BAB I PENDAHULUAN. Kedaulatan merupakan salah satu unsur eksistensi sebuah negara. Dari

dokumen-dokumen yang mirip
PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. manusia di dalamnya dan perlu pengaturan yang jelas dan pasti. Berbeda dengan

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

BAB I PENDAHULUAN. Perang saudara Suriah yang juga dikenal dengan pemberontakan Suriah atau

BAB I PENDAHULUAN. Medan sekitar pukul Wib saat memasuki udara Indonesia. 1 Diperkirakan

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

BAB I PENDAHULUAN. khususnya mengenai penerbangan, penggunaan pesawat-pesawat terbang dalam

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan alat transportasi lainnya karena banyaknya keuntungan yang didapat

Perkembangan Hukum Laut Internasional

penting dalam menciptakan hukum internasional sendiri.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2)

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA. Oleh: Ida Ayu Karina Diantari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah the most broken-up nation in the world, satu negeri,

BAB I PENDAHULUAN. maupun niaga dalam negeri maupun luar negeri, modal harus single majority

PELANGGARAN KEDAULATAN DI WILAYAH UDARA NEGARA INDONESIA OLEH PESAWAT SIPIL ASING JURNAL ILMIAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NAVIGASI. Pengertian Lintas (Art. Art. 18 LOSC) SELAT SELAT REZIM HAK LINTAS. Dalam arti geografis: Dalam arti yuridis: lain.

BAB I PENDAHULUAN. negara yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks.

BAB III PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA INTERNASIONAL. Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan yang luas maka modal transportasi udara

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

PEMBAGIAN ZONA MARITIM BERDASARKAN KONVENSI HUKUM LAUT PBB (UNCLOS 82)

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

Kedaulatan Wilayah. Kedaulatan. Negara. Pengertian Kedaualatan: tertentu dibatasi oleh batas-batas. wilayah. wilayahnya.

PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA. Oleh : Ida Kurnia * Abstrak

Isi Perjanjian DCA RI Singapura

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Potensi ruang angkasa untuk kehidupan manusia mulai dikembangkan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

PENGATURAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BAWAH LAUT BERKAITAN DENGAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN

State Sovereignty over the Airspace Concept and Enforcement Efforts of Sovereignty Violations by Foreign Aircraft

BAB I PENDAHULUAN. warga negaranya atau orang yang berada dalam wilayahnya. Pelanggaran atas

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENEGAKAN HUKUM DI PERBATASAN WILAYAH UDARA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA. Oleh:

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA. aircraft) dengan pesawat udara negara (state aircraft). Perbedaan antara pesawat

PENEGAKAN YURISDIKSI TERITORIAL NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DALAM PENCAPAIAN ASEAN PHYSICAL CONNECTIVITY

BAB I PENDAHULUAN. manusia lainnya. Di dalam masyarakat bagaimanapun sederhananya, para anggota

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRINSIP CABOTAGE DALAM INDUSTRI PENERBANGAN INDONESIA DI ERA ASIAN SINGLE AVIATION MARKET 2015

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III

POLITIK HUKUM MEMANFAATKAN WILAYAH UDARA UNTUK KEPENTINGAN PENERBANGAN DI WILAYAH KEDAULATAN N.K.R.I.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH

xii hlm / 14 x 21 cm

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Khusus bagi Indonesia sebagai negara kepulauan angkutan udara

TUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERENCANAAN KAWASAN PESISIR

BAB V PENUTUP. yang mengalami kecelakaan di perairan Indonesia koordinasi terhadap

BAB I PENDAHULUAN. memiliki mobilitas yang tinggi, seperti berpindah dari satu tempat ke tempat lain

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keberhasilan diplomatik yang monumental. Perjuangan Indonesia

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Konferensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa III telah berhasil

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB II KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS SUATU ZONA LARANGAN TERBANG. Inggris yang dikenal dengan istilah souveregnity yang kemudian berakar dari

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TANGGUNG JAWAB NEGARA BERDASARKAN SPACE TREATY 1967 TERHADAP AKTIVITAS KOMERSIAL DI LUAR ANGKASA

KEDAULATAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA ATAS PULAU NIPA DITINJAU BERDASARKAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (UNCLOS) 1982

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

BAB II OPEN SKY POLICY SEBAGAI INSTRUMEN HUKUM UDARA. 1. Sifat dan Tujuan / Jenis Hukum Udara Internasional

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kedaulatan merupakan salah satu unsur eksistensi sebuah negara. Dari sudut ilmu bahasa kedaulatan dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan tertinggi atas pemeritahan negara, daerah, dan sebagainya. Dalam konteks ilmu tata negara, Parthiana menyatakan bahwa kedaulatan dapat diartikan sebagai kekuasaan yang tertinggi yang mutlak, utuh, bulat dan tidak dapat dibagi-bagi dan oleh karena itu tidak dapat ditempatkan di bawah kekuasaan lain. Namun demikian dalam proses perkembangan lebih lanjut, telah terjadi perubahan makna kedaulatan negara. 1 Kedaulatan suatu negara tidak lagi bersifat mutlak atau absolut, akan tetapi pada batas-batas tertentu harus menghormati kedaulatan negara lain, yang diatur melalui hukum internasional. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah kedaulatan negara bersifat relatif (Relative Sovereignty of State). Dalam konteks hukum internasional, negara yang berdaulat pada hakikatnya harus tunduk dan menghormati hukum internasional, maupun kedaulatan dan integritas wilayah negara lain. 2 Berkaitan dengan arti dan makna kedaulatan, Jean Bodin menyatakan bahwa kedaulatan merupakan atribut dan ciri khusus dari suatu negara. Tanpa adanya kedaulatan, maka tidak akan ada yang dinamakan negara. 3 Ia juga 1 Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, Graha Ilmu, Yogyakarta 2011 hal 8 2 Ibid. 3 Fred Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Binacipta, Bandung 1996 hal 89

menyatakan bahwa kedaulatan tersebut mengandung satu-satunya kekuasaan sebagai : 1. Asli, artinya tidak diturunkan dari sesuatu kekuasaan lain; 2. Tertinggi, tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat membatasi kekuasaannya 3. Bersifat abadi atau kekal; 4. Tidak dapat dibagi-bagi karena hanya ada satu kekuasaan tertinggi saja; 5. Tidak dapat dipindahtangankan atau diserahkan kepada pihak lain. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki dari negara, di mana negara tersebut berdaulat, tetapi mempunyai batas-batasnya, yaitu ruang berlakunya kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas-batas wilayah negara itu, di luar wilayahnya negara tersebut tidak lagi memiliki kekuasaan demikian. 4 Berkenaan dengan hal tersebut, kedaulatan tidak dipandang sebagai sesuatu yang bulat dan utuh, melainkan dalam batas-batas tertentu sudah tunduk pada pembatasan-pembatasan yang berupa hukum internasional maupun kedaulatan dari sesama negara lainnya. Dengan demikian suatu negara yang berdaulat tetap saja tunduk pada hukum internasional serta tidak boleh melanggar atau merugikan kedaulatan negara lain. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat dikatakan pula bahwa pada masa kini kedaulatan negara merupakan sisa dari kekuasaan yang dimiliki dalam batas-batas yang ditetapkan melalui hukum internasional. 4 Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum, Bina Cipta, Jakarta.2010. hal 7

