PENAMPILAN DOMBA KOMPOSIT DI PEDESAAN

dokumen-dokumen yang mirip
UJI ADAPTASI DOMBA KOMPOSIT PADA KONDISI USAHA PETERNAKAN RAKYAT DI PEDESAAN

PENAMPILAN REPRODUKSI DOMBA LOKAL YANG DISINKRONISASI DENGAN MEDROXY PROGESTERON ACETAT PADA KONDISI PETERNAK DI KELURAHAN JUHUT, KABUPATEN PANDEGLANG

EFISIENSI REPRODUKSI INDUK KAMBING PERANAKAN ETAWAH YANG DIPELIHARA DI PEDESAAN

Produktivitas Domba Komposit Sumatera dan Barbados Cross pada Kondisi Lapang

PRODUKTIVITAS TERNAK DOMBA GARUT PADA STASIUN PERCOBAAN CILEBUT BOGOR

PERTUMBUHAN ANAK KAMBING KOSTA SELAMA PERIODE PRASAPIH PADA INDUK YANG BERUMUR LEBIH DARI 4 TAHUN

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005

MANAJEMEN PEMELIHARAAN DOMBA PETERNAK DOMBA DI KAWASAN PERKEBUNAN TEBU PG JATITUJUH MAJALENGKA

PENAMPILAN REPRODUKSI KAMBING INDUK: BOER, KACANG DAN KACANG YANG DISILANGKAN DENGAN PEJANTAN BOER

Model Kampoeng Ternak Domba Mengarah Pada Pengembangan Village Breeding Centre Sebagai Salah Satu Wahana Diseminasi Balai Penelitian Ternak

HASIL DAN PEMBAHASAN

DASAR-DASAR PROGRAM PENINGKATAN MUTU GENETIK DOMBA EKOR TIPIS

PENGARUH EFEK TETAP TERHADAP BOBOT BADAN PRASAPIH DOMBA PRIANGAN

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP

HASIL DAN PEMBAHASAN. P2 * hari hari hari

Respon Seleksi Domba Garut... Erwin Jatnika Priyadi RESPON SELEKSI BOBOT LAHIR DOMBA GARUT PADA INTENSITAS OPTIMUM DI UPTD BPPTD MARGAWATI GARUT

PRODUKTIVITAS KAMBING KACANG PADA KONDISI DI KANDANGKAN: 1. BOBOT LAHIR, BOBOT SAPIH, JUMLAH ANAK SEKELAHIRAN DAN DAYA HIDUP ANAK PRASAPIH

PRODUKTIVITAS ANAK DOMBA GARUT DI DUA AGROEKOSISTEM YANG BERBEDA

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B

DUKUNGAN TEKNOLOGI PENYEDIAAN PRODUK PANGAN PETERNAKAN BERMUTU, AMAN DAN HALAL

Oleh Administrator Kamis, 22 Desember :17 - Terakhir Diupdate Kamis, 22 Desember :28

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk Ordo Artiodactyla, Subordo

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

I. PENDAHULUAN. Kambing merupakan salah satu ternak yang banyak dipelihara dan dikembang

TINJAUAN PUSTAKA. dunia dengan hidup yang sangat beragam dari yang terkecil antara 9 sampai 13 kg

KAJIAN PRODUKTIVITAS TERNAK KAMBING PADA SISTEM PEMELIHARAAN YANG BERBEDA DI KECAMATAN ANDOOLO BARAT KABUPATEN KONAWE SELATAN

Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011

FLUKTUASI BOBOT HIDUP KAMBING KACANG INDUK YANG DIKAWINKAN DENGAN PEJANTAN BOER DARI KAWIN SAMPAI ANAK LEPAS SAPIH

I PENDAHULUAN. Salah satu sumber daya genetik asli Indonesia adalah domba Garut, domba

REPRODUKSI AWAL KAMBING KACANG DAN BOERKA-1 DI LOKA PENELITIAN KAMBING POTONG

SELEKSI YANG TEPAT MEMBERIKAN HASIL YANG HEBAT

MAKALAH MANAJEMEN TERNAK POTONG MANAJEMEN PEMILIHAN BIBIT

TINJAUAN PUSTAKA. penting diberbagai agro-ekosistem, karena memiliki kapasitas adaptasi yang

PERTUMBUHAN PRA-SAPIH KAMBING PERANAKAN ETAWAH ANAK YANG DIBERI SUSU PENGGANTI

PEMBERIAN KONSENTRAT DENGAN LEVEL PROTEIN YANG BERBEDA PADA INDUK KAMBING PE SELAMA BUNTING TUA DAN LAKTASI

Animal Agriculture Journal 4(2): , Juli 2015 On Line at :

PENGARUH JUMLAH ANAK SEKELAHIRAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KINERJA ANAK DOMBA SAMPAI SAPIH. U. SURYADI Jurusan Peternakan, Politeknik Negeri Jember

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

BIRTH WEIGHT, WEANING WEIGHT AND LINEAR BODY MEASUREMENT OF ONGOLE CROSSED CATTLE AT TWO GROUP PARITIES ABSTRACT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu

ANALISIS POTENSI REPRODUKSI KAMBING KACANG DI WILAYAH PESISIR KEPULAUAN WANGI-WANGI, KABUPATEN WAKATOBI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

PENDAHULUAN. prolifik (dapat beranak lebih dari satu ekor dalam satu siklus kelahiran) dan

PEMANFAATAN EFISIENSI REPRODUKSI MELALUI PROGRAM PEMULIAAN DOMBA : STRATEGI PADA PUSAT PEMBIBITAN DAN PEMANFAATANNYA PADA KELOMPOK PETANI PETERNAK

Pendugaan Nilai Heritabilitas Bobot Lahir dan Bobot Sapih Domba Garut Tipe Laga

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang

ADOPSI PAKET TEKNOLOGI UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS TERNAK DOMBA DI DESA TEGALSARI KABUPATEN PURWAKARTA

UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK

INJAUAN PUSTAKA Domba Komposit Sumatera

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

4. GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

PERFORMAN EKONOMI KAMBING KABOER DAN KAMBING KACANG PADA KONDISI STASIUN PENELITIAN CILEBUT

PANDUAN. Mendukung. Penyusun : Sasongko WR. Penyunting : Tanda Panjaitan Achmad Muzani

Analisis Keunggulan Relatif Domba Garut Anak dan Persilangannya

TINJAUAN PUSTAKA. Rataan sifat-sifat kuantitatif domba Priangan menurut hasil penelitian Heriyadi et al. (2002) terdapat pada Tabel 1.

