BAB I PENDAHULUAN. kejadian menghasilkan ke kejadian yang lain (Kuhn, 1991 dalam; John W

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dan untuk mempunyai kehidupan yang lebih layak. Era globalisasi, perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan pendidikan saat ini semakin maju dan salah satu tandanya

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan formal dapat ditempuh mulai dari tingkat terendah yaitu pre-school/

BAB I PENDAHULUAN. mencapai kesuksesan dalam hidupnya. Hal ini senada dengan S. C. Sri Utami

BAB I PENDAHULUAN. dalam meraih keberhasilan seseorang di masa yang akan datang. (Enca M,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu kebutuhan dasar yang dibutuhkan mahasiswa

BAB I PENDAHULUAN. Sekarang ini banyak tantangan yang dihadapi manusia, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. yang membatasi antar negara terasa hilang. Kemajuan ilmu pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN. studi di Perguruan Tinggi. Seorang siswa tidak dapat melanjutkan ke perguruan

BAB I. Pendahuluan. lebih kompetitif ( Pemerintah Indonesia khususnya

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional merupakan sekolah yang menggunakan kurikulum

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, sehingga terus berusaha untuk memajukan kualitas pendidikan yang ada.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. relatif permanen dalam perilaku yang tidak dapat dijelaskan oleh keadaan sementara,

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pendidikan di Indonesia saat ini tengah menjalankan kurikulum

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peran yang amat menentukan bagi perkembangan dan

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan tempat di mana anak dapat memperoleh pendidikan atau

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan positif di berbagai bidang kehidupan baik dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. Di era informasi dewasa ini, setiap masyarakat membutuhkan informasi, baik

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia

percaya diri siswa terhadap kemampuan yang dimiliki.

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti dan tidak disukai siswa. Kecenderungan ini biasanya berawal dari

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperoleh pengetahuan atau menambah wawasan. Penyelenggaraan. melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas tersebut diciptakan melalui pendidikan (

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan, manusia dapat mengembangkan diri untuk menghadapi tantangan

Siti Solihah, Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam rangka menyongsong era persaingan bebas antar bangsa yang semakin

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sedang terjadi dalam diri individu yang sedang belajar, tidak dapat diketahui secara langsung

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini setiap orang berusaha untuk dapat bersekolah. Menurut W. S

I. PENDAHULUAN. Ilmu kimia merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan generasi muda penerus cita-cita bangsa dan negara,

I. PENDAHULUAN. belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif. luas kedepan untuk mencapai suatu cita-cita yang diharapkan dan mampu

KURIKULUM SMA NEGERI 1 KARTASURA TAHUN PELAJARAN 2013 / 2014 DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN SUKOHARJO SMA NEGERI 1 KARTASURA

I. PENDAHULUAN. tujuan pembelajaran adaptif ini bertujuan menyiapkan tamatan untuk menjadi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, manusia hampir tidak pernah dapat

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perdagangan, ekonomi, teknologi, dan lain sebagainya. Sedemikian

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman peneliti mengajar mata pelajaran fisika di. kelas VIII salah satu SMP negeri di Bandung Utara pada semester

BAB I PENDAHULUAN. Dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1:

BAB I PENDAHULUAN. Adanya nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) setiap mata pelajaran. merupakan salah satu muatan penting Kurikulum Tingkat Satuan

BAB I PENDAHULUAN. (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perilakunya karena hasil dari pengalaman.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. informasi kepada lembaga, maupun kepada pihak-pihak lain yang. dengan mata pelajaran yang telah diberikan.

BAB I PENDAHULUAN. nonformal (Pikiran Rakyat, 12 November 1998). Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi remaja untuk mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik

BAB I PENDAHULUAN. rendahnya kualitas atau mutu pendidikan matematika. Laporan Badan Standar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewi Elyani Nurjannah, 2013

I. PENDAHULUAN. Upaya peningkatan mutu pendidikan telah dilakukan oleh pemerintah secara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan suatu kegiatan yang tidak terpisahkan dari kehidupan

BAB 3 ANALISIS PERUSAHAAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang masalah. Pendidikan merupakan sesuatu yang tidak terlepas dan bersifat sangat

I. PENDAHULUAN. Bab I ini membahas tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah,

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2003 Bab I Pasal I Ayat 1 menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha

BAB I PENDAHULUAN. siswa sebagai pengalaman yang bermakna. Keterampilan ilmiah dan sikap ilmiah

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik, untuk membentuk Sumber Daya Manusia yang berkualitas.

