KAJIAN KERUSAKAN LINGKUNGAN FISIK AKIBAT PENAMBANGAN PASIR DAN BATU DI KECAMATAN TEMPEL KABUPATEN SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

dokumen-dokumen yang mirip
TINGKAT KERUSAKAN LINGKUNGAN FISIK AKIBAT PENAMBANGAN PASIR DAN BATU DI KECAMATAN TURI DAN PAKEM KABUPATEN SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Analisis Kerusakan Lingkungan Fisik Akibat Penambangan Pasir Dan Batu Di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 63 TAHUN 2003

Contents BAB I... 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pokok Permasalahan Lingkup Pembahasan Maksud Dan Tujuan...

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh bahan dari alam yang kemudian dapat digunakan untuk kepentingan

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. ini, ketidakseimbangan antara kondisi ketersediaan air di alam dengan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. terbanyak di dunia dengan 400 gunung berapi, terdapat sekitar 192 buah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. sekarang tanpa harus merugikan generasi yang akan datang. longsor dan banjir. Namun kekurangan air juga dapat menimbulkan masalah

Kementerian Lingkungan Hidup LINGKUNGAN HIDUP

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

besar dan daerahnya rutin terkena banjir setiap masuk hujan. Padahal kecamatan ini memiliki luas yang sempit.hal tersebut menjadikan kecamatan ini men

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PERSETUJUAN KATA PENGANTAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 19 TAHUN 2006 TENTANG : PENGELOLAAN PASIR BESI GUBERNUR JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kondisi geografis Indonesia terletak pada busur vulkanik Circum Pacific and

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI,

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. Erupsi Gunung Merapi merupakan fenomena alam yang terjadi secara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

commit to user BAB I PENDAHULUAN

DEBIT AIR LIMPASAN SEBAGAI RISIKO BENCANA PERUBAHAN LUAS SUNGAI TUGURARA DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA

Arahan Penataan Lahan Kritis Bekas Kegiatan Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan di Sekitar Kaki Gunung Tampomas, Kabupaten Sumedang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENGANTAR. menjadi dua yaitu bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer

Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan No. 146 Tahun 1999 Tentang : Pedoman Reklamasi Bekas Tambang Dalam Kawasan Hutan

Sumber : id.wikipedia.org Gambar 2.1 Gunung Merapi

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEGAL

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan letak astronomis, Indonesia terletak diantara 6 LU - 11 LS

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR...

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai setiap bentuk intervensi

BAB 1 PENDAHULUAN. Peristiwa banjir lahar dingin biasanya mengancam daerah-daerah di. yang lalu Gunung Merapi di Jawa Tengah meletus,

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawah Tengah. DAS Garang terdiri dari tiga Sub DAS yaitu Kripik, Kreo

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Pembagian Ruas Lokasi Penelitian

BAB II KEADAAN UMUM PERUSAHAAN

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar

Kemampuan Tampungan Sungai Code Terhadap Material Lahar Dingin Pascaerupsi Gunungapi Merapi Tahun 2010

KONDISI TANAH DAN TEKNIK REHABILITASI LAHAN PASCA-ERUPSI GUNUNG MERAPI. Deddy Erfandi, Yoyo Soelaeman, Abdullah Abas Idjuddin, dan Kasdi Subagyono

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. BAB I. Pendahuluan 1

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sampai Maluku (Wimpy S. Tjetjep, 1996: iv). Berdasarkan letak. astronomis, Indonesia terletak di antara 6 LU - 11 LS dan 95 BT -

BAB II METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai kepentingan dan memenuhi kebutuhan hidup manusia agar hidup lebih

BAB III PUSAT STUDI PENGEMBANGAN BELUT DI SLEMAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PREDIKSI KAPASITAS TAMPUNG SEDIMEN KALI GENDOL TERHADAP MATERIAL ERUPSI GUNUNG MERAPI 2006

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG

INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN. Lingkungan hidup adalah, kesatuan ruang dengan semua benda, daya, mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan

PERATURAN BERSAMA GUBERNUR JAWA TIMUR DAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 20 TAHUN 2013 NOMOR TENTANG

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 93

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian adalah mengungkap bagaimana suatu penelitian

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Bencana lahar di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah telah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 1991 TENTANG SUNGAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAPPEDA Kabupaten Probolinggo 1.1 LATAR BELAKANG

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN I - 1

PP 35/1991, SUNGAI... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 35 TAHUN 1991 (35/1991)

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH

BAB I PENDAHULUAN. Istimewa Yogyakarta merupakan gunung paling aktif di dunia. Gunung Merapi

BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang penting bagi

TINJAUAN PUSTAKA. berhasil menguasai sebidang atau seluas tanah, mereka mengabaikan fungsi tanah,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

KAJIAN KERUSAKAN LINGKUNGAN FISIK AKIBAT PENAMBANGAN PASIR DAN BATU DI KECAMATAN TEMPEL KABUPATEN SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Agung Dwi Sutrisno Jurusan Teknik Pertambangan, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta email: agung_ds@yahoo.com ABSTRAK Penambangan pasir dan batu (sirtu) di tiga desa di Kecamatan Tempel semakin marak pasca meletusnya Gunung Merapi pada 2010 yang lalu. Selain berdampak positif bagi masyarakat, penambangan juga berdampak pada rusaknya lingkungan.tujuan penelitian ini adalah mengetahui tingkat kerusakan fisik akibat penambangan sirtu di Desa Pondokrejo, Lumbungrejo, dan Merdikorejo Kecamatan Tempel Kabupaten Sleman dan merumuskan strategi untuk meminimalisasikan kerusakan fisik akibat penambangan tersebut. Pendekatan penelitian ini menggunakan metode pengamatan langsung di lapangan dan survey. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif dengan cara pembobotan dan skoring lalu dikualitatifkan. Setiap parameter diberi bobot sesuai dengan standar kerusakan lingkungan yang ditetapkan oleh Gubernur DIY dalam SK No 63 tahun 2003 tentang baku mutu kerusakan lingkungan akibat penambangan batuan. Setiap bobot dijumlahkan, lalu dijumlah dan dibuat range untuk menentukan apakah lokasi tersebut rusak ringan, sedang atau berat.hasil penelitian menunjukkan bahwa kerusakan akibat penambangan sirtu di Desa Pondokrejo, Lumbungrejo, dan Merdikorejo Kecamatan Tempel Kabupaten Sleman adalah rusak ringan untuk penambangan di sungai dengan skor rata-rata 10,8. Sedangkan untuk penambangan di tegalan terkategori rusak sedang dengan skor rata-rata 29,5. Kata kunci : tambang, sirtu, rusak, lingkungan, fisik PENDAHULUAN Salah satu sumberdaya alam yang terdapat di kawasan Gunungapi Merapi (Gunung Merapi) Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah bahan galian pasir dan batu (sirtu). Pasca meletusnya Gunung Merapi pada akhir tahun 2010 semakin menambah jumlah material sirtu di sepanjang lembah/sungai yang berada di lerengnya. Menurut Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknik Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, diperkirakan sedikitya 77 juta meter kubik material yang mengendap di saluran sungai tersebut. Jumlah material tersebut merupakan endapan dari erupsi 2010. Itu belum termasuk sisa-sisa endapan erupsi sebelumnya. Salah satu sungai yang dilalui material Gunung Merapi adalah Sungai Krasak. Jumlah material yang melaluinya diperkirakan sekitar 8,6 juta meter kubik (Witiri, 2010). Sungai Krasak melalui dua kecamatan di Kabupaten Sleman, yaitu Kecamatan Turi dan Tempel. Di Kecamatan Turi hanya ada beberapa penambang tradisional, mengingat akses jalan yang sulit. Sementara di

