BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

dokumen-dokumen yang mirip
Ditulis oleh Administrator Kamis, 07 Oktober :57 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 28 Oktober :12

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

AKIBAT PERKAWINAN & PUTUSNYA PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

Oleh Administrator Kamis, 15 Januari :42 - Terakhir Diupdate Rabu, 22 Desember :51

BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

RINGKASAN PUTUSAN. 1. Pemohon : Suryani 2. Materi pasal yang diuji:

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

BAB IV ANALISIS TERHADAP STATUS NASAB DAN KEWAJIBAN NAFKAH ANAK YANG DI LI AN AYAHNNYA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. rumah tangga. Melalui perkawinan dua insan yang berbeda disatukan, dengan

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dinyatakan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. mengenai anak sah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. - Putusan perkara perdata Nomor : 216/Pdt.G/1996?PA.YK. Pengadilan Agama Yogyakarta adalah:

BAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 82 A. Kesimpulan 82 B. Saran. 86 DAFTAR PUSTAKA 88

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA. peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENOLAKAN MAJELIS HAKIM ATAS PENCABUTAN AKTA KESEPAKATAN DI BAWAH TANGAN YANG DIBUAT

melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. 1

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI ABSTRAK

Pada prinsipnya asas pada Hukum Acara Perdata juga berlaku di PA Asas Wajib Mendamaikan Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum, kec.

HUKUM KELUARGA ANAK RAHMAD HENDRA FAKULTAS HUKUM UNRI

I. PENDAHULUAN. Kehidupan manusia di dalam perjalanan di dunia mengalami 3 peristiwa yang

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( )

BAB III KEWENANGAN PERADILAN AGAMA

commit to user BAB II TINJAUAN PUSTAKA

P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Pengadilan Agama Cilacap

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL


IMPLIKASI PUTUSAN MK TERHADAP STATUS HUKUM ANAK DI LUAR NIKAH. Abdul Halim Musthofa *

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB III STATUS ANAK YANG LAHIR SETELAH ISTRI DITALAK AKIBAT PENGINGKARAN MENURUT HUKUM POSITIF

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak mampu. Walaupun telah jelas janji-janji Allah swt bagi mereka yang

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BANJARMASIN TENTANG HARTA BERSAMA. A. Gambaran Sengketa Harta Bersama pada Tahun 2008 di PA Banjarmasin

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

BAB I PENDAHULUAN. martabat, dan hak-haknya sebagai manusia. faktor-faktor lainnya. Banyak pasangan suami isteri yang belum dikaruniai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. selalu hidup bahagia, damai dan sejahtera yang merupakan tujuan dari perkawinan yaitu

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhannya manusia tetap bergantung pada orang lain walaupun sampai

BAB 1 PENDAHULUAN. meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan. Diantara ciptaan-nya, manusia

BAB IV ANALISIS DATA A. Persamaan dan Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Perdata Indonesia Tentang Hibah dalam Keluarga

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. 1. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perceraian (Putusan. Banyuwangi) perspektif UU No.

BAB IV PEMBAHASAN. Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pembahasan pokok-pokok permasalahan yang telah

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. 1 Dalam

BAB I PENDAHULUAN. alamiah. Anak merupakan titipan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Perkataan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg

BAB I PENDAHULUAN. pula harta warisan beralih kepada ahli waris/para ahli waris menjadi. Peristiwa pewarisan ini dapat terjadi ketika :

BAB IV. A. Analisis hukum formil terhadap putusan perkara no. sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi masyarakat pencari keadilan.

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. kepada Pengadilan Agama Malang yang Penggugat dan Tergugat sama-sama

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT dan hubungan

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB III KEDUDUKAN ANAK MENURUT KUHPERDATA. Ada Beberapa Status Anak Dalam Kitab Undang-Undang HukumPerdata. memperoleh si suami sebagai bapaknya.

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah.

