1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini dilapisi lapisan mukosa yang merupakan lanjutan mukosa rongga hidung dan bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. Pada kondisi anatomi dan fisiologis normal, sinus terisi udara. Deviasi dari struktur anatomi normal maupun perubahan fungsi lapisan mukosa dapat menjadi predisposisi penyakit sinus (Amedee & Miller, 2001). Rhinosinusitis diartikan sebagai gangguan akibat inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasalis (Pinheiro et al., 2001). Istilah rhinosinusitis lebih tepat dibandingkan sinusitis karena jarang sinusitis tanpa didahului rhinitis dan tanpa melibatkan mukosa hidung. Rhinosinusitis maxillaris kronis adalah peradangan sinus maxillaris yang telah menimbulkan perubahan histologis pada mukosa, yakni fibrosis, metaplasia skuamosa, regenerasi, metaplasia dan jaringan parut (Boeis et al., 1981). Pada sinusitis kronis, sumber infeksi berulang cenderung berupa stenotik. Inflamasi menyebabkan saling menempelnya mukosa yang berhadapan dalam ruang yang sempit, akibatnya terjadi gangguan transport mucocilia, menyebabkan retensi mucus dan mempertinggi pertumbuhan bakteri dan virus. Infeksi kemudian menyebar ke sinus yang berdekatan (Emilia, 2013).
2 Rhinosinusitis kronis merupakan kondisi inflamasi pada hidung dan sinus paranasalis yang sering dilaporkan pada kunjungan berobat baik ke dokter umum maupun dokter Spesialis THT. Prevalensi rhinosinusitis kronis di Amerika Serikat pada tahun 2000 adalah sebesar 14% dan hampir 75% terjadi pada usia antara 30-69 tahun. Prevalensi ini meningkat seiring peningkatan usia dengan prevalensi rata-rata 2,7% pada usia 20-29 tahun dan 6,6% pada usia 50-59 tahun. Namun setelah usia 60 tahun, prevalensi ini mengalami penurunan mencapai rata-rata 4,7%. Rhinosinusitis kronis lebih sering dijumpai pada wanita dibandingkan lakilaki dengan perbandingan sebesar 6:4. Di Indonesia, prevalensi rhinosinusitis kronis pada tahun 2004 dilaporkan sebesar 12,6%, dengan perkiraan sebanyak 30 juta penduduk menderita rhinosinusitis kronis (Budiman, 2010). Patofisiologi penyakit sinus terkait 3 faktor yaitu patensi ostium, fungsi cilia dan kualitas sekret. Rhinosinusitis maxillaris diawali adanya kelainan pada complex ostiomeatal. Penyebab rhinosinusitis maxillaris terdiri dari penyebab lokal dan penyebab sistemik. Penyebab lokal karena infeksi gigi, trauma maupun obstruksi mekanik seperti deviasi septum nasi dan edema cavum nasi. Penyebab sistemik karena malnutrisi, terapi steroid jangka lama, diabetes tidak terkontrol, diskrasia darah dan defisiensi imun (Pinheiro et al., 2001).
3 Variasi anatomi seperti Haller cell, deviasi septum nasi dan concha bullousa diduga menjadi faktor predisposisi terhadap kejadian rhinosinusitis maxillaris kronis. Variasi anatomi tersebut dapat menyebabkan obstruksi terhadap complex ostiomeatal dan mengganggu pembersihan oleh mucocilia sehingga memungkinkan terjadinya rhinosinusitis maxillaris (Pinheiro et al., 2001). Haller cell adalah pneumatisasi extramural cell ethmoid di bawah dinding dasar orbita (aspek superomedial sinus maxillaris). Haller cell terlihat pada 10 40 % pasien rhinosinusitis. Pada sebagian besar pasien adanya Haller cell biasanya asimptomatik. Secara radiologis Haller cell dapat diklasifikasikan menjadi kecil, sedang dan besar (Balasubramanian, 2012). Haller cell terbentang dari sinus ethmoidalis anterior sampai inferomedial dasar orbita dan aspek superior sinus maxillaris. Lokasi Haller cell di atap sinus maxillaris, dekat dan di atas ostium sinus maxillaris di dinding inferior orbita dan batas lateral infundibulum (Khayam E, 2013). Pada penelitian Dua et al, (2005) terhadap 50 orang dengan rhinosinusitis terdapat beberapa variasi anatomi sinus paranasalis yang dapat berperan dalam timbulnya rhinosinusitis yaitu deviasi septum nasi 44%, agger nasi cell 40%, concha bullousa 16%, Haller cell 16%, overpneumatisasi bulla ethmoid 14%, concha medius paradoxical 10%, onodi cell 6%, processus uncinatus bengkok 6%, septum sinus maxillaris 6%, lamina papyracea terdorong ke lateral 4% dan pneumatisasi vomer 2% ( Dua et al., 2005).