I. PENDAHULUAN. Lampung (2009), potensi wilayah Provinsi Lampung mampu menampung 1,38

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

STRATEGI PERBIBITAN KAMBING/DOMBA DI INDONESIA

PRODUKTIVITAS KAMBING HASIL PERSILANGAN KACANG DENGAN PEJANTAN BOER (BOBOT LAHIR,BOBOT SAPIH DAN MORTALITAS)

MANAJEMEN PEMELIHARAAN

SKRIPSI OLEH : RINALDI

LAMA BUNTING, BOBOT LAHIR DAN DAYA HIDUP PRASAPIH KAMBING BOERKA-1 (50B;50K) BERDASARKAN: JENIS KELAMIN, TIPE LAHIR DAN PARITAS

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi untuk

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penggemukan domba dilakukan guna memenuhi. konsumsi, aqiqah, dan qurban. Perusahaan terletak di Kampung Dawuan Oncom,

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih

EVALUASI POTENSI GENETIK GALUR MURNI BOER

I. PENDAHULUAN. penting di berbagai agri-ekosistem. Hal ini dikarenakan kambing memiliki

SIFAT-SIFAT KUANTITATIF KAMBING KACANG BETINA SEBAGAI SUMBER BIBIT DI KECAMATAN LEMAHSUGIH KABUPATEN MAJALENGKA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

PENAMPILAN REPRODUKSI INDUK KAMBING PERANAKAN ETAWAH (PE) YANG DIBERI PAKAN JERAMI PADI FERMENTASI: PERKEMBANGAN BOBOT HIDUP ANAK SAMPAI PRASAPIH

LAJU PERTUMBUHAN PRASAPIH DAN SAPIH KAMBING BOER, KACANG DAN BOERKA-1

PENGARUH FAKTOR NON GENETIK TERHADAP BOBOT LAHIR KAMBING BOER PADA STASIUN PERCOBAAN LOKA PENELITIAN KAMBING POTONG SEI PUTIH

DOE PRODUCTIVITY AND KID CROP OF ETAWAH GRADE DOES KEPT UNDER INDIVIDUAL AND GROUP HOUSING IN TURI SUB DISTRICT, SLEMAN DISTRICT - DIY PROVINCE

Judul Kegiatan : Penggunaan pakan berbasis produk samping industri sawit pada sistem perbibitan sapi model Grati dengan tingkat kebuntingan 65%

Pertumbuhan Anak Kambing Peranakan Etawah (PE) Sampai Umur 6 Bulan di Pedesaan

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah

PERFORMA TURUNAN DOMBA EKOR GEMUK PALU PRASAPIH DALAM UPAYA KONSERVASI PLASMA NUTFAH SULAWESI TENGAH. Yohan Rusiyantono, Awaludin dan Rusdin ABSTRAK

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DAN KORELASI SIFAT BOBOT LAHIR, BOBOT SAPIH DAN LITTER SIZE PADA KELINCI NEW ZEALAND WHITE, LOKAL DAN PERSILANGAN

KARAKTERISTIK REPRODUKSI KELINCI REX, SATIN DAN REZA

Tennr Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2006 Skala usaha penggemukan berkisar antara 5-10 ekor dengan lama penggemukan 7-10 bulan. Pakan yan

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

Edisi Agustus 2013 No.3520 Tahun XLIII. Badan Litbang Pertanian

Pemotongan Sapi Betina Produktif di Rumah Potong Hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta

PENGARUH PERBEDAAN KEPADATAN KANDANG TERHADAP PERFORMA PERTUMBUHAN KELINCI LEPAS SAPIH PERANAKAN NEW ZEALAND WHITE SKRIPSI BADRI YUSUF

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan

I. PENDAHULUAN. mengandangkan secara terus-menerus selama periode tertentu yang bertujuan

ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

PENGARUH BANGSA PEJANTAN TERHADAP PRODUKTIVITAS PEDET SAPI POTONG HASIL INSEMINASI BUATAN

ESTIMASI DAMPAK EKONOMI PENELITIAN PARTSIPATIF PENGGUNAAN OBAT CACING DALAM PENINGKATAN PENDAPATAN PETERNAK DOMBA DI JAWA BARAT

SKRIPSI TRESNA SARI PROGRAM STUD1 ILMU NUTFUSI DAN MAKAWAN TERNAK

PERFORMA DOMBA KOMPOSIT HASIL PERSILANGAN ANTARA DOMBA LOKAL SUMATERA DENGAN DOMBA RAMBUT PADA KONDISI DIKANDANGKAN

DINAMIKA POPULASI DAN PRODUKTIVITAS KERBAU DI JAWA : STUDI KASUS DI KABUPATEN SERANG

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Pendataan dan Identifikasi Domba Penelitian

Transkripsi:

