Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

BAB III INTERSEPSI DALAM KONSTRUKSI HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. INTERSEPSI DALAM RUMUSAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

Surat surat yang dapat diperiksa Surat yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa

KONSTITUSIONALITAS PENYADAPAN (INTERCEPTION)

Perihal: Permohonan Pengujian Pasal 31 ayat (4) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

Perihal: Permohonan Pengujian Pasal 31 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-XIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati

HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak kodrati. HAM dimiliki

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XVI/2018 Langkah Hukum yang Diambil DPR terhadap Pihak yang Merendahkan Kehormatan DPR

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

HUKUM ACARA PIDANA HENDAK HIJRAH Oleh Adnan Paslyadja

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-IX/2011

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

MENJAWAB GUGATAN TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) 1

DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 155)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESI

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 67/PUU-XIII/2015 Beban Penyidik untuk Mendatangkan Ahli dalam Pembuktian Perkara Pidana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

SIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

Susunan Hakim Konstitusi Dalam Psl 24C ayat (3) UUD 1945, MK memiliki 9 orang hakim konstitusi yang ditetapkan o/ Presiden.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

Wahyu Wagiman, S.H., Zainal Abidin, S.H., Andi Muttaqien, S.H., Totok Yuliyanto, S.H., Adam M. Pantouw, S.H., Adiani Viviana, S.H.

Attribution-NonCommercial-ShareAlike 3.0 Unported (CC BY-NC-SA 3.0)

Attribution-NonCommercial-ShareAlike 3.0 Unported (CC BY-NC-SA 3.0)

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA 28 /PUU-VIII/2010

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2. Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5493

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

MAHKAMAH KONSTITUSI. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 063/PUU-II/2004

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22 ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang...

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 5/PUU-VIII/2010

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah di Provinsi Aceh

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA : 40/PUU-X/2012

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

Rilis Pers Bersama. Perppu Ormas Ancaman bagi Demokrasi dan Negara Hukum

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 57/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12 /PUU-VII/2009 Tentang Undang-undang Kepabeanan (Sertifikat Registrasi Pabean)

Transkripsi:

Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia Oleh : Erasmus A. T. Napitupulu <erasmus@icjr.or.id> Institute for Criminal Justice Reform Pengantar Penyadapan merupakan alat yang sangat efektif dalam membongkar suatu tindak pidana. Setidaknya keyakinan tersebut terpancar dari ungkapan para pendukung penggunaan metode penyadapan. Namun, disisi lain, selain memiliki kegunaan dalam penegakan hukum, penyadapan juga memiliki kecenderungan untuk melanggar hak asasi manusia. 1 Dan perdebatan terkait penggunaan metode penyadapan bukanlah hal baru dikalangan penggiat hukum di Indonesia. Saat ini penyadapan memberikan warna baru dalam proses penyelidikan dan penyidikan sampai dengan pembuktian, khususnya untuk tindak pidana korupsi. Bahkan, juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johan Budi, menyebutkan bahwa 30% kasus yang ditangani KPK terutama pada saat tertangkap tangan, merupakan hasil dari metode penyadapan. Secara hukum positif, pengaturan tentang penyadapan tersebar ke 16 aturan berbeda, mulai dari Undang-Undang (UU) sampai dengan Peraturan Menteri (Permen). Diantaranya, UU KPK, UU Anti Terorisme, UU Narkotika, UU ITE, UU Intelijen Negara, sampai dengan peraturan menteri. Maka tidak heran apabila banyak perbedaan terkait pengaturan penyadapan, maupun kewenangan lembaga yang menyadap. Telah dilakukan beberapa kali uji materil menyangkut keabsahan dan pengaturan penyadapan. Yaitu uji materiil UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK, (Putusan Perkara No 006/PUU-I/2003, dan putusan Perkara No 012-016-019/PUU-IV/2006) dan uji materiil UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE (Putusan Perkara No. 5/PUU-VIII/2010). Pada tahun 2003, MK secara tegas mengamanahkan bahwa harus ada seperangkat aturan yang mengatur tentang syarat dan tata cara penyadapan dan perekaman. Pada tahun 2006, MK kembali menjelaskan bagaimana penggunaan penyadapan yang memang pada dasarnya merupakan pembatasan pada hak konstitusional warga negara harus diatur berdasarkan pasal 28 J ayat (2) UUD1945. Dan dalam Putusan Perkara No. 5/PUU-VIII/2010, MK mengamanahkan bahwa dalam membentuk aturan mengenai mekanisme penyadapan, perlu dilihat syarat-syarat penyadapan yakni : 1. adanya otoritas resmi yang ditunjuk dalam Undang- Undang untuk memberikan izin penyadapan, 2. adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan, 3. pembatasan penanganan materi hasil penyadapan, 1 Edmon Makarim, Analisi Terhadap Kontroversi Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Cara Intersepsi Yang Sesuai Dengan Hukum (Lawful Interception), Artikel yang dimuat dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan, tahun ke-40 No. 2 April 2010, halaman 231.

4. pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan. Serta unsur-unsur yang harus ada dalam pengaturan penyadapan yaitu : a. wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun meminta penyadapan, b. tujuan penyadapan secara spesifik, c. kategori subjek hukum yang diberi wewenang untuk melakukan penyadapan, d. adanya izin dari atasan atau izin hakim sebelum melakukan penyadapan, e. tata cara penyadapan, f. pengawasan terhadap penyadapan, g. penggunaan hasil penyadapan, dan h. mekanisme komplain apabila terjadi kerugian yang timbul dari pihak ketiga atas dilakukannya tindakan penyadapan tersebut, serta pengaturan lain berupa sanksi pelanggaran, dan mekanisme internal untuk menjamin HAM seperti penyadapan dalam keadaan mendesak, keikutsertaan pihak ke-tiga dalam tehknis penyadapan dan hal lain nya Setelah putusan-putusan MK terkait penyadapan hadir, kemudian mencuat Rancangan KUHAP (dalam prolegnas disebut Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana/RUU HAP) yang juga mengatur tentang penyadapan. Sehingga kemudian timbul pertanyaan : apakah tepat mengatur penyadapan di dalam Rancangan KUHAP? dan haruskah dibentuk UU Khusus Penyadapan sebagai bentuk tunduknya pemegang kekuasaan terhadap putusan MK? Penyadapan dalam Rancangan KUHAP Sumber:kompas Tata cara penyadapan dalam Rancangan KUHAP hanya diatur dalam Bagian Kelima tentang Penyadapan, khususnya Pasal 83 dan 84. Pada prinsipnya Rancangan KUHAP melarang penyadapan komunikasi terhadap seseorang. Tindakan penyadapan hanya dapat dibenarkan apabila komunikasi tersebut terkait dengan tindak pidana serius ataupun diduga keras akan

