkungan terhadap pertumbuhan ikan (Effendie, 1997). Hubungan panjang berat sangat penting dalam biologi perikanan, karena dapat memberikan informasi tentang kondisi stok. Data biologi berupa panjang dan bobot melalui proses lebih lanjut akan menghasilkan keluaran terakhir berupa tingkat penangkapan optimum dan hasil tangkapan maksimum lestari (Sparre dan Venema, 1998). Hasil analisis pertumbuhan panjang-bobot akan menghasilkan suatu nilai konstanta (b), yang akan menunjukkan laju pertumbuhan parameter panjang dan bobot. Ikan yang memiliki nilai b = 3 (isometrik) menunjukkan pertambahan panjangnya seimbang dengan pertambahan bobot. Sebaliknya jika nilai b 3 (allometrik) menunjukkan pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobotnya. Jika pertambahan bobot lebih cepat dibandingkan pertambahan panjang (b > 3), maka disebut sebagai pertumbuhan allometrik positif. Sedangkan apabila pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan bobot (b < 3), maka disebut sebagai pertumbuhan allometrik negatif (Effendie, 1997). Hubungan panjang (L) dan berat (W) dengan rumus (Effendie, 1997): W = al b Keterangan : W = Berat ikan (gram) L = Panjang ikan (mm) a, b = Konstanta

15 Faktor Kondisi Faktor kondisi yaitu keadaan atau kemontokan ikan yang dinyatakan dalam angka-angka. Perhitungan faktor kondisi didasarkan pada panjang dan bobot. Perhitungan faktor kondisi ini untuk melihat pada panjang dan bobot berapa ikan mencapai kondisi maksimum atau minimum. Faktor kondisi dapat mengindikasikan musim pemijahan bagi ikan khususnya untuk ikan-ikan betina (Effendie, 1997). Nilai faktor kondisi dipengaruhi makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad. Selain itu faktor kondisi juga dipengaruhi oleh indeks relatif penting makanan dan pada ikan betina dipengaruhi oleh indeks kematangan gonad. Ikan yang cenderung menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber tenaga selama proses pemijahan, sehingga akibatnya ikan akan mengalami penurunan faktor kondisi (Effendie, 1979). Perhitungan faktor kondisi terdiri atas dua persamaan, yaitu persamaan faktor kondisi (K( TL ) untuk petumbuhan isometrik (b = 3) dan persamaan faktor kondisi (Kn) untuk pertumbuhan allometrik (b 3) (Damayanti, 2010). Mortalitas dan Laju Eksploitasi Mortalitas terdiri atas motalitas karena penangkapan dan mortalitas dan mortalitas alami yang meliputi berbagai peristiwa seperti kematian karena penyakit, predasi dan umur. Laju mortalitas penangkapan (fishing mortality rate) merupakan fungsi dari upaya penangkapan (fishing effort), yang mencakup jumlah, jenis, efektivitas dari alat penangkapan dan waktu yang digunakan untuk melakukan penangkapan (Widodo dan Suadi, 2006).

16 Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, kelaparan dan usia tua. Laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (M) (King 1995). Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan von Bertalanffy K dan. L Ikan yang pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi) mempunyai M tinggi dan sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan nilai L karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil. Mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan (Sparre dan Venema, 1999). Laju eksploitasi (E) merupakan bagian suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup atau dapat diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik faktor alam maupun faktor penangkapan. Eksploitasi optimal dicapai jika laju mortalitas penangkapan (F) sama dengan laju mortalitas alami (M), yaitu 0,5 (Pauly, 1984). Pendugaan Potensi Lestari Konsep yang mendasari upaya pengelolaan adalah pemanfaatan sumberdaya yang didasarkan pada sistem dan kapasitas daya dukung (carrying capacity) alamiahnya. Besar kecilnya hasil tangkapan tergantung pada jumlah stok alami yang tersedia di perairan dan kemampuan alamiah dari habitat untuk menghasilkan biomassa ikan. Oleh karena itu, upaya pengelolaan diawali dengan pengkajian stok agar potensi stok alaminya dapat diketahui. Analisis diawali dengan pengkajian stok sumberdaya yang hendak dikelola. Pada saat yang sama