PENAMPILAN DOMBA KOMPOSIT DI PEDESAAN (Performance of Composites Sheep in Rural Condition) Dwi Priyanto, Adiati U Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 162 ABSTRACT Adult local sheep generally has low weight, so it is unable to meet minimum body weight of 45 kg for export. To overcome these problems, a study of crossing local sheep with imported sheep called Composite Sheep (Composite Garut/, Barbados Cross/BC, and Composite Sumatra/KS), was conducted. Performance test in the field to examine the effect of genotype and environment was done in Juhud, Banten. Result showed that the highest litter size (JAS), was from SC sheep which reached 1.7 head/birth, followed by LL sheep (JAS= 1.57), and then the sheep (JAS= 1.37), and BC (JAS= 1.25), and the lowest was KS sheep (JAS= 1.18). The longest lambing interval showed by KS sheep ( 1.25 months), while the other sheep is nearly uniform over 9 months. LRI of SC sheep was the highest (2.13 head/year), followed by BC sheep (LRI= 1.53), while was equivalent to the local sheep (1.32). mortality until weaning was relatively high (25%), while KS sheep with the lowest JAS (1.18 head/births), showed the lowest mortality. The highest birth weight was from SC (2.54 kg), followed by BC (2.43 kg), (2.34 kg) and the lowest occurred in KS (1.92 kg). While the weight at weaning age (3 months) the most superior was from (8.31 kg), followed by SC (8.3 kg) and the lowest was from KS (5.78 kg). But the weight at age of 1 months, there was a trend that for, BC, and KS decreased body weight gain and the most prominent is the SC lamb (19.3 kg), and even the local sheep seem more superior than the three clumps of composite sheep (18.31 kg). It was possible because of the feed (forage) given still equated with the needs of the local sheep. The results of the analysis of Economic Efficiency Rating (NEE) were calculated from the LRI, birth weight, and body weigh gain pre and post weaning showed that the highest was from SC (Rp. 1,173,5), followed by BC (Rp. 922,75), (Rp. 784,25) and the lowest was from KS (Rp. 66,5). Key Words: Performan, Composite Sheep, Rural Conditions ABSTRAK Domba lokal secara umum memliki performa bobot badan dewasa relatif rendah. Untuk meningkatkan bobot badan tersebut telah dilakukan penelitian persilangan dengan domba impor yang hasilnya dinamakan Domba Komposit (Komposit Garut/, Barbados Cross/BC, dan Komposit Sumatera/KS) dan domba murni St. Croix/SC. Uji performa dilakukan di lapangan untuk menguji pengaruh genotipe dan lingkungan. Jumlah Anak Sekelahiran (JAS) tertinggi terjadi pada domba SC yakni mencapai 1,7 ekor/kelahiran, yang kemudian disusul pada domba lokal (JAS= 1,57), domba (JAS= 1,37), dan BC (JAS= 1,25), sedangkan domba KS paling rendah (JAS= 1,18). JAS pada domba, BC dan KS terlihat bahwa semaikin meningkatnya paritas induk justru JAS yang semakin menurun, tetapi sebaliknya terjadi pada domba lokal. Jarak beranak terpanjang terjadi pada domba KS yang mencapai 1,25 bulan, sedangkan domba lainnya hampir seragam yakni diatas 9 bulan. Hasil perhitungan jumlah anak lahir/induk/tahun (LRI) terlihat bahwa domba SC yang paling tinggi (LRI 2,13 ekor/tahun), disusul pada domba BC (LRI= 1,53), yang setara dengan domba lokal (mencapai 2%), sedangkan domba KS karena JAS yang rendah. Pengamatan bobot badan anak menunjukkan bobot lahir tertinggi dicapai pada domba SC (2,54 kg) yang disusul domba BC (2,43 kg), domba (2,34 kg) sedangkan terendah pada domba KS (1,92 kg). Bobot pada umur sapih (3 bulan) paling unggul terjadi pada domba (8,31 kg), disusul SC (8,3 kg) dan terendah terjadi pada domba KS (5,78 kg). Umur 1 bulan ada kecenderungan domba, BC, dan KS mengalami penurunan bobot badan namun paling unggul adalah domba SC (19,3 kg). Nilai Efisiensi Ekonomi (NEE) prasapih dan pascasapih menunjukkan bahwa NEE tertinggi terjadi pada domba SC mencapai Rp.1.173.5, yang disusul domba BC (Rp. 922.75), domba (Rp. 784.25) dan terendah pada domba KS (Rp.66.5). Kata Kunci: Performa, Domba Komposit, Kondisi Pedesaan 519

PENDAHULUAN Ternak domba adalah merupakan ternak yang cocok untuk dikembangkan pada kondisi peternakan rakyat yang memiliki sosial ekonomi yang relatif rendah, dikarenakan tidak membutuhkan modal yang besar dalam berusaha, mudah pemeliharaanya yakni berbasis sumberdaya di pedesaaan (rumput tersedia), yang dapat digunakan sebagai tabungan insidentil dijual untuk kebutuhan yang sifatnya mendadak. Populasi ternak domba di Indonesia mencapai 1,4 juta ekor, dengan produksi daging 62,3 ton per tahun. Populasi domba tertinggi terdapat di Pulau Jawa dan Madura yang mencapai 92%, dan sebagian besar terkonsentrasi di Jawa Barat (5%) (Direktorat Jenderal Peternakan 211). Manajemen pemeliharaan dilakukan dengan pemanfaatan tenaga kerja keluarga yang merupakan sumber pendapatan yang sifatnya insidentil, tetapi sangat membantu dalam perekonomian petani. Usaha dengan pola pembibitan cenderung kurang menguntungkan, karena penerimaan dari sistem usahaternak tersebut hanyalan berupa produksi anak yang dapat dihasilkan selama 8 bulan (jarak beranak 8 bulan). Kondisi demikian sebaiknya dapat disiasati dengan sistem pemeliharaan dengan konsep low input (menekan biaya), atau bahkan zero cost (tanpa biaya) produksi, kecuali tenaga kerja keluarga sehingga penerimaan usaha tersebut murni merupakan pendapatan bagi peternak (Priyanto dan Yulistiani 25). Domba Garut sangat potensial untuk ditingkatkan produktivitasnya, lebih prolifik dibandingkan dengan domba yang berasal dari Bogor (Domba Ekor Tipis/DET), dengan jumlah anak sekelahiran rata-rata 1,86 dibandingkan dengan 1,58 bila keduanya dipelihara pada suatu flok yang sama. Perbedaan tersebut disebabkan karena pada domba DET terjadi segregasi gen dengan pengaruh yang besar pada laju ovulasi (LO) dan jumlah anak sekelahiran (JAS) dengan heritabilitas untuk JAS,5 dan repitabilitas LO,6 (Inounu 21). Salah satu metode peningkatan produktivitas domba adalah dengan metode persilangan dalam membentuk domba komposit. Pembentukan bangsa komposit berdasarkan persilangan dapat dilakukan dengan cara persilangan reguler dan rotasi (Nicholas 1996). Pembentukan domba komposit cenderung bertujuan untuk mendapatkan bangsa domba yang cocok untuk kondisi lokal dan untuk memenuhi permintaan khusus, seperti tanduk yang besar, pertumbuhan yang tinggi dan agresif. Maka dari itu pembentukan domba komposit adalah merupakan salah satu upaya dalam memecahkan masalah kebutuhan spesifik wilayah, baik ditinjau dari aspek agroekosistem maupun kondisi sosial ekonomi dan budaya (Rasali et al. 26; Greeline 21; Moreno et al. 21). Balai Penelitian Ternak telah melakukan penelitian untuk membentuk rumpun domba baru yang memiliki keunggulan dari berbagai rumpun domba di dunia. Domba yang baru terbentuk adalah domba komposit. Domba komposit yang sudah dibentuk diantaranya adalah domba Komposit Garut (), Domba Komposit Sumatera (KS), Barbados Cross (BC) yang berkembang cukup baik dalam kondisi laboratorium Balitnak. Domba tersebut memiliki keunggulan dapat beranak sepanjang tahun dengan jumlah anak (litter size) tinggi seperti yang ditampilkan oleh domba prolifik, memiliki kerangka tubuh yang besar, tahan terhadap cuaca panas dan lembab seperti yang ditampilkan oleh domba Hairsheep (HH), serta mempunyai produksi susu yang cukup untuk merawat anak dua ekor. Disamping itu, domba komposit memilki komposisi perdagingan yang baik seperti yang ditampilkan oleh domba Moulton Charolais (MM). Untuk mendukung pengamatan interaksi pengaruh genetik dan lingkungan domba komposit tersebut secara berkelanjutan perlu dilakukan kajian uji adaptasi untuk mengetahui performa di lapangan dalam rekomendasi pengembangan spesifik wilayah. Karakter teknis dan sosial ekonomi sangat diperlukan dalam upaya mengkaji kalayakan usahaternak domba komposit pada peternakan rakyat spesifik agroekosistem, yang dapat digunakan sebagai acuan model pengembangan spesifik lokasi. Perombakan pola pikir peternak yang dilakukan melalui pendampingan secara reguler yang didukung adanya bibit domba komposit yang diharapkan lebih unggul dibandingkan dengan domba lokal. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di Kelurahan Juhut, Kecamatan Karangtanjung, Kabupaten Pandeglang. Kondisi wilayah tersebut adalah 52

