Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia Oleh : Erasmus A. T. Napitupulu <erasmus@icjr.or.id> Institute for Criminal Justice Reform Pengantar Penyadapan merupakan alat yang sangat efektif dalam membongkar suatu tindak pidana. Setidaknya keyakinan tersebut terpancar dari ungkapan para pendukung penggunaan metode penyadapan. Namun, disisi lain, selain memiliki kegunaan dalam penegakan hukum, penyadapan juga memiliki kecenderungan untuk melanggar hak asasi manusia. 1 Dan perdebatan terkait penggunaan metode penyadapan bukanlah hal baru dikalangan penggiat hukum di Indonesia. Saat ini penyadapan memberikan warna baru dalam proses penyelidikan dan penyidikan sampai dengan pembuktian, khususnya untuk tindak pidana korupsi. Bahkan, juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johan Budi, menyebutkan bahwa 30% kasus yang ditangani KPK terutama pada saat tertangkap tangan, merupakan hasil dari metode penyadapan. Secara hukum positif, pengaturan tentang penyadapan tersebar ke 16 aturan berbeda, mulai dari Undang-Undang (UU) sampai dengan Peraturan Menteri (Permen). Diantaranya, UU KPK, UU Anti Terorisme, UU Narkotika, UU ITE, UU Intelijen Negara, sampai dengan peraturan menteri. Maka tidak heran apabila banyak perbedaan terkait pengaturan penyadapan, maupun kewenangan lembaga yang menyadap. Telah dilakukan beberapa kali uji materil menyangkut keabsahan dan pengaturan penyadapan. Yaitu uji materiil UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK, (Putusan Perkara No 006/PUU-I/2003, dan putusan Perkara No 012-016-019/PUU-IV/2006) dan uji materiil UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE (Putusan Perkara No. 5/PUU-VIII/2010). Pada tahun 2003, MK secara tegas mengamanahkan bahwa harus ada seperangkat aturan yang mengatur tentang syarat dan tata cara penyadapan dan perekaman. Pada tahun 2006, MK kembali menjelaskan bagaimana penggunaan penyadapan yang memang pada dasarnya merupakan pembatasan pada hak konstitusional warga negara harus diatur berdasarkan pasal 28 J ayat (2) UUD1945. Dan dalam Putusan Perkara No. 5/PUU-VIII/2010, MK mengamanahkan bahwa dalam membentuk aturan mengenai mekanisme penyadapan, perlu dilihat syarat-syarat penyadapan yakni : 1. adanya otoritas resmi yang ditunjuk dalam Undang- Undang untuk memberikan izin penyadapan, 2. adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan, 3. pembatasan penanganan materi hasil penyadapan, 1 Edmon Makarim, Analisi Terhadap Kontroversi Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Cara Intersepsi Yang Sesuai Dengan Hukum (Lawful Interception), Artikel yang dimuat dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan, tahun ke-40 No. 2 April 2010, halaman 231.
4. pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan. Serta unsur-unsur yang harus ada dalam pengaturan penyadapan yaitu : a. wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun meminta penyadapan, b. tujuan penyadapan secara spesifik, c. kategori subjek hukum yang diberi wewenang untuk melakukan penyadapan, d. adanya izin dari atasan atau izin hakim sebelum melakukan penyadapan, e. tata cara penyadapan, f. pengawasan terhadap penyadapan, g. penggunaan hasil penyadapan, dan h. mekanisme komplain apabila terjadi kerugian yang timbul dari pihak ketiga atas dilakukannya tindakan penyadapan tersebut, serta pengaturan lain berupa sanksi pelanggaran, dan mekanisme internal untuk menjamin HAM seperti penyadapan dalam keadaan mendesak, keikutsertaan pihak ke-tiga dalam tehknis penyadapan dan hal lain nya Setelah putusan-putusan MK terkait penyadapan hadir, kemudian mencuat Rancangan KUHAP (dalam prolegnas disebut Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana/RUU HAP) yang juga mengatur tentang penyadapan. Sehingga kemudian timbul pertanyaan : apakah tepat mengatur penyadapan di dalam Rancangan KUHAP? dan haruskah dibentuk UU Khusus Penyadapan sebagai bentuk tunduknya pemegang kekuasaan terhadap putusan MK? Penyadapan dalam Rancangan KUHAP Sumber:kompas Tata cara penyadapan dalam Rancangan KUHAP hanya diatur dalam Bagian Kelima tentang Penyadapan, khususnya Pasal 83 dan 84. Pada prinsipnya Rancangan KUHAP melarang penyadapan komunikasi terhadap seseorang. Tindakan penyadapan hanya dapat dibenarkan apabila komunikasi tersebut terkait dengan tindak pidana serius ataupun diduga keras akan
