BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Sekolah

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban

BUPATI BANGKA TENGAH

TINJAUAN PUSTAKA. waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN KABUPATEN PURWOREJO

MEMUTUSKAN : : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU.

RUANG TERBUKA HIJAU DI KECAMATAN KEMILING KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2016 (JURNAL) Oleh FADELIA DAMAYANTI

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BUPATI TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

II. TINJAUAN PUSTAKA. desain taman dengan menggunakan tanaman hias sebagai komponennya

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

HIRARKI IV ZONASI. sub zona suaka dan pelestarian alam L.1. sub zona sempadan lindung L.2. sub zona inti konservasi pulau L.3

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA

Pembangunan (Jakarta: Universitas Trisakti,2005), hal Dalam Penjelasan Pasal ayat 5 Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana

PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOMOR 29 TAHUN 2016 TENTANG

SALINAN BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 5 TAHUN 2010 PERATURAN BUPATI MAJALENGKA NOMOR 5 TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BINJAI. 2.1 Penggunaan Lahan Di Kota Binjai

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kuantitas lingkungan. Menurut Reksohadiprodjo dan Karseno (2012: 43),

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 60 TAHUN TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN RUANG TERBUKA HIJAU

BUPATI LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR

I. PENDAHULUAN. heterogen serta coraknya yang materialistis (Bintarto,1983:27). Kota akan selalu

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,

WALIKOTA PALANGKA RAYA

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang

Sekretariat : BAPPEDA KOTA BOGOR, Lantai 3 Jl. Kapten Muslihat No Bogor

Pertemuan I ARSITEKTUR LANSEKAP (TR 438)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Disajikan oleh: LIA MAULIDA, SH., MSi. (Kabag PUU II, Biro Hukum, Kemen PU)

Kebutuhan Masyarakat akan Ruang Terbuka Hijau pada Kawasan Pusat Kota Ponorogo

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA POSO (STUDI KASUS : KECAMATAN POSO KOTA)

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh proporsi bangunan fisik yang mengesampingkan. keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Biasanya kondisi padat

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG,

19 Oktober Ema Umilia

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V PERENCANAAN LANSKAP ANCOL ECOPARK

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan, kawasan industri, jaringan transportasi, serta sarana dan prasarana

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO. Sri Sutarni Arifin 1. Intisari

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*39929 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 63 TAHUN 2002 (63/2002) TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

TENTANG BUPATI NGANJUK, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Pokok Bahasan : Konsep Ekologi 2 Sub Pokok Bahasan : a. Lingkungan alamiah dan buatan b. Ekologi kota c. Ekologi kota sebagai lingkungan terbangun

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBUATAN JALUR HIJAU DI JALAN PIERE TENDEAN MANADO

BAB II KAJIAN PUSTAKA...

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Konsep Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Ponorogo. Dirthasia G. Putri

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

PENGEMBANGAN ARSITEKTUR LANSEKAP KOTA KEDIRI STUDI KASUS: PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU JALUR JALAN UTAMA KOTA

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. permukaan tanah dan atau air (Peraturan Pemeritah Nomor 34 Tahun 2006).

WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 07 TAHUN 2012 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN,

Batu menuju KOTA IDEAL

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.71/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA

BUPATI WONOSOBO, PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN

INFORMASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PROVINSI JAMBI

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI

PEDOMAN PENATAAN BANGUNAN DAN LINGKUNGAN (Permen PU 06/2007)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS DAN SINTESIS

BAB I PENDAHULUAN. dimensi ekonomi dibandingkan dengan dimensi ekologi. Struktur alami sebagai tulang punggung Ruang Terbuka Hijau harus dilihat

PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

BAB VI RENCANA UMUM DAN PANDUAN RANCANGAN

TIPOLOGI KEPEMILIKAN RTH DI PERKOTAAN TOBELO

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MERAUKE

KAJIAN PENATAAN POHON SEBAGAI BAGIAN PENGHIJAUAN KOTA PADA KAWASAN SIMPANG EMPAT PASAR MARTAPURA TUGAS AKHIR. Oleh: SRI ARMELLA SURYANI L2D

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

BUPATI BANJAR PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah.