terjadi tindak pidana serius. 2 Rancangan KUHAP memberikan klasifikasi jenis tindak pidana dimana penyadapan dapat dilakukan. Setidaknya ada 20 jenis tindak pidana, yaitu: (1) kejahatan terhadap keamanan negara; (2). perampasan kemerdekaan/penculikan; (3) pencurian dengan kekerasan; (4) pemerasan; (5) pengancaman; (6) perdagangan orang; (7) penyelundupan; (8) korupsi; (9). pencucian uang; (10) pemalsuan uang; (11) keimigrasian; (l2). mengenai bahan peledak dan senjata api; (13) terorisme; (14) pelanggaran berat HAM; (15) psikotropika dan narkotika; (16) Pemerkosaan; (17) pembunuhan; (18). penambangan tanpa izin; (19) penangkapan ikan tanpa izin di perairan; dan (20) pembalakan liar. 3 Penyadapan dalam Rancangan KUHAP mensyaratkan adanya ijin Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) dengan kondisi bahwa Penyidik bersama sama dengan Penuntut Umum menyampaikan permohonan tertulis yang didalamnya termuat alasan alasan untuk melakukan penyadapan kepada HPP. Setelah mendapatkan ijin, maka atasan Penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penyadapan. Namun, dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyadapan terlebih dahulu, disertai kewajiban untuk memberitahukannya kepada HPP melalui penuntut umum. RUU HAP sendiri mendefinisikan keadaan mendesak dalam 3 kategori yaitu : (a) bahaya maut atau ancaman luka fisik yang serius yang mendesak; (b) permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara; dan/atau (c) permufakatan jahat yang merupakan karakteristik tindak pidana terorganisasi. Dan jangka waktu penyadapan sendiri diberikan untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. HPP dapat menolak memberikan ijin untuk melakukan tindakan penyadapan. Namun tidak dirumuskan secara jelas apakah HPP dapat menolak untuk memberikan persetujuan atas tindakan penyadapan yang dilakukan oleh penyidik sebelumnya atas dasar keadaan mendesak. Pengaturan Penyadapan dalam Rancangan KUHAP harus diapresiasi, namun sayangnya Rancangan KUHAP justru tidak mengatur hal hal lain yang menjadi kunci atas validitas penyadapan diantaranya, yaitu : 1. wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun meminta penyadapan, 2. tujuan penyadapan secara spesifik, 3. kategori subjek hukum yang diberi wewenang menyadap, 4. adanya izin dari atasan, atau izin hakim sebelum menyadap, 5. tata cara penyadapan, 6. pengawasan terhadap penyadapan, 7. penggunaan hasil penyadapan, dan 8. mekanisme komplain apabila terjadi kerugian yang timbul dari pihak ketiga atas dilakukannya tindakan penyadapan tersebut. 2 Lihat Pasal 83 ayat (1) Rancangan KUHAP 3 Lihat Pasal 83 ayat (2) Rancangan KUHAP

Pengaturan Penyadapan : KUHAP atau Undang-Undang Khusus? Implikasi apabila Rancangan KUHAP disepakati oleh DPR RI dan disetujui oleh Presiden adalah adanya kodifikasi hukum acara pidana yang bertujuan langsung pada adanya unifikasi hukum acara pidana. Unifikasi hukum dimaksudkan untuk menseragamkan sistem hukum acara pidana di Indonesia, dan masuknya penyadapan dalam Rancangan KUHAP secara tegas menunjukkan keinginan pembentuk UU untuk menyamakan mekanisme penyadapan di Indonesia yang nantinya berakar dalam KUHAP. Secara objektif harus diakui bahwa apabila yang akan dijadikan acuan adalah Pasal 83 dan 84 Rancangan KUHAP, maka tentu saja amanah putusan MK tidak akan terpenuhi. Pengaturan penyadapan di Rancangan KUHAP hanya dalam dua pasal dan substansi yang tidak sesuai dengan amanah putusan MK adalah tidak memadai, terlebih dengan potensi pelanggaran hak privacy seseorang. Selain itu pandangan yang berpendapat bahwa MK mengamanahkan pengaturan penyadapan di atur di UU tersendiri yang harus terpisah dari KUHAP, mewakili pemahaman bahwa KUHAP tidak akan mampu untuk menampung pengaturan penyadapan yang komprehensif. Selain itu, hubungannya dengan perintah MK tersebut, adalah pandangan yang mengharuskan pembuat undang-undang patuh pada perintah dari putusan MK dimana bagi negara yang mengalami proses transisi, putusan MK dimaksudkan sebagai panduan dalam transisi demokrasi, dan menjaga berjalannya konstitusi. 4 Selain itu, pengaturan penyadapan di UU khusus nantinya juga dapat dijadikan sebagai langkah preventif terhadap perkembangan zaman di dunia tehknologi dan komunikasi pada saat ini. Pengaturan penyadapan melalui UU khusus akan mempermudah dilakukannya amandemen apabila dirasakan perlu dilakukan perubahan, hal ini akan berbeda jika penyadapan diatur dalam KUHAP. Namun, apakah dengan demikian berarti penyadapan tidak dapat diatur di dalam KUHAP? Tentu saja ada pembenaran terhadap pemahaman ini. Secara materil, putusan Mahkamah Konstitusi berpijakan pada pendirian pasal 28J UUD 1945, yang menyaratkan bahwa pembatasan hak asasi harus dilakukan dengan pengaturan berdasarkan UU. Yang dimaksud dengan UU tentu saja tidak harus UU khusus, namun materi pengaturannya harus ada di peraturan perundang-undangan setara dengan Undang-Undang dan tidak boleh diatur dengan aturan yang lebih rendah berdasarkan hirarki perundang-undangan di Indonesia. Psikologi MK pada saat mengeluarkan putusan terkait kewajiban pengaturan penyadapan di Undang-Undang khusus bisa dipahami, sebab yang diuji materikan adalah Pasal 31 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE yang menyebutkan bahwa : Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Jejak dari pemahaman ini dapat dilihat dalam permohonan yang diajukan oleh Anggara Suwahyu dkk.,yang mendalilkan sebagai berikut : 4 Supriyadi W. Eddyono dan Wahyudi Djafar, Menata (kembali)hukum Penyadapan di Indonesia, briefing paper, Institute for Criminal Justice Reform, 2012.