Melihat dari kenyataan di lapangan, akhir-akhir ini banyak pesawat asing yang melintas di wilayah udara negara Indonesia. Pesawat-pesawat asing melintas tanpa seizin menara pengawas yang ada di darat. Biasanya kebanyakan pesawat yang melintas tanpa izin adalah pesawat-pesawat militer negara asing. Masalah ini sudah sering terjadi dan dirundingkan bersama dengan negara yang pesawatnya melintas di wilayah udara negara Indonesia. Masalah pengelolaan dan pertahanan di wilayah perbatasan sangat terkait erat dengan konsepsi dasar tentang negara sebagai entitas yang memiliki kedaulatan, penduduk, dan wilayah serta tafsir atau persepsi atas ancaman yang dihadapi. Dengan demikian, pengelolaan dan pertahanan wilayah perbatasan dapat disimpulkan sebagai segala upaya untuk mewujudkan eksistensi suatu negara yang ditandai dengan terlindunginya kedaulatan, penduduk dan wilayah dari pelbagai jenis ancaman. Konsepsi ini merupakan bagian dari satu pemahaman totalitas mengenai konsep keamanan nasional yang intinya adalah kemampuan negara melindungi apa yang ditetapkan sebagai nilai-nilai inti (core values), dimana pencapaiannya merupakan sebuah proses terus-menerus, dengan menggunakan segala elemen power dan resources yang ada serta melingkupi semua aspek kehidupan. 5 Sesuai Konvensi Chicago 1944, dalam Pasal I dinyatakan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh (complete and exclusive sovereignity) atas ruang udara atas wilayah kedaulatannya. Dari pasal tersebut memberikan pandangan bahwa perwujudan dari kedaulatan yang penuh dan utuh 5 Mufti Makarim. A, Strategi Pengelolaan Dan Pertahanan Wilayah Perbatasan Udara Republik Indonesia : Tantangan Aspek Politik, Yuridis dan Operasional, tanpa tahun. hal 89

atas ruang udara di atas wilayah teritorial, adalah: (1). Setiap negara berhak mengelola dan mengendalikan secara penuh dan utuh atas ruang udara nasionalnya (2). Tidak satupun kegiatan atau usaha di ruang udara nasional tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu atau sebagaimana telah diatur dalam suatu perjanjian udara antara negara dengan negara lain baik secara bilateral maupun multilateral. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Yuridiksi Wilayah Udara Suatu Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengemukakan permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana yuridiksi wilayah udara suatu Negara? 2. Bagaimana prinsip hukum udara yang dianut bangsa-bangsa di dunia (internasional)? 3. Bagaimana Yuridiksi Wilayah Udara Suatu Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah a. Untuk mengetahui yuridiksi wilayah udara suatu Negara

b. Untuk mengetahui prinsip hukum udara yang dianut bangsa-bangsa di dunia (internasional) c. Untuk mengetahui Yuridiksi Wilayah Udara Suatu Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional. 2. Manfaat Penelitian Mmanfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Secara teoritis Untuk pengembangan studi ilmu hukum selanjutnya, khususnya di bidang Hukum Internasional yaitu Hukum Udara dan Ruang Angkasa. Serta penulis berharap agar hasil penulisan skripsi ini dapat menambah khasanah kepustakaan Hukum Udara dan Ruang Angkasa. b. Secara praktis Sumbangsih pada peningkatan kualitas sumber daya manusia khususnya di bidang kedirgantaraan dan keantariksaan, penelitian ilmu pengetahuan dan pencarian sumber-sumber alam baru. D. Keaslian Penulisan Penulisan skripsi mengenai Yuridiksi Wilayah Udara Suatu Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional menurut sumber dari jurusan Hukum Internasional Fakultas Hukum belum ada yang mengangkat dan mambahasnya.

Adapun beberapa skripsi mempunyai profil yang sama dengan judul skripsi ini berbeda dengan skripsi laun yang topiknya sama/ hampir sama antara lain : Tarulina Debora Saragih (2010) dengan judul Pengaruh Asean Charter (Piagam Asean) Terhadap Yurisdiksi Negara Anggotanya permasalahan dalam penelitian ini adalah; Proses Ratifikasi Piagam ASEAN, B. Pemberlakuan Piagam ASEAN terhadap Negara Anggotanya dan analisa Pengaruh Pemberlakuan Piagam ASEAN terhadap Yurisdiksi Negara Anggotanya. Fachrizal Lubis (2010) Penerapan Yurisdiksi Unversal Melalui Mekanisme Ekstradisi Atas Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) permasalahan dalam penelitian ini adalah: Penerapan Yurisdiksi Universal, B. Ekstradisi Atas Pelaku Kejahatan Pada Umumnya, C. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity)dan Penerapan Yurisdiksi Universal Melalui Mekanisme Ekstradisi Proses Peradilan Atas Pelaku Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) Oleh Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) Berdasarkan Yurisdiksi Universal. E. Tinjauan Pustaka 1. Berdirinya Suatu Negara. Sebagaimana diketahui dalam literatur-literatur ketatanegaraan khususnya yang membahas tentang ilmu negara menyebutkan bahwa syarat-syarat berdirinya suatu negara itu harus memenuhi tiga unsur pokok negara, yaitu adanya suatu wilayah, rakyat, dan pemerintah yang berdaulat. Ketiga unsur tersebut sudah

