TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah

dokumen-dokumen yang mirip
KESIAPAN MENIKAH, PEMENUHAN TUGAS DASAR, DAN TUGAS KRISIS PADA KELUARGA ANAK PRASEKOLAH RESTYSTIKA DIANESWARI

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

Menurut Knox (1985) terdapat tiga faktor yang menentukan kesiapan menikah, yaitu usia menikah, pendidikan, dan rencana karir. Pada dasarnya usia

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

PENYESUAIAN DIRI REMAJA PUTRI YANG MENIKAH DI USIA MUDA

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. matang baik secara mental maupun secara finansial. mulai booming di kalangan anak muda perkotaan. Hal ini terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012)

BAB 2. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

TINJAUAN PUSTAKA. Dewasa Muda. Tabel 1 Pendapat ahli mengenai tahapan masa dewasa dan usianya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

Proses Keperawatan pada Remaja dan Dewasa. mira asmirajanti

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rini Yuniati, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan

PENDAHULUAN Latar Belakang

KESIAPAN MENIKAH DAN PELAKSANAAN TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA DENGAN ANAK USIA PRASEKOLAH INE RAHMATIN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. penting yang akan dihadapi oleh manusia dalam perjalanan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nurul Khoeriyah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam sepanjang hidupnya individu mempunyai tugas perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN TEORITIS

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Gambaran Kepuasan..., Dini Nurul Syakbani, F.PSI UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

golongan ekonomi menengah. Pendapatan keluarga rata-rata berada pada kisaran lima jutaan rupiah perbulan dengan sebagian besar ayah bekerja sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. parkawinan akan terbentuk masyarakat kecil yang bernama rumah tangga. Di

BAB 1 PENDAHULUAN. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bahasan dalam psikologi positif adalah terkait dengan subjective well being individu.

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai


2016 HUBUNGAN ANTARA FAMILY RESILIENCE DENGAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA PNS WANITA DI KOTA BANDUNG

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Aji Samba Pranata Citra, 2013

BAB I PENDAHULUAN. bagi mahasiswa-mahasiswi sangat beragam. Mereka dapat memilih jurusan sesuai

BAB I PENDAHULUAN. telah memiliki biaya menikah, baik mahar, nafkah maupun kesiapan

HASIL. Tabel 20 Sebaran nilai minimum, maksimum, rata-rata dan standar deviasi karakteristik keluarga Rata-rata ± Standar Deviasi

8. Sebutkan permasalahan apa saja yang biasa muncul dalam kehidupan perkawinan Anda?...

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada saat ini, generasi muda khususnya remaja, telah diberikan berbagai disiplin ilmu sebagai persiapan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ensiklopedia indonesia, perkataan perkawinan adalah nikah;

BAB II TINJAUAN TEORI. memiliki arti innermost, deepest yang artinya paling dalam. Intimacy

BAB I PENDAHULUAN. lahir, menikah, dan meninggal. Pernikahan merupakan penyatuan dua jiwa

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

METODE PENELITIAN. Gambar 2 Kerangka Penarikan Contoh Penelitian. Purposive. Kecamatan Bogor Barat. Purposive. Kelurahan Bubulak

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. terlupakan dalam perjalanan hidup seseorang dalam membentuk dan membina

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan demi

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MASA DEWASA AWAL. Dra. Aas Saomah, M.Si JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

KEBAHAGIAAN DAN KETIDAKBAHAGIAAN PADA WANITA MENIKAH MUDA

PENGERTIAN TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN adalah tugas - tugas yang harus dilakukan oleh seseorang dalam masa-masa tertentu sesuai dengan norma-norma masyar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. muda (youth) adalah periode kesementaraan ekonomi dan pribadi, dan perjuangan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Lemme (1995) kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami dan istri terhadap

MASALAH KELUARGA DAN MEKANISME PENANGGULANGANNYA

BAB I PENDAHULUAN. sering mendengar kasus-kasus penganiyaan suami atau istri karena berselingkuh

I. PENDAHULUAN. nasional dan dapat mengurangi hasil-hasil pembangunan yang dapat dinikmati

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Para individu lanjut usia atau lansia telah pensiun dari pekerjaan yang

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia terdiri dari multi etnik dan agama. Keanekaragaman

Transkripsi:

