BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris tidak hanya terfokus pada masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Kulit merupakan salah satu bagian dari makhluk hidup yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Limbah cair tahu adalah air buangan dari proses produksi tahu. Menurut

DAFTAR ISI ABSTRAK... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I PENDAHULUAN... 1

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I PENDAHULUAN...

BAB III METODE PENELITIAN. Pendidikan Biologi FPMIPA UPI dan protease Bacillus pumilus yang diperoleh

BAB I PENDAHULUAN. maupun gas dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Lingkungan

PENDAHULUAN. yaitu kerupuk berbahan baku pangan nabati (kerupuk singkong, kerupuk aci,

kemungkinan untuk ikut berkembangnya bakteri patogen yang berbahaya bagi

I. PENDAHULUAN. industri yang berbasis pertanian atau biasa disebut agroindustri. Istilah

BAB I PENDAHULUAN. perkebunan dan domestik (Asmadi dan Suharno, 2012). limbah cair yang tidak ditangani dengan semestinya. Di berbagai tempat

I. PENDAHULUAN. merupakan salah satu faktor penentu produksi. Selama ini untuk mendukung

BAB I PENDAHULUAN. industri dan pengobatan (Moon dan Parulekar, 1993). merupakan satu dari tiga kelompok enzim terbesar dari industri enzim dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Ikan merupakan salah satu hewan yang banyak dibudidayakan oleh

I. PENDAHULUAN. Industri tahu di Indonesia telah berkontribusi secara nyata dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Larutan Mikroorganisme Lokal (MOL ) terbuat dari bahan-bahan alami,

PROSES PRODUKSI INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. LatarBelakang. Menurut data Ditjennak (2012) pada tahun 2012 pemotongan tercatat

KADAR BIOETANOL LIMBAH PADAT BASAH TAPIOKA (DIENDAPKAN 5 HARI) DENGAN DOSIS RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA

BAB I PENDAHULUAN. dapat bersaing secara kompetitif. Bagi perusahaan yang ingin survive dan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Konsumsi tempe rata-rata per orang per

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. aplikasi enzim menyebabkan penggunaan enzim dalam industri semakin luas.

BAB III METODE PENELITIAN. adalah Bacillus subtilis dan Bacillus cereus yang diperoleh di Laboratorium

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sejauh mana tingkat industrialisasi telah dicapai oleh satu negara. Bagi

BAB I PENDAHULUAN. komposisi senyawanya terdiri dari 40% protein, 18% lemak, dan 17%

I. PENDAHULUAN. kacang kedelai yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Selain

I. PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun, peningkatan diperkirakan mencapai 10 15% per

BAB I PENDAHULUAN. sangat terkenal dan digemari oleh semua lapisan masyarakat, karena memiliki

I. PENDAHULUAN. Limbah berbahaya adalah limbah yang mempunyai sifat-sifat antara lain

BAB III PENCEMARAN SUNGAI YANG DIAKIBATKAN OLEH LIMBAH INDUSTRI RUMAH TANGGA. A. Penyebab dan Akibat Terjadinya Pencemaran Sungai yang diakibatkan

2016 BIOREMEDIASI LOGAM KROMIUM (VI) PADA LIMBAH MODEL PENYAMAKAN KULIT MENGGUNAKAN BAKTERI PSEUDOMONAS AERUGINOSA

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan

KUALITAS BIOETANOL LIMBAH PADAT BASAH TAPIOKA DENGAN PENAMBAHAN RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA. Skripsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau

I. PENDAHULUAN. sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. berupa karbohidrat, protein, lemak dan minyak (Sirait et al., 2008).