dipenuhi oleh negara-negara yang sudah berdiri dan ada pada saat ini. Dengan kata lain, tidak ada satu pun negara yang ada di dunia sekarang ini yang tidak memenuhi ketiga unsur tersebut. Unsur wilayah di sini tidak terbatas pada wilayah daratan saja, namun termasuk juga wilayah laut dan udara. Di dunia ini ada negara yang tidak memiliki wilayah laut namun tidak satu pun negara yang tidak memiliki ruang udara. Dalam hukum Romawi, ada suatu adagium yang menyebutkan, bahwa "Cujus est soluni, ejus est usque ad coelum". Artinya, barang siapa yang memiliki sebidang tanah maka ia juga memiliki segala-galanya yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah. Menurut dalil tersebut, apabila suatu negara memiliki tanah maka dengan sendirinya negara itu akan memiliki ruang udara di atasnya. Ternyata, dalil tersebut masih bersifat umum dan ada ketentuan lain yang bersifat lebih khusus sebagai ketentuan pengecualiannya. Ketentuan pengecualian itu menyatakan bahwa udara sebagai unsur "res communis". Kata "aerrescommunis" dijumpai dalam kalimat "corpus juris civilis" 6 2. Teori Kepemilikan ruang udara. Pada tahun 1913 muncul dua teori yaitu : a. The Air Freedom Theory menyatakan bahwa udara dapat menjadi bebas karena sifat yang dimilikinya (by its nature is free dan dapat dikelompokkan menjadi: 7 6 Priyatna, 1972:49 7 Ibid. hal 54

1) Kebebasan ruang udara tanpa batas. 2) Kebebasan ruang udara yang dilekati beberapa hak khusus negara kolong. 3) Kebebasan ruang udara tetapi diadakan semacam wilayah teritorial di daerah mana hak-hak tertentu negara kolong dapat dilaksanakan. b. The Air Sovereignty Theory dapat dikelompokkan menjadi: 1) Negara kolong berdaulat penuh hanya terhadap suatu ketinggian tertentu di ruang udara 2) Negara kolong berdaulat penuh tetapi dibatasi oleh hak lintas damai bagi navigasi pesawat-pesawat udara asing. 3) Negara kolong berdaulat penuh tanpa batas. Teori kedua merupakan kebalikan dari teori pertama yang menyatakan bahwa udara itu tidak bebas sehingga negara berdaulat terhadap ruang udara di atas wilayah negaranya. Dalam Teori kedua tampaknya sudah ada pembatasan negara atas wilayah udara, yaitu adanya hak lintas damai (innocent passage) bagi pesawat udara asing. Dengan demikian, apabila ada pesawat udara asing yang terbang di ruang udara suatu negara maka akan mempunyai risiko yang berbeda sesuai teori mana yang dianutnya, apakah teori udara bebas atau teori udara tidak bebas. 3. Teori-teori lain International Air Transport Agreement. Pada Pasal 1 ayat (1) International Air Transport Agreement 1944 menyatakan: "Each contracting State grants to the other contracting State the Following freedoms of the air in respect of scheduled international air services :