7 TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah Duvall (1971) menyatakan bahwa kesiapan menikah adalah laki-laki maupun perempuan yang telah menyelesaikan masa remajanya dan siap secara fisik, emosi, finansial, tujuan, keuangan, dan kepribadian untuk bertanggung jawab dalam pernikahannya. Komitmen bagi mereka yang ingin menikah timbul dari keterkaitan emosi, salah satunya rasa cinta. Namun tidak semua orang yang sangat ingin menikah memiliki kesiapan-kesiapan sebelum menikah (Blood 1962). Knox (1985) menyebutkan tiga faktor yang mempengaruhi kesiapan menikah, yaitu umur, pendidikan, dan rencana karir. Lain halnya dengan Rice (1983) yang menyebutkan bahwa dari beberapa penelitian didapatkan bahwa faktor yang menentukan seseorang siap atau tidak menikah antara lain usia, lamanya pasangan saling mengenal, kematangan sosial, motivasi untuk menikah, pengertian cinta menurut pasangan, kesiapan pasangan dan kemauan untuk tanggung jawab dalam pernikahan, kesiapan untuk setia terhadap satu pasangan, kesiapan emosi untuk menjadi orangtua, telah menyelesaikan pendidikan, serta kesiapan dan kemauan orangtua untuk menikahkan anaknya. Usia merupakan faktor yang paling penting dalam mengukur kesiapan menikah menurut Rice (1983). Maka dari itu, seseorang yang menikah pada usia muda memiliki masalah dan ketidakpuasaan dibandingkan seseorang yang menikah pada usia lebih tua (Lee 1977 diacu dalam Rice 1983). Berkebalikan dengan penelitian yang dilakukan Oktaviani (2010) yang menyebutkan bahwa umur berhubungan negatif dengan pengetahuan yang dimiliki mengenai pernikahan. Semakin tua usia seseorang saat menikah, semakin sedikit pula pengetahuan yang dimilikinya yang diduga karena keterpaparan informasi yang masih sedikit dan tidak sesuai dengan kebutuhan. Selain usia, faktor lain yang diperlukan dalam mengenali pasangan yakni menyadari perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh pasangan karena perbedaan inilah yang mengganggu ketenangan dan suasana aman dalam berkeluarga (Gunarsa dan Gunarsa 2002). Sebelum memasuki gerbang pernikahan, individu harus menyiapakan beberapa kesiapan. Apabila tidak menyiapakan keterampilan-leterampilan tersebut maka akan berdampak pada gagalnya fungsi keluarga. Dijelaskan dalam Burgess

8 dan Locke (1960) bahwa seseorang yang akan menikah harus memenuhi sumberdaya ekonomi, sumberdaya manusia, dan kematangan pribadinya. Menurut Rapaport dalam Duvall (1971), terdapat sepuluh kriteria kesiapan menikah, antara lain: 1. Siap untuk menjadi pasangan setia 2. Siap untuk berubah dari kehidupan yang bebas menjadi hubungan yang mendalam dengan pasangannya 3. Memiliki kelembutan dan kasih sayang untuk pasangannya 4. Peka terhadap emosi dan kehidupan orang lain 5. Berbagi keintiman dengan orang lain 6. Menyatukan rencana yang dimilikinya dengan pasangannya 7. Memiliki penilaian yang realistis mengenai pasangannya 8. Berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan kehidupan keluarganya kelak 9. Memiliki rancangan atau rencana mengenai masalah keuangan 10. Siap untuk menjadi istri atau suami Blood (1962) menyebutkan bahwa kedewasaan emosi adalah konsep yang paling penting dalam kesiapan seseorang untuk menikah. Artinya, ketika seseorang sudah mencapai kematangan emosinya maka ia telah mencapai masa kedewasaannya. Namun, tidak semua orang yang telah dewasa adalah orang yang matang secara emosi. Perbedaan kematangan emosional inilah yang menyebabkan wanita lebih siap menjalankan peran dan tugasnya dirumah, sedangkan pria lebih mencari sukses di luar rumah (Gunarsa dan Gunarsa 2002). Seseorang dikatakan matang secara emosi ketika telah mengembangkan kemampuan untuk membangun dan menjaga hubungan personal (Blood 1962). Kedewasaan akan datang sendirinya sebagai hasil dari keberhasilan dalam bersosialisasi di rumah maupun diluar rumah (peer group, sekolah, tempat kerja, dan pasangan). Seseorang yang sudah matang akan memungkinkan dirinya untuk menghasilkan pernikahan dan pengasuhan yang sukses pula. Blood (1962) mengukur kematangan emosi dari empati, stabilitas, dan tanggung jawab. Namun adapula seseorang yang sudah matang secara emosi namun tidak memiliki pengalaman yang cukup dalam kehidupan remajanya tapi sudah siap untuk menikah. Tidak hanya kematangan emosi, kematangan sosial pun menjadi aspek kesiapan