KUALITAS NATA DE CASSAVA LIMBAH CAIR TAPIOKA DENGAN PENAMBAHAN GULA PASIR DAN LAMA FERMENTASI YANG BERBEDA

BAB I PENDAHULUAN. Pusat Statistik pada tahun 2011 produksi tanaman singkong di Indonesia

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. akan protein hewani berangsur-angsur dapat ditanggulangi. Beberapa sumber

BAB I PENDAHULUAN. Kulit jadi merupakan kulit hewan yang disamak (diawetkan) atau kulit

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

PAPER BIOKIMIA PANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Industrialisasi menempati posisi sentral dalam ekonomi masyarakat

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

IMBANGAN EFISIENSI PROTEIN RANSUM AYAM BROILER YANG MENGANDUNG TEPUNG BULU AYAM HASIL FERMENTASI DENGAN Bacillus spp. DAN Lactobacillus spp.

BAB I PENDAHULUAN. 2012). Sapi berasal dari famili Bovida, seperti halnya bison, banteng, kerbau

BAB I PENDAHULUAN. tercatat sebesar 237 juta jiwa dan diperkirakan bertambah 2 kali lipat jumlahnya. ayam sebagai salah satu sumber protein hewani.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. sangat berperan penting sebagai sumber asupan gizi yang dibutuhkan

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik

BAB I PENDAHULUAN. dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri.

Pemanfaatan Limbah Sekam Padi Menjadi Briket Sebagai Sumber Energi Alternatif dengan Proses Karbonisasi dan Non-Karbonisasi

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dibicarakan karena mengancam masa depan dari kehidupan di bumi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan utama yang harus dipenuhi dalam upaya terselenggaranya suatu sistem

I. PENDAHULUAN. sebagai salah satu matapencaharian masyarakat pedesaan. Sapi biasanya

I. PENDAHULUAN. Industri tahu telah berkontribusi dalam penyediaan pangan bergizi,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) saat ini telah berkembang tetapi

I. PENDAHULUAN. mengandung sejumlah mikroba yang bermanfaat, serta memiliki rasa dan bau

LIMBAH CAIR PENYAMAKAN KULIT DENGAN TANAMAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Jambi) ataupun yang berasal dari daging seperti sosis dan urutan/bebontot

ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bakso adalah jenis makanan yang dibuat dari bahan pokok daging dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Lingkungan Eksternal Penggemukan Sapi. diprediksi oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pisang merupakan salah satu jenis buah yang digemari, selain rasanya

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. baik oleh industri atau rumah tangga, sedangkan kapasitas produksi tepung terigu

BAB I PENDAHULUAN. Nilai konsumsi tahu tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan konsumsi

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap pemenuhan nilai gizi

BAB I PENDAHULUAN. terdapat sampai pada dasar laut yang paling dalam. Di dalam air, seperti air

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )

PENDAHULUAN. ekonomi yang masih lemah tersebut tidak terlalu memikirkan akan kebutuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. akan dikonsumsi akan semakin besar. Tujuan mengkonsumsi makanan bukan lagi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan akan bahan pangan berupa daging khususnya daging sapi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN. kandungan gizi yang cukup baik. Suryana (2004) melaporkan data statistik

BAB I PENDAHULUAN. teknologi aplikasi enzim menyebabkan penggunaan enzim dalam industri semakin

BAB I PENDAHULUAN. Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi

BAB I PENDAHULUAN. makanan sangat terbatas dan mudah rusak (perishable). Dengan pengawetan,

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat pesat. Populasi ayam pedaging meningkat dari 1,24 milyar ekor pada

BAB I PENDAHULUAN. Ikan merupakan sumber protein, lemak, vitamin dan mineral yang

BAB I PENDAHULUAN. Pada abad ke 21 perkembangan masyarakat di dunia menunjukkan adanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2011), dalam survey yang

I. PENDAHULUAN. Sensus Penduduk 2010 (SP 2010) yang dilaksanakan pada Mei 2010 penduduk

1. PENDAHULUAN. pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesa Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana.