V. KONSEP Konsep Dasar Perencanaan Tapak

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

RUANG TERBUKA HIJAU SEBAGAI SUATU SISTEM DALAM KERUANGAN KOTA

BAB IV KONDISI UMUM. Gambar Peta Dasar TPU Tanah Kusir (Sumber: Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta, 2011) Perumahan Warga

I. PENDAHULUAN. Zaman sekarang ini kemajuan di bidang olahraga semakin maju dan pemikiran

I. PENDAHULUAN. Padang Golf Sukarame (PGS) merupakan Lapangan Golf pertama dan satu-satunya di

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt cüéä Çá ]tãt UtÜtà

Transkripsi:

3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perencanaan dan Perancangan Lanskap Planning atau perencanaan merupakan suatu gambaran prakiraan dalam pendekatan suatu keadaan di masa mendatang. Dalam hal ini dimaksudkan adalah keadaan masa depan yang diharapkan di atas tanah dalam kawasan tertentu. Tanah dalam hal ini dipandang sebagai suatu sumber dalam hubungan kebutuhan dan keinginan dari masyarakat dengan nilai-nilai yang dimiliki (Hakim, 2003). Perencanaan merupakan suatu pendekatan ke masa depan terhadap lahan dan perencanaan tersebut disertai dengan imajinasi dan kepekaan terhadap analisis tapak (Laurie, 1986). Perencanaan tapak adalah seni menciptakan lingkungan fisik luar yang menyokong tindakan manusia, dimana proses perencanaan dimulai dengan memahami orang-orang yang akan menggunakan tapak tersebut dan kebijakan-kebijakan yang ada (Lynch, 1981). Proses perencanaan adalah suatu alat yang sistematis untuk menentukan keadaan awal, keadaan yang diharapkan dan cara terbaik untuk mencapai keadaan yang diharapkan tersebut (Simonds, 1983). Perencanaan lanskap (landscape planning) mengkhususkan diri pada studi pengkajian proyek berskala besar untuk bisa mengevaluasi secara sistematik area lahan yang sangat luas untuk ketetapan penggunaan bagi berbagai kebutuhan di masa datang. Pengamatan masalah ekologi dan lingkungan alam sangat peka diperhatikan dalam kegiatan ini. Kerjasama lintas disiplin merupakan syarat mutlak untuk bisa sampai kepada produk kebijakan atau tata guna tanah. Di sinilah kita mengenal cakupan pekerjaan seperti: lanskap regional, lanskap perkotaan, lanskap pedesaan, lanskap daerah aliran sungai, taman nasional, dan sebagainya (Hakim, 2003). Perencanaan lanskap dapat dikatakan sebagai suatu tindakan berorientasi pada masa depan yang dilakukan dalam suatu tapak berskala besar dengan menciptakan suatu lingkungan fisik untuk mengakomodasi kegiatan manusia di dalamnya.