4 Computed Tomography (CT) merupakan metode yang baik untuk mengevaluasi struktur anatomi karena dapat memperlihatkan dengan jelas struktur anatomi hidung dan sinus paranasalis seperti kondisi complex ostiomeatal, kelainan anatomi, memvisualisasi ada tidaknya jaringan patologis di sinus dan perluasannya. Pemeriksaan CT mampu memberikan gambaran struktur anatomi pada area yang tidak tampak melalui endoscopy. Pemeriksaan ini sangat baik dalam memperlihatkan cellulae ethmoidalis anterior, 2/3 atas cavum nasi dan recessus frontalis. Pada daerah ini CT dapat memperlihatkan lokasi faktor penyebab sinusitis kronis (Emilia, 2013). Computed Tomography sinus paranasalis menjadi pemeriksaan radiologis pilihan untuk mendiagnosis rhinosinusitis akut maupun kronis. Tidak seperti foto polos, CT sinus paranasalis dapat menampilkan anatomi soft tissue dan tulang secara terperinci (Qudah et al., 2009). Computed Tomography sinus paranasalis dapat menampilkan anatomi sinus paranasalis dan mempunyai akurasi yang tinggi dalam menilai kelainan pada sinus paranasalis. Computed Tomography dapat menilai anatomi complex ostiomeatal yang tidak bisa dilakukan pada foto polos ( Dua et al., 2005).
5 B. Perumusan Masalah 1. Rhinosinusitis maxillaris adalah peradangan pada mukosa sinus maxillaris yang biasanya ditandai dengan adanya cairan eksudat, air fluid level, maupun penebalan mukosa sinus maxillaris, merupakan penyakit yang banyak dijumpai di masyarakat dan membutuhkan banyak biaya untuk pengobatannya. 2. Haller cell merupakan salah satu variasi anatomi di sinus paranasalis yang diduga berperan pada timbulnya rhinosinusitis maxillaris. C. Pertanyaan Penelitian Berapa besar korelasi antara temuan adanya Haller cell dengan kejadian rhinosinusitis maxillaris pada pemeriksaan Multislice Computed Tomography kepala? D. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai korelasi antara temuan adanya Haller cell dengan kejadian rhinosinusitis maxillaris pada pemeriksaan Multislice Computed Tomography kepala menurut sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan di Instalasi Radiologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Dari penelusuran kepustakaan oleh penulis, ada beberapa penelitian mengenai variasi anatomi sinus paranasalis dan rhinosinusitis pada pemeriksaan Computed Tomography kepala yang digunakan sebagai acuan pustaka, diantaranya dapat dilihat pada tabel 1.
6 Tabel 1. Penelitian-penelitian mengenai variasi anatomi pada sinus paranasalis dan complex ostiomeatal dengan rhinosinusitis paranasalis pada gambaran Computed Tomography kepala. Peneliti Tempat Subyek Topik Hasil (Tahun) Eweiss Khalil (2013) & Mesir 70 pasien Prevalensi frontal cell dan hubungan nya dengan sinusitis frontalis Agger nasi dan frontal cell banyak ditemukan di area recessus frontalis Madani et al. (2013) Wani et al. (2009) Iran 206 pasien Hubungan antara variasi anatomi regio sinonasal dengan rhinosinusitis India 150 pasien Evaluasi CT scan variasi anatomi pada complex ostiomeatal Ada hubungan kuat antara variasi anatomi dan inflamasi kronis sinus paranasal Concha bullosa variasi anatomi yang paling sering ditemukan disusul Deviasi septum nasi, Variasi processus uncinatus, Concha medius paradoxical, Agger nasi cell dan Haller cell Ameri et al. (2005) Dua et al (2005) Iran India 148 pasien 50 pasien Variasi anatomi sinus paranasal dengan sinusitis kronis. Variasi CT scan sinusitis maxillaris Variasi anatomi sinus paranasal berhubungan dengan prediktor kejadian sinusitis kronis Variasi anatomi pada pemeriksaan CT scan yang memblokade complex ostiomeatal menyebabkan sinusitis kronis Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta menggunakan populasi yang berbeda dengan penelitian lain sebelumnya. Berbeda dalam rentang waktu maupun sampelnya.
7 Penelitian ini menggunakan alat Multislice Computed Tomography 64 slice merek Philips Brilliance, yang dapat memvisualisasi dan merekonstruksi gambar dengan lebih baik dibandingkan dengan CT single slice. E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besar korelasi antara temuan adanya Haller cell dengan kejadian rhinosinusitis maxillaris pada pemeriksaan Multislice Computed Tomography kepala sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi prediktor kejadian rhinosinusitis maxillaris. F. Manfaat Penelitian 1. Bagi pelayanan kesehatan Diharapkan penelitian ini bisa bermanfaat bagi klinisi untuk prediksi dan evaluasi pada pasien dengan temuan Haller cell dan hubungannya dengan rhinosinusitis maxillaris. 2. Bagi masyarakat umum Apabila ada korelasi bermakna antara temuan Haller cell dengan rhinosinusitis maxillaris, maka masyarakat akan mendapat informasi yang lebih akurat tentang penyakit rhinosinusitis maxillaris dan penanganan yang lebih tepat.
8 3. Bagi peneliti Penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan peneliti dalam pemeriksaan Multislice Computed Tomography kepala mengenai variasi anatomi sinus paranasalis khususnya mengenai temuan Haller cell dan hubungannya dengan rhinosinusitis maxillaris. 4. Bagi pendidikan Penelitian ini merupakan sarana proses pendidikan khususnya dalam melatih cara berpikir dan meneliti. 5. Bagi pengembangan penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu data dasar maupun acuan pustaka untuk melakukan penelitian selanjutnya.