BAB I PENDAHULUAN. hanya dari segi medis namun juga psikososial, sedangkan bagi masyarakat

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Kusta merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Lepra adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum

BAB II KAJIAN PUSTAKA. disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini biasanya menyerang kulit

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa

BAB 1 PENDAHULUAN. berlebihnya asupan nutrisi dibandingkan dengan kebutuhan tubuh sehingga

BAB I PENDAHULUAN. serius, menyebabkan peradangan pada kulit, saraf dan organ lain. Penyebab dan faktor risiko

BAB 1 PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, yang mengakibatkan kelainan signifikan dan gangguan pada

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan, manusia amat tergantung kepada alam sekeliling. Yang

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan dunia,

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kehamilan. Umumnya prevalensi abortus sekitar % dari semua. prevalensi masih bervariasi dari yang terendah 2-3% sampai yang

BAB I PENDAHULUAN. Olahraga sepatu roda (inline skating) merupakan olahraga yang. membutuhkan keseimbangan antara kelincahan, kekuatan, kecepatan,

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, dan kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. World Health Organization (WHO) pada berbagai negara terjadi

BAB I PENDAHULUAN. pencegahan, diagnosis, pengobatan, dan pemulihan (Menteri Kesehatan RI,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes melitus adalah penyakit tidak menular yang bersifat kronis dan

BAB I PENDAHULUAN. bidang obstetri, karena merupakan penyulit 2% sampai 20% dari semua

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. imunitas, gangguan sensasi kornea, riwayat operasi kornea, abnormalitas

BAB V PEMBAHASAN. fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam)

BAB I PENDAHULUAN. Persalinan preterm sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan yang serius

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan seperti trauma, infeksi atau obat-obatan (Van de Kerkhof, 2012).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium leprae (M.leprae) yang pertama kali menyerang susunan saraf

BAB I PENDAHULUAN. Vitiligo merupakan penyakit yang tidak hanya dapat menyebabkan gangguan

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. ditutupi sisik tebal berwarna putih. Psoriasis sangat mengganggu kualitas hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Terjadinya diabetes melitus ini

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20

BAB I PENDAHULUAN. reaksi imun berupa plak eritematosa, skuama berwarna putih keperakan berlapislapis,

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

BAB I PENDAHULUAN. Kebiasaan merokok dapat menyebabkan timbulnya berbagai macam

BAB 1 PENDAHULUAN. tetap terjadi perubahan dalam morfologi, biokimia, dan metabolik yang disebut

BAB I PENDAHULUAN. TB Paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh. Mycobacterium tuberculosis, yaitu kuman aerob yang mudah mati dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakat. Kejadian ulkus lambung berkisar antara 5% - 10% dari total populasi

KADAR MALONDIALDEHYDE PLASMA BERKORELASI POSITIF DENGAN INDEKS BAKTERI PADA PENDERITA KUSTA

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam air, tidak berbau dan sangat manis. Pemanis buatan ini mempunyai tingkat kemanisan 550

BAB 1 PENDAHULUAN. Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB VI PEMBAHASAN. Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Akne vulgaris adalah salah satu penyakit kulit. yang selalu menjadi masalah bagi remaja dan dewasa muda

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Roundup adalah herbisida yang menggunakan bahan aktif glifosat yang banyak

BAB 1 PENDAHULUAN. kista. Tempat predileksinya antara lain pada daerah wajah, dada bagian atas, dan punggung.

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes melitus merupakan suatu penyakit kronis yang ditandai oleh

I. PENDAHULUAN. Penyakit kusta (morbus Hansen) merupakan penyakit infeksi kronis menahun

BAB I PENDAHULUAN. Merokok merupakan suatu masalah kesehatan pada masyarakat dan merupakan

thiobarbituric acid (TBA) tidak spesifik untuk MDA (Montuschi et al., 2004; Singh, 2006; Rahman et al., 2012). Isoprostan (IsoPs) adalah

Klasifikasi penyakit kusta

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired

DAFTAR ISI x. HALAMAN JUDUL i. HALAMAN PERSETUJUAN. ii. HALAMAN PERNYATAAN... iii. RIWAYAT HIDUP... iv. KATA PENGANTAR... v. ABSTRAK...