4 Perancangan tapak merupakan usaha penanganan tapak (site) secara optimal memalui proses keterpaduan penganalisisan dari suatu tapak dan kebutuhan program penggunaan tapak, menjadi suatu sintesa yang kreatif (Hakim, 2003). Perancangan detail lanskap adalah usaha seleksi dan ketepatan penggunaan komponen/elemen, material/bahan lanskap, tanaman, kombinasi pemecahan detail berbagai elemen taman (Hakim, 2003). Perancangan (desain) tidak lepas dari elemen dan prinsip desain yang membentuknya. Menurut Bell (2004), elemen desain terdiri dari titik, garis, bentuk, serta bangun. Namun menurut Molnar (1992), elemen-elemen yang membentuk desain terdiri dari titik, bentuk, tekstur, serta warna. Sedangkan prinsip desain yang dikemukakan oleh Reid (1993) adalah unity, harmony, simplicity, emphasis, balance, scale and proportion, sequence, serta interest. 2.2. Lanskap Taman Pemakaman Umum Lanskap ditinjau dari segi karakteristiknya sangatlah beraneka ragam. Keanekaragaman dapat timbul secara alamiah atau oleh karena adanya kegiatan manusia di atas bidang tanah tertentu, seperti daerah pertanian, wilayah pemukiman, jalur lalu lintas, wilayah industri, dan lain sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lanskap merupakan refleksi dari dinamika sistem alamiah dan sistem sosial masyarakat (Hakim, 2003). Taman pemakaman adalah lahan yang digunakan untuk memakamkan jenazah yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana (Perda DKI Jakarta No.3 tahun 2007 tentang Pemakaman). Tempat Pemakaman Umum (TPU) adalah areal tanah yang disediakan untuk keperluan pemakaman jenazah bagi setiap orang tanpa membedakan agama dan golongan, yang pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II atau Pemerintah Desa. Tempat Pemakaman Bukan Umum adalah areal tanah yang disediakan untuk keperluan pemakaman jenazah yang pengelolaannya dilakukan oleh badan sosial dan/atau badan keagamaan. Tempat Pemakaman Khusus adalah areal tanah yang digunakan untuk tempat pemakaman yang karena faktor sejarah dan faktor kebudayaan mempunyai arti khusus (PP No. 9 Tahun 1987 tentang Penyediaan Penggunaan Tanah untuk Keperluan Tempat Pemakaman).

5 Penyediaan ruang terbuka hijau pada areal pemakaman disamping memiliki fungsi utama sebagai tempat penguburan jenazah juga memiliki fungsi ekologis yaitu sebagai daerah resapan air, tempat pertumbuhan berbagai jenis vegetasi, pencipta iklim mikro serta tempat hidup burung serta fungsi sosial masyarakat disekitar seperti beristirahat dan sebagai sumber pendapatan (Permen PU No. 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan). Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1987, penggunaan lahan pada pemakaman harus memperhatikan beberapa hal, yaitu: a. tidak berada dalam wilayah yang padat penduduknya; b. menghindari penggunaan tanah yang subur; c. memperhatikan keserasian dan keselarasan lingkungan hidup; d. mencegah pengrusakan tanah dan lingkungan hidup; e. mencegah penyalahgunaan tanah yang berlebih-lebihan. Namun berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1987, terdapat banyak masalah terhadap penyediaan dan penggunaan tanah untuk keperluan tempat pemakaman yang timbul ditinjau dari berbagai segi yaitu: a. lokasi tanah tempat pemakaman, kenyataannya banyak tanah tempat pemakaman terletak di tengah-tengah kota atau berada dalam daerah pemukiman yang padat penduduknya, sehingga tidak sesuai lagi dengan perencanaan pembangunan daerah atau Rencana Tata Kota. b. pemborosan pemakaian tanah untuk keperluan tempat pemakaman karena belum diatur mengenai pembatasan tanah bagi pemakaman jenazah seseorang. c. dipakainya tanah-tanah subur untuk keperluan pemakaman. d. kurang diperhatikan keserasian dan keselarasan lingkungan hidup. e. kurang memadainya upaya pencegahan pengrusakan tanah. Berdasarkan Permen PU No. 5 tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, ketentuan bentuk pemakaman adalah sebagai berikut: a. ukuran makam 1 m x 2 m; b. jarak antar makam satu dengan lainnya minimal 0,5 m; c. tiap makam tidak diperkenankan dilakukan penembokan/ perkerasan;