9 menikah. Blood (1962) mengartikan kematangan sosial sebagai salah satu aspek kesiapan menikah yang berasal dari terpenuhinya aspek-aspek kehidupan seorang remaja. Kematangan sosial dapat terlihat dari seberapa lama mengenal orang lain dan memiliki kehidupan yang mandiri. Mengenal orang lain merupakan salah satu cara untuk mematangkan sosial seorang remaja. Bagi remaja yang hanya mengenal sedikit orang, akan lebih lama merasa cocoknya karena masih mencari kepribadian baru dari temannya. Mengenal tidak hanya dari banyaknya orang yang dikenal, tapi juga kemampuan untuk bersosialisasi dengan orang lain. Saat seseorang sudah matang secara emosi dan sosial, maka ia dapat melanjutkan hubungannya dengan pasangan ke jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan. Duvall dan Miller (1985) mengatakan bahwa ketika seseorang siap untuk menikah maka ia harus sudah menyelesaikan semua tugas perkembangannya yang sesuai dengan umur pada saat ia akan menikah. Pernikahan memiliki tiga fungsi penting menurut Landis dan Landis (1970), yaitu menyediakan keadaan fisik untuk anak dan keluarga, mengembangkan kepribadian secara alami seperti menyediakan fasilitas untuk anak agar dapat sukses dalam kehidupan sosialnya, dan mempertemukan emosi antara orangtua dan anak dalam keluarga. Beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui alasan seseorang menikah. Bagi perempuan didapatkan alasan seperti untuk mendapatkan rasa aman dalam keuangan, dukungan emosi, dan prestis. Alasan menikah bagi laki-laki antara lain menciptakan kehidupan normal, kehidupan rumah, dan kepemimpinan. Keberfungsian Keluarga Konsep keberfungsian keluarga pertama kali muncul untuk melakukan terapi pada keluarga dan salah satu model keberfungsian keluarga yang digunakan hingga saat ini adalah McMaster Model of Family Functioning. Model ini menggunakan teori struktural fungsional yang mellihat keluarga sebagai suatu sistem sosial namun lebih menekankan pada fungsi keluarga seperti menyediakan kebutuhan fisik dan psikologi keluarga (Toly 2009). Megawangi (2005) mengatakan bahwa teori struktural fungsional merupakan sebuah pendekatan yang dikembangkan oleh sosiolog yang diterapkan dalam keluarga. Teori ini dikembangkan pada abad ke-20 oleh William F. Ogburn dan Talcot Parson, dua