BAB 1 PENDAHULUAN. digunakan dalam jumlah kecil karena memiliki tingkat kemanisan yang tinggi,

BAB I PENDAHULUAN. Hormon testosteron merupakan bagian penting dalam. kesehatan pria. Testosteron memiliki fungsi utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyerang banyak orang sehingga menimbulkan wabah. Demam

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

Tingginya prevalensi kusta di Kabupaten Blora juga didukung oleh angka penemuan kasus baru yang cenderung meningkat dari tahun 2007 sampai dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. banyak dilakukan oleh kelompok umur lansia (Supardi dan Susyanty, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di hati dan ginjal, sedangkan di otak aktivitasnya rendah. 2 Enzim

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. pada kulit yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Predileksi awal penyakit

GASTROPATI HIPERTENSI PORTAL

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskular merupakan penyakit dengan angka kematian terbesar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis menular dan menahun yang

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN UPAYA PENCEGAHAN KECACATAN PENDERITA KUSTA DI KABUPATEN NGAWI

BAB I PENDAHULUAN. tingginya penyakit infeksi seperti thypus abdominalis, TBC dan diare, di sisi lain

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kulit, selanjutnya dapat mengenai organ atau sistem lain seperti mata, mukosa

BAB I PENDAHULUAN. mengonsumsi minuman beralkohol. Mengonsumsi etanol berlebihan akan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri

BAB I PENDAHULUAN. pada tahun 2007 menjadi 2,1 pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Hasil riset tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Radikal bebas merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dapat mengalami keluhan gatal, nyeri, dan atau penyakit kuku serta artritis

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

I. PENDAHULUAN. tingkat gen akan kehilangan kendali normal atas pertumbuhannya. Tumor

BAB I PENDAHULUAN. jenis kanker yang mempunyai tingkat insidensi yang tinggi di dunia, dan kanker kolorektal) (Ancuceanu and Victoria, 2004).

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit infeksi kronis yang hingga saat ini masih menimbulkan permasalahan yang bersifat kompleks baik bagi penderita maupun masyarakat. Permasalahan yang dihadapi penderita bukan hanya dari segi medis namun juga psikososial, sedangkan bagi masyarakat penyakit kusta dapat menimbulkan masalah sosial, ekonomi dan budaya. Masalah penyakit kusta ini diperberat dengan kompleksnya epidemiologi dan kurangnya pengetahuan atau kepercayaan yang keliru pada keluarga, masyarakat dan petugas kesehatan mengenai penyakit kusta, sehingga banyak penderita kusta baru mendapat pengobatan ketika sudah dalam keadaan cacat. Penyakit kusta atau lepra atau dikenal pula dengan sebutan Morbus Hansen (MH) merupakan penyakit yang menyerang saraf perifer serta dapat pula menyerang kulit dan jaringan lain seperti mata, mukosa saluran pernafasan bagian atas, otot, tulang, dan testis (Bryceson dan Pfaltzgraff, 1990). Hingga saat ini penyakit kusta masih ditemukan tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian terbanyak ditemukan di Asia Tenggara (WHO, 2015). Sejak diperkenalkannya pengobatan multi drug therapy (MDT) oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 1981, telah terjadi penurunan jumlah kasus maupun angka prevalensi penyakit kusta secara global, namun hingga saat ini masih ditemukan lebih dari 200.000 kasus baru penyakit kusta yang tercatat di seluruh dunia setiap tahunnya 1

(Polycarpou dkk., 2013; Lee dkk., 2012). Indonesia sendiri masih menempati peringkat ketiga jumlah kasus baru terbanyak dan peringkat pertama jumlah kasus kusta tipe multibasilar terbanyak (WHO, 2015). Jumlah kasus baru terbanyak di Indonesia berasal dari Jawa Timur, sementara dibandingkan provinsi lain, Bali termasuk memiliki jumlah kasus kusta yang cukup rendah yaitu pada tahun 2014 tercatat sejumlah 89 kasus dengan angka prevalensi sebesar 0,21 per 10.000 penduduk, namun data ini belum mencerminkan jumlah kasus yang sesungguhnya karena penyakit kusta di Indonesia merupakan fenomena gunung es sehingga kemungkinan banyak kasus yang tidak tercatat (Yudianto dkk., 2015). Penegakan diagnosis penyakit kusta didasarkan atas penemuan tanda kardinal (utama) yaitu adanya lesi kulit disertai anestesi atau mati rasa, penebalan saraf tepi yang dapat disertai gangguan fungsi saraf dan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada pemeriksaan hapusan sayatan kulit. Diagnosis kusta dapat ditegakkan jika terdapat 1 dari 3 tanda kardinal kusta (Eichelmann dkk., 2013; Kumar dan Dogra, 2010). Dari pemeriksaan hapusan sayatan kulit akan didapatkan nilai indeks bakteri (IB) dan indeks morfologi (IM). Nilai IB selain berperan dalam penentuan klasifikasi, juga berperan untuk menilai respon pengobatan serta penentuan relaps (Bhat dan Prakash, 2012; Kumar dan Dogra, 2009; Desikan dkk., 2005). Indeks bakteri umumnya mengalami penurunan setelah terapi MDT sebesar log 0,6-1,0 per tahun atau +1 per tahun dan berlanjut meskipun MDT telah dihentikan, sedangkan IM umumnya akan mengalami penurunan menjadi nol setelah 4-6 bulan terapi MDT (Mahajan, 2013).