merupakan wilayah agroekosistem Lahan Kering Dataran Tinggi (LKDT). Masyarakat telah memelihara ternak domba lokal (Domba Ekor Tipis dan domba Garut) yang terintegrasi pola usaha dengan tanaman sayuran. Lokasi tersebut juga di gunakan sebagai wilayah Kampung Ternak Domba Terpadu yang merupakan program kerjasama dengan pihak dinas setempat (dukungan Pemda), yang merupakan ajang show window pengembangan domba di Pandeglang. Kondisi demikian akan mempermudah dalam monitoring dan keberlanjutan usaha dalam jangka panjang. Pada awal penelitian di introduksikan domba Komposit Garut (), domba Komposit Sumatera (KS), Barbados Cross (BC), dan juga domba St.Croix (SC) masing-masing sebanyak delapan ekor induk, dan sejumlah pejantan akan ditambah secara bertahap agar dapat mewakili sesuai dengan ketersediaan materi pengamatan, dan program sistem perkawinan. Materi pengamatan tersebut berkembang dengan bertambahnya ternak hasil keturunan dari materi yang diintroduksikan sebelumnya (hasil keturunan), dan selalu diamati sesuai dengan bangsa domba masing-masing, termasuk domba lokal yang ada di lokasi sebagai kontrol. Parameter yang diukur dari aspek teknis antara lain: keragamaan reproduksi induk, produktivitas induk, dan produksi anak. Keragaan reproduksi yang diamati adalah laju kebuntingan, litter size, bobot lahir, dan laju mortalitas, sedangkan parameter produksi meliputi laju pertambahan bobot badan, dan bobot badan per satuan waktu. Data keragaan reproduksi dan produksi dianalisis dengan model linear menurut petunjuk (SAS 1987). Dari hasil JAS dan mortalitas serta jarak beranak dapat dilakukan perhitungan Laju Reproduksi Induk (LRI) yang menyatakan jumlah anak yang dilahirkan oleh seekor induk selama setahun, yang diperhitungkan berdasarkan pertimbangan jarak beranak, yakni dirumuskan (Gatenby 1986) sebagai berikut (Persamaan 1): Analisis dalam mengetahui kinerja ekonomi pada masing-masing domba komposit yang diklakukan uji adaptasi di lokasi pengamatan dilakukan dengan perhitungan Nilai Efisiensi Ekonomi (NEE) yang diperhitungkan dari bobot lahir, pertambahan bobot badan, dan LRI yang dapat menggambarkan nilai ekonomi yang dihasilkan/induk/tahun dirumuskan serbagai berikut: (Persamaan 2) Pada tahapan penelitian tersebut juga direkomendasikan pengembangan kelembagaan kelompok ternak, serta diikuti pula model pendampingan teknologi tentang performan karakteristik produksi dan keunggulan domba komposit, manajemen pemeliharaan serta strategi perkawinan dan rekording yang dipantau secara reguler. Didalam pendampingan teknologi juga dilakukan pertemuan dengan peternak kooperator membahas tentang hasil yang dicapai (produktivitas, manajemen pakan, pemasaran serta permasalahan yang dihadapi), dan direkomendasikan pemecahanya yang melibatkan peneliti dari disiplin kapakaran. Diharapkan terjadi peningkatan pengetahuan peternak tentang manajemen pengelolaan domba komposit, dan kedepan domba tersebut mampu berkembang dan mampu meningkatkan ekonomi masyarakat di pedesaan (adaptif pada kondisi agro ekosistem dan diterima secara sosial dan menguntungkan). LRI = Rataan besar JAS x (1 - Laju mortalitas) Selang beranak (dalam tahun)...(1) NEE = Bobot Lahir + (PBBH prasapih x 9) + (BPPH pascasapih x 27) x LRI...(2) NEE = Nilai Efisiensi Ekonomi/induk/tahun (Rp.) Bobot lahir = Bobot lahir yang dicapai (kg) PBBH pra sapih = Pertambahan bobot badan harian (g) 9 = 9 hari (3 bulan) PBBH pasca sapih = Pertambahan bobot badan harian setelah sapih (g) 27 = Umur ternak sapih sampai dengan 1 tahun (27 hari) LRI = Jumlah anak yang dilahirkan/induk/tahun 521

HASIL DAN PEMBAHASAN Penampilan reproduksi induk domba komposit Jumlah anak sekelahiran (JAS) dan mortalitas anak sampai sapih Penampilan reproduksi induk dilakukan melalui inventarisasi data selama dilakukan uji coba, yang dibandingkan dengan penampilan induk domba lokal sebagai kontrol. Diamati pula performa domba St.Croix (SC), karena domba tersebut juga dilakukan pengembangan di lokasi dalam rangka pengembangan model kampung Ternak domba, untuk kelengkapan data dukung yang ada. Pengamatan penampilan reproduksi dilakukan pada setiap paritas, karena sudah tercatat kelahiran sampai pada paritas ke IV, tetapi domba KS dan BC hanya paritas II dan III. Hasil pengamatan rataan JAS tertinggi terjadi pada domba SC yakni mencapai 1,7 ekor/kelahiran, disusul pada domba lokal (JAS= 1,57), domba (JAS= 1,37, dan BC (JAS= 1,25), sedangkan domba KS paling rendah (JAS = 1,18) Tabel 1. JAS pada domba terlihat bahwa semakin meningkatnya paritas induk justru diperoleh JAS yang semakin menurun, sama halnya pada domba BC dan KS, tetapi sebaliknya pada domba SC dan domba lokal dengan meningkatnya paritas induk justru diikuti dengan meningkatnya JAS. Hasil penelitian (Priyanto dan Yulistiani 25) pada kondisi lapang (di Majalengka) pada domba lokal bahwa dengan meningkatnya paritas induk, maka akan diikuti pula peningkatan jumlah anak yang dilahirkan. Kondisi demikian seperti yang terjadi pada domba SC dan domba lokal di lokasi penelitian, dimana domba tersebut dimungkinkan telah lama beradaptasi dengan lingkungan. Domba St.Croix tersebut telah terlebih dahulu dikembangkan di lokasi. Diduga bahwa domba, KS, dan BC tampak bebeda performa reproduksinya dibandingkan dengan domba lokal, yang mungkin karena belum mampu beradaptasi dengan kondisi pemeliharaan pedesaan. Penampilan reproduksi induk dibandingkan dengan pada tahun sebelumnya menunjukkan terjadi penurunan jumlah anak sekelahiran (JAS) yang dihasilkan. Hal tersebut terjadi pada semua bangsa domba komposit yang diamati termasuk domba lokal sendiri. Kondisi demikian terjadi dimungkinkan akibat pengaruh musim, dimana pada tahun 211 terjadi musim kemarau panjang (sampai bulan November), sehinnga terjadi kekeringan yang berkepanjangan. Hal demikian berdampak terhadap ketersediaan hijauan pakan ternak yang sangat minim dan kurangnya ketersediaan air baik untuk ternak maupun untuk kebutuhan rumah tangga. Kondisi demikian berpengaruh terhadap siklus reproduksi induk domba pada tahap berikutnya (tahun 212). Kejadian mortalitas anak, terlihat bahwa mortalitas tertinggi terjadi pada domba yang mencapai 25%, disusul pada domba lokal (mencapai 23,9%). Mortalitas domba SC cukup rendah yakni hanya mencapai 5,8%, demikian pula domba BC (2,9%), dan bahkan domba KS tidak terjadi kematian. Kasus kemarau panjang tersebut Juga dibuktikan Tabel 1. Nilai rataan jumlah anak sekelahiran (JAS) pada domba pengamatan Rumpun domba Paritas ke: I II III IV Rataan LH SPH LH SPH LH SPH LH SPH JAS Mortalitas 1,7 1,4 1,,7 1,33,67 1,67 1,66 1,37 25, BC 1,3 1,3 1,3 1,3 1,,83 - - 1,25 2,9 KS 1,2 1,2 1, 1, - - - - 1,18, SC 1,3 1,2 1,9 1,8 2, 1,8 1,6 1,6 1,7 5,8 LL 1,4 1,4 2, 2, 1,8 1,8 1,75 1,75 1,57 23,9 = Komposit Garut LH = Lahir SC = St. Croix; SPH = Sapih BC = Barbadis Cross KS = Komposit Sumatera LL = Lokal 522

adanya kematian domba sampai dengan sapih yang sangat tinggi pada tahun 211 yakni diatas 4% kematian, dibandingkan dengan tahun 212, khususnya pada kasus domba. Komposit Garut () yang sampai mencapai 66,6% kematian (Gambar 1,2) (Priyanto et al. 211). 2 1,5 Ekor 1 Gambar 1. Hasil perhitungan JAS tahun 211 dan 212, di pedesaan berdasarkan 3 rumpun domba komposit Persen 2,5,5 Jumlah anak sekelahiran (JAS) BC KS LL Rumpun domba Penampilan mortalitas anak S/D sapih 7 6 5 4 3 2 1 BC KS LL Rumpun domba 211 212 211 212 Gambar 2. Penampilan mortalitas anak domba tahun 211 dan 212 di pedesaan berdasarkan 3 rumpun domba komposit Perhitungan laju reproduksi induk (LRI) Jarak beranak terpanjang ternjadi pada domba KS yang mencapai 1,25 bulan, sedangkan jarak beranak domba lainnya hampir seragam (sekitar 9 bulan). Pada kondisi pedesaan selang beranak sangat tergantung pada kondisi manajemen yang dilakukan oleh peternak. Pada peliharaan intensif peternak cenderung terlambat dalam deteksi berahi sehingga akan berpengaruh terhadap jarak beranak yang relatif panjang. Hasil perhitungan LRI terlihat bahwa domba SC adalah memiliki LRI paling unggul yakni 2,13 ekor/tahun, disusul pada domba BC (LRI= 1,53), yang setara dengan domba lokal. Domba dan KS memiliki LRI yang rendah (1,53 vs 1,32) yang hal tersebut pada domba karena mortalitas anak sampai dengan sapih yang relatif tinggi (mencapai 25%), sedangkan domba KS karena JAS yang rendah (1,18/kelahiran), walaupun tingkat mortalitas tidak ada Tabel 2. Dari pengamatan tersebut dilihat dari kasus reproduksi induk menunjukkan bahwa domba SC dapat dinyatakan sebagai domba yang paling dapat beradaptasi dengan kondisi pedesaan di lokasi pengamatan, dimana domba tersebut mampu mendapatkan anak 2,13 ekor/induk/tahun melebihi kondisi domba lokal sendiri (LRI= 1,52 ekor). Posisi kedua adalah domba BC dengan LRI memcapai 1,53 ekor/induk/tahun yang setara dengan domba lokal yang ada. Sedangkan domba dan KS masih lebih rendah tingkat reproduksinya (Gambar 3, 4). Penampilan bobot badan anak domba Penampilan pertumbuhan anak pra sapih Penampilan bobot badan anak pra sapih (umur 2 minggu) tertinggi dicapai pada domba Tabel 2. Penampilan LRI pada domba pengamatan pada kondisi pedesaan Rumpun domba JAS (ekor/kel) Mortalitas (%) Selang beranak (bulan) LRI 1,37 25, 9,21 1,35 (IV) BC 1,25 2,9 9,46 1,53 (II) KS 1,18, 1,25 1,32 (V) SC 1,7 5,8 9,7 2,13 (I) LL 1,57 23,9 9,41 1,52 (III) 523

Ekor/induk/tahun Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 213 n (SB) 1, 4 1 2 1 Bulan 9, 8 6 9, 4 9, 2 9 8, 8 6 8, 4 2, 5 2 1, 5 1,5 Penampilan selang beranak (SB) 9, 21 9, 46 Penampilan laju reproduksi induk (LRI) 1, 35 BC 1, 52 1, 25 KS 1, 32 9, 7 SC 2,13 1,52 BC KS SC LL Rumpun domba 9, 41 LL G C Rumpun S C domba L Gambar 3. Penampilan selang beranak pada domba domba pengamatan di pedesaan Gambar 4. Penampilan laju reproduksi induk (LRI) domba di lokasi pengamatan SC (5,2 kg), yang kemudian disusul domba (4, kg), domba BC (3,66 kg), domba LL (3,32 kg), dan yang terendah terjadi pada domba KS yang hanya mencapai 2,64 kg. Berbeda pada bobot badan anak umur 12 minggu (umur sapih) dimana bobot badan tertinggi terjadi pada domba yang mencapai bobot badan 8,31 kg, disusul domba SC (8,3 kg), domba lokal 7,68 kg, domba BC 7,13 kg, dan terendah domba KS hanya 5,78 kg Tabel 3. Penampilan domba KS lebih rendah dibandingkan dengan domba komposit lainnya termasuk domba lokal yang ada di lokasi karena domba KS dibentuk dalam upaya tahan terhadap penyakit cacing, dan karakteristik domba Sumatera sendiri adalah memiliki postur tubuh yang kecil. Dalam kondisi pakan yang bagus domba tersebut tidak mampu memiliki bobot badan yang tinggi, tetapi rekomendasi pengembangan sebaiknya dilakukan pada pola penggembalaan (grazing) sehingga akan tahan terhadap kondisi cacing yang ada di lapangan. Penampilan pertumbuhan anak pasca sapih Laju pertumbuhan anak pra sapih terlihat bahwa domba paling bagus dibandingkan dengan domba lainnya termasuk domba lokal yang ada, disusul oleh domba SC, domba lokal, domba BC, dan domba KS menduduki posisi paling rendah (Gambar 5). Pola pertumbunan anak sampai dengan sapih sangat dipengaruhi oleh produksi susu induk yang dihasilkan Domba dirancang sebagai domba dengan produksi susu yang tinggi sehingga akan mendukung pertumbuhan anak yang dihasilkan, dan hasil yang diperoleh menunjukkan pertumbuhan yang paling bagus dibandingkan dengan rumpun domba lainnya. Demikian halnya domba KS yang mengarah pada kondisi domba lokal Sumatera yang cenderung memiliki postur tubuh yang kecil yang hasil adaptabilitas di lapangan menunjukkan pula pola pertumbuhan yang relatif rendah dibandingkan dengan rumpun domba lainnya. Tabel 3. Penampilan bobot badan anak sampai dengan sapih Rumpun Umur (minggu) domba 2 4 6 8 1 12 4, a ±1,11 (n = 5) 5,17 a ±1,1 (n = 5) 6,24 a ±,48 7,11 a ±1,6 7,63 a ±1,38 8,31 a ±1,44 BC 3,66 a ±1,36 (n = 5) 3,94 a ±,93 (n = 7) 5,15 a ±,97 (n = 7) 6,48 a ±1,5 (n = 7) 7,11 ab ±1,36 (n = 7) 7,13 a ±1,36 (n = 7) KS 2,64 a ±1,3 (n = 4) 3,23 a ±,98 4,29 a ±1,2 5,5 a ±1,11 5,29 ab ±1,43 5,78 a ±1,37 SC 5,2 a ±1,11 (n = 5) 6.4 a ±,76 (n = 8) 6,64 a ±,8 (n = 8) 7,38 a ±,87 (n = 8) 7,34 ab ±1,23 (n = 8) 8,3 a ±1,31 (n = 8) LL 3,32 a ±2,23 5,75 a ±1,57 6,21 a ±1,65 6,74 a ±1,78 7,58 b ±2,23 7,68 a ±2,21 Superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama: menunjukkan perbedaan nyata (P<,5) ( ): Menunjukkan jumlah pengamatan (ekor) 524

Bobot badan (kg) (kg) Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 213 Pertumbuhan pra sapih 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 mg 4 mg 6 mg 8 mg 1 mg 12 mg Umur BC KS SC LL Gambar 5. Pola pertumbuhan domba komposit pada kondisi pemeliharaan pedesaan Pola pertumbuhan anak sampai dengan umur 1 bulan Pertumbuhan anak dalam penelitian dilakukan analisis sampai pada umur 1 bulan, akibat pengurangan jumlah sample sehingga tidak representatif untuk dianalisis. Hasil pengamatan bobot badan umur 4 bulan terlihar domba paling tinggi (12,8 kg), disusul domba SC (1,38 kg), Domba BC (9,86 kg), dan domba KS masih tampak lebih unggul dibandingkan dengan domba lokal (9,58 kg vs 9,31 kg). Pada bobot badan umur selanjutnya banyak mengalami perubahan posisi keunggulan, terlihat bahwa pada umur 1 bulan bobot badan paling unggul adalah domba SC mencapai 19,31 kg, yang bahkan disusul oleh domba lokal (18,31 kg), disusul domba (14,68 kg), domba BC (12,13 kg), dan terendah pada domba KS (9,4 kg) Tabel 4. Kondisi tersebut sangat tergantung pada manajemen pemeliharaan khususnya pemberian pakan oleh peternak di pedesaan. Domba diciptakan mampu memiliki pola pertumbuhan yang bagus pada kondisi pakan yang bagus, sebaliknya domba lokal yang ada sudah mampu beradaptasi pakan yang minim. Dalam rekomendasi pengembangan domba komposit ( dan BC) sebaliknya diintroduksikan pada kondisi sumberdaya pakan yang bagus dengan sistem pemeliharaan yang bagus sehingga performa pertumbuhan cenderung bagus sesuai potensi genetiknya. Pola pertumbuhan anak sampai dengan umur 1 bulan terlihat bahwa mulai pada umur 6 bulan, domba SC melejit melampaui bobot badan domba-domba lainnya, demikian domba terlihat bobot badan melampaui domba KS dan juga BC. Tetapi berbeda pada umur 8 bulan dimana domba hampir seimbang dengan domba SC, dan domba BC mampu melampaui domba KS. Sebaliknya terjadi pada bobot badan umur 1 bulan dimana hampir terjadi pada semua domba komposit (, BC, dan KS) cenderung mengalami pertumbuhan menurun cukup tajam, tetapi sebaliknya domba SC dan domba lokal bahkan peningkatan bobot badan yang cukup timggi Gambar 6. Kondisi demikian menunjukkan bahwa domba SC dan domba lokal lebih mampu beradaptasi pada kondisi pakan di pedesaan yang hanya bertumpu pada rumput lapangan dan limbah pertanian lainnya dengan kuantitas terbatas. Sedangkan domba dan BC belum teradaptasi dengan kondisi pakan yang ada di pedesaan dengan kondisi manajemen pemeliharaan tradisional. Diperlukan tambahan pakan yang lebih banyak dalam mendukung pola pertumbuhan sesuai dengan potensi genetik domba yang dibentuk. Pola pertumbuhan anak domba dibandingkan dengan pengamatan tahun sebelumnya terlihat berbeda jauh, dimana pada 525

Bobot badan () Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 213 tahun 211 pola pertumbuhan domba cenderung tidak mengalami peningkatan (landai) (Priyanto et al. 211), sedangkan hasil pengamatan tahun 212 pertumbuhan anak cukup bagus mengalami kenaikan bobot badan Gambar 7, 8. Terlihat bahwa pada kasus domba justru tidak banyak mengalami meningkatan bobot badan setelah umur 4 bulan Tabel 4. Penampilan bobot badan anak pada umur 4 bulan sampai 1 bulan Rumpun domba Umur 4 bln Umur 6 bln Umur 8 bln Umur 1 bln 12,8 a ±1,57(n = 7) 14,3 a ±1,85(n = 7) 15,81 a ±2,19 14,68 a ±2,29(n = 4) BC 9,86 a ±1,41(n = 1) 11,95 a ±2,5(n = 7) 14,39 a ±2,22 12,13 a ±2,67(n = 4) KS 9,58 a ±1,47(n = 9) 12,53 a ±2,4(n = 4) 12,92 a ±2,44(n = 4) 9,4 ab ±3,23 SC 1.38 a ±1,47(n = 8) 15,31 a ±2,3 15,9 a ±2,29(n = 4) 19,31 a ±2,11(n = 4) LL 9,31 a ±2,52 13,58 a ±3,13 15,2 a ±2,3 18,31 a ±3,47 Superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama: Menunjukkan perbedaan nyata (P<,5) ( ) = Menunjukkan jumlah pengamatan (ekor) 25 Pertumbuhan pasca sapih 2 15 1 5 BC KS SC LL 4BL 6BL 8BL 1BL Umur Gambar 6. Pola pertumbuhan anak lepas sapih sampai dengan umur 1 bulan TKL 1 1 25 25 2 2 15 15 1 1 55 BC KS LL 4BL 5BL 6BL 7BL 8BL 9BL 1BL 11BL 12BL UMUR Umur Gambar 7. Pola pertumbuhan anak domba sesudah sapih sampai dengan umur 1 tahun pada tipe kelahiran tunggal (tahun 211) 526

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 213 TKL 2 25 2 15 1 BC BC KS KS LL LL 5 4BL 5BL 6BL 7BL 8BL 9BL 1BL 11BL 12BL Umur UMUR Gambar 8. Pola pertumbuhan anak domba sesudah sapih sampai dengan umur 1 tahun pada tipe kelahiran kembar 2 (Tahun 211) (stagnan), demikian pula pada domba KS, terkecuali domba LL. Kondisi demikian karena pada tahun 211 terjadi kemarau yang sangat panjang (sampai dengan bulan Desember), sehingga hijauan berupa rumput lapangan dan limbah sayuran sulit diperoleh, yang berpengaruh terhadap pertumbuhan domba setelah sapih yang sepenuhnya tergantung pada kebutuhan hijauan. Ternak domba banyak mengalami kematian yang cukup tinggi, disamping pola pertumbuhan yang rendah bahkan stagnan. Pola pertambahan bobot badan harian (PBBH) Pengamatan pertambahan bobot badan harian (PBBH) dibedakan atas PBBH pra sapih dan pasca sapih. PBBH domba pra sapih tertinggi terjadi pada domba (74,73 g/hari), yang kemudian disusul domba BC (74,67 g/hari). Domba SC sebesar 51,98 g/hari, Domba KS 46,18 g/hari dan terendah pada domba LL hanya 39,48 g/hari. Dilihat dari analisis statistik menunjukkan bahwa terjadi perbedaan nyata (P<,5) antara PBBH domba BC lebih unggul dibandingkan dengan KS Tabel 5. Terjadi perubahan posisi PBBH pasca sapih anak domba bahwa PBBH domba BC adalah tertinggi yakni mencapai 55,56 g/hari, yang disusul domba SC (55,32 g/hari), domba (52,67 kg), domba KS (51,81 g/hari, dan terendah juga terjadi pada domba LL (5,3 g/hari), yang terlihat bahwa domba BC nyata (P<,5) lebih unggul dibandingkan dengan KS. PBBH pra sapih tampak lebih tinggi dibandingkan dengan pada PBBH pascasapih, kondisi demikian akibat kecukupan produksi susu dari induknya. Pertambahan bobor badan pra sapih sangat dipengaruhi oleh kecukupan air susu dari induknya. Sebaliknya pertumbuhan pasca sapih sangat ditentukan oleh pahan yang diberikan peternak dimana pada kondisi pedesaan hanya bertumpu pada rumput lapangan yang diaritkan oleh peternak Analisis nilai efisiensi ekonomi (NEE) Hasil perhitungan NEE terlihat bahwa nilai efisiensi dari beberapa rumpun domba yang diamati terlihat bahwa domba SC adalah memiliki NEE tertinggi yang mencapai Rp. 1.173.5/ekor/induk. Domba BC menduduki posisi ke II setelah domba SC yang mencapai Rp.922.75/induk/tahun, dan disusul pada domba (Rp. 784.25/induk/tahun), lemudian domba lokal (Rp. 77.75/induk/ tahun, dan terendah terjadi pada domba KS yang relatif rendah (Rp. 66.5/induk/ tahun) Tabel 6. Dari hasil pengamatan NEE tersebut 527

Tabel 5. Pola pertambahan bobot badan harian (PBBH) domba di pedesaan Rumpun domba PBBH Prasapih PBBH Pascasapih 74,73 ab ±14,88 52,67 a ±8,4 BC 74,67 a ±13,69 55,56 a ±8,7 KS 46,18 b ±13,65 51,81 a ±8,82 SC 51,98 ab ±13,28 55,32 a ±9,5 LL 39,48 ab ±23,4 5,3 a ±14,57 Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<,5) Tabel 6. Analisis nilai efisiensi ekonomi berbagai rumpun domba di lapangan Rumpun domba Bobot lahir (kg) PBBH prasapih (kg) PBBH pascasapih (kg) LRI (ekor/tahun) Nee (Rp.) Ranking 2,34 6,72 14,2 1,32 784.25 III BC 2,43 6,72 15, 1,53 922.75 II KS 1,92 4,12 13,98 1,32 66.5 V SC 2,54 4,63 14,93 2,13 1.173.5 I LL 2,33 2,74 13,58 1,52 77.75 IV menunjukkan bahwa secara ekonomi domba SC adalah yang lebih dapat beradaptasi dengan lingkungan yang ada dengan catatan tidak adanya intervensi terhadap tambahan teknologi yang ada di lapangan. Pada kondisi adanya inovasi teknologi khususnya pakan (tambahan pakan) maka secara faktual bahwa domba akan lebih unggul dibandingkan dengan lainnya. Kondisi tersebut perlu pertimbangan tentang inovasi tambahan khususnya pada pengembangan domba di lapangan yang memang memerlukan perlakukan spesifik untuk mencapai kondisi potensi genetik yang diciptakan. KESIMPULAN Hasil penelitian penampilan performa domba Komposit di pedesaaan yang meliputi karakter produktivitas induk, pertumbuhan anak yang dilahirkan sampai pada profil ekonomi dapat disimpulkan bahwa: 1. Tingkat reproduksi menunjukkan bahwa rataan Jumlah Anak sekelahiran (JAS) tertinggi terjadi pada domba SC yakni mencapai 1,7 ekor/kelahiran, disusul domba LL (JAS = 1,57), (JAS=1,37, dan BC (JAS=1,25), sedangkan domba KS paling rendah (JAS=1,18). JAS pada domba terlihat bahwa semakin meningkatnya paritas induk justru diperolah JAS yang semakin menurun, sama halnya pada domba BC dan KS, tetapi sebaliknya pada domba lokal. Hasil pengamatan (JAS) dibandingkan dengan tahun sebelumnya mengalami penurunan. 2. Pengamatan jarak beranak terlihat bahwa jarak beranak terpanjang terjadi pada domba KS yang mencapai 1,25 bulan, sedangkan jarak beranak domba lainnya hampir seragam diatas 9 bulan. Pada kondisi pedesaan selang beranak sangat tergantung pada manajemen yang dilakukan peternak, yakni dipelihara secara intensif yang kadang peternak terlambat dalam deteksi berahi sehingga akan berpengaruh terhadap jarak beranak relatif panjang. 3. Hasil perhitungan LRI terlihat bahwa domba SC adalah paling tinggi yakni 2,13 ekor/tahun, disusul pada domba BC (LRI = 1,53), yang setara dengan domba lokal. Domba dan KS memiliki LRI yang rendah (1,53 vs 1,32) yang hal tersebut pada domba karena mortalitas anak sampai dengan sapih yang relatif tinggi (mencapai 25%), sedangkan domba KS karena JAS yang rendah (1,18/ kelahiran), walaupun tingkat mortalitas tidak ada. 528

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 29 4. Pengamatan bobot badan anak bahwa bobot lahir tertinggi dicapai pada domba SC (2,54 kg) yang disusul domba BC (2,43 kg), domba (2,34 kg) dan terendah pada domba KS (1,92 kg). Sementara itu, bobot pada umur sapih (3 bulan) paling unggul domba (8,31 kg), disusul SC (8,3 kg) dan terendah terjadi pada domba KS (5,78 kg). Sebaliknya pada bobot umur 1 bulan ada kecenderungan domba, BC, dan KS mengalami penurunan bobot badan dan yang paling unggul adalah domba SC (19,3 kg), dan bahkan domba lokal tampak lebih unggul dibandingkan dengan 3 rumpun domba komposit lainnya (8,31 kg). 5. Hasil analisis Nilai Efisiensi Ekonomi (NEE) yang diperhitungkan dari LRI, Bobot Lahir, dan Pertambahan bobor badan pra sapih dan pasca sapih menunjukkan bahwa NEE tertinggi terjadi pada domba SC mencapai Rp.1.173.5, yang disusul domba BC (Rp. 922.75), domba (Rp. 784.25) dan terendah terjadi pada domba KS (Rp. 66.5). DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Peternakan. 211. Statistik peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta. Gattenby RM, 1986. Sheep production in the tropics and subtropics tropical agriculture series. Longman and New York Greeline. 21. Greeline composite breed-genetics equal to the best in New Zealand. http/www. Greelinesheep.co.nz. (internet) 21. CITED 21 May 2. Available from: http//www.greelinesheep.co.nz/. Inounu I. 21. Pembentukan domba komposit melalui teknologi persilangan dalam upaya peningkatan mutu genetik domba lokal. Orasi Pengukuhan Profesor Riset, Bidang Pemuliaan dan Genetika Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, Bogor, 3 Desember 21. Moreno C, Bouix J, Brunel JC, Weishecker JL, Frncois D, Lantier F, Elsen JM. 21. Genetic parameter estimates for carcass traits in INRA41 composite sheep strain. Livest Prod Sci. 69:227-232. Nicholas FW. 1996. Introduction to veterinary genetics. Oxford University Press. pp. 277-291. Priyanto D, Yulistiani D. 25. Estimasi dampak ekonomi penelitian partsipatif pengguaan obat cacing dalam peningkatan pendapatan peternak domba di Jawa Barat. Dalam: Mathius IW, Bahri S, Tarmudji, Prasetyo LH, Triwulanningsih E, Tiesnamurti B, Sendow I, Suhardono, penyunting. Teknologi Peternakan dan Veteriner Inovasi Teknologi Peternakan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dalam Mewujudkan Kemandirian dan Ketahanan Pangan Nasional Prosiding Seminar Nasdional Peternakan dan Veteriner. Bogor (Indonesia): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. 12-13 September 25. hlm 512. Priyanto D, Yulistiani, Adiati U, Subandriyo. 211. Uji adaptasi 3 rumpun domba komposit pada kondisi agroekosistem lahan kering dataran tinggi (LKDT). Laporan Akhir Penelitian. Bogor (Indonesia): Balai Penelitian Ternak. Rasali DP, Shrestha JN, Crown GH. 26. Development of composite sheep breed in the word. A. review. Canadian J Anim Sci. 86:1-24. Statistical Analysis System. 1987. SAS/STAT Guide for Personal Computer Version 6th ed., SAS. Institute Inc., Carry, NC. USA. 529