BAB I PENDAHULUAN. melalui proses pembelajaran. Guru sangat berperan penting dalam peningkatan mutu

I. PENDAHULUAN. Biologi sebagai salah satu mata pelajaran dalam rumpun IPA memerlukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Pembelajaran Fisika Dengan Menerapkan Model Inkuiri Terbimbing Dalam Menumbuhkan Kemampuan Berfikir Logis Siswa di SMA Negeri 8 Bengkulu

BAB I PENDAHULUAN. akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, diantaranya dalam bidang pendidikan seperti tuntutan nilai pelajaran

PENDAHULUAN. keahlian atau keterampilan di bidang tertentu. Menurut 21 st. Partnership Learning Framework (BSNP, 2013: 3-4), terdapat enam

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan lebih lanjut ke perguruan tinggi ( Perguruan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. bahkan sampai ke perguruan tinggi. Belajar matematika di sekolah dasar tentunya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Moch Ikhsan Pahlawan,2013

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan pada jaman ini sangat berkembang di berbagai negara. Sekolah sebagai

I. PENDAHULUAN. belajar mengajar di sekolah. Oleh karena itu kompetensi guru dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA khususnya fisika mencakup tiga aspek, yakni sikap,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

I. PENDAHULUAN. erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, oleh karena itu pembelajaran harus

BAB 1 PENDAHULUAN. Menengah Pertama individu diberikan pengetahuan secara umum, sedangkan pada

BAB I PENDAHULUAN. ujian akhir semester (UAS) ganjil T.A 2011/2012. Ujian Akhir Semester Ganjil TB Rerata Kelas SMP Negeri 2 Pahae Julu

BAB I PENDAHULUAN. adalah mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Menurut Abidin (2016:

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. lebih tinggi maupun dalam masyarakat. Saat ini, dunia pendidikan kita masih

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. depan yang lebih baik. Melalui pendidikan seseorang dapat dipandang terhormat,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan potensi siswa secara optimal. Pada jenjang SMA, upaya

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Saat ini pendidikan adalah penting bagi semua orang baik bagi

I. PENDAHULUAN. pembukaan Undang-undang Dasar Melalui pendidikan, kualitas sumber

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan saat ini semakin berusaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI UNTUK MEMPERBAIKI PEMAHAMAN KONSEP FISIKA SISWA DI KELAS XI MIA-5 SMA NEGERI 1 PERCUT SEI TUAN T.A.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran siswa dapat memahami konsep yang dipelajarinya. mengingat dan membuat lebih mudah dalam mengerjakan soal-soal

BAB I PENDAHULUAN. umum, yaitu gabungan antara fisika, kimia, dan biologi yang terpadu. Materi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pendidikan dapat dikatakan sebagai salah satu kebutuhan manusia yang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Di Indonesia tingkat pendidikan formal diawali dari Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan kemudian tingkat Universitas. Pada tingkat SMA diberlakukan sistem penjurusan sesuai dengan kemampuan dan minat siswa tersebut antara lain jurusan IPA, IPS dan Bahasa. Pada tingkat SMA pula, seorang siswa diharapkan untuk berpikir lebih bernalar sehingga dapat melihat satu kejadian menghasilkan ke kejadian yang lain (Kuhn, 1991 dalam; John W Santrock 2002). Pada umumnya, mata pelajaran yang diutamakan dalam jurusan IPA antara lain Fisika, Kimia, Biologi dan Matematika IPA. Sedangkan mata pelajaran yang diutamakan dalam jurusan IPS antara lain Akuntansi, Sosiologi, Geografi dan sejarah. Mata pelajaran yang diutamakan dalam jurusan Bahasa antara lain Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Di Indonesia terdapat banyak SMA yang tersebar di berbagai daerah. Salah satunya adalah SMA X di Bandung. Kurikulum yang digunakan sekolah saat ini adalah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dan dalam sistem penilaian menggunakan sistem KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Pada setiap mata pelajaran memiliki standar nilai KKM seperti pelajaran matematika dan biologi memiliki standar KKM 70. SMA X Bandung memiliki 2 program jurusan yaitu IPA dan IPS. Siswa melakukan penjurusan sejak duduk di kelas XI. 1

2 Proses penjurusan terdiri dari tiga tahap yaitu pengisian angket minat jurusan, lalu mengikuti tes psikologi dan diakhiri dengan melihat hasil belajar siswa saat kelas X terutama pada pelajaran yang berhubungan dengan jurusan yang diinginkan siswa. SMA X Bandung memiliki 6 kelas IPA dan 2 kelas IPS. Setiap kelas memiliki 40 sampai 45 siswa. Sekolah mempunyai aturan yang berasal dari Departemen Pendidikan bahwa setiap kelas harus mencapai kuota maksimal 45 siswa dan boleh kurang. SMA X Bandung mempunyai kebijakan untuk memperbanyak kelas jurusan IPA dibandingkan dengan jurusan IPS karena banyaknya siswa yang berminat ke jurusan IPA. Pihak orangtua murid juga banyak yang mengajukan keinginan mereka agar anak-anaknya bisa masuk jurusan IPA. Adanya kebijakan sekolah ini membuat siswa yang memiliki minat IPA namun nilai yang dimilikinya selama di kelas X tidak bisa memenuhi persyaratan tersebut, siswa tersebut tetap diperbolehkan untuk masuk ke jurusan IPA. Contohnya jika siswa memilih jurusan IPA namun nilainya tidak mendukung maka siswa tersebut diperbolehkan untuk masuk ke jurusan IPA. Siswa jurusan IPA dituntut untuk dapat menguasai mata pelajaran utama IPA salah satunya adalah fisika. Fisika adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan penemuan dan pemahaman mendasar hukum-hukum yang menggerakkan materi, energi, ruang dan waktu. Fisika adalah studi mengenai dunia anorganik, fisik, sebagai lawan dari dunia organik seperti biologi, fisiologi dan lain-lain (http://kkwipa.org/home/index.php?option=com_content&view=article&id=47:pe ngertian&catid=34:fisika-mts&itemid=54)