6 d. pemakaman dibagi dalam beberapa blok, luas dan jumlah masing-masing blok disesuaikan dengan kondisi pemakaman setempat; e. batas antar blok pemakaman berupa pedestrian lebar 150-200 cm dengan deretan pohon pelindung disalah satu sisinya; f. batas terluar pemakaman berupa pagar tanaman atau kombinasi antara pagar buatan dengan pagar tanaman, atau dengan pohon pelindung; g. ruang hijau pemakaman termasuk pemakaman tanpa perkerasan minimal 70% dari total area pemakaman dengan tingkat liputan vegetasi 80% dari luas ruang hijaunya. Pemilihan vegetasi di pemakaman disamping sebagai peneduh juga untuk meningkatkan peran ekologis pemakaman termasuk habitat burung serta keindahan. Gambar 2.1. Contoh Pola Penanaman pada RTH Pemakaman (Sumber: Permen PU No. 5 tahun 2008) 2.3. Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka kota pada dasarnya adalah ruang kota yang tidak terbangun, yang berfungsi sebagai penunjang tuntutan akan kenyamanan, keamanan, peningkatan kualitas lingkungan dan pelestarian alam yang terdiri dari ruang linier atau koridor dan ruang pulau atau oasis sebagai tempat perhentian (Hakim, 2003).

7 Ruang terbuka di kota yang ditinjau secara fisik ditentukan oleh pengembangan bangunan dan sistem jaringan di atas permukaan tanah. Pengembangan ini merupakan hasil dari ekonomi perkotaan dan berbagai peraturan bangunan yang disusun untuk menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah setempat. Ruang terbuka tidak hanya berupa taman, melainkan tempat bermain dan tempat rekreasi yang lain (Branch, 1985). Ruang terbuka, adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Ruang terbuka terdiri atas ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non hijau (Permen PU No. 5 tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan). Ruang terbuka hijau adalah kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan/atau sarana kota/lingkungan dan/atau pengaman jaringan prasarana dan/atau budidaya pertanian (Perda DKI Jakarta No. 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara). Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK) adalah ruang-ruang yang terdapat di dalam kota, baik berupa koridor/ jalur ataupun area/ kawasan sebagai tempat pergerakan/ penghubung, dan tempat perhentian/ tujuan, dimana unsur hijau (vegetasi) yang alami dan sifat ruang yag terbuka lebih dominan (Hakim, 2003). Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 tahun 2007, jenis RTH Kawasan Perkotaan dibagi menjadi taman kota, taman wisata alam, taman rekreasi, taman lingkungan perumahan dan permukiman, taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial, taman hutan raya, hutan kota, hutan lindung, alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah, cagar alam, kebun raya, kebun binatang, pemakaman umum, lapangan olah raga, lapangan upacara, parkir terbuka, lahan pertanian perkotaan, jalur di bawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET), sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa, jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian, kawasan dan jalur hijau, daerah penyangga (buffer zone) lapangan udara, dan taman atap (roof garden).

8 Berdasarkan Permen PU No. 5 tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, RTH memiliki fungsi sebagai berikut: a. Fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis: 1. memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota); 2. pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar; 3. sebagai peneduh; 4. produsen oksigen; 5. penyerap air hujan; 6. penyedia habitat satwa; 7. penyerap polutan media udara, air dan tanah, serta; 8. penahan angin. b. Fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu: 1. Fungsi sosial dan budaya: - menggambarkan ekspresi budaya lokal; - merupakan media komunikasi warga kota; - tempat rekreasi; - wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam. 2. Fungsi ekonomi: - sumber produk yang bisa dijual, seperti tanaman bunga, buah, daun, sayur mayur; - bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan lainlain. 3. Fungsi estetika: - meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukimam, maupun makro: lansekap kota secara keseluruhan; - menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota; - pembentuk faktor keindahan arsitektural;