Prosiding SNaPP2014Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Sri Turatmiyah

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM MENOLAK GUGATAN REKONVENSI DALAM. PUTUSAN No: 1798 / Pdt.G/2003/PA.Sby

ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP HAK ASUH ANAK DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG

HAK ASUH ANAK DALAM PERCERAIAN

BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH MUI JAWA TIMUR TERHADAP PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH PEMBATALAN NIKAH

Psl. 119 BW jo. Psl. 124 BW

BAB I PENDAHULUAN. ikatan suci yang dinamakan perkawinan. Perkawinan adalah suatu hubungan

Lex Administratum, Vol. III/No.1/Jan-Mar/2015. KAJIAN YURIDIS HAK PERWALIAN ANAK DALAM PERCERAIAN DI INDONESIA 1 Oleh : Mutmainnah Domu 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

BAB I PENDAHULUAN. bahu-membahu untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam hidupnya.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN

Seorang pria yang telah 18 tahun dan wanita yang telah 15 tahun boleh

Perbandingan Hukum Orang di Belanda dan Indonesia.

BAB IV. Hakim dalam memutuskan suatu perkara yang ditanganinya, selain. memuat alasan dan dasar dalam putusannya, juga harus memuat pasal atau

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Tentang Pengadilan Agama Malang

BAB I PENDAHULUAN. insan manusia pria dan wanita dalam satu ikatan suci dengan limpahan dari

Transkripsi:

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan, hak, dan kewajiban anak dalam perkawinan. Secara yuridis, kedudukan anak dalam perkawinan diatur dalam Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 yang memuat ketentuan definitif bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Kemudian, menurut ketentuan limitatif dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. 35 Bapak biologisnya tidak dibebani kewajiban alimentasi. Termasuk dalam hal pewarisan, anak tersebut hanya akan mewaris dari ibu dan keluarga ibunya. Di dalam akta kelahiran sebagai bukti asal usul anak, hanya akan dicantumkan nama ibunya. Ini berarti bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak membenarkan pengakuan terhadap anak di luar perkawinan. Setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait uji materiil terhadap Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 yang sebelumnya anak di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya kini menjadi anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan kedua orang tua biologis dan keluarganya dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk memperoleh pengakuan dari ayah biologisnya melalui ibu biologisnya bila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu 35 Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah dan Annalisa Yahanan, Loc. Cit.

pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain menurut hukum. Anak luar kawin yang dimaksud di dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut, yaitu, anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya tetapi perkawinan tersebut tidak dicatatkan sehingga tidak mengandung kekuatan hukum karena perkawinan itu tidak memenuhi segi-segi hukum secara formal, yaitu, dengan dicatatkannya perkawinan di Kantor Urusan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan di Kantor Catatan Sipil bagi mereka yang bukan beragama Islam. Pada Pasal 44 UU No. 1 Tahun 1974 juga diatur bahwa seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan. Hal ini dapat dilakukan apabila ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzinah dan anak itu akibat dari perzinahan tersebut. Dan pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan. Dalam penjelasan Pasal 44 UU No. 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa pengadilan mewajibkan yang berkepentingan mengucapkan sumpah. Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 memuat ketentuan imperatif bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Jadi, kewajiban orangtua memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai mereka kawin dan dapat berdiri sendiri. Ini juga berarti bahwa meskipun anak sudah kawin, tetapi dalam kenyataannya belum dapat berdiri sendiri, masih tetap merupakan kewajiban orangtua untuk memelihara anak, walaupun terjadi pembatalan perkawinan yang memutuskan ikatan perkawinan kedua orangtuanya.