3 Menurut guru-guru SMA X Bandung dengan adanya kebijakan SMA X tersebut berdampak pada banyak siswa jurusan IPA mendapatkan nilai yang tidak mencapai KKM terutama pada pelajaran fisika di raport semester ganjil. Dari 112 siswa kelas XI jurusan IPA di SMA X Bandung, 90%nya memiliki nilai fisika tidak mencapai standar KKM, sedangkan 50%nya memiliki nilai matematikan dan kimia yang tidak mencapai standar KKM dan 20% tidak mencapai nilai standar KKM biologi. Rata-rata nilai ulangan, UTS dan UAS yang diperoleh pada pelajaran fisika dari para siswa kelas XI jurusan IPA di SMA X Bandung menyebar dari nilai belasan sampai enam puluhan. Di SMA X Bandung, standar nilai KKM siswa kelas XI pada mata pelajaran fisika adalah 70. Apabila siswa tidak mampu untuk mencapai standar KKM yang telah ditentukan pihak sekolah, maka siswa diwajibkan untuk mengikuti ujian perbaikan yaitu ujian remedial. Dalam ujian remedial, siswa diharapkan mampu memperbaiki nilai yang sebelumnya sehingga dapat mencapai standar KKM. Keharusan mengikuti ujian remedial mata pelajaran fisika diberlakukan saat siswa akan menerima raport atau hasil belajar. Jika hasil penggabungan nilai-nilai ulangan, nilai Ujian Tengah Semester (UTS) dan nilai Ujian Akhir Semester (UAS) tidak mencapai standar KKM maka siswa diharuskan untuk mengikuti remedial fisika. Di setiap kelas XI jurusan IPA ada sekitar 90% siswa yang nilai ujian fisikanya tidak mencapai KKM sehingga siswa diwajibkan untuk mengikuti ujian remedial. Setiap mata pelajaran memiliki Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar atau Tujuan Instruksional Umum (TIU) dan Indikator atau Tujuan Instruksional

4 Khusus (TIK). Di SMA X Bandung TIU dan TIK dari mata pelajaran fisika antara lain siswa dapat mengetahui, memahami, menerapkan dan menganalisis yang berkaitan dengan teori fisika diantaranya teori gerak lurus, hubungan antara usaha, perubahan energi dengan hukum kekekalan energi mekanik dan masih banyak lagi. Cara belajar yang dilakukan adalah siswa dan guru melakukan tatap muka dan kemudian melakukan diskusi mengenai materi-materi fisika yang diajarkan guru. Siswa juga mengerjakan tugas kelompok dalam bentuk diskusi dalam mengerjakan soal-soal dan melakukan percobaan yang terkait dengan materi fisika yang diajarkan oleh guru secara berkelompok. Siswa juga mendapatkan tugas mandiri untuk mencari contoh-contoh aplikasi dalam kehidupan sehari-hari dan membuat tulisan mengenai hubungan satu topik dengan topik yang lainnya. Menurut siswa kelas XI jurusan IPA di SMA X Bandung, guru lebih banyak menjelaskan materi kemudian guru memberikan latihan soal kepada siswa tanpa memberikan feedback kepada siswa. Dari dua puluh siswa terdapat sepuluh siswa kelas XI di SMA X Bandung yang berpendapat bahwa guru fisika menjelaskan materi terlalu cepat sehingga mereka kesulitan untuk mengikuti materi. Dalam mempelajari fisika, setiap kelas dari jurusan memiliki spesifikasi materi-materi yang tertuang dalam kurikulum yang berisi mata pelajaran fisika. Pada setiap materi mata pelajaran fisika memiliki tujuan pembelajaran dan diharapkan siswa kelas XI jurusan IPA pada SMA X Bandung yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM dapat memenuhi TIU dan TIK tersebut oleh karena itu sebaiknya pendekatan belajar (Learning Approach) siswa dapat sesuai

5 dengan tujuan pembelajaran agar dapat mencapai prestasi akademik yang optimal. Menurut Biggs (1993) learning approach merujuk pada suatu proses yang dipakai untuk mendapatkan hasil belajar. Learning approach yang digunakan pada setiap orang dapat berbeda-beda. Learning approach ada 2 jenis yaitu deep approach dan surface approach. Masing-masing learning approach memiliki 2 komponen yaitu motif dan strategi. Pendekatan belajar yang dipilih oleh siswa kelas XI jurusan IPA pada SMA X Bandung yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM akan menentukan bagaimana siswa menerima materi yang diajarkan, mengolah materi dan memahaminya akhirnya dapat memenuhi kompetensi seharusnya. Pada siswa kelas XI jurusan IPA pada SMA X Bandung yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM dan menggunakan deep approach memiliki motivasi yang berasal dari dalam diri (Biggs, 1993). Siswa tersebut tertarik ingin memahami lebih dalam materi pelajaran fisika. Selain itu siswa juga merasa membutuhkan materi pelajaran fisika tersebut, bukan hanya terpaku pada nilai yang diperolehnya. Pada siswa kelas XI jurusan IPA yang menggunakan deep approach, strategi belajar yang digunakan untuk mempelajari materi fisika dengan cara sering berlatih soal secara terus-menerus agar kemampuan menalar dalam penggunaan rumus fisika semakin baik. Pada siswa kelas XI jurusan IPA pada SMA X Bandung yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM dan menggunakan surface approach didasarkan pada motivasi yang berasal dari luar diri (Biggs, 1993). Motivasi yang berasal dari luar diri misalnya seperti, siswa kelas XI jurusan IPA belajar fisika