Kecamatan Tempel tersebar di beberapa lokasi di Desa Pondokrejo, Lumbungrejo, dan Merdikorejo. Di tiga desa ini, akses dengan jalan besar sangat mudah. Usaha penambangan sirtu di kawasan Sungai Krasak selain dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar juga dapat berdampak negatif terhadap lingkungan fisik, seperti rusaknya hutan, jalan, tebing sungai, lahan pertanian, irigasi dan terganggunya keamanan serta kesehatan. Oleh karenanya mengkaji kerusakan fisik akibat penambangan sirtu di sekitar Sungai Krasak Kecamatan Tempel menjadi penting agar dapat diketahui tingkat kerusakannya sehingga dampak dari kerusakan tersebut dapat diantisipasi sejak dini dan dapat dirumuskan strategi pengaturannya. Terlebih lagi, penambangan pasca erupsi merapi pada akhir 2010 semakin masif. TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Alam adalah semua potensi dan lingkungan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia (Sumaatmaja, 1988). Sesuai dengan fisiknya, klasifikasi sumberdaya alam terdiri dari : (1) sumberdaya alam yang jumlahnya terbatas; (2) sumberdaya alam yang dapat diperbaharui; (3) Sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui; dan (4) sumber potensial yang saat ini belum menjadi sumberdaya (Ritohardoyo, 1999). Sumberdaya alam sirtu di kawasan Gunung Merapi termasuk di Sungai Krasak yang dimanfaatkan penduduk sebagai usaha pertambanggan, merupakan produk kegiatan gunung api yang masih aktif, sehingga jenis bahan galian yang ada di lokasi ini sementera merupakan sumberdaya alam yang diperbaharui. Kreteria kerusakan lingkungan bagi usaha atau kegiatan penambangan batuan berdasarkan keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 63 Tahun 2003 menyebutkan bahwa penambangan adalah batas perubahan karakteristik lingkungan penambangan, sehingga tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Kerusakan lingkungan adalah perubahan yang terjadi akibat tindakan manusia yang langsung maupun tidak langsung terhadap sifat fisik dan lingkungan hayati, yang mengakibatkan lingkungan tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkesinambungan (Soerjani dan Syah, 1987). Kegiatan manusia yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan atau kelangkaan sumberdaya alam berlangsung dalam tiga cara : pertama, jika sumberdaya dieksploitasi dengan tingkat kecepatan yang melebihi daya pulihnya; kedua, kelangkaan sumberdaya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk, dan ketiga, akses terhadap lingkungan dan sumberdaya alam yang tidak seimbang (Mitchell dkk, 2000). METODE PENELITIAN Metode yang digunakan adalah metode survei. Pengambilan sampel dan penentuan titik pengukuran dilapangn dengan cara stratified random sampling. Strata yang digunakan yaitu jenis bahan galian dan lokasi penambangan, meliputi pasir dan batu di lahan tegalan dan sungai. Data yang diambil seperti yang tercantum dalam tabel 1 berikut;

Tabel1 Data Primer No Penambangan di tegalan Penambangan di sungai 1 Batas tepi galian Jarak dari jembatan dan bangunan sungai 2 Batas kedalaman galian dari Alur sungai permukaan tanah awal 3 Relief dasar galian Erosi tebing 4 Batas kemiringan tebing galian Degradasi sungai dan bangunan sungai 5 Tinggi dinding galian Selanjutnya data tersebut diskoring mulai dari yang ringan (nilai 1), sedang (nlai 2) dan berat (nilai 3). Data yang sudah diskoring kemudian diberi bobot sesuai dengan ketentuan SK Gubernur DIY No. 63 tahun 2003 yaitu berbobot 4 (sangat berpengaruh), 3 (berpengaruh), 2 (agak berpengaruh) dan 1 (kurang berpengaruh). Hasil pembobotan dan skoring lalu diklasifikasikan menjadi 3 klasifikasi, yaitu rusak ringan, sedang, dan berat. Masing masing nilainya seperti dalam tabel berikut; Tabel 2 Klasifikasi Tingkat Kerusakan Lingkungan Beserta Simbolnya No Klasifikasi Jumlah Range Skor Total Simbol Di Tegalan Di Sungai 1 Rusak ringan 14-22 10-16 2 Rusak sedang 13-31 17-23 3 Rusak berat 32-42 24-30 Hasil dari klasifikasi menggunakan tabel di atas kemudian dianalisis secara deskriptif sesuai dengan lokasi penambangan masingmasing. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan terhadap kerusakan lingkungan fisik di Kecamatan Tempel yang berada di lereng Barat Gunung Merapi meliputi penambangan yang dilakukan di tegalan dan sungai. Pengambilan data lokasi penambangan yang dilakukan di tegalan terdapat di 2 lokasi, yaitu di Dusun Jlepan Desa Pondokrejo dan Dusun Kembang Desa Merdikorejo. Sedangkan lokasi penambangan yang dilakukan di Sungai Krasak di 9 lokasi, yaitu di Dusun Jlepan, Jlopo dan Ngentak Desa Pondokrejo, Dusun Tegalsari, Ngepos, Kopen, dan Bangunrejo Desa Lumbugrejo, dan Dusun Gamberan dan Dusun Kembang Desa Merdikorejo. Berdasarkan pengamatan di masing-masing lokasi penambangan pasir dan batu, kegiatan sebagian besar yang dilakukan di bentuk lahan lereng tengah Gunung Merapi, dengan tingkat kerusakan lingkungan yang berbeda. Masing-masing kegiatan penggalian mencirikan kerusakan yang berdasarkan aktivitas dimana kegiatan penggalian tersebut dilakukan. Tabel 3 dan 4 menggambarkan tingkat kerusakan yang dialami.