Sebaliknya, Pasal 46 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974 memuat ketentuan imperatif bahwa anak wajib menghormati orangtua dan menaati kehendak mereka yang baik. Jika anak sudah dewasa, ia wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas menurut kemampuannya bila orangtua memerlukan bantuan anak yang sudah dewasa tersebut. Jadi, kewajiban anak terhadap orangtuanya adalah menghormati oragtua dan menaati kehendak orangtua yang baik, meskipun terjadi perceraian yang memutuskan ikatan perkawinan kedua orangtuanya. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, menurut Pasal 47 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, anak tersebut ada di bawah kekuasaan orangtuanya selama tidak dicabut dari kekuasaannya. Kemudian menurut ayat (2) dari Pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974 itu, orangtua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Rasio hukum dari ayat (2) Pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974 ini adalah anak yang belum dewasa tidak cakap melakukan perbuatan hukum dalam lapangan hukum keperdataan, sehingga perbuatan hukum si anak tersebut diwakili oleh orangtuanya, dalam arti orangtuanya yang melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama anaknya, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Kedudukan, hak, dan kewajiban anak dalam keluarga atau rumah tangga menurut KHI khususnya Pasal 98-Pasal 106. Pasal 98 KHI memuat ketentuan definitif bahwa batas usia anak yang mampu berdiri atau dewasa adalah 1 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.

Kemudian Pasal 99 KHI memuat ketentuan definitif bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Anak yang lahir di luar perkawinan menurut Pasal 100 KHI hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Selanjutnya, Pasal 101 KHI memuat ketentuan fakultatif bahwa seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istrinya tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li an. Seorang suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya, menurut Pasal 102 KHI, mengajukan gugatan kepada pengadilan agama dalam jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sesudah lahirnya atau 360 (tiga ratus enam puluh) hari setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada pengadilan agama. Pengingkaran yang diajukan setelah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima. Pasal 104 KHI membebankan tanggung jawab atas semua biaya penyusuan anak kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayah atau walinya. Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya. Berikutnya, Pasal 106 KHI mewajibkan orang tua untuk merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuannya dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya, kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan yang tidak dapat dihindarkan lagi. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dari kewajiban tersebut.

Pada dasarnya, anak yang lahir di dalam perkawinan yang sah adalah anak sah. Dengan demikian anak itu memiliki kedudukan yang terpenting meskipun hubungan perkawinan orang tuanya telah putus. Anak tetap mempunyai hak mewaris dan tidak menghilangnya kewajiban alimentasi orang tua terhadap anak. b. Akibat hukum terhadap kedudukan, hak dan kewajiban anak dalam perkawinan yang dibatalkan. Dalam perkawinan yang telah dikarunia anak, maka mengenai kedudukan anak dalam hal perkawinan orangtuanya menjadi persoalan tersendiri karena antara orangtua dan anak ada kewajiban-kewajiban yang diatur oleh Undang Undang. Kewajiban tersebut terus berlangsung meskipun antara suami istri telah putus perkawinannya, dimana putusnya atau berakhirnya perkawinan itu karena kematian, perceraian dan putusan pengadilan. Pembatalan perkawinan ditujukan agar tidak menimbulkan akibat suatu perkawinan yang telah dilangsungkan itu tidak terlindungi oleh hukum. Dengan adanya kekurangan persyaratan atau dengan adanya pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan dalam melangsungkan perkawinan, maka perkawinan tersebut menjadi tidak sah sehingga secara sepintas terkesan kedudukan hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dinyatakan tidak sah tersebut merupakan anak yang tidak sah pula menurut hukum. Dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, maka sah atau tidaknya suatu perkawinan oleh negara ditentukan pula oleh sah tidaknya perkawinan itu menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Pada dasarnya, UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur mengenai masalah akibat hukum dari pembatalan perkawinan, begitu juga dalam PP No. 9 Tahun 1975 tidak diatur lebih lanjut pula mengenai akibat dari pembatalan perkawinan.

