BAB I PENDAHULUAN. Mata pelajaran Fisika sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Heri Sugianto, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. terhadap suatu peristiwa yang diamati yang kemudian diuji kebenarannya

BAB I PENDAHULUAN. fenomena alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pada era global yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bahwa pengetahuan sebagai kerangka fakta-fakta yang harus dihafal.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran fisika saat ini adalah kurangnya keterlibatan mereka secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah kelompok Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Ilmu Pengetahuan

I. PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan dan mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Biologi merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang paling penting

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan aspek penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. masalah dalam memahami fakta-fakta alam dan lingkungan serta

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. nilai-nilai yang dibutuhkan oleh siswa dalam menempuh kehidupan (Sani, RA.

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE PROBLEM SOLVING TERHADAP KEMAMPUAN MEMECAHKAN MASALAH FISIKA PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 4 PALU

BAB I PENDAHULUAN. guru. Tugas guru adalah menyampaikan materi-materi dan siswa diberi tanggung

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yuliani Susilawati,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stevida Sendi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pada abad ke-20 telah terjadi perubahan paradigma dalam dunia sains,

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi dan teknologi informasi. Pendidikan merupakan sarana penting untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era global

BAB I PENDAHULUAN. bidang sains berada pada posisi ke-35 dari 49 negera peserta. dalam bidang sains berada pada urutan ke-53 dari 57 negara peserta.

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal penting dalam kehidupan karena dapat

BAB I PENDAHULUAN. Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini menjadi

BAB I PENDAHULUAN. harapan sangat bergantung pada kualitas pendidikan yang ditempuh. imbas teknologi berbasis sains (Abdullah, 2012 : 3).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. siswa, oleh karena itu pembelajaran fisika harus dibuat lebih menarik dan mudah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berorientasi pada kecakapan hidup (life skill oriented), kecakapan berpikir,

2015 PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SEKOLAH DASAR

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembelajaran, hal ini menuntut guru dalam perubahan cara dan strategi

(Penelitian PTK Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Nogosari) SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1

BAB I PENDAHULUAN. Menteri Pendidikan Nasional (Depdiknas, 2006: ) No. 22 tahun 2006 tujuan

BAB I PENDAHULUAN Bab I tentang Sistem Pendidikan Nasional: pendidikan adalah usaha sadar

I. PENDAHULUAN. bahwa pendidikan merupakan kunci kemajuan suatu bangsa. Pendidikan juga

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam (Holil, 2009).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pencapaian tujuan pembelajaran yakni membentuk peserta didik sebagai pebelajar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cara mencari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Elly Hafsah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Di era global ini, tantangan dunia pendidikan begitu besar, hal ini yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Masyarakat

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CHILDREN LEARNING IN SCIENCE (CLIS) BERBANTUAN MULTIMEDIA UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP FISIKA SISWA SMA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dapat dialami langsung oleh siswa, hal ini dapat mengatasi kebosanan siswa dan perhatiannya akan lebih baik sehingga prestasi siswa dapat meningkat.

2015 PENGARUH METODE GUIDED DISCOVERY LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF DITINJAU DARI KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan di Indonesia mengindikasikan bahwa matematika sangatlah

I. PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai arti penting dalam kehidupan. Melalui pendidikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. cerdas, terbuka dan demokratis. Pendidikan memegang peran dalam. tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Suryosubroto, 2009:2).

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Materi Ekologi merupakan materi yang mempelajari hubungan timbal balik

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB I Pendahuluan. Internasional pada hasil studi PISA oleh OECD (Organization for

BAB I PENDAHULUAN. sekarang ini mengakibatkan kompetensi sains merupakan salah satu faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan kurikulum sains dari kurikulum berbasis kompetensi (KBK) menjadi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Ayu Eka Putri, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. terciptanya manusia yang cerdas dan terampil (Ristanto, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. Fisika dan sains secara umum terbentuk dari proses penyelidikan secara sistematis

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan memerlukan kecakapan hidup.

BAB I PENDAHULUAN. Fery Ferdiansyah, Penerapan Model Pembelajaran Osborn Untuk Meningkatkan Literasi Dan Disposisi Matematis Siswa SMP

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. Upaya peningkatan mutu pendidikan dalam ruang lingkup pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kritis, kreatif dan mampu bersaing menghadapi tantangan di era globalisasi nantinya.