Tabel 3 Tingkat Kerusakan Akibat Penambangan di Tegalan No Lokasi a b c d e bobot 1 4 2 4 3 Total skor 1 Kembang 0,8m 13m 2m 3 m 70 Skor x Bobot 3x1=3 1x4=4 3x2=6 2x3=6 3x4=12 31 2 Jlepan 0,5m 10m 1m 2 m 50 Skor x Bobot 3x1=3 1x4=4 2x2=4 1x3=3 3x4=12 28 Keterangan : a. Batas tepi galian c. Relief dasar galian e. Batas kemiringan tebing b. Kedalaman dari permukaan awal d. Tinggi dinding Galian galian Tabel 4 Tingkat Kerusakan Akibat Penambangan di Sungai No Lokasi jarak jembatan/ bangunan Bentuk alur sungai Erosi tebing bangunan Degradasi Skor total Bobot 4 1 3 2 1 Kembang 700m kehulu Tdk ada perubahan tak ada erosi tak ada perubahan 2 Gamberan 800m kehulu Tdk ada perubahan tak ada erosi tak ada perubahan 3 Bangunrejo >1km kehulu Tdk ada perubahan tak ada erosi tak ada perubahan 4 Kopen 400m kehulu Tdk ada perubahan ada gejala erosi tak ada perubahan Skor x bobot 2x4=8 1x1=1 2x3=6 1x2=2 17 5 Ngepos >1km kehulu Tdk ada perubahan ada gejala erosi tak ada perubahan Skor x bobot 1x4=4 1x1=1 2x3=6 1x2=2 10 6 Tegalsari >1km kehulu Tdk ada perubahan tak ada erosi tak ada perubahan 7 Ngentak >1km kehulu Tdk ada perubahan tak ada erosi tak ada perubahan 8 Jlopo >1km kehulu Tdk ada perubahan tak ada erosi tak ada perubahan 9 Jlepan 800m kehulu Tdk ada perubahan tak ada erosi tak ada perubahan Berdasarkan Tabel 3 dan 4 dapat diketahui bahwa tingkat kerusakan untuk penambangan sirtu di tegalan adala rusak sedang (nilai 28 dan 31), sedangkan untuk penambangan sirtu di sungai kerusakannya ringan (skor 10), kecuali di Dusun Kopen kerusakannya sedang (skor 17). Berdasarkan penilaian dari hasil analisis data lapangan di atas maka dapat diketahui bagaimana gambaran keadaan kegiatan penambangan secara umum yang ada di Kecamatan Tempel, dimana

masing-masing lokasi pengamatan mempunyai nilai dan katagori kerusakan yang berbeda baik dalam penilaian kelas pada masing-masing variabel maupun hasil penilaian kategori keseluruhan. Hasil dari penilaian terhadap kegiatan penambangan di sungai cenderung bervariasi dari kelas baik sampai rusak dan katagori kerusakan ringan dan sedang. Sedangkan hasil dari penilaian kegiatan penambang di tegalan dimasing-masing variabel juga berbervariasi yaitu kelas baik sampai rusak namun hasil kategori yang didapat keseluruhan relatif sama yaitu kategori kerusakan sedang. Adapun sebaran spasial dan penilaian tingkat kerusakan lingkungan fisik akibat penambangan pasir dan batu di masing-masing lokasi disajikan dalam Gambar 1. Gambar 1 Peta Tingkat Kerusakan Lingkungan Fisik di Kecamatan Tempel Strategi Kebijakan Berdasarkan kondisi lapangan dan hasil penilaian status kerusakan lingkungan akibat kegiatan penambangan bahan galian industri pasir dan batu di Kecamatan Tempel Sleman, ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar dampak yang