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 maupun dalam penjelasannya tidak terdapat bab atau bagian yang secara khusus mengatur secara jelas mengenai status anak yang dilahirkan dari akibat perkawinan yang dibatalkan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara tegas tentang status anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan yang dibatalkan. Apabila dalam perkawinan dilahirkan anak-anak, maka anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang akibat putusan pengadilan terhadap perkawinan kedua orang tuanya tetap merupakan anak sah walaupun dengan adanya pembatalan perkawinan, perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada. Karena anak dan orang tuanya mempunyai hubungan kekeluargaan dan keperdataan, sehingga orang tua tetap mempunyai tanggung jawab atas diri anak tersebut. Undang-undang memberikan pengaturan terhadap status anak yang perkawinan orang tuanya dibatalkan oleh Pengadilan. Dalam Pasal 28 ayat (2) huruf a UU No. 1 Tahun 1974 yang juga sama dengan yang terdapat pada pasal 95 BW, diatur mengenai kedudukan anak akibat adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuataan hukum tetap terhadap pembatalan perkawinan. Dalam pasal tersebut di atas intinya menyebutkan bahwa putusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Jadi walaupun perkawinan kedua orangtuanya oleh pengadilan telah diputuskan dibatalkan, akan tetapi putusan pengadilan tidak mempengaruhi kedudukan anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut dan mereka tetap dianggap anak sah yang dilahirkan dari suatu perkawinan yang sah. Pengertian anak yang dimaksud dalam hal ini, menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan 36 adalah tidak hanya anak-anak yang dilahirkan saja akan tetapi juga anak yang dibenihkan sepanjang proses pembatalan hingga perkawinan dinyatakan batal oleh 36 Soetojo Prawirohamidjojo & Marthalena Pohan, Op. Cit., h. 38-39.

Pengadilan, juga pengesahan anak-anak luar kawin menurut ketentuan Pasal 272 BW. Demikian juga apabila ada anak adopsi yang dilakukan oleh suami isteri sepanjang perkawinan mereka yang perkawinan mereka dinyatakan batal, anak adopsi tetap akan sah dan tidak menjadi batal karena adanya putusan pengadilan terhadap perkawinan kedua orang tua mereka. Pertimbangan hukum Majelis Hakim dengan status dari anak dari perkawinan yang dibatalkan merujuk kepada Pasal 28 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa dengan adanya pembatalan perkawinan tidak menyebabkan anak-anak yang lahir di dalam perkawinan tersebut statusnya menjadi anak luar kawin. Sebab sesuai dengan bunyi Pasal 28 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 75 (b) KHI yaitu keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan terhadap perkawinan tersebut. Dalam Pasal 76 KHI juga menyebutkan batalnya suatu perkawinan tidak memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Maka dengan dibatalkannya perkawinan antara suami istri tersebut tidak akan memutuskan hubungan antara anak yang telah dilahirkan dalam perkawinan itu dengan kedua orang tuanya. Baik dalam UU No. 1 Tahun 1974 maupun KHI dengan tegas dinyatakan bahwa anakanak yang dilahirkan dalam perkawinan yang telah dibatalkan dinyatakan tidak berlaku surut, meskipun salah seorang dari orang tuanya beritikad buruk/ keduanya beritikad buruk. Ini berdasarkan rasa kemanusiaan dan kepentingan anak-anak yang tidak berdosa sehingga patut untuk mendapatkan perlindungan hukum dan tidak seharusnya bila anak yang tidak berdosa harus menanggung akibat tidak mempunyai orang tua, hanya karena kesalahan orangtuanya. Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan statusnya jelas anak sah sehingga ia berhak atas pemeliharaan dan pembiayaan serta waris. Dalam Pasal 105 KHI disebutkan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak dari ibunya,

dan ia berhak untuk memilih untuk tinggal dengan ayah atau ibunya setelah ia mumayyiz. Namun biaya pemeliharaan tetap ditanggung oleh ayahnya. Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sebaik-baiknya, hal ini berlaku sampai dengan anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri, dan kewajiban ini berlangsung terus walaupun perkawinan antara kedua orang tuanya telah putus. 2. Status Harta Benda Perkawinan dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Harta benda dalam perkawinan. Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum yang sangat penting terhadap manusia dengan berbagai konsekuensi hukumnya. 37 Apabila seorang pria dan wanita kawin maka menimbulkan akibat hukum, karena kawin adalah suatu perbuatan hukum. Akibat hukumnya, yaitu pria menjadi suami dengan kedudukan sebagai kepala keluarga dan wanita menjadi istri yang bertindak sebagai ibu rumah tangga. Akibat hukum itu tidak hanya bagi mereka, tapi juga terhadap harta mereka. UU No. 1 Tahun 1974 mengatur mengenai harta benda dalam perkawinan pada Pasal 35 sampai dengan Pasal 37. Adapun yang merupakan prinsip dasar tentang harta perkawinan sebagaimana yang diatur dalam UU NO. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut 38 : 1. Harta bawaan ke dalam perkawinan menjadi hak masing-masing pribadi yang membawa harta tersebut ke dalam perkawinan; 2. Seluruh hasil dari harta bawaan menjadi hak pribadi dari pemilik harta bawaan tersebut; 3. Seluruh harta yang diperoleh salah satu pihak sebagai warisan, hibah atau wasiat menjadi hak pribadi dari penerima warisan, hibah atau wasiat tersebut; 37 Munir Fuady, Op. Cit., h. 10. 38 Ibid, h. 21-22.