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No.41 Tahun 2007

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

2 Penerapan pembelajaran IPA pada kenyataannya di lapangan masih banyak menggunakan pembelajaran konvensional yaitu pembelajaran yang berpusat pada gu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bertujuan agar siswa memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu pengetahuan yang

I. PENDAHULUAN. Saat ini keunggulan suatu bangsa tidak lagi bertumpu pada kekayaan alam,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dewasa ini diarahkan untuk peningkatan kualitas belajar,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. semua potensi, kecakapan, serta karakteristik sumber daya manusia kearah yang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Mata pelajaran Fisika sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu-ilmu dasar (basic science) yang perlu diberikan pada siswa. Hal ini tak lepas dari salah satu tujuan utama yang ingin dicapai dalam mata pelajaran Fisika bagi siswa SMA yaitu mengembangkan kemampuan berpikir analisis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip Fisika untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam dan menyelesaikan masalah baik secara kualitatif maupun kuantitatif, serta dapat mengembangkan keterampilan dan sikap percaya diri (Depdiknas, 2006). Dengan tujuan tersebut, pembelajaran Fisika menjadi tumpuan kemajuan teknologi yang perlu dikuasai dan membekali siswa menjadi manusia yang berkualitas yang mampu menghadapi tantangan era globalisasi dan memecahkan permasalahan kehidupan sehari-hari. Pencapaian tujuan pembelajaran Fisika bergantung kepada proses pembelajaran Fisika yang diselenggarakan di sekolah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang di kembangkan masing-masing sekolah diharapkan mampu mengembangkan secara optimal seluruh potensi dan kemampuan yang dimiliki guru dan siswa. Salah satunya adalah mengembangkan kemampuan memecahkan masalah siswa. Tetapi, kenyataan di kelas, guru belum mampu mentransformasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kurikulum kepada siswa melalui proses pembelajaran. Proses pembelajaran Fisika masih terpusat pada penguasaan konsep saja, kurang mengembangkan pada aspek-aspek lainnya 1

seperti keterampilan pemecahan masalah. Seringkali siswa dihadapkan pada kesulitan dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan konsep-konsep, baik masalah yang diberikan oleh guru maupun masalah yang berhubungan dengan pengalaman dunia nyata sehari-hari. Guru cenderung lebih sering menggunakan tes tertulis dengan soal-soal yang rutin (context-poor problem) daripada menggunakan soal-soal yang mengandung pemecahan masalah (contextrich problem). Ini berarti kemampuan pemecahan masalah masih jarang diperhatikan. Rendahnya kemampuan pemecahan masalah terlihat dalam kemampuan Fisika siswa Indonesia pada TIMSS (Trend Of International On Mathematics And Science Study). Kemampuan Fisika siswa Indonesia pada domain kognitif pemikiran (reasoning) paling rendah dibandingkan domain kognitif penerapan (applying) dan pengetahuan (knowing) baik secara nasional maupun internasional dan tiap tahun mengalami penurunan dari tahun 2003 hingga tahun 2007. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan fisika siswa Indonesia masih harus ditingkatkan pada semua aspek, terutama pada aspek pemikiran (reasoning). Aspek pemikiran belum optimal dilatihkan kepada siswa pada proses pembelajaran sains di Indonesia khususnya melatihkan siswa untuk menganalisis, memecahkan masalah, melakukan sintesis, membuat hipotesis, membuat rencana percobaan, merumuskan kesimpulan, membuat generalisasi, mengevaluasi dan mempertimbangkan (Ridwan, 2010). Menurut Santyasa (2007), pentingnya pengembangan kemampuan pemecahan masalah dan penguasaan konsep dalam proses pembelajaran memiliki 2

landasan teoritis. Landasan teoretis tersebut sebagai pijakan dalam mengemas pembelajaran adalah sebagai berikut. (1) Tiga wawasan berpikir dalam pembelajaran Fisika: (a) penyajian materi pelajaran tidak diajarkan, (b) untuk menyimpan sesuatu dalam memori tidak dipelajari (c) menghafal bukanlah bukti dari pemahaman siswa. (2) Guru Fisika dianjurkan untuk mengurangi berceritera dalam pembelajaran, tetapi lebih banyak mengajak para peserta didik untuk bereksperimen dan memecahkan masalah. (3) Guru Fisika dianjurkan lebih banyak menyediakan context-rich problem dan mengurangi context-poor problem dalam pembelajaran. Pemecahan masalah biasanya didefinisikan sebagai merumuskan jawaban baru, melampaui penerapan sederhana dari kebiasaan belajar sebelumnya untuk membuat sebuah solusi. Pemecahan masalah merupakan keterampilan yang kompleks, dan kebanyakan siswa tidak mampu mengembangkan keterampilanketerampilan tersebut tanpa bantuan. Oleh karena itu, pembelajaran diharapkan mampu menjadikan siswa sebagai pemecah masalah yang mahir dengan mengasah keterampilan-keterampilan yang dimilikinya. (Gamze Sezgin Selçuk, dkk. 2008). Melalui langkah-langkah linier hirarkis dalam proses dasar pemecahan masalah, siswa dilatihkan cara berpikir kreatif dan berpikir kritis dalam memecahkan masalah. Dari hasil pembelajaran diharapkan siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah yaitu (1) mampu memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan konsep-konsep sains yang telah mereka pelajari, (2) mampu mengambil keputusan yang tepat dengan menggunakan konsep-konsep ilmiah, dan (3) mempunyai sikap ilmiah dalam 3