10 orang sosiolog ternama. Pendekatan ini mengakui adanya keberagaman dalam masyarakat yang menjadi sumber dalam struktur masyarakat. Model fungsi keluarga McMaster merupakan model yang menggunakan pendekatan struktur dan organisasi. Toly (2009) menyebutkan fokus pada model ini ada tiga, yaitu tugas dasar seperti makan dan rumah, tugas perkembangan yang terjadi selama tahap perkembangan hidup keluarga, dan tugas krisis seperti cara keluarga dalam menangani masalah. Sejalan dengan model fungsi keluarga McMaster, the procces of family functioning, dikembangkan dari teori sistem yang menjelaskan bahwa fungsi keluarga merupakan kemampuan keluarga dalam menyelesaikan tugas dasar, krisis, dan perkembangan karena fokus dalam model ini adalah penyelesaian ketiga tugas tersebut baik secara fisik, biologi, maupun sosial. Model ini mengidentifikasi tujuh objek yang dapat menunjukkan berhasilnya keluarga dalam menyelesaikan tugas dasar, krisis, dan perkembangan. Tujuh objek tersebut adalah penyelesaian tugas, peran yang jelas, komunikasi, interkasi langsung dalam keluarga, keterlibatan, pengawasan, serta nilai dan norma (Trangkasombat 2006). Perbedaan dalam model ini dengan model McMaster adalah model ini digunakan untuk memahami tentang keluarga sedangkan McMaster untuk terapi keluarga. Tugas Dasar merupakan hal-hal dasar yang perlu dipenuhi oleh keluarga. kebutuhan ini termasuk dalam istirahat, tidur, makan, minum, sex, dan oksigen. Menurut Maslow (1970), manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhannya yang paling rendah, yaitu kebutuhan dasar, sebelum memenuhi kebutuhan yang paling tinggi, yaitu aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan ini umumnya muncul ketika ada sebuah motivasi dari luar (lapar, haus, panas, atau dingin) sehingga muncul kebutuhan. Misalnya saat seseorang lapar, maka ia akan mencari cara apapun yang dapat memenuhi memenuhi rasa laparnya. Selama belum terpenuhi kebutuhannya, maka ia akan selalu memikirkan keinginannya. Setelah terpenuhinya salah satu kebutuhan, maka kebutuhan lainnya akan mucul dan begitu seterusnya (Maslow 1970). Setiap orang dapat dan berkeinginan untuk mencapai tingkat aktualisasi diri, namun sering terhambat dengan kejadiankejadian ditingkat paling rendah. Kejadian seperti perceraian atau kehilangan

11 pekerjaan menjadi penyebab hambatan individu untuk menuju ke tingkat selanjutnya. BKKBN membagi kategori kesejahteraan keluarga ke dalam tiga tingkatan, yaitu pra KS, KS I, KS II, KS III, dan KS III plus. Keluarga pra KS adalah keluarga yang hanya dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarga saja yang termasuk dalam sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Keluarga KS I adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologis. Keluarga KS II adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan pengenbangannya, sedangkan KS III adalah keluarga yang belum dapat memberikan suambangan maksimal kepada masyarakat. Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan semua kebutuhan merupakan keluarga dengan golongan KS III plus. Tugas Krisis merupakan periode krusial pada setiap tahapan perkembangan keluarga. Sunarti (2007) menjelaskan bahwa krisis keluarga datang saat masalah yang diterima keluarga lebih banyak dari sumberdaya dan perilaku koping keluarga. Sumberdaya yang digunakan untuk koping berupa fisik dan materi (pendapatan, peralatan, ruang, tabungan, kesehatan, pendidikan, pengalaman, ide, dan intelektual), integrasi keluarga (komunikasi, tujuan, nilai, loyalitas, dan kerjasama), dan kemampuan adaptasi keluarga dalam menghadapi masalah atau krisis. Sumberdaya didapatkan keluarga dari keluarga besar dan teman yang berupa dukungan, bantuan, serta kemampuan pemecah masalah (Smart dan Smart 1980). Masalah atau stressor yang menghadang keluarga diharapkan dapat meningkatkan keterampilan dan sumberdaya yang dimiliki keluarga. Keberhasilan keluarga dalam menghadapi krisis dipengaruhi kemampuan keluarga dalam menghadapi masalah/krisis sebelumnya. Stressor merupakan kejadian atau transisi yang mempengaruhi kehidupan keluarga, seperti perceraian, kematian, atau kesulitan lainnya yang membuat keluarga semakin dalam keadaan yang sulit. Namun tidak semua stressor akan berdampak buruk pada kehidupan keluarga, tergantung dari tipologi keluarga, sumberdaya, kemampuan koping strategi dan penyelesaian masalah, harapan, serta kerentanan keluarga.