1) The privilege to fly across its territory with out landing. 2) The privilege to land for non traffic purposes 3) The privilege to put down passengers, mail and cargo taken on in territory of the state whose nationality the aircraft possesses. 4) The privilege to take on passengers, mail and cargo destined for the territory of the state whose nationality the aircraft possesses. 5) The privilege to take on passengers, mail and cargo destined for the territory of any other contracting state and the privilege to put down passengers, mail and cargo coming from any such territory...", Ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan International Air Transport Agreement tersebut dikenal juga dengan The Five Freedom Agreement. Selain itu, dalam Pasal 5 dan 6 Konvensi Chicago 1944 diatur tentang Non Scheduled Flight dan Scheduled Flight. Dengan demikian, akan timbul beberapa masalah antara teori-teori yang ada dengan ketentuan-ketentuan mengenai penerbangan pesawat udara, khususnya penerbangan pesawat udara asing. Permasalahan yang dapat timbul antara lain bagaimanakah kaitan antara kedaulatan suatu negara atas ruang udara di atasnya dengan kebebasan melintas yang dimiliki oleh pesawat asing sesuai perjanjian-perjanjian yang mengaturnya; bagaimana pula kaitannya dengan ketentuan mengenai non scheduled flight dan scheduled flight 4. Konvensi Chicago 1944. Pada Bagian 1 Air Navigation bab 1 General Principles and Application of the Convention, Article 1 Sovereignty. The contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory, berarti bahwa setiap negara memiliki kedaulatan yang penuh dan mutlak atas ruang udara di atas wilayah teritorialnya. Yang berarti bahwa diruang

udara tidak dikenal hak lintas damai (innocent Passage). Hal ini akan sangat bertentangan dengan prinsip yang dituangkan dalam Unclos tahun 1982 yang mengenal adanya hak lintas damai bagi semua pesawat udara yang akan melintas. Sehingga dengan adanya pertentangan tersebut haruslah diambil jalan keluar agar antara satu aturan dapat disesuaikan dengan aturan-aturan yang ada lainnya. Konvensi Chicago 1944 pada prinsipnya sangat menjunjung tinggi kedaulatan negara, termasuk atas wilayah udaranya. Akan tetapi, untuk kepentingan bersama masyarakat internasional, konvensi itu dengan panjang lebar mengatur sangat rinci aturan-aturan yang terkait dengan penerbangan dan lalu lintas penerbangan di dunia, khususnya penerbangan sipil, tetapi dalam lampirannya diatur juga mengenai koordinasi penerbangan militer. Pada Article 5, non-scheduled flight Each contracting State agrees that all aircraft of the other contracting States, being aircraft not engaged in scheduled international air services shall have the right, subject to the observance of the terms of this Convention, to make flights into or in transit non-stop across its territory and to make stops for non-traffic purposes without the necessity of obtaining prior permission, and subject to the right of the State flown over to require landing. Each contracting State nevertheless reserves the right, for reasons of safety of flight, to require aircraft desiring to proceed over regions which are inaccessible or without adequate air navigation facilities to follow prescribed routes, or to obtain special permission for such flights. Such aircraft, if engaged in the carriage of passengers, cargo, or mail for remuneration or hire on other than scheduled international air services, shall also, subject to the provisions of Article 7, have the privilege of taking on or discharging passengers, cargo, or mail, subject to the right of any State where such embarkation or discharge takes place to impose such regulations, conditions or limitations as it may consider desirable. Dalam Pasal 5 di atas dijelaskan tentang Penerbangan tidak berjadwal (Non schedule Flight) sebagai berikut : a. Bagi sesama anggota Konvensi, dapat terbang tanpa berhenti, dan atau mendarat bukan untuk kepentingan komersial (for non traffic purposes)

dengan tanpa ijin terlebih dahulu, namun Negara yang dilewati berhak meminta untuk mendarat. b. Dapat mendarat tanpa maksud tujuan komersial dengan tanpa ijin terlebih dahulu, karena alasan keselamatan penerbangan (for reason of safety of flight) dan Negara anggota memberikan hak kepada pesawat itu untuk melanjutkan terbang kembali. c. Bagi pesawat tidak berjadwal yang bersifat komersial, setiap negara berhak menetapkan aturan-aturan atau persyaratan-persyaratan yang dipandang perlu. Pada Article 6 tentang Scheduled air services No scheduled international air service may be operated over or into the territory of a contracting State, except with the special permission or other authorization of that State, and in accordance with the terms of such permission or authorization. Dalam Pasal 6 dijelaskan tentang penerbangan secara berjadwal yang menyatakan bahwa tidak satupun penerbangan berjadwal beroperasi di atas atau ke dalam wilayah territorial Negara sesama anggota konvensi, kecuali dengan adanya special permission /perjanjian bilateral /multilateral (Perjanjian tersebut dibuat dengan melibatkan antara Negara yang akan dilewati/ didarati dengan suatu prinsip timbal balik). Konvensi itu dihasilkan dari kesadaran risiko bahaya dari moda transportasi udara, yang jauh lebih tinggi dari modatransportasi lainnya. Oleh karena itulah, dalam dunia penerbangan diatur sangat rinci, antara lain, mengenai jalur-jalur penerbangan yang harus dipatuhi semua pesawat sebagai diatur dalam