4. Seluruh harta yang didapat oleh salah satu pihak atau oleh kedua belah pihak selama dalam perkawinan (kecuali harta yang diperoleh karena warisan, hibah atau wasiat) menjadi milik bersama suami istri (gono gini); 5. Para pihak dapat menentukan sendiri status hartanya dalam perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum perkawinan berlangsung. Dari prinsip-prinsip dasar di atas, pada intinya menurut Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974, terdapat 2 (dua) macam harta dalam perkawinan, yang pertama, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan sebagai harta bersama, yang kedua adalah harta bawaan, yaitu harta yang diperoleh suami dan istri sebelum perkawinan dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan. Pola terpisah di atas dibandingkan dengan BW jauh berbeda. Harta tersebut menyatu berdasarkan Pasal 119 BW, bahwa sejak perkawinan dilangsungkan, maka berlakulah persatuan harta kekayaan suami dan istri, tidak nampak lagi harta mana yang dibawa oleh pria atau wanita. Ketentuan ini dapat disimpangi dengan dibuatnya perjanjian kawin. Tentang kewenangan bertindak terhadap harta-harta semasa suami dan istri masih dalam status perkawinan adalah sebagai berikut 39 : 1. Terhadap harta pribadinya, masing-masing suami atau istri dapat bertindak sendirisendiri tanpa perlu bantuan dari pihak lainnya; 2. Terhadap harta bersama (gono gini) masing-masing istri atau suami bertindak dengan persetujuan pihak lainnya; 3. Jika para pihak bercerai hidup, maka harta bersama (gono gini) dibagi sesuai dengan hukumnya masing-masing, yang umumnya dibagi dua sama besar. Kewenangan bertindak terhadap harta di atas tercermin dalam Pasal 36 UU No. 1 Tahun 1974, mereka yang membawa harta bawaan tetap diberi wewenang untuk melakukan perbuatan hukum atas harta yang dibawanya. Dalam UU No. 1 Tahun 1974, wanita sebagai istri tetap dianggap berwenang melakukan perbuatan hukum. 39 Ibid.

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 siapa yang membawa harta berwenang untuk melakukan perbuatan hukum. Misalkan, seorang istri berwenang menjual hartanya sendiri. Hal ini sesuai dengan Pasal 36 ayat (2) yang menunjukkan kedudukan seimbang suami istri. Pola yang dianut dalam Pasal 36 UU No. 1 tahun 1974 adalah pola terpisah. Pola seperti ini dikenal dalam hukum adat sehingga ada harta gono gini. Bila perkawinan putus cara pembagian harta secara konkrit tidak ada. Menurut Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974, harta bersama dibagi menurut hukumnya masing-masing dan harta bawaan akan kembali pada masingmasing. Arti dari hukum masing-masing adalah hukum agama, adat, dan hukum-hukum lainnya. b. Status harta benda perkawinan dalam perkawinan yang dibatalkan. Meskipun di dalam kasus-kasus yang telah dipaparkan di atas mengenai perkara pembatalan perkawinan tidak di singgung mengenai harta bersama oleh Majelis Hakim baik dalam pertimbangan hukum maupun dalam putusannya dan akibat hukum dari pembatalan perkawinan seperti diuraikan di atas dapat diperoleh suatu kepastian bahwa dalam hal harta bersama sebagai akibat dari pembatalan perkawinan sejauh ini belum ada peraturan yang secara pasti mengatur mengenai status harta bersama tersebut, maupun bagaimana pembagiannya terhadap masing-masing pihak adalah merupakan hal yang penting. Menurut Pasal 85 KHI, dalam perkawinan ada harta bersama dan ada harta milik masingmasing suami atau istri. Terhadap harta kekayaan bersama (gono gini), tetap merupakan harta bersama yang menjadi milik bersama, hanya saja tidak boleh merugikan pihak yang beritikad baik, bagaimanapun juga pihak yang beritikad baik harus diuntungkan, bahkan bagi pihak yang beritikad buruk harus menanggung segala kerugian termasuk bunga-bunga yang harus di tanggung. Harta kekayaan yang dibawa oleh pihak yang beritikad baik tidak boleh dirugikan,