memecahkan masalah yang dihadapi sehingga memungkinkan mereka untuk berpikir dan bertindak secara ilmiah (Ndraka dalam Wirtha, 2008). Dalam proses belajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) khususnya Fisika, belajar seharusnya lebih dari sekedar menerima informasi, mengingat dan menghafal. Bagi siswa untuk benar-benar mengerti dan dapat menerapkan ilmu pengetahuan, mereka harus bekerja untuk memecahkan masalah dan menemukan ide-ide. Tugas guru tidak hanya menuangkan sejumlah informasi pada siswa, tetapi mengusahakan bagaimana konsep-konsep penting dan sangat berguna tertanam kuat dalam pikiran siswa. Guru sebagai orang yang terlibat secara langsung dalam pembelajaran sesungguhnya dapat mengupayakan banyak hal diantaranya adalah penggunaan model pembelajaran yang tepat, menyenangkan, membangkitkan motivasi siswa dan mendorong siswa membangun pengetahuannya sendiri. Salah satu faktor penyebab rendahnya kualitas dan kuantitas proses dan produk pembelajaran Fisika adalah kurang optimalnya peranan siswa dalam proses pembelajaran. Kualitas proses pembelajaran Fisika dewasa ini dapat dilihat dari kegiatan pembelajaran yang bersifat reguler, artinya pemilihan pendekatan, strategi, metode kurang bervariasi. Proses belajar-mengajar cenderung dimulai dengan orientasi dan penyajian informasi yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari siswa, pemberian contoh soal, dilanjutkan dengan memberikan tes yang umumnya pilihan ganda, ini yang menyebabkan aktivitas belajar siswa kurang optimal. Sedangkan produk pembelajaran Fisika salah satunya dapat diperoleh dari nilai UAS (Ujian Akhir Semester) Fisika SMA yang dari tahun ke 4

tahun masih berkategori rendah dan nilai raport dalam mata pelajaran Fisika juga relatif masih rendah. Hal ini ditunjukkan dengan masih rendahnya nilai ketuntasan belajar fisika yang ditentukan masing-masing sekolah yang umumnya memiliki rentang antara 50-65 dari skor idealnya 75. Pencapaian hasil belajar Fisika yang cukup rendah juga diperoleh peneliti dari hasil observasi atas 15 SMA di Kota Bengkulu dan pengalaman mengajar sebagai guru Fisika di salah satu SMA di Bengkulu. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata ketuntasan belajar yang umumnya di bawah 50% untuk materi pelajaran Fisika sebelum diadakan pembelajaran ulang (remedial teaching). Dari hasil observasi peneliti, umumnya pembelajaran fisika di SMA-SMA Bengkulu masih bersifat berpusat pada guru (teacher centered), mengutamakan ketuntasan materi dan kurang mengoptimalkan aktivitas-aktivitas belajar siswa seperti rendahnya aktivitas belajar pemecahan masalah, meskipun ada beberapa sekolah yang telah memiliki sarana prasana pembelajaran seperti laboratorium, ruang multimedia dan fasilitas internet yang cukup memadai namun belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Permasalahan-permasalahan dunia pendidikan tersebut menyebabkan semakin gencarnya isu perubahan paradigma pendidikan, baik yang menyangkut konten, pedagogi maupun profesionalisme guru. Perubahan tersebut meliputi kurikulum, pembelajaran, dan asesmen yang komprehensif. Perubahan tersebut menuntut guru merubah model pembelajaran dari berpusat guru (teacher centered) ke model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) sehingga tercipta hubungan harmonis antar siswa dan guru untuk mencapai tujuan 5