Bahwa pembatasan hak atas privasi dari para Pemohon semata-mata hanya diperbolehkan sepanjang untuk kepentingan penegakkan hukum yang harus ditetapkan dengan Undang-Undang dimana hal ini telah sesuai dengan pertimbangan dari Mahkamah Konstitusi pada putusan-putusan Perkara Nomor 006/PUU-I/2003 dan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006; Oleh karena itu para Pemohon berpendapat bahwa pengaturan dan/atau peraturan sepanjang mengenai hukum acara khususnya yang berkaitan dengan upaya paksa dan/atau hak atas privasi harus diatur dalam KUHAP atau Undang-Undang Penyadapan tersendiri dan bukan dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 31 ayat (4) UU 11/2008 5 Beranjak dari pemahaman tersebut bisa dikatakan bahwa upaya mengatur penyadapan dalam KUHAP bukanlah suatu kesalahan mendasar, yang menjadi permasalahan adalah apabila pengaturan penyadapan di KUHAP terlalu dipaksakan sehingga berdampak lebih buruk dari pengaturan saat ini. Untuk itu, perlu dicari jalan tengah untuk menampung perbedaan pandangan tersebut. Kesimpulan dan Rekomendasi Pemaknaan putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-VIII/ 2010 akan sangat tepat jika dikembalikan pada posisinya sebagai penjaga konstitusi. Perdebatan terkait penyadapan sebagai salah satu upaya paksa dalam menegakkan hukum tidak boleh menjadi boomerang dalam pemenuhan dan penegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Untuk menjaga pandangan tersebut, kita harus melihat putusan-putusan MK terkait penyadapan.secara politik hukumnya, penyadapan harus diatur dalam peraturan perundangundangan setara dengan materi muatan Undang-Undang. Untuk memakukan posisi penyadapan sebagai bagian upaya paksa dalam sistem peradilan pidana di Indonesia maka posisinya di dalam KUHAP sudah tepat, namun perlu dicermati, apa saja yang perlu diatur dalam KUHAP terkait penyadapan? Merujuk pada amanah dari MK, pengaturan menyeluruh di dalam KUHAP sulit untuk direalisasikan, sehingga akan lebih tepat bila KUHAP fokus mengatur mengenai Prinsip-prinsip, lembaga-lembaga yang diberikan kewenangan menyadap, pemberian izin serta pengaturan mengenai kekuatan pembuktian hasil penyadapan. Hal-hal ini perlu diatur didalam KUHAP sebab berhubungan dengan proses peradilan.selanjutnya, prinsip-prinsip dasar tersebut dielaborasikan lebih lanjut di tataran Undang-Undang yang harus memuat seluruh amanah yang diputus oleh MK dan pengaturan penting lainnya. Undang-Undang khusus terkait penyadapan dibutuhkan untuk menjamin tercapainya pengaturan penyadapan yang sesuai dengan penghormatan terhadapan hak asasi manusia dan tunduk pada konstitusi negara Republik Indonesia. 5 Ibid