sedangkan harta kekayaan yang beritikad baik bila ternyata dirugikan, kerugian ini harus ditanggung oleh pihak yang beritikad buruk dan segala perjanjian perkawinan yang merugikan pihak yang beritikad baik dianggap tidak pernah ada. Di dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Dan di dalam Pasal 35 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 87 ayat (1) KHI disebutkan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Akibat hukum dari perkawinan yang putus karena perceraian maupun perkawinan yang putus karena kematian, dalam hal status harta bersama perkawinan yang putus karena perceraian maupun perkawinan yang putus karena kematian pengaturannya sudah cukup jelas bahwa terhadap harta bersama menjadi akibat hukumnya dan pembagiannya diatur dalam pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974, yakni, apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Dalam hal pembagian harta bersama terhadap perkawinan yang putus karena perceraian maupun perkawinan yang putus karena kematian, juga diatur dalam Pasal 97 KHI, janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan, dan untuk perkawinan yang putus karena kematian diatur dalam Pasal 96 KHI yakni apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Menurut analisa penulis, status harta bersama dalam pembatalan perkawinan apakah terhadap harta bersama tersebut dapat diberlakukan surut atau tidak. Status harta bersama

sebagai akibat hukum dari pembatalan perkawinan adalah tetap menjadi hak kedua belah pihak dan pembagian harta setelah adanya pembatalan perkawinan dilakukan sebagaimana pembagian harta yang dilakukan dalam perkara putusnya perkawinan karena kematian maupun perceraian. Dan dalam hal ini pada hakikatnya harta bersama adalah harta yang diperoleh selama masa perkawinan berlangsung tanpa melihat siapa yang memperoleh harta tersebut, dan pembagian harta bersama dibagi dua secara adil kepada suami dan isteri karena masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban terhadap harta tersebut, hal ini seperti di tegaskan dalam pasal 89 dan 90 KHI. Maka dalam sengketa harta bersama terhadap perkara pembatalan perkawinan harta yang dihasilkan selama dalam waktu perkawinan yang kemudian perkawinannya dibatalkan tersebut dibagi, masing-masing seperdua terhadap suami istri dari harta yang dimiliki sebagaimana halnya peraturan terhadap harta bersama yang dibagi dalam perkara perceraian maupun kematian. Menurut Pasal 28 ayat (2) huruf b UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan suami atau istri dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama karena adanya alasan perkawinan yang lebih dahulu. Dari Pasal ini dapat dipahami bahwa pasal tersebut merupakan salah satu akibat hukum dari pembatalan perkawinan yang tidak diberlakukan surut dalam hal harta bersama namun hal ini dikecualikan harta bersama yang pembatalan perkawinannya berdasarkan alasan adanya perkawinan yang lebih dahulu, maka makna dari pasal tersebut jelas bahwasannya harta bersama menjadi akibat hukum dari pembatalan perkawinan yang tidak berlaku surut dan harta bersama berlaku surut ketika pembatalan perkawinan berdasarkan alasan adanya perkawinan yang lebih dahulu. Harta bersama menjadi akibat hukum dari pembatalan perkawinan, karena pembatalan perkawinan merupakan perkawinan yang putus karena putusan pengadilan, maka penyelesaian