terjadi tindak pidana serius. 2 Rancangan KUHAP memberikan klasifikasi jenis tindak pidana dimana penyadapan dapat dilakukan. Setidaknya ada 20 jenis tindak pidana, yaitu: (1) kejahatan terhadap keamanan negara; (2). perampasan kemerdekaan/penculikan; (3) pencurian dengan kekerasan; (4) pemerasan; (5) pengancaman; (6) perdagangan orang; (7) penyelundupan; (8) korupsi; (9). pencucian uang; (10) pemalsuan uang; (11) keimigrasian; (l2). mengenai bahan peledak dan senjata api; (13) terorisme; (14) pelanggaran berat HAM; (15) psikotropika dan narkotika; (16) Pemerkosaan; (17) pembunuhan; (18). penambangan tanpa izin; (19) penangkapan ikan tanpa izin di perairan; dan (20) pembalakan liar. 3 Penyadapan dalam Rancangan KUHAP mensyaratkan adanya ijin Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) dengan kondisi bahwa Penyidik bersama sama dengan Penuntut Umum menyampaikan permohonan tertulis yang didalamnya termuat alasan alasan untuk melakukan penyadapan kepada HPP. Setelah mendapatkan ijin, maka atasan Penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penyadapan. Namun, dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyadapan terlebih dahulu, disertai kewajiban untuk memberitahukannya kepada HPP melalui penuntut umum. RUU HAP sendiri mendefinisikan keadaan mendesak dalam 3 kategori yaitu : (a) bahaya maut atau ancaman luka fisik yang serius yang mendesak; (b) permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara; dan/atau (c) permufakatan jahat yang merupakan karakteristik tindak pidana terorganisasi. Dan jangka waktu penyadapan sendiri diberikan untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. HPP dapat menolak memberikan ijin untuk melakukan tindakan penyadapan. Namun tidak dirumuskan secara jelas apakah HPP dapat menolak untuk memberikan persetujuan atas tindakan penyadapan yang dilakukan oleh penyidik sebelumnya atas dasar keadaan mendesak. Pengaturan Penyadapan dalam Rancangan KUHAP harus diapresiasi, namun sayangnya Rancangan KUHAP justru tidak mengatur hal hal lain yang menjadi kunci atas validitas penyadapan diantaranya, yaitu : 1. wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun meminta penyadapan, 2. tujuan penyadapan secara spesifik, 3. kategori subjek hukum yang diberi wewenang menyadap, 4. adanya izin dari atasan, atau izin hakim sebelum menyadap, 5. tata cara penyadapan, 6. pengawasan terhadap penyadapan, 7. penggunaan hasil penyadapan, dan 8. mekanisme komplain apabila terjadi kerugian yang timbul dari pihak ketiga atas dilakukannya tindakan penyadapan tersebut. 2 Lihat Pasal 83 ayat (1) Rancangan KUHAP 3 Lihat Pasal 83 ayat (2) Rancangan KUHAP
Pengaturan Penyadapan : KUHAP atau Undang-Undang Khusus? Implikasi apabila Rancangan KUHAP disepakati oleh DPR RI dan disetujui oleh Presiden adalah adanya kodifikasi hukum acara pidana yang bertujuan langsung pada adanya unifikasi hukum acara pidana. Unifikasi hukum dimaksudkan untuk menseragamkan sistem hukum acara pidana di Indonesia, dan masuknya penyadapan dalam Rancangan KUHAP secara tegas menunjukkan keinginan pembentuk UU untuk menyamakan mekanisme penyadapan di Indonesia yang nantinya berakar dalam KUHAP. Secara objektif harus diakui bahwa apabila yang akan dijadikan acuan adalah Pasal 83 dan 84 Rancangan KUHAP, maka tentu saja amanah putusan MK tidak akan terpenuhi. Pengaturan penyadapan di Rancangan KUHAP hanya dalam dua pasal dan substansi yang tidak sesuai dengan amanah putusan MK adalah tidak memadai, terlebih dengan potensi pelanggaran hak privacy seseorang. Selain itu pandangan yang berpendapat bahwa MK mengamanahkan pengaturan penyadapan di atur di UU tersendiri yang harus terpisah dari KUHAP, mewakili pemahaman bahwa KUHAP tidak akan mampu untuk menampung pengaturan penyadapan yang komprehensif. Selain itu, hubungannya dengan perintah MK tersebut, adalah pandangan yang mengharuskan pembuat undang-undang patuh pada perintah dari putusan MK dimana bagi negara yang mengalami proses transisi, putusan MK dimaksudkan sebagai panduan dalam transisi demokrasi, dan menjaga berjalannya konstitusi. 