9 - menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun. Manfaat yang dapat diperoleh RTH Kawasan Perkotaan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 tahun 2007 adalah: a. sarana untuk mencerminkan identitas daerah; b. sarana penelitian, pendidikan dan penyuluhan; c. sarana rekreasi aktif dan pasif serta interaksi sosial; d. meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan; e. menumbuhkan rasa bangga dan meningkatkan prestise daerah; f. sarana aktivitas sosial bagi anak-anak, remaja, dewasa dan manula; g. sarana ruang evakuasi untuk keadaan darurat; h. memperbaiki iklim mikro; dan i. meningkatkan cadangan oksigen di perkotaan. Vegetasi merupakan unsur fisik kota yang penting. Unsur ini dapat meningkatan daya tarik kota dan membantu menjaga kebersihan udara. Vegetasi dapat mengurangi terjadinya erosi tanah, bahaya tanah longsor, dan mengurangi kebisingan. Vegetasi dapat pula sebagai pematah angin. Vegetasi dapat berada di berbagai tempat dan dalam berbagai bentuk di bagian kota, yaitu di sepanjang jalan di dalam kota, jalan bebas hambatan yang utama, kanal-kanal pengendali banjir, jalur kereta api dan ruang pergerakan lain; di taman-taman kota, tempattempat bermain, daerah rekreasi dan pertanian, makam, dan ruang terbuka lainnya (Branch, 1985). Berdasarkan Permen PU No. 5 tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, kriteria pemilihan vegetasi untuk RTH pemakaman adalah sebagai berikut: a. sistem perakaran masuk kedalam tanah, tidak merusak konstruksi dan bangunan; b. batang tegak kuat, tidak mudah patah dan tidak berbanir; c. sedapat mungkin mempunyai nilai ekonomi, atau menghasilkan buah yang dapat dikonsumsi langsung; d. tajuk cukup rindang dan kompak, tetapi tidak terlalu gelap; e. tahan terhadap hama penyakit;

10 f. berumur panjang; g. dapat berupa pohon besar, sedang atau kecil disesuaikan dengan ketersediaan ruang; h. sedapat mungkin merupakan tanaman yang mengundang burung. 2.4. Burung Burung merupakan salah satu kelompok terbesar vertebrata yang banyak dikenal, diperkirakan terdapat sekitar 8600 jenis yang tersebar di dunia. Mereka menempati setiap tipe habitat dari khatulistiwa sampai daerah kutub. Dimana ditemukan pohon yang tumbuh atau terdapat ikan, serangga dan avertebrata lainnya, di tempat tersebut burung mencari kehidupan (Mackinnon, 1995). Burung adalah indikator alami kebersihan dan mutu lingkungan perkotaan. Burung adalah salah satu makhluk hidup liar yang mudah dijumpai di mana saja dan dapat diundang untuk singgah di pekarangan dan taman kota (Mulyawati dan Amama, 2011). Menurut Hernowo dan Prasetyo tahun 1989, satwa liar yang dapat dikembangkan di perkotaan adalah burung. Burung perlu dilestarikan karena memiliki manfaat yang besar bagi manusia, antara lain: 1. membantu mengendalikan serangga hama, 2. membantu proses penyerbukan bunga, 3. mempunyai nilai ekonomi yang lumayan tinggi, 4. burung memiliki suara yang khas dan dapat menimbulkan suasana yang menyenangkan, 5. burung dapat digunakan untuk berbagai atraksi rekreasi, 6. sebagai sumber plasma nutfah, 7. objek untuk pendidikan dan penelitian. Burung memiliki suku-suku yang dikelompokkan kedalam tiga belas kategori ekologi. Kelompok burung yang terdapat di daerah perkotaan seperti Jakarta antara lain burung-burung berenang di air tawar, burung- burung besar/ sedang pemakan serangga yang bersifat arboreal, pemakan serangga yang bersifat aerial dan suka meluncur, pemakan serangga berukuran sedang/kecil yang hidup

11 di tanah, pemakan serangga berukuran sedang/kecil yang bersifat arboreal, serta burung-burung kecil pemakan nektar, buah dan biji (Mackinnon, 1995). Salah satu usaha untuk mendatangkan burung dalam suatu wilayah adalah diperlukan adanya habitat yang sesuai dengan jenis burung itu sendiri. Habitat adalah tempat suatu makhluk hidup atau tempat dimana organisme ditemukan atau melakukan siklus hidup (Odum, 1971).