6 hanya sekedar ingin nilai ujiannya mencapai standar KKM dan mendapatkan nilai tugas. Apabila mendapat tugas, siswa cenderung akan mengerjakannya sehari sebelum batas waktu pengumpulan tugas dan siswa akan mengerjakannya di sekolah sebelum jam pelajaran dimulai. Siswa kelas XI jurusan IPA yang yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM, belajar sehari sebelum ujian tersebut dilaksanakan. Cara belajar siswa tersebut tidak dengan berlatih soal, tetapi hanya membaca catatan latihan soal yang dikerjakannya pada saat di kelas. Pendekatan belajar yang paling ideal digunakan siswa kelas XI jurusan IPA di SMA X Bandung yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM untuk mencapai TIK dan TIU adalah deep approach. Dari masing-masing jenis learning approach memiliki dua komponen yaitu strategy dan motif (Biggs, 1993; Entwistle & Ramsden, 1983; Watkins, 1983a). Strategi adalah cara siswa untuk mencapai kebutuhannya dari belajar. Dari 20 orang siswa kelas XI jurusan IPA yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM di SMA X Bandung strategi setiap siswa kelas XI jurusan IPA dalam proses belajar berbeda-beda seperti membuat jadwal belajar di rumah untuk memahami materi fisika yang sudah diajarkan guru yang dilakukan oleh 45% siswa, berlatih soal fisika yang belum pernah dikerjakan dilakukan oleh 30% siswa dan membaca materi yang akan diajarkan di dalam kelas pada esok hari dilakukan oleh 45% siswa. Siswa menghafal rumus dari materi yang akan diujiankan sehari sebelum ulangan, UTS maupun UAS dilakukan oleh 45% siswa. Siswa yang hanya membaca latihan-latihan soal yang telah dikerjakan di kelas saat mempersiapkan ulangan, UTS maupun UAS dengan sehari sebelum ujian

7 dilakukan sebanyak 55%. Banyaknya siswa yang bertanya kepada teman atau gurunya bila ada materi yang tidak dimengerti adalah 45%. Terdapat pula siswa yang mempunyai keingintahuan yang besar sehingga mereka mencari materi fisika yang didapatkan di dalam kelas melalui internet sebanyak 20% siswa. Dari persentase di atas dapat diambil kesimpulan lebih banyak strategi learning approach surface approach yang muncul pada siswa kelas XI jurusan IPA yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM di SMA X Bandung. Motif adalah kebutuhan siswa yang didapatnya dari belajar. Ada berbagai alasan mengapa seorang siswa menggunakan satu pendekatan dalam menghadapi ujian fisika. Alasan tersebut bisa berasal dari dalam diri ataupun luar diri. Motif proses belajar dari 20 orang siswa kelas XI jurusan IPA yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM di SMA X Bandung dapat berbeda-beda. Banyaknya siswa yang ingin memuaskan rasa ingin tahu mengenai materi fisika adalah 45% siswa. Hal tersebut merupakan motif yang berasal dari dalam diri. Sedangkan motif yang berasal dari luar diri, misalnya siswa menginginkan nilai yang diperolehnya minimal mencapai standar KKM. Banyaknya siswa yang memiliki motif tersebut sebanyak 55%. Dari persentase di atas dapat diambil kesimpulan lebih banyak motif learning approach surface approach yang muncul pada siswa kelas XI jurusan IPA yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM di SMA X Bandung. Berdasarkan survei yang dilakukan kepada 20 orang siswa kelas XI jurusan IPA yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM 40% menganggap fisika adalah pelajaran yang menyenangkan dan membuat penasaran. Strategi

8 belajar yang digunakan adalah dengan membaca teori fisika untuk dapat lebih memahami materi tersebut, bertanya kepada guru mengenai materi yang kurang siswa mengerti, menganalisa kaitan antara materi yang satu dengan materi lainnya, membuat jadwal belajar fisika dan menjalaninya secara rutin, mengulang materi fisika di rumah dan mempersiapkan diri mengahadapi ujian beberapa minggu sebelum ujian dilaksanakan. Strategi belajar siswa dalam menyelesaikan tugas dengan mengerjakan tugas sesegera mungkin setelah diberikan oleh guru, bertanya pada guru apabila ada tugas yang tidak dimengerti dan dalam mengerjakan tugas fisika menggunakan dari beberapa sumber. Dari strategi tersebut berasal dari beberapa motif. Motif yang dimiliki siswa kelas XI jurusan IPA yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM di SMA X Bandung yang dilihat dari pendekatan belajar adalah memuaskan rasa ingin tahu siswa itu sendiri, tertarik untuk mempelajari lebih dalam materi pada pelajaran fisika dan menambah ilmu pengetahuan siswa mengenai pelajaran fisika. Motif dalam pendekatan mengerjakan tugas adalah mengasah kemampuan siswa, mengaplikasikan pemahaman yang siswa miliki dan merasa tertantang untuk menyelesaikan soal-soal fisika yang siswa anggap sulit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa siswa menggunakan pendekatan belajar deep approach. Siswa lainnya, dari 20 orang siswa 60% menganggap mata pelajaran fisika sebagai suatu beban. Strategi belajar yang digunakan adalah dengan menghafal rumus dari semua materi yang diujikan, mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian sehari sebelumnya, membaca soal-soal latihan yang pernah dikerjakan saat di sekolah, hanya mempelajari kisi-kisi yang diberikan oleh guru. Pendekatan