Enroute Charts ICAO, serta siapa yang diberi kewenangan untuk mengawasi dan mengatur lalu lintas penerbangan di suatu kawasan melalui penetapan flight information region (FIR). Sejak konvensi itu dibuat hingga industri penerbangan sipil yang maju semakin pesat sejak 1970-an, wilayah udara dunia telah diatur sedemikian rupa oleh ICAO (International Civil Aviation Organization) berdasarkan berbagai faktor, antara lain ketersediaan berbagai fasilitas pendukung transportasi udara di masing-masing wilayah. Oleh karena itu, pengaturan lalu lintas udara sejak awal memang tidak sangat berpatokan pada wilayah kedaulatan suatu negara, tetapi juga tidak lantas menghilangkan kedaulatan suatu negara atas wilayah udaranya. Hal itulah yang membuat tidak seluruh wilayah kedaulatan RI, FIR-nya diatur oleh Jakarta. Sebagian wilayah RI, khususnya di sekitar Kepulauan Riau, FIR-nya diatur oleh Singapura. Bukan hanya Indonesia yang sebagian wilayahnya masuk dalam FIR negara lain. Banyak negara lain di dunia pun mengalaminya, bahkan Indonesia pun memegang FIR untuk Pulau Christmas milik Australia, wilayah Papua Niugini dan Timor Leste yang belum lama merdeka. Artinya, pesawat Australia yang akan terbang dari Sydney ke Pulau Christmas, misalnya, melapornya harus ke Indonesia. Kenyataan tersebut menegaskan bahwa masalah alur dan pengaturan penerbangan tidak bisa sepenuhnya dikaitkan dengan kedaulatan negara. Dalam Konvensi Chicago Pasal 9 ditetapkan, setiap negara (sebagai wujud dari kedaulatannya) berhak menetapkan wilayah-wilayah yang dinyatakan

terlarang untuk penerbangan, baik karena alasan kebutuhan militer maupun keselamatan publik. Indonesia pun memiliki "wilayah terlarang" tersebut. Terkait Perjanjian Kerja Sama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) RI-Singapura yang sudah ditandatangani di Bali tetapi belum secara resmi berlaku, memang ada kekhawatiran bahwa ditetapkannya beberapa wilayah RI sebagai tempat latihan untuk pesawat-pesawat militer Singapura akan membuat akses penerbangan RI melalui wilayah itu ditutup. Terlebih lagi ada isu bahwa frekuensi latihan pesawat-pesawat militer Singapura itu akan sangat sering sehingga dikhawatirkan Indonesia kehilangan "kontrol" atas wilayah-wilayah yang dipinjamkan kepada Singapura itu. Antara RI dan Singapura sejak era 1980-an telah ada kesepakatan mengenai penggunaan wilayah RI untuk tempat berlatih angkatan bersenjata Singapura. Kerja sama terakhir kedua negara yang tertuang dalam Persetujuan mengenai Latihan Militer (MTA) di Area 1 dan 2 yang ditandatangani Menteri Pertahanan dan Keamanan RI Edi Sudrajat dan Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan Singapura Dr Tony Tan pada September 1995, areanya tidak banyak berbeda dengan apa yang disebut Alpha 1 dan Alpha 2 dalam DCA RI-Singapura yang belum berlaku itu. 5. UU no 15 tahun Undang-Undang Republik Indonesia nomor 15 tahun 1992. Menurut UU no 15 tahun Undang - Undang Republik Indonesia nomor 15 tahun 1992 Tentang Penerbangan pasal 4 bahwa Negara Republik Indonesia berdaulat penuh dan utuh atas wilayah udara Republik Indonesia. Hal ini berarti Sebagai negara berdaulat, Republik Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan

utuh di wilayah udara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional. Ketentuan dalam pasal ini hanya menegaskan mengenai kewenangan dan tanggung jawab negara Republik Indonesia untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan bagian dari wilayah dirgantara Indonesia, sedangkan mengenai kedaulatan atas wilayah Republik Indonesia secara menyeluruh tetap berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia. Kemudian pada Pasal 5 dinyatakan bahwa dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara, penerbangan, dan ekonomi nasional. Wilayah udara yang berupa ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan Republik Indonesia merupakan kekayaan nasional sehingga harus dimanfaatkan bagi sebesar-besar kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. 6. UNCLOS III 1982 Territorial sea and Continous Zone, Section 1. General Provision, Article 2 Legal Status of the territorial sea, of the air space over the territorial sea and of its bed and subsoil. 1. The souvereignity of coastal state extends, beyond its territory and internal waters and, in the case of an archipelagic state, its archipelagic waters, to an adjaeent belt of sea, described as the territorial sea.

2. This soverignity extends to the air space over the territorial sea as well as to itsbed and subsoil. Dalam Pasal 2 tentang Status hukum laut teritorial, ruang udara di atas laut teritorial dan dasar laut serta tanah di bawahnya. 1. Kedaulatan suatu Negara pantai, selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya dan, dalam hal suatu Negara Kepulauan, perairan kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya dinamakan laut territorial. 2. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut territorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya. Dalam Pasal 49, dijelaskan lingkup kedaulatan suatu negara sebagai berikut : 1. Kedaulatan suatu Negara kepulauan meliputi perairan yang ditutup oleh garis pangkal kepulauan, yang ditarik sesuai dengan ketentuan Pasal 47, disebut sebagai perairan kepulauan, tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. 2. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas perairan kepulauan, juga dasar laut dan tanah di bawahnya, dan sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Namun di dalam negara yang berdaulat tersebut harus diberikan hak lintas alur laut bagi kapal maupun rute penerbangan bagi pesawat udara negara lain. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 53 sebagai berikut : Hak Lintas alur laut kepulauan (innocent Passage)

1. Suatu Negara kepulauan dapat menentukan alur laut dan rute penerbangan di atasnya, yang cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat udara yang terus menerus dan langsung serta secepat mungkin melalui atau di atas perairan kepulauannya dan laut teritorial yang berdampingan dengannya. 2. Semua kapal dan pesawat udara menikmati hak lintas alur laut kepulauan dalam alur laut dan rute penerbangan demikian. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Eksistensi rangkaian suatu metode penelitian dapat diawali dari penentuan jenis penelitiannya, dimana jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah Penelitian Normatif atau disebut juga sebagai penelitian doktrinal. Penelitian normatif, adalah merupakan penelitian pustaka, sehingga dalam pengumpulan data-data penulis tidak perlu mencari langsung ke lapangan akan tetapi cukup dengan pengumpulan data sekunder yang kemudian dikonstruksikan dalam satu rangkaian hasil penelitian. Penelitian normatif sebagai studi pustaka, pada dasarnya adalah berfungsi untuk menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian. 8 Dalam penulisan hukum ini menggunakan penelitian hukum normatif (doktrin) yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian normatif yang dapat diartikan sebagai suatu prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan mengambarkan atau melukiskan keadaan hal 112 8 Bambang Sunggono.Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada.1996.