ditimbulkan terhadap kerusakan lingkungan tidak menjadi semakin buruk, antara lain yaitu: a. Peraturan, Penegakan dan Pengawasan di Lapangan Secara umum peraturan yang dikeluarkan baik dari tingkat nasional, provinsi maupun, kabupaten sudah cukup memadai tetapi penegakan dan pelaksanaan serta pengawasannya masih kurang baik dan lemah. Hal ini salah satu diantaranya disebabkan bahwa sebagian basar lahan yang ditambang adalah lahan milik pribadi. Arahan yang dilakukan adalah: Melakukan koordinasi antara instansi terkait agar dapat bersama-sama mengetahui dan melaksanakan peraturan yang ada terhadap kegiatan dan pelaku usaha/kegiatan di lokasi lahan penambangan Melakukan sidak dan pengawasan langsung ke lokasi penambangan secara berkala dengan intensitas waktu yang pendek atau bahkan yang baik adalah melakukan pengawasan dan pemantauan setiap hari kerja sehingga dapat mengawasi setiap proses kegiatan penambangan yang dilakukan. Memberikan sosialisasi dan peringatan tegas terhadap semua kegiatan penambangan yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada. b. Teknis dan sistem penambangan Penerapan teknik penambangan yang dilakukan masih menggunakan metode yang sederhana dan masih sangat mengabaikan peralatan keamanan dan keselamatan kerja terutama bagi para penambang. Beberapa lokasi dan bekas penambangannya menghasilkan tebing yang cukup tinggi dan mempunyai kelerengan yang cukup terjal, dimana kondisi ini biasa membahayakan para penambang dan lingkungan yang ada disekitarnya. Arahan yang dilakukan adalah: Meningkatkan kesadaran bagi para penambang dan pekerja terkait akan arti pentingnya keselamatan kerja. Sosialisasi ini dapat dilakukan terpusat disuatu tempat atau langsung dilokasi penambangan. Menyarankan penggunaan alat pengaman keselamatan kerja paling tidak adalah penggunaan helm dan masker. Merubah pola sistem penambangan yang ada, dimana menghasilkan lereng yang tinggi dan terjal dan pola terasering dan penambangan bertingkat dengan tinggi dan kelerengan tebing disesuaikan kestabilan lereng dan morfologi masing-masing lokasi penambangan. c. Pengolahan tanah penutup Di beberapa lokasi penambangan tanah pucuk hasil pengupasan lahan tidak dimanfaatkan dangan baik bahkan ada juga yang dijual sebagai tanah urug, dimana hal ini juga menimbulkan kerusakan lingkungan. Karena pada dasarnya tanah pucuk merupakan media yang baik bagi tumbuhan tanaman dan dapat memperbesar kapasitas resapan air (infiltrasi) yang sangat penting untuk kawasan Gunung Merapi sebagai kawasan konservasi air tanah. Arahan yang dilakukan : Tanah hasil pengupasan lahan sebisa mungkin harus dikelola dengan baik dan pada penutupan tambang dapat dikembalikan kelokasi lahan

sebelumnya dan dilarang untuk menjualnya sebagai tanah urug. d. Pelaksanaan reklamasi Secara umum proses reklamasi belum dilakukan karena proses penambangan saat ini juga masih berlangsung, tapi ada di beberapa lokasi yang sudah melakukannya meskipun masih bersifat sementara dan spontanitas dari penambang dan masyarakat di sekitarnya. Arahan yang dilakukan : Dalam pelaksanaan sebaiknya kegiatan reklamasi dilakukan bersama-sama dengan proses penambangan. Proses revegetasi yang dilakukan yaitu penanaman tanaman yang sesuai dengan kondisi setempat. Kegiatan reklamasi sebaiknya direncanakan dari awal terutama yang berkaitan dengan penataan lahan. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan uraian pada bab hasil dan pembahasan dapat disimpulkan, bahwa tingkat kerusakan fisik akibat penambangan sirtu di Desa Pondokrejo, Lumbungrejo, dan Merdikorejo Kecamatan Tempel pada umumnya adalah rusak ringan untuk kasus di sungai dengan skor rata-rata 10,8 dan rusak sedang untuk kasus di tegalan dengan skor rata-rata 29,5. Sebagai saran 1) Perlu dilaksanakannya inventarisasi lahan bekas tambang yang aktif maupun yang tidak aktif, hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kerusakan lingkungan, akibat dari kegiatan penambangan bahan galian industri yang terus berlangsung. 2) Dengan adanya kerusakan lingkungan fisik akibat penambangan sirtu, maka perlu dilakukannya reklamasi lahan bekas tambang agar lahan tegalan dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. 3) Sebagai wilayah konservasi lahan, diperlukannya sosialisasi dari instansi yang terkait tentang pentingnya pelestarian lingkungan di wilayah kabupaten Sleman khususnya Kecamatan Tempel, serta ditingkatkannya pengawasan dan penerbitan terhadap para penambang baik yang menggunakan alat berat (back hoe) maupun tradisional, karena kegiatan tersebut bisa mengancam pelestarian lingkungan pada wilayah Kecamatan Tempel secara umum. DAFTAR PUSTAKA Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No 63 Tahun 2003. Kriteria Baku Kerusakan bagi Usaha/Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C di Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPELDA), Yogyakarta. Mitchell, B; Setiawan, B; Rahmi, H.D. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gajah Mada Unipersity Press, Yogyakarta. Ritohardoyo, S. 1999. Tata Ruang dan Lingkungan Hidup. Bahan Ajar, Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Soejarni; Syah, 1987. Lingkungan Sumber Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Sumaatmadja, N. 1988. Studi Geografi ; Suatu Pendekatan dan Analisa Keruangan. Penerbit Alumni, Bandung. Witiri, S.R, 2010, Seruling Merapi, Warta Geologi Desember 2010 Vol. 5 No. 4