17 juga dilakukan pemantauan terhadap upaya penangkapan, terutama untuk memantau apakah sudah terjadi eksploitasi yang berlebih, dengan melihat hasil tangkapan per upaya (CPUE) dan ukuran yang tertangkap (Hariyanto dkk., 2008). Over exploited mengakibatkan waktu melaut menjadi lebih panjang, lokasi penangkapan lebih jauh, produktivitas (hasil tangkap per satuan upaya atau Catch Per Unit Effort (CPUE) menurun, dan biaya penangkapan yang menjadi besar sehingga menyebabkan menurunnya keuntungan nelayan. Hal-hal di atas adalah indikasi terjadinya overfishing (Purwaningsih dkk., 2012). Hasil tangkapan per unit upaya atau Catch Per Unit Effort (CPUE) merupakan angka yang menggambarkan perbandingan antara hasil tangkapan per unit upaya atau usaha. Nilai ini biasa digunakan untuk melihat kemampuan sumberdaya apabila dieksploitasi terus-menerus. Nilai CPUE yang menurun dapat menandakan bahwa potensi sumberdaya sudah tidak mampu menghasilkan lebih banyak walaupun upaya ditingkatkan. Pendekatan model Schaefer menggunakan data hasil tangkapan tahunan dan usaha penangkapan dalam jangka lama dan berasumsi berada dalam kondisi seimbang dengan usaha penangkapan menunjukkan kurva parabola yang simetris (King, 1995). Pemanfaatan alat tangkap yang berbeda menyebabkan perlu dilakukan standarisasi sebelum melakukan perhitungan pendugaan potensi sumberdaya. Standarisasi bertujuan untuk menyeragamkan satuan-satuan yang berbeda menjadi satuan upaya (jumlah satuan operasi) yang sama. Standarisasi dilakukan berdasarkan produksi hasil tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort) setiap jenis alat tangkap untuk mendapatkan produktivitasnya setiap tahun (Rosana dan Prasita, 2015).

18 Unit penangkapan yang dijadikan sebagai standar adalah jenis unit penangkapan yang paling dominan menangkap jenis-jenis ikan tertentu di suatu daerah (mempunyai laju tangkapan rata-rata per CPUE terbesar pada periode waktu tertentu dan memiliki nilai faktor daya tangkap (fishing power indeks) sama dengan satu (Nurhayati, 2013). Perencanaan yang akurat dalam pengembangan sumberdaya perikanan tangkap sangat diperlukan agar sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan secara rasional dan berkelanjutan. Untuk perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap dibutuhkan data dan informasi tentang tingkat eksploitasi sumberdaya serta besaran upaya tangkap (Catch Per Unit Effort) yang telah dilakukan selama ini oleh nelayan dan pengusaha di bidang perikanan tangkap. Hasil maksimum lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY) adalah salah satu acuan biologi yang digunakan untuk mencapai tujuan pengelolaan perikanan (Ali, 2005). MSY bertujuan untuk melindungi stok pada tingkat yang aman agar tetap berada pada level yang seimbang sehingga tidak terjadi penurunan produksi pada berikutnya. MSY ini dapat berlangsung secara terus-menerus jika segala faktor lingkungan lainnya berjalan dengan baik. Konsep MSY bertujuan untuk menjaga stok pada level yang aman sebagai standar pemanfaatan sumberdaya. Konsep ini diterima secara umum pada tahun 1950 untuk konservasi stok biota perairan agar tetap pada level yang tinggi sehingga tidak terjadi penurunan produksi walaupun lingkungan berada dalam kondisi tidak menguntungkan (King, 1995).