harta bersamanya sama dengan putusan perkawinan oleh sebab perceraian. Oleh karena itu apabila terdapat perselisihan antara suami istri terhadap harta bersama penyelesaiannya dapat diajukan ke Pengadilan Agama sebagaimana bunyi pasal 88 dalam KHI yaitu, Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama. Pengadilan Agama berwenang menyelesaikan perselisihan harta bersama tersebut, sebagaimana bunyi pasal 49 undang-undang Peradilan Agama No. 3 Tahun 2006 bahwa Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari ah. Ketentuan-ketentuan kewenangan Pengadilan Agama di atas yang dimaksud dengan bidang perkawinan cakupannya sangat luas yakni yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 yang salah satunya menyangkut soal harta bersama sebagai akibat hukum pembatalan perkawinan. Pembagian harta bersama dalam perkawinan yang dibatalkan dibagi sama halnya dalam harta bersama sebagai akibat hukum dari putusnya perkawinan karena perceraian, yaitu masingmasing pihak berhak mendapatkan seperdua dari harta bersama, seperti yang ditegaskan dalam KHI pasal 97 yaitu Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. 3. Analisis Kasus Akibat Hukum Terhadap Status Anak dan Harta Benda Perkawinan dalam Perkawinan yang Dibatalkan Dalam Pasal 28 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 75 huruf b KHI yaitu keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan

tersebut dan di dalam Pasal 76 KHI menyebutkan batalnya suatu perkawinan tidak memutuskan hubungan antara anak dengan orang tuanya. Terhadap ketentuan-ketentuan ini, perundangundangan memandang anak memiliki kedudukan terpenting dengan berdasarkan kemanusiaan dan kepentingan anak, bahwa kesalahan orang tua mereka tidak pantas ditanggung kepada anakanak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan tersebut. Oleh karena itu, anak-anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan tersebut status hukumnya adalah jelas dan kedudukannya adalah sah sebagai anak dari orang tua mereka. Dengan demikian pembatalan perkawinan tersebut tidak mengakibatkan hilangnya status anak. Dengan demikian dari kasus-kasus pembatalan perkawinan yang telah diuraikan dalam Bab II, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Agama Surabaya Nomor 1551/Pdt.G/2012/PA.Sby dan hasil perkawinan antara Jessica dan Ludwig adalah tetap berstatus anak sah, pembatalan tidak mengakibatkan hilangnya status anak. Anak tetap mempunyai hak mewaris dan tidak menghilangnya kewajiban alimentasi orang tua terhadap anak. Kasus pembatalan perkawinan antara Jessica dan Ludwig yang masih dalam proses belum diputus pengadilan, bila dalam perjalanan Ludwig tidak mengakui anak dari hasil perkawinan tersebut, dengan merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU- VIII/2010 dapat mengajukan tuntutan ke Pengadilan untuk memperoleh pengakuan dari ayah biologisnya dengan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain menurut hukum sehingga Ludwig tidak dapat mengelak tanggung jawabnya terhadap kehidupan anak itu. Selain anak sebagai akibat hukum dari pembatalan perkawinan, mengenai harta benda perkawinan sejauh ini belum ada peraturan yang secara pasti mengatu mengenai status harta

benda tersebut maupun pembagiannya terhadap masing-masing pihak. Status harta bersama sebagai akibat hukum dari pembatalan perkawinan adalah tetap menjadi hak kedua belah pihak dan pembagian harta setelah adanya pembatalan perkawinan dibagi dua secara adil kepada suami dan istri karena masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban terhadap harta tersebut. Dalam hal pembagian harta bersama setengah untuk suami dan setengah untuk istri dalam kasus-kasus tertentu di kehidupan keluarga di beberapa daerah di Indonesia ini ada pihak suami yang tidak berpartisipasi dalam membangun ekonomi rumah tangga. Dalam hal ini pembagian harta bersama tersebut dibagi berdasarkan porsi yang memenuhi rasa keadilan, kewajaran dan kepatutan.