pembelajaran. Dengan terlibat langsung dalam proses pembelajaran, siswa diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar khususnya penguasaan konsep sebagai aspek kognitif dari hasil belajar dan dapat meningkatkan keterampilan berpikir dalam memecahkan masalah (Santyasa, 2007). Salah satu alternatif model pembelajaran konstruktif yang dapat direkomendasikan adalah model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS). Model pembelajaran CPS dibuat pertama kali oleh Osborn (1963) dan di kembangkan oleh Parnes (1985) bertujuan membantu siswa memecahkan masalah dengan meningkatkan kemampuan kreativitasnya. Model CPS ini masih terus dikembangkan dalam pembelajaran diantaranya dalam pembelajaran sains. Berdasarkan studi literatur terhadap penelitian tentang model pembelajaran CPS diperoleh beberapa hasil yang signifikan dalam meningkatkan penguasaan konsep maupun kemampuan pemecahan masalah. Gamze Sezgin Selçuk, dkk (2008) mengungkapkan bahwa pembelajaran dengan problem solving secara efektif dapat meningkatkan prestasi belajar fisika, kinerja pemecahan masalah dan penggunaan strategi. Elizabeth Jaya Joseph, (2009) dalam disertasinya menyebutkan beberapa hasil penelitian bahwa CPS dapat meningkatkan daya kreativitas siswa dan prestasi akademik siswa. Sedangkan menurut Cahyono, (2005) pengembangan model CPS berbasis teknologi dapat meningkatkan ketuntasan belajar pada hasil belajar dan meningkatkan keaktifan dan ketrampilan proses siswa secara signifikan. Sedangkan Cheolil Lim, dkk (2010) menguji pengintegrasian pembelajaran berbantuan sistem online dengan CPS untuk meningkatkan kemampuan kreativitas mahasiswa. 6

Atas dasar beberapa pertimbangan tersebut, peneliti berkeinginan meneliti model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) dalam konsep fluida statis. Materi fluida statis merupakan salah satu materi pelajaran yang sangat berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, sehingga banyak pengalaman yang diperoleh siswa sebelum pembelajaran dilaksanakan. Dengan demikian penting bagi siswa untuk dapat memahami dan menyadari manfaat dari mempelajari konsep tersebut dengan pengetahuan fisika yang cukup dan aktivitas-aktivas aktif siswa. Keaktifan dan kekreatifan siswa dan guru dalam pembelajaran dengan membawa fenomena alam sehari-hari kedalam kelas dapat menggali kemampuan yang dimilikinya dan menghasilkan ide-ide kreatif dalam memecahkan masalah fisika. Dengan model pembelajaran CPS yang menekankan pemecahan masalah secara kreatif di kelas, diharapkan memudahkan siswa menguasai konsep fluida statis dan mampu mengembangkan kemampuan pemecahan masalah serta melatihkan keterampilan-keterampilan lainnya. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana di kemukakan di atas, maka permasalahan penelitian ini dirumuskan berikut: Apakah penerapan model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) secara signifikan dapat lebih meningkatkan penguasan konsep dan kemampuan pemecahan masalah dibandingkan dengan penerapan model pembelajaran konvensional? Untuk lebih mengarahkan penelitian, maka rumusan masalah di atas dijabarkan menjadi beberapa pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut: 7

1. Bagaimanakah peningkatan penguasaan konsep fluida statis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model CPS dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model konvensional? 2. Bagaimanakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model CPS dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model konvensional? 3. Bagaimana tanggapan siswa dan guru terhadap penggunaan model CPS dalam pembelajaran konsep fluida statis? C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk menjajagi penggunaan model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) dalam pembelajaran Fisika materi fluida statis pada siswa tingkat SMA, sehingga diperoleh gambaran penggunaan model CPS dalam; (1) meningkatkan penguasan konsep, (2) meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa, dan (3) mengetahui tanggapan siswa dan guru terhadap penerapan model pembelajaran CPS dalam pembelajaran fisika. D. MANFAAT PENELITIAN Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu memberi alternatif bagi guru mengenai strategi pembelajaran dengan menerapkan pembelajaran CPS untuk dapat meningkatkan penguasan konsep siswa dan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. Penelitian ini juga diharapkan dijadikan sebagai bukti empiris tentang model pembelajaran CPS yang nantinya 8

dapat digunakan sebagai informasi dan kajian oleh berbagai pihak yang terkait atau yang berkepentingan dengan hasil-hasil penelitian ini. E. ASUMSI DAN HIPOTESIS 1. Asumsi Model pembelajaran CPS yang dikembangkan oleh Osborn-Parnes (1985) merupakan model pembelajaran konseptual yang berpusat pada pengembangan kemampuan pemecahan masalah yang diikuti dengan penguatan kreatifitas dan mengembangkan keterampilan berpikir kreatif maupun berpikir kritis dalam proses pembelajarannya. Model CPS menekankan keseimbangan pemikiran antara berpikir divergen (kreatif) dan berpikir konvergen (kritis) dalam setiap langkah dari proses pemecahan masalah. 2. Hipotesis penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Penerapan model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) secara signifikan dapat lebih meningkatkan penguasaan konsep fluida statis dibandingkan penerapan model pembelajaran konvensional. ( Ha 1 ) ; Ha 1 ( µ x1 > µ y1 ; α = 0,05 ) b. Penerapan model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) secara signifikan dapat lebih meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dibandingkan penerapan model pembelajaran konvensional. ( Ha 2 ) ; Ha 2 ( µ x2 > µ y2 ; α = 0,05 ) 9

Keterangan : µ x1 = Rata-rata nilai penguasaan konsep fluida statis pada pembelajaran CPS µ y1 = Rata-rata nilai penguasaan konsep fluida statis pada pembelajaran konvensional µ x2 = Rata-rata nilai kemampuan pemecahan masalah pada pembelajaran CPS µ y2 = Rata-rata nilai kemampuan pemecahan masalah pada pembelajaran konvensional G. DEFINISI OPERASIONAL 1. Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) Model Creative Problem Solving (CPS) adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada kemampuan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan kreatifitas dan mengembangkan keterampilan berpikir kreatif maupun berpikir kritis dalam proses pembelajarannya. Model CPS menekankan keseimbangan antara pemikiran divergen (kreatif) dan konvergen (kritis) dalam setiap langkah dari proses pemecahan masalah. Model CPS awalnya dikembangkan oleh Osborn dan beberapa peneliti lainnya. Tahap model pembelajaran CPS dalam penelitian ini berdasarkan tahap-tahap CPS oleh Lee, dkk (2010), yakni terdiri dari (1) Memahami kontek masalah, (2) Memperoleh informasi/data, (3) Pernyataan masalah, (4) Penemuan ide/solusi, (5) Pemilihan solusi, (6) Penerimaan solusi. Keterlaksanaan penerapan model pembelajaran CPS diobservasi melalui lembar keterlaksanaan model CPS. 2. Pembelajaran konvensional Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang berpusat pada guru yang didominasi metode ceramah, dimana guru cenderung sebagai sumber informasi 10

bagi siswa dan siswa cenderung pasif dalam menerima pelajaran. Langkahlangkah pembelajaran konvensional diawali guru memberi informasi didepan kelas, menerangkan suatu konsep, siswa mendengarkan penjelasan guru, siswa mencatat dan sedikitnya bertanya ketika ada penjelasan guru yang kurang dipahami, serta latihan-latihan soal. Di akhir pembelajaran guru memberikan soalsoal pekerjaan rumah. 3. Penguasan konsep Fluida Statis Penguasaan konsep didefinisikan sebagai kemampuan siswa dalam memahami suatu abstraksi yang menggambarkan karakteristik konsep fluida statis secara ilmiah, baik secara teori maupun penerapannya dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dilihat dari tes awal dan tes akhir. Indikator penguasaan konsep pada penelitian ini didasarkan pada tingkatan domain kognitif Bloom yang dibatasi pada tingkatan domain pengetahuan (C 1 ), pemahaman (C 2 ), penerapan (C 3 ) dan analisis (C4). Penguasaan konsep diukur dengan menggunakan tes penguasaan konsep dalam bentuk pilihan ganda. Peningkatan penguasaan konsep fluida statis diukur dengan membandingkan nilai rata-rata < > penguasaan konsep antara kelas ekperimen dan kelas kontrol. 4. Kemampuan Pemecahan Masalah Kemampuan pemecahan masalah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa menggunakan pengetahuan-pengetahuan dan konsep-konsep fluida statis yang dipelajarinya untuk menemukan solusi atas masalah-masalah kaya konteks (context-rich problems) yang menghitung sejumlah kuantitas mengenai objek atau peristiwa nyata. Kriteria penilaian kemampuan pemecahan 11

masalah berdasarkan pada tingkat penyelesaian yang sesuai dengan konsep yang telah dipelajari dalam menyelesaikan masalah. Kemampuan pemecahan masalah diukur dengan menggunakan tes dalam bentuk essei yang berisi masalah-masalah kaya konteks. Adapun karakteristik masalah-masalah kaya konteks antara lain: (1). Permasalahan harus cukup menantang. (2). Masalah harus terstruktur sehingga kelompok dapat membuat keputusan tentang bagaimana proses solusinya. (3). Masalah harus relevan dengan kehidupan para siswa. (4). Masalah tidak dapat bergantung hanya pada trik pengetahuan atau matematis siswa. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa diukur dengan membandingkan nilai rata-rata < > kemampuan pemecahan masalah antara kelas ekperimen dan kelas kontrol. 12