12 McCubbin dan Thompson (1987) menjelaskan bahwa keluarga yang tertimpa krisis dapat terlihat dari kadaan keluarga yang mulai tidak stabil. Untuk mengembalikan kestabilan itu, keluarga akan melakukan trial and error untuk mengurangi ketegangan yang ada dalam keluarga sehingga dapat dikatakan bahwa krisis keluarga merupakan masa transisi keluarga dari situasi yang tidak stabil menjadi situasi stabil dan di dalamnya terdapat usaha keluarga untuk memperbaiki dan beradaptasi dengan perubahan. Ketidakmampuan keluarga dalam menyesuaikan perilaku terhadap perubahan dalam masyarakat akan menimbulkan ketegangan emosi yang akan berakibat pada perpisahan atau perceraian. Keluarga modern lebih berpengalaman menghadapi krisis daripada keluarga terdahulu karena memiliki karakteristik yang kompleks walaupun tekanan yang dihadapinya lebih besar (Locke dan Burgess 1960). Krisis terjadi disepanjang siklus hidup keluarga dan terjadi ketika keluarga tidak mampu memenuhi tugas perkembangan individu maupun keluarganya (Duvall 1971). Begitupula dengan keluarga anak prasekolah, masing-masing memiliki tugas perkembangan dirinya maupun keluarganya. Krisis pada masa prasekolah umumnya tidak mampu melakukan koping terhadap hilangnya energi, perhatian, dan waktu terhadap kebutuhan anak prasekolah dan hilangnya privacy antara pasangan (Duvall 1971). Penelitian yang dilakukan Lee et al. (2010) menyebutkan bahwa konflik yang terjadi antarpasangan antara lain masalah hubungan dengan pasangan, anak, keuangan, tanggung jawab dalam rumah tangga, kesehatan, keluarga besar, rahasia, dan perpindahan rumah. McCubin (1987) menyebutkan masa parsekolah merupakan masa yang membutuhkan kedisiplinan sehingga anak dapat melakukan kegiatannya secara disiplin. Hurlock (1980) membedakan ke dalam dua kelompok bahaya atau krisis bagi anak usia prasekolah, yaitu dampak psikologis dan fisik. Adapaun yang termasuk dalam bahaya psikologis antara lain bahaya dalam berbicara, emosi, sosial, bermain, perkembangan konsep, moral, penggolongan jenis kelamin, kepribadian, dan hubungan keluarga. Bahaya fisik di antaranya adalah kematian, penyakit, kecelakaan, penampilan fisik yang kurang menarik, dan kegemukan. Tugas Perkembangan merupakan tugas-tugas yang selalu muncul disetiap tahapan perkembangan hidup seseorang atau selama seseorang hidup

13 (Duvall 1971). Pemenuhan tugas-tugas perkembangan ini akan membawa kebahagiaan dan kesiapan seseorang untuk memenuhi tugas perkembangan selanjutnya. Apabila seseorang gagal untuk memenuhi kebutuhannya, maka akan mempengaruhi pemenuhan tugas perkembangan selanjutnya, ketidakbahagiaan, dan ditolak oleh masyarakat (Duvall 1971). Sama seperti tugas krisis, tugas perkembangan membutuhkan dukungan dari pihak lain. Dukungan tersebut umunya datang dari dalam diri individu tersebut, namun dipengaruhi dari apa yang diharapkan oleh orang lain atas perilaku seorang individu tersebut. Permasalahan umumnya terjadi pada pemenuhan tugas perkembangan adalah belum matanganya seseorang, tekanan dari lingkungan, ambisi, dan orientasi nilai (Duvall 1971). Tugas perkembangan sejatinya akan terus dihadapi oleh seseorang selama ia hidup. Maka dari itu, terdapat tugas perkembangan sesuai dengan umur yang diselaraskan dengan pencapaian kematangan/kedewasaan. Duvall (1971) menyebutkan bahwa terdapat empat asumsi mengenai tugas perkembangan. Adapun asumsi tersebut ialah inidvidu menerima perilaku baru yang dihasilkan dari apa yang diharapkan orang lain maupun ketika melihat orang lain lebih dewasa, membentuk konsep diri yang baru, melakukan koping secara efektif terhap permasalahan-permasalahan yang akan dihadapi, dan berkeinginan keras untuk mencapai tugas perkembangan selanjutnya. Tidak hanya individu, namun juga keluarga memilliki tugas perkembangan. Sejalan dengan tugas perkembangan individu, tugas perkembanagn keluarga akan selalu dihadapi selama rentang hidup keluarga tersebut. Keluarga memiliki tanggung jawab, tujuan, dan tugas perkembangan yang sejalan dengan perkembangan anggota keluarganya. Duvall (1971) mengatakan bahwa tugas perkembangan keluarga muncul ketika anggota keluarga dapat memenuhi semua kebutuhannya dan merasa puas sehingga akan melanjutkan ke tugas perkembangan yang selanjutnya.