objek atau subjek yang diteliti pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. 9 2. Jenis Data Dalam penelitian hukum normatif ini jenis data digunakan adalah data sekunder yaitu, data yang dikumpulkan oleh orang lain. Pada waktu penelitian dimulai data telah tersedia, atau dapat disebut sebagai data given begitu adanya karena tidak diketahui metode pengambilannya dan validitasnya. 10 Dimana data sekunder yang dimaksud adalah data yang memberikan informasi terkait mengenai yuridiksi wilayah udara suatu negara. Dalam penelitian ini penulis memperoleh data dari studi kepustakaan, berupa literature, majalah, koran, makalah, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi, korespondensi, dan semua bahan sekunder lainnya yang terkait dengan penelitian ini. 3. Sumber Data Penelitian hukum normatif berdasarkan ketentuan jenis data yang digunakan adalah data sekunder meliputi 3 (tiga) sumber bahan hukum yaitu sebagai berikut: 1). Bahan Hukum Primer, Berupa bahan hukum yang bersifat mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah yang dapat berupa, norma dasar atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasi, 9 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. 1984. hal 43 10 Bambang Sunggono, Op.Cit, hal 37

yurisprudensi, traktat, bahan hukum dari zaman kolonial belanda yang masih berlaku. 11 2). Bahan Hukum Sekunder, Bahan yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer, dimana dalam penelitian ini sumber bahan sekunder berasal dari buku-buku ilmiah, hasil penelitian terdahulu, makalah-makalah ilmiah, korespondensi, dan dokumendokumen yang terkait dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini dokumen-dokumen, makalah, atau karya tulis daripenulis terdahulu, adalah berasal dari arsip yang dimiliki oleh Departemen Luar Negeri RI, dan Departemen Dalam Negeri RI, yang memberikan informasi mengenai yuridiksi wilayah udara suatu negara 3). Bahan Hukum Tersier, Bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan mengenai bahan Hukum Primer dan Sekunder yang berupa Ensiklopedia, Kamus Bahasa Inggris, Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, dan Bibliografi. 4. Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam suatu penelitian ada banyak macamnya tergantung pada masalah yang dipilih serta metode penelitian yang digunakan. 12 Sesuai dengan yang telah ditegaskan sebelumnya bahwa jenis penelitian ini adalah penelitian hukum Normatif, sehingga data-data yang digunakan adalah data sekunder diperoleh dari membaca, mengkaji, dan menelaah data yang berasal dari buku-buku, literature, makalah, dokumen-dokumen, Koran, majalah, karya tulis 11 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali.1985. hal 14-15 12 Bambang Sunggono, Op.Cit., hal 53

ilmiah, serta berbagai sumber kajian yang mengulas mengenai penentuan dan penetapan garis batas landas kontinen oleh penulis dikaitkan dengan ketentuan yang diaplikasikan pada yuridiksi wilayah udara suatu negara dalam perspektif hukum internasional 5. Analisis Data Pada penelitian Hukum Normatif yang menelaah data sekunder, penulis disini menggunakan teknik analisis logis, sistematis, dan yuridis, untuk mengolah data-data yang telah dikumpulkan, dianalisis, dan disimpulkan, guna mencapai tujuan dari penelitian yaitu untuk mencari jawaban dari rumusan masalah yang diteliti, agar hasil dari penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan. G. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini membahas tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan BAB II YURIDIKSI WILAYAH UDARA SUATU NEGARA Pada bab ini akan membahas tentang Pengertian Kedaulatan Negara, Pengertian Yurisdiksi, Yurisdiksi Negara dalam Hukum Internasional, Macam-Macam Yurisdiksi Negara dan Kedaulatan dan Yurisdiksi di Wilayah Perairan dan Udara

BAB III PRINSIP HUKUM UDARA YANG DIANUT BANGSA- BANGSA DI DUNIA (INTERNASIONAL). Pada bab ini akan membahas tentang Sejarah Munculnya Hukum Udara Internasional, Prinsip-prinsip Hukum Udara Internasional, Pembatasan Yurisdiksi Negara berdasarkan Piagam Organisasi Internasional dan Sukhoi TNI-AU Cegat Cessna Milik Amerika BAB IV YURIDIKSI WILAYAH UDARA SUATU NEGARA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL Pada bab ini akan membahas Pengertian Perbatasan Negara, Klasifikasi Perbatasan Negara Penetapan Perbatasan Negara dan Prinsip dan Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Perbatasan Negara BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini akan membahas kesimpulan merupakan intisari dari pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini, sedangkan saran yang ada diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi para pembacanya dan dapat berguna bagi pihakpihak yang terlibat dalam yuridiksi wilayah udara suatu negara