4 Selain itu, pengaturan penyadapan di UU khusus nantinya juga dapat dijadikan sebagai langkah preventif terhadap perkembangan zaman di dunia tehknologi dan komunikasi pada saat ini. Pengaturan penyadapan melalui UU khusus akan mempermudah dilakukannya amandemen apabila dirasakan perlu dilakukan perubahan, hal ini akan berbeda jika penyadapan diatur dalam KUHAP. Namun, apakah dengan demikian berarti penyadapan tidak dapat diatur di dalam KUHAP? Tentu saja ada pembenaran terhadap pemahaman ini. Secara materil, putusan Mahkamah Konstitusi berpijakan pada pendirian pasal 28J UUD 1945, yang menyaratkan bahwa pembatasan hak asasi harus dilakukan dengan pengaturan berdasarkan UU. Yang dimaksud dengan UU tentu saja tidak harus UU khusus, namun materi pengaturannya harus ada di peraturan perundang-undangan setara dengan Undang-Undang dan tidak boleh diatur dengan aturan yang lebih rendah berdasarkan hirarki perundang-undangan di Indonesia. Psikologi MK pada saat mengeluarkan putusan terkait kewajiban pengaturan penyadapan di Undang-Undang khusus bisa dipahami, sebab yang diuji materikan adalah Pasal 31 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE yang menyebutkan bahwa : Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Jejak dari pemahaman ini dapat dilihat dalam permohonan yang diajukan oleh Anggara Suwahyu dkk.,yang mendalilkan sebagai berikut : 4 Supriyadi W. Eddyono dan Wahyudi Djafar, Menata (kembali)hukum Penyadapan di Indonesia, briefing paper, Institute for Criminal Justice Reform, 2012.
Bahwa pembatasan hak atas privasi dari para Pemohon semata-mata hanya diperbolehkan sepanjang untuk kepentingan penegakkan hukum yang harus ditetapkan dengan Undang-Undang dimana hal ini telah sesuai dengan pertimbangan dari Mahkamah Konstitusi pada putusan-putusan Perkara Nomor 006/PUU-I/2003 dan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006; Oleh karena itu para Pemohon berpendapat bahwa pengaturan dan/atau peraturan sepanjang mengenai hukum acara khususnya yang berkaitan dengan upaya paksa dan/atau hak atas privasi harus diatur dalam KUHAP atau Undang-Undang Penyadapan tersendiri dan bukan dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 31 ayat (4) UU 11/2008 5 Beranjak dari pemahaman tersebut bisa dikatakan bahwa upaya mengatur penyadapan dalam KUHAP bukanlah suatu kesalahan mendasar, yang menjadi permasalahan adalah apabila pengaturan penyadapan di KUHAP terlalu dipaksakan sehingga berdampak lebih buruk dari pengaturan saat ini. Untuk itu, perlu dicari jalan tengah untuk menampung perbedaan pandangan tersebut. Kesimpulan dan Rekomendasi Pemaknaan putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-VIII/ 2010 akan sangat tepat jika dikembalikan pada posisinya sebagai penjaga konstitusi. Perdebatan terkait penyadapan sebagai salah satu upaya paksa dalam menegakkan hukum tidak boleh menjadi boomerang dalam pemenuhan dan penegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Untuk menjaga pandangan tersebut, kita harus melihat putusan-putusan MK terkait penyadapan.secara politik hukumnya, penyadapan harus diatur dalam peraturan perundangundangan setara dengan materi muatan Undang-Undang. Untuk memakukan posisi penyadapan sebagai bagian upaya paksa dalam sistem peradilan pidana di Indonesia maka posisinya di dalam KUHAP sudah tepat, namun perlu dicermati, apa saja yang perlu diatur dalam KUHAP terkait penyadapan? Merujuk pada amanah dari MK, pengaturan menyeluruh di dalam KUHAP sulit untuk direalisasikan, sehingga akan lebih tepat bila KUHAP fokus mengatur mengenai Prinsip-prinsip, lembaga-lembaga yang diberikan kewenangan menyadap, pemberian izin serta pengaturan mengenai kekuatan pembuktian hasil penyadapan. Hal-hal ini perlu diatur didalam KUHAP sebab berhubungan dengan proses peradilan.selanjutnya, prinsip-prinsip dasar tersebut dielaborasikan lebih lanjut di tataran Undang-Undang yang harus memuat seluruh amanah yang diputus oleh MK dan pengaturan penting lainnya. Undang-Undang khusus terkait penyadapan dibutuhkan untuk menjamin tercapainya pengaturan penyadapan yang sesuai dengan penghormatan terhadapan hak asasi manusia dan tunduk pada konstitusi negara Republik Indonesia. 5 Ibid