9 siswa dalam menyelesaikan tugas dengan mengerjakan tugas sehari sebelum batas pengumpulan tugas berakhir, mengerjakan tugas semampunya dan terkadang mengumpulkan tugas melebihi batas waktu pengumpulan yang telah ditentukan. Dari strategi tersebut berasal dari beberapa motif. Motif siswa kelas XI jurusan IPA yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM di SMA X Bandung dalam pendekatan belajar adalah mencapai nilai KKM yaitu 70, tidak ingin mengikuti ujian remedial dan dapat naik kelas. Motif yang dilihat dari pendekatan dalam mengerjakan tugas adalah semua nilai tugas terpenuhi dan menghindari hukuman dari guru sehingga dapat disimpulkan bahwa siswa menggunakan pendekatan belajar surface approach. Dari fakta-fakta tersebut didapatkan bahwa siswa kelas XI jurusan IPA di SMA X Bandung yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM menggunakan pendekatan belajar surface approach. Dari hasil wawancara terhadap siswa kelas XI jurusan IPA di SMA X Bandung yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM, beberapa siswa sadar bahwa mereka memiliki nilai di bawah standar KKM dikarenakan bukan karena faktor dari luar dirinya seperti metode mengajar guru, fasilitas sekolah yang tidak memadai ataupun dukungan orangtua. Nilai yang mereka dapatkan sesuai dengan yang mereka lakukan untuk mencapai nilai tersebut. Siswa kelas XI jurusan IPA di SMA X Bandung yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM belum menyadari manfaat dari belajar pelajaran fisika, kegunaan apa yang siswa dapatkan dengan mempelajari fisika dan strategi apa yang harus mereka lakukan untuk mencapai alasan tersebut. Hal-hal tersebut merupakan bagian dari learning approach.

10 Berdasarkan pemaparan diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti learning approach siswa kelas XI jurusan IPA di SMA X Bandung yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM dilihat dari jenis pendekatan belajar yaitu deep approach atau surface approach. 1. 2 Identifikasi Masalah Dari penelitian ini ingin diketahui Learning approach yang digunakan oleh siswa kelas XI jurusan IPA yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM di SMA X kota Bandung terkait pelajaran fisika. 1. 3 Maksud dan Tujuan 1. 3. 1 Maksud Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai learning approach terhadap mata pelajaran fisika pada siswa kelas XI jurusan IPA di SMA X kota Bandung yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM terkait pelajaran fisika. 1. 3. 2 Tujuan Penelitian ini ditujukan untuk memperoleh gambaran mengenai learning approach yang digunakan pada siswa kelas XI jurusan IPA di SMA X Bandung yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM terkait pelajaran fisika dilihat dari kedua aspeknya yaitu motif dan strategi.

11 1. 4 Kegunaan Penelitian 1. 4. 1 Kegunaan Teoritik 1. Memberikan informasi tambahan kepada guru-guru fisika di SMA X terutama mata pelajaran fisika mengenai learning approach yang digunakan pada siswa kelas XI jurusan IPA yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM. 2. Masukan bagi peneliti lain yang berminat untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai learning approach pada siswa kelas XI jurusan IPA yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM terkait pelajaran fisika. 1. 4. 2 Kegunaan Praktis 1. Memberikan saran kepada guru-guru fisika SMA X Bandung agar dapat mengarahkan siswa untuk menggunakan learning approach yang sesuai dengan tuntutan kompetensi yang telah ditetapkan di awal tahun ajaran dan menyesuaikan cara mengajar dengan tuntutan kompetensi tersebut. 2. Memberikan saran kepada siswa kelas XI jurusan IPA yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM di SMA X kota Bandung agar dapat menggunakan learning approach yang tepat sasaran sesuai tuntutan kompetensi pada pelajaran fisika. Caranya adalah dengan mengetahui tuntutan kompetensi dari pelajaran fisika, sehingga siswa dapat memprediksi hal-hal yang dilakukan dalam mempelajari mata pelajaran yang diajarkan, sehingga siswa dapat memperoleh hasil belajar yang optimal.