Penyakit kusta memiliki manifestasi klinis yang berbeda-beda pada setiap individu. Berdasarkan pengelompokan Ridley dan Jopling penyakit kusta dibagi menjadi 5 tipe berdasarkan klinis, histopatologis dan imunologis yaitu kusta tipe tuberkuloid (TT), tipe borderline tuberkuloid (BT), tipe mid borderline (BB), tipe borderline lepromatosa (BL) dan tipe lepromatosa (LL), sedangkan WHO membagi kusta menjadi kusta tipe pausibasilar (PB) serta kusta tipe multibasilar (MB) (Mishra dan Kumar, 2010; Bhushan dkk., 2008). Variasi atau perbedaan manifestasi klinis penyakit kusta pada masing-masing individu disebabkan oleh variasi respon imunitas seluler atau cell mediated immunity (CMI). Penderita yang memiliki imunitas seluler yang cukup tinggi akan menderita kusta yang cenderung ke arah kutub tuberkuloid yang ditandai dengan hilangnya sensasi dan pembesaran saraf yang lebih jelas namun jumlah lesi sedikit dan kuman umumnya tidak terdeteksi, sedangkan semakin rendah imunitas seluler maka tipe yang akan diderita semakin ke arah kutub lepromatosa dengan jumlah lesi dan kuman yang lebih banyak, serta keterlibatan saraf dan disabilitas yang lebih berat pada tahap lanjut (Lee dkk., 2012; Polycarpou dkk., 2013). Manifestasi klinis penyakit kusta juga dapat dipengaruhi oleh inflamasi pada jaringan yang dimediasi oleh respon imun. Produk seperti tumor necrosis factor-α (TNFα), nitric oxide (NO) dan adanya reactive oxygen species (ROS), berperan penting pada respon imunitas terhadap infeksi namun di sisi lain juga dapat menimbulkan kerusakan jaringan (Vasques dkk., 2014). Reactive oxygen species diproduksi oleh organisme sebagai hasil dari metabolisme selular normal. Pada konsentrasi rendah atau sedang ROS berfungsi dalam proses fisiologis,

namun pada konsentrasi yang tinggi ROS dapat mengakibatkan efek samping pada komponen selular seperti lipid, protein dan asam nukleat. Tubuh manusia sendiri dilengkapi oleh sistem antioksidan yang terdiri dari antioksidan enzimatik dan non-enzimatik yang berperan mengimbangi efek ROS atau oksidan serta mencegah kerusakan akibat ROS. Ketidakseimbangan antara antioksidan dan ROS dikenal dengan sebutan stres oksidatif (Birben dkk., 2012; Vijayaraghavan dan Paneerselvam, 2011). Berdasarkan penelitian dikatakan stres oksidatif memiliki peranan penting pada penyakit kusta. Patogenesis terjadinya stres oksidatif pada penyakit kusta masih belum diketahui secara pasti, diduga disebabkan karena infeksi oleh M.leprae dan respon imunitas pada penyakit kusta (Vijayaraghavan dan Paneerselvam, 2011). Sistem pertahanan utama pada infeksi oleh M. leprae adalah sistem imunitas yang diperantarai oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Makrofag akan mengenali M. leprae melalui Toll like receptor (TLR) yang akan menginduksi pelapasan sitokin seperti TNF-α, interferon (IFN) γ, interleukin (IL)-1, IL-6 dan IL-12 yang akan menginduksi inflamasi, mengaktivasi respon imunitas adaptif dan aktivasi enzim fagosit oksidase yang selanjutnya akan menginduksi pelepasan radikal bebas atau ROS. Radikal bebas atau ROS ini selain berperan pada pertahanan tubuh terhadap infeksi juga dapat menimbulkan kerusakan lipid, protein dan asam nukleat pada sel pejamu. Kerusakan yang berat akan menimbulkan kematian sel (Trimbake dkk., 2013; Abbas dkk., 2015). Pada kusta tipe lepromatosa sumber utama ROS juga diduga berasal dari subpopulasi sel fagosit lain seperti neutrofil dan makrofag yang terstimulasi secara imunologis.