BAB I PENDAHULUAN. rumah tangga, industri maupun tempat-tempat umum lainnya dan pada umumnya

Transkripsi:

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia sebagai negara agraris tidak hanya terfokus pada masalah pertanian, tapi mulai mengembangkan bidang bisnis pertanian dalam arti luas seperti peternakan. Selain dapat melaksanakan tujuan pertanian yang terpadu dan berkelanjutan, yakni melaksanakan pertanian yang ramah lingkungan, misalnya dengan jalan pemanfaatan kotoran sapi sebagai pupuk kandang yang berfungsi menyuburkan tanah. Ternak sapi ternyata bisa di manfaatkan daging dan susunya sebagai sumber protein. Pemanfaatan kulit sapi kini sedang marak dilakukan, diantaranya dapat digunakan sebagai bahan baku dalam industri tekstil. Dalam industri tekstil sapi dimanfaatkan kulitnya untuk disamak diantaranya dijadikan sebagai bahan baku pembuatan sepatu,tas dan jaket. Tentunya bahan kulit yang berasal dari hewan ternak tentunya tidak bisa begitu saja dimanfaatkan, akan tetapi harus melalui proses pengolahan terlebih dahulu, proses ini yang dinamakan penyamakan kulit. Kulit sapi selain sebagai bahan baku yang penting dalam industri, juga telah dimanfaatkan oleh penduduk Garut, Jawa Tengah atau Jawa Timur sebagai bahan baku kerupuk rambak. Makanan yang berasal dari kulit ternak ini ternyata dibuat pula oleh penduduk negara tetangga yaitu Thailand dan Filipina. Di negaranegara tersebut bahan makanan yang dibuat dari kulit ini dikenal dengan nama Nung Pong atau Fried Skin (Suwarastuti 1992, diacu dalam Daniar 2008 diacu dalam Oktafiyani 2009).

2 Berdasarkan hasil penelitian komposisi zat gizi kerupuk yang terbuat dari olahan kulit sapi didapatkan bahwa pada kerupuk rambak yang mengandung protein antara 80,0 1g 82,91 g per 100 g, data ini menunjukan terdapat kandungan protein yang lebih banyak pada kerupuk rambak sapi daripada kandungan karbohidratnya. Sebaliknya, kerupuk yang terbuat dari tepung terigu dan tapioka, umumnya menunjukkan kandungan karbohidrat per 100 gram lebih tinggi yaitu antara 85,81 g sampai 74,46 g dibandingkan dengan kandungan protein per l00 gram yaitu 0,03 g 8,90 g untuk protein. (Rahman,2009) Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Oktafiyani (2009) menyatakan bahwa jumlah permintaan kerupuk rambak saat ini mencapai 1500 kilogram sampai 1800 kilogram per bulan. Sedangkan hasil produksi industri hanya sebesar 1000 kilogram sampai 1100 kilogram/bulan. Berdasarkan fakta tersebut dapat disimpulkan, jumlah permintaan lebih tinggi daripada produksi, terutama permintaan ini akan melonjak ketika liburan kenaikan kelas dan Hari Raya Lebaran. Jumlah permintaan kerupuk rambak pada kedua waktu tersebut dapat mencapai 3000 kilogram sampai 3500 kilogram/bulan. Meningkatnya permintaan masyarakat, keadaan perekonomian yang serba sulit serta pengusaha yang tak mau rugi karena biaya produksi kerupuk rambak yang semakin tinggi, mendorong para penjual memanfaatkan situasi dengan melakukan berbagai penyimpangan yang salah satunya yaitu dengan mengolah kembali kulit sapi yang sebelumnya telah di pergunakan sebagai bahan baku pembuatan sepatu, tas dan jaket menjadi bahan olahan makanan ringan, khususnya kerupuk. (Rahman,2009). Proses pertama pada pengolahan kulit yaitu proses unhairing atau penghilangan bulu pada kulit sapi atau kerbau. Proses ini bertujuan untuk memisahkan dua struktur protein yakni keratin dan kolagen. Saat unhairing,

3 rambut bersama epidermis, protein nonkolagen dan substansi perekat lainnya dilepaskan dari kulit (Puvanakrishnan, 1988 dalam Sivasubramanian, 2008). Pada proses konvensional, para pengrajin kulit biasanya menghilangkan bulu sapi dengan cara dipanggang dalam bara atau tungku pembakaran. Akan tetapi, saat ini proses unhairing dilakukan dengan menambahkan Ca(OH) 2 dan Na 2 S dalam jumlah banyak. Umumnya untuk membuang protein keratin rambut pada proses unhairing digunakan natrium sulfida (Na 2 S) dengan ph sekitar 9-10 dan suhu 37 C. Berdasarkan proses tersebut bisa disimpulkan, akan sangat berbahaya apabila masyarakat mengkonsumsi kerupuk rambak yang berbahan dasar limbah kulit hasil penyamakan, karena akan membahayakan kesehatan produsen konsumen dan akan mencemari lingkungan sekitarmya, karena proses unhairing yang menggunakan bahan kimia Na 2 S memiliki Sulfida yang akan menjadi masalah bagi para pekerja, karena akan terus menerus terhisap sebagai gas hidrogen sulfida, kondisi basa keras pun merupakan bahaya kesehatan bagi pekerja (Purushotham et al., 1996 dalam Zambare et al., 2007). Bagi konsumen apabila zat beracun ini masuk ke dalam tubuh makan akan menjadi toksin dan akan menimbulkan berbagai penyakit seperti karsinoma, kanker, sakit liver, jaringan rusak, penyakit otak hingga ginjal. Semua limbah yang dihasilkan, baik limbah padatan kapur maupun gas beracun hidrogen sulfida akan terus terbawa oleh aliran sungai (Thanikaivelan et al., 2003 dalam Zambare et al., 2007) sehingga lambat laun akan merusak lingkungan. Pengolahan kulit dengan menggunakan enzimatik dipandang sebagai cara alternatif yang dapat diandalkan untuk menghindari masalah dalam produksi kerupuk kulit, karena selain pemanfaatan protease dapat digunakan dalam bidang penyamakan juga banyak dirasakan dan terus dikembangkan dalam bidang pangan.

4 Bila dibandingkan dengan protease-protease yang dihasilkan dari hewan dan tumbuhan, protease mikroba mempunyai banyak kelebihan. Kelebihan tersebut adalah enzim dari mikroba bisa diproduksi dalam jumlah yang besar. (Standbury dan Whitaker, 1984) mutunya lebih seragam dan haraganya lebih murah karena mikroba dapat tumbuh pada media yang didapat dari limbah pertanian. (Satiawiharja,1997) Protease yang bisa digunakan dalam proses unhairing (buang bulu) sebagai langkah pertama dalam proses kerupuk rambak ini salah satunya adalah enzim protease yang diproduksi dari bakteri jenis Bacillus s.p. yang memiliki sifat keratinase. Enzim protease yang digunakan dalam penelitian ini diproduksi oleh Bacillus subtilis dan Bacillus pumilus. Selain dapat menghasilkan keratinase, penggunaan mikroorganisme pun lebih menguntungkan karena pertumbuhannya cepat dan media untuk pembiakan bakteri Bacillus mudah didapat dan harganya murah. Selain itu, Keunggulan proses unhairing secara enzimatik diantaranya adalah penghilangan penggunaan kapur dan sulfida yang memiliki dampak negatif terhadap kesehatan dan lingkungan (Palanisamy et al., 2004) sehingga aman dikonsumsi Tahun 2008 Jaswal R.K dkk melakukan penelitian terhadap B. Subtilis yang dapat menghasilkan enzim protease yang dapat digunakan sebagai agen unhairing pada kulit kerbau yang memiliki struktur kulit sama dengan kulit sapi yang keduanya digunakan sebagai bahan baku kerupuk kulit dengan hasil yang baik. Pengujian protease dari Bacillus Subtilis terhadap kulit sapi dilakukan oleh Alexandre J. Macedo dkk (2004), penelitian tersebut menghasilkan fakta bahwa protease dari Bacillus subtilis merupakan hasil bioteknologi yang memiliki potensi yang besar untuk proses unhairingkarena ketika diujikan terhadap kulit sapi, hasil

5 yang didapat morfologi kulit sapi dengan penambahan ezim kulit sapi tidak jauh dengan morfologi kulit sapi dengan perendaman dengan menggunakan Na 2 S atau Ca(OH) 2 (Air kapur). Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Nisa (2011) menyimpulkan bahwa penggunaan protease dari Bacillus subtilis Sp. menghasilkan kualitas kolagen kulit lebih baik dibandingkan dengan penggunaan enzim protease dari Bacillus cereus Sp. dalam proses unhairing enzimatik. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nisa(2011) yang meneliti mengenai pemanfaatan protease dari Bacillus subtilis dan Bacillus cereus sebagai agen unhairing kulit domba pada proses penyamakan. Penelitian lanjutan ini penting dilakukan untuk mencari, mengetahui dan membandingkan kemampuan bakteri Bacillus subtilis yang pernah diteliti pada penelitian sebelumnya dengan Bacillus pumilus yang dapat digunakan sebagai penghasil protease dalam proses unhairing pada kulit sapi sehingga mendapatkan kulit hasil unhairing yang lebih baik dan tidak mengandung zat-zat kimia yang berbahaya dan dapat mengurangi produksi limbah. Pengujian dilakukan secara fisik dan kimiawi, uji fisik dilakukan untuk membandingkan efektifitas protease dari Bacillus subtilis dan Bacillus pumilus dalam proses unhairing kulit sapi dilihat dari penampakan fisik. Uji kimiawi dilakukan dengan membandingkan kadar protein kulit sapi hasil unhairing secara enzimatik dan kulit sapi hasil unhairing secara konvensional.

6 1.2. Rumusan Masalah Bagaimanakah hasil uji aktivitas Bacillus subtilis dan Bacillus pumilus pada penggunaannya sebagai agen unhairing pada kulit sapi. 1. Berapakah ph optimum prtumbuhan Bacillus pumilus? 2. Berapakah uji aktivitas protease dari Bacillus subtilis hasil isolasi? 3. Berapakah uji aktivitas protease dari Bacillus pumilus hasil isolasi? 4. Berapakah wakttu optimum unhairing kulit sapi menggunakan protease dari Bacillus terpilih? 5. Berapakah volume enzim optimum unhairing kulit sapi menggunakan protease dari Bacillus terpilih? 6. Bagaimanakah kandungan protein kulit sapi hasil unhairing secara enzimatik dengan kulit hasil unhairing secara konvensional? 1.3. Batasan Masalah Agar penelitian lebih terarah dan mencapai hasil yang diharapkan maka ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada hal-hal sebagai berikut : 1.Bakteri yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bacillus subtilis Sp. dan Bacillus pumilus Sp. 2. Kulit yang digunakan dalam metode ini adalah kulit sapi. 3. Variabel yang dilakukan dalam menentukan kondisi media pertumbuhan Bacillus pumilus hanya meliputi ph. 4. Variabel yang dilakukan dalam menentukan kondisi unhairing yang optimum meliputi volume enzim dan waktu inkubasi. 5. Pengujian terhadap kualitas kulit hasil unhairing yang dilakukan hanya pengujian fisik dan analisis terhadap kadar protein total

7 1.4. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui ph optimum dari pertumbuhan Bacillus pumilus. 2. Mendapatkan hasil aktivitas protease terbaik dari perbandingan protease Bacillus subtilis dan Bacillus pumilus 3. Mengetahui pengaruh penambahan enzim protease dari Bacillus pumilus dan subtilis terhadap kualitas kulit pada proses unhairing dibandingkan dengan proses konvensional. 4. Mengetahui kadar protein dalam kulit setelah dilakukan unhairing. 5. Manfaat Penelitian 1. Dapat menghasilkan kualitas kulit yang lebih baik dibandingkan dengan kualitas kulit yang diproses secara konvensional. 2. Dapat menghilangkan penggunaan Na 2 S pada proses unhairing yang diketahui sebagai limbah berbahaya, sehingga menjadikan produk kerupuk kulit aman dikonsumsi. 3. Mengurangi produksi limbah pada keseluruhan proses pengolahan kulit yang selama ini dirasakan masyarakat sekitar industri kulit.