12 1. 5 Kerangka Pikir Siswa kelas XI termasuk ke dalam kelompok remaja. Siswa kelas XI diharapkan bisa mencapai tahap perkembangan koginitif yang berarti siswa berpikir secara operasional formal. Pemikiran operasional formal lebih abstrak daripada pemikiran dari seorang anak. Remaja tidak lagi terbatas pada pengalaman konkret aktual sebagai dasar pemikiran. Sebaliknya, mereka dapat membangkitkan situasi-situasi khayalan, kemungkinan-kemungkinan hipotesis, atau dalil-dalil dan penalaran yang benar-benar abstrak. Selain abstrak, pemikiran remaja juga idealistis (John W. Santrock, 2002). Pada saat yang sama, ketika remaja berpikir lebih abstrak dan idealistik, mereka juga berpikir lebih logis (Kuhn, 1991). Remaja mulai berpikir seperti ilmuwan, yang menyusun rencana-rencana untuk memecahkan masalah-masalah dan menguji pemecahan-pemecahan masalah secara sistematis. Tipe pemecahan masalah ini diberi nama penalaran deduktif hipotesis. Penalaran deduktif hipotesis (Hypothetical deductive reasoning) ialah konsep operasional formal piaget yang menyatakan bahwa remaja memiliki kemampuan kognitif untuk mengembangkan hipotesis, atau dugaan terbaik, mengenai cara memecahkan masalah, seperti persamaan aljabar. Kemudian mereka menarik kesimpulan secara sistematis, atau menyimpulkan, pola mana yang diterapkan dalam memecahkan masalah. Sebaliknya, anak-anak cenderung memecahkan masalah secara coba-coba (trial and error). Seorang siswa sudah mampu melihat masa depan mengenai dampak atas perilaku-perilaku yang ditunjukkannya. Jika dirinya belajar secara maksimal

13 maka nilai diperolah yang didapat bisa maksimal pula namun jika dalam proses belajarnya siswa tidak maksimal maka nilai yang diperoleh pun tidak maksimal. Siswa kelas XI jurusan IPA mempunyai empat mata pelajaran utama yaitu matematika, fisika, kimia dan biologi. Dari tiap mata pelajaran tersebut mempunyai standar KKM masing-masing. Nilai 70 untuk standar KKM matematika, nilai 70 untuk standar KKM biologi, nilai 70 untuk standar KKM kimia dan nilai 70 untuk standar KKM fisika. Apabila setiap ujian dan ulangan harian siswa tidak mampu untuk mencapai standar KKM tersebut, siswa diwajibkan untuk mengikuti ujian perbaikan yang dalam dunia pendidikan disebut ujian remedial. Di sekolah X Bandung, standar KKM mata pelajaran fisika untuk kelas XI SMA adalah 70. Pada kenyataannya, sebagian besar siswa yang masih belum mampu untuk mencapai standar KKM tersebut dan pada akhirnya mengikuti ujian remedial. Seseorang dikatakan belajar apabila dirinya dapat mengolah informasi yang didapatkan dan pengolahannya tersebut dapat melalui beberapa cara pendekatan belajar atau dikenal dengan learning approach. Jenis learning approach yang dipilih setiap orang dapat berbeda-beda. Menurut Marton dan Saljo (1976) learning approach adalah proses yang dipilih seseorang yang menentukan bagaimana informasi yang diterima itu diolah dan kemudian hasil belajar seperti yang didapatkan orang tersebut. Learning approach dibagi menjadi dua jenis yaitu deep approach dan surface approach (Biggs, 1993). Dari tiap-tiap jenis learning approach tersebut memiliki dua aspek yaitu strategy dan motif. Strategy adalah pendekatan siswa terhadap suatu tugas. Motif

14 adalah alasan mengapa pendekatan tersebut diutamakan untuk digunakan. Saat ini banyak siswa yang jika dihadapkan dengan tugas belajar di sekolah lebih memilih untuk mencari jalan dari masalah, dengan menyelesaikan tugas secepatnya daripada harus memahami apa yang diajarkan guru di kelas. Siswa lainnya melihat bahwa dirinya ingin mempunyai pemahaman dari materi tersebut. Bagaimana cara siswa menyelesaikan tugas belajarnya ditentukan oleh motif yang ada dalam dari siswa (Brophy, 1986: dalam Biggs, 1993) Motif cenderung menentukan strategi belajar, maksudnya adalah apa yang diinginkan akan menentukan apa yang akan dilakukan, motif dan strategi dalam belajar cenderung cocok dan sejalan, yang kemudian bersama-sama akan membentuk learning approach (Biggs, 1993). Siswa kelas XI SMA X Bandung yang memiliki motif untuk menghindari remedial pada mata pelajaran fisika dengan melakukan strategi belajar menghafal rumus-rumus fisika tanpa mengetahui dan memahami arti dan proses pengerjaannya secara mendalam, dengan motif dan strategi seperti itu akan membentuk learning approach. Siswa kelas XI jurusan IPA di SMA X Bandung yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM menggunakan jenis pendekatan belajar deep approach dalam proses belajar karena dirinya ingin memenuhi rasa keingintahuannya mengenai teori fisika. Strategi belajar yang digunakan adalah siswa akan mencoba untuk mengerjakan soal-soal latihan pelajaran fisika secara rutin. Jika siswa tidak bisa mengerjakan soal tersebut, dirinya akan bertanya kepada gurunya untuk mengetahui bagaimana cara mengerjakan soal yang benar. Siswa akan belajar memahami materi yang akan diujiankan atau materi yang

15 didapatkannya saat di dalam kelas lebih dalam lagi. Siswa akan mencoba untuk merefleksikan pengetahuan yang didapatkannya dalam kehidupannya sehari-hari. Siswa akan mencoba mencari hubungan antara satu kejadian dengan kejadian lain dalam suatu soal dan mencari kemungkinan apa yang akan terjadi. Hal tersebut harus dilatih terus menerus dengan cara berlatih mengerjakan soal-soal fisika. Siswa kelas XI jurusan IPA di SMA X Bandung yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM memutuskan untuk menggunakan jenis surface approach dalam proses belajar pada mata pelajaran fisika karena dirinya memiliki motif untuk mencapai nilai KKM dan menghindari ujian remedial. Strategi belajar yang digunakan siswa hanya fokus pada detail-detail yang telah dipilih sesuai dengan materi yang akan diujiankan. Siswa membaca latihan-latihan soal yang sudah pernah dikerjakan di sekolah dan menghafalkan rumus-rumus yang berkaitan dengan ujian sehingga siswa tidak mencoba untuk menghubungkan satu kejadian dengan kejadian yang lain. Siswa tidak mencoba untuk mengaplikasikan materi dalam kehidupan sehari-harinya. Ada kemungkinan seorang siswa kelas XI jurusan IPA di SMA X Bandung yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM menggunakan kedua pendekatan belajar yaitu deep approach dan surface approach. Siswa kelas XI menggunakan salah satu jenis learning approach dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari conceptions of learning, abilities dan locus of control. Faktor eksternal terdapat experiential background. Experiential background terdiri dari parental education, everyday adults experience, bilingual experiences dan experiences in learning

16 institutions. Faktor internal yang pertama adalah conception of learning. Conception of learning adalah kecenderungan keterkaitan antara keyakinan siswa tentang arti belajar dengan bagaimana cara siswa mengerjakan tugasnya. Siswa yang mempelajari secara kuantitatif mempunyai kebutuhan belajar untuk mendapatkan banyak informasi mengenai materi fisika namun tidak mempelajari lebih dalam. Sehingga kecenderungan pendekatan belajar yang digunakan siswa dalam mempelajari materi fisika adalah surface approach. Siswa yang mempelajari secara kualitatif mempunyai kebutuhan belajar untuk memahami lebih dalam materi fisika yang sedang dipelajarinya dan akan mempelajarinya secara mendalam. Sehingga kecenderungan pendekatan belajar yang digubakan siswa dalam mempelajari materi fisika adalah deep approach (Van Rossum and Schenk, 1984: dalam Biggs 1993). Faktor internal yang kedua adalah abilities. Abilities menjelaskan mengenai intelegensi pada tiap siswa. Siswa yang memiliki intelegensi lebih rendah akan cenderung menggunakan pendekatan belajar surface approach dan siswa yang memiliki intelegentsi yang tinggi diharapkan menggunakan pendekatan belajar deep approach. Namun pada kenyataannya hal tersebut belum tentu dilakukan oleh siswa yang memiliki intelegensi yang tinggi dan juga yang rendah. Bisa saja siswa yang memiliki intelegensi lebih rendah akan cenderung menggunakan pendekatan belajar deep approach dan siswa yang memiliki intelegentsi yang tinggi diharapkan menggunakan pendekatan belajar surface approach. Siswa kelas XI jurusan IPA yang daya tangkapnya kurang mengenai mata pelajaran yang membutuhkan kemampuan menalar, dirinya akan sulit untuk

17 mengikutinya. Siswa belajar menggunakan contoh-contoh yang jelas dan mengerjakan soal-soal secara terus menerus. Oleh sebab itu, siswa tersebut akan cenderung mengikuti mata pelajaran fisika dengan apa adanya dan hanya sekedar pemenuhan tugas saja. Namun siswa bisa saja menggunakan deep approach. Siswa yang memiliki tingkat intelegensi yang tinggi, diharapkan dirinya mampu untuk mempelajari materi fisika dengan deep approach. (Biggs 1987: dalam Biggs, 1993). Dalam penelitian ini, faktor abilities tidak dipergunakan. Faktor internal yang ketiga adalah locus of control. Locus of control adalah kemampuan untuk mengontrol seseorang dalam menggunakan informasi yang didapatkannya dalam pemecahan masalah dalam hidupnya. Apabila siswa kelas XI jurusan IPA yang mempunyai internal locus of control artinya siswa dapat menggunakan informasi mengenai materi fisika yang diperolehnya dengan baik untuk memecahkan masalahnya seperti dalam mengerjakan soal-soal fisika dan mempunyai dan merasa butuh untuk memiliki pengetahuan yang dalam mengenai materi fisika yang dipelajarinya. Hal tersebut menjelaskan bahwa siswa yang memiliki internal locus of control akan cenderung menggunakan pendekatan belajar deep approach. Namun sebaliknya, apabila siswa mempunyai external locus of control artinya siswa tidak mampu mengolah informasi yang didapatkannya untuk mengerjakan soal-soal fisika dan tidak merasa membutuhkan materi fisika yang dipelajarinya. Hal tersebut menjelaskan bahwa siswa y yang memiliki external locus of control akan cenderung menggunakan pendekatan belajar surface approach (Wang, 1983: dalam Biggs, 1993).

18 Selain faktor internal, ada pula faktor eksternal yang mempengaruhi learning approach pada seorang siswa. Faktor eksternal terdapat experiential background. Experiential background terdiri dari empat. Faktor experiential background yang pertama adalah latar belakang pendidikan orangtua. Siswa yang menggunakan pendekatan belajar deep approach mempunyai orangtua yang berpendidikan tinggi dari pada anak yang menggunakan surface approach (Biggs, 1987: dalam Biggs, 1993). Orangtua lulusan magister akan memberikan dorongan terhadap anak-anaknya dalam proses belajar. Orangtua akan memberikan saran cara belajar yang paling tepat terkait pelajaran fisika. Belajar fisika tidak cukup dengan menghafal atau pun membaca materi-materi tanpa berlatih soal terusmenerus ataupun mengaplikasikan teori dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut orangtua membimbing anaknya untuk belajar fisika dengan menggunakan pendekatan belajar deep approach. Siswa yang memiliki orangtua lulusan pendidikan rendah kurang memahami cara belajar yang paling tepat terkait pelajaran fisika. Sehingga orangtua kesulitan dalam membimbing anaknya untuk mempelajari pelajarn fisika dan dapat berdampak penggunaan pendekatan belajar apa yang menggunakan yaitu surface approach. Ada beberapa siswa kelas XI jurusan IPA yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM di SMA X Bandung dan orangtuanya lulusan magister dari jurusan teknik menggunakan pendekatan belajar surface approach. Ada juga beberapa siswa yang orangtuanya lulusan SMA atau sarjana dari jurusan non-teknik yang menggunakan pendekatan belajar deep approach.

19 Faktor experiential background yang kedua adalah experience in learning institution. Sekolah yang menyediakan perlengkapan praktikum sains membuat siswa-siswanya senang belajar, karena disana mereka akan menemukan hal-hal yang tidak pernah terpikirkan dan ingin mempelajarinya lebih dalam. Siswa juga akan dapat mempraktekan yang selama ini mereka pelajari secara teori dalam bentuk nyata. Hal tersebut menunjukan bahwa sekolah membantu siswa-siswanya untuk menggunakan pendekatan belajar deep approach. Sekolah yang tidak menyediakan perlengkapan praktikum sains seperti pada mata pelajaran fisika membuat siswa-siswanya hanya bisa mempelajari teori tanpa melihat secara nyata. Terkadang hal tersebut membuat siswa-siswanya bosan yang pada akhirnya siswa tidak ada ketertarikan terhadap materi pelajaran tersebut. Hal tersebut menunjukan bahwa sekolah membentuk siswa-siswanya untuk menggunakan pendekatan belajar surface approach. SMA X Bandung memiliki 3 jenis perlengkapan praktikum, sehingga setiap materi fisika tidak bisa untuk di paraktekkan. Faktor experiential background yang ketiga adalah everyday adults experience. Everyday adults experience menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki intelegensi yang tinggi belum tentu menunjukkan performance yang lebih bagus dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki pengalaman yang lebih banyak meskipun tingkat intelegensi lebih rendah dibandingkan mereka. Siswa yang selalu mendapatkan nilai yang baik disetiap ujian fisikanya belum tentu mampu menunjukkan performance yang baik ketika memperbaiki aliran listrik. Orang dewasa yang sudah terbiasa memperbaiki aliran listrik walaupun tingkat intelegensinya lebih rendah dibandingkan siswa tersebut, orang dewasa ini

20 bisa menunjukkan performance yang lebih baik dalam memperbaiki aliran tersebut. Faktor experiential background yang terakhir adalah bilingual experiences. Seorang siswa yang sudah terbiasa menggunakan lebih dari satu bahasa, akan terbiasa menemukan hal-hal baru seperti kata-kata baru. Siswa tersebut terbiasa untuk mencari informasi sendiri dan akan lebih mampu untuk memahami bahasa asing tersebut yang termasuk strategi dan motif dalam pendekatan belajar deep approach. Hal tersebut terbawa sampai kehidupan sekolahnya. Siswa yang mendapat materi fisika dan kemudian menemukan sesuatu yang baru, dirinya akan mencoba mencari tahu sendiri dari materi tersebut. Dalam penelitian ini faktor experiential background yaitu everyday adults experience dan bilingual experiences tidak diteliti.

21 1. 5. 1 Bagan Kerangka Pikir Faktor internal : 1. Conceptions of leaaning 2. Locus of control Siswa kelas XI jurusan IPA yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM di SMA X kota Bandung. Learning Approach: Motive Strategy Deep approach Surface Approach Faktor Eksternal : Experiential background, yaitu: 1. Parental Education 2. Experience in Learning Institutions

22 1. 6 Asumsi 1. Learning approach yang digunakan oleh Siswa kelas XI jurusan IPA yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM dibentuk oleh motive dam strategy mereka dalam belajar. 2. Jenis-jenis learning approach yang digunakan siswa kelas XI jurusan IPA yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM ada dua yaitu deep approach dan surface approach. 3. Siswa kelas XI jurusan IPA yang memiliki nilai fisika di bawah standar KKM, pendekatan belajar mereka juga dipengaruhi oleh faktor internal yang terdiri dari conceptions of learning, locus of control dan juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yang terdiri dari parental education dan experience in learning institution.