Pada penyakit kusta ditemukan pula penurunan enzim antioksidan terutama superoksid dismutase (SOD) yang diduga disebabkan karena hambatan gen SOD oleh komponen M. leprae dan penggunaan biometal dari sel pejamu untuk pertahanan hidup M. leprae, sehingga mempengaruhi metaloenzim seperti SOD (Swathi dan Tagore, 2015; Bhadwat dan Borade, 2000). Adanya stres oksidatif pada kusta dikatakan dapat mempengaruhi episode inflamasi, menyebabkan kerusakan jaringan pada penderita kusta (Vijayaraghavan dan Pneerselvam, 2011). Reactive oxygen species dan radikal bebas bersifat tidak stabil dan sulit diukur secara langsung, namun ROS dapat menimbulkan kerusakan pada lipid (peroksidasi lipid) terutama mengenai polyunsaturated fatty acid (PUFA) membran lipid. Polyunsaturated fatty acid kemudian didegradasi menjadi malondialdehyde (MDA). Malondialdehyde pada plasma atau serum dapat digunakan sebagai penanda kerusakan seluler akibat radikal bebas (Ayala dkk., 2014; Garad dkk., 2014). Berdasarkan penelitian, adanya MDA juga dapat menstimulasi diferensiasi sel Th menuju kearah fenotip Th2 sehingga menginduksi hiporesponsif sel limfosit T (Bennet dan Griffiths, 2013). Penelitian mengenai stres oksidatif sudah dilakukan pada berbagai penyakit kulit termasuk penyakit kusta. Berdasarkan beberapa penelitian ditemukan peningkatan ROS dan penurunan sistem antioksidan pada penyakit kusta. Penelitian yang dilakukan oleh Vijayaraghavan dkk (2011) menunjukkan penurunan secara signifikan enzim antioksidan seperti SOD, katalase, glutation peroksidase, glutation reduktase dan glutation-s-transferase pada penderita kusta

dibanding kontrol yang sehat. Penelitian mengenai peroksidasi lipid sebagai penanda adanya stres oksidatif pada penyakit kusta masih memberikan hasil yang berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan oleh Emerson dkk. (2007) menemukan peningkatan kadar MDA pada penderita kusta dibandingkan dengan kontrol yang sehat, peningkatan bersifat gradual dimana peningkatan MDA ditemukan paling besar pada kusta tipe lepromatosa. Hasil yang serupa juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Trimbake dkk. (2013) yaitu terdapat peningkatan kadar MDA secara signifikan pada penderita penyakit kusta, terutama pada penderita kusta tipe MB dibandingkan PB. Penelitian oleh Prasad dkk. (2007) yang membandingkan stres oksidatif dengan IB menemukan adanya hubungan yang positif antara peningkatan kadar MDA dan peningkatan IB pada penderita kusta. Penelitian yang dilakukan oleh Meneses dkk. (2014) yang meneliti kadar MDA pada urin juga menemukan hubungan yang positif kadar MDA urin dengan peningkatan IB pada penderita kusta. Penelitian oleh Prabhakar dkk. (2013) yang meneliti mengenai stres oksidatif pada penderita kusta yang telah mendapatkan pengobatan menemukan peningkatan kadar MDA secara signifikan dibanding kontrol. Hal ini menunjukkan adanya stres oksidatif pada penderita kusta meskipun telah mendapatkan terapi MDT. Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Schalcher dkk. (2013), dimana tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada kadar MDA penderita kusta dibanding kontrol. Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Schalcher dkk. (2014) yang meneliti adanya stres oksidatif selama terapi MDT juga tidak menemukan perbedaan yang

signifikan pada kadar MDA penderita kusta baik yang telah diobati dengan yang belum diobati dengan kontrol. Berdasarkan permasalahan tersebut, didapatkan peranan penting MDA sebagai biomarker stres oksidatif dan hubungannya dengan IB pada penyakit kusta. Beberapa penelitian masih didapatkan hasil yang kontroversi mengenai hubungan antara kadar MDA dengan IB pada kusta sehingga peneliti ingin meneliti lebih lanjut korelasi antara kadar MDA dengan IB pada penderita kusta yang berkunjung ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah terdapat perbedaan kadar MDA plasma antara penderita kusta tipe PB dengan kusta tipe MB di RSUP Sanglah Denpasar? 2. Apakah terdapat korelasi positif antara kadar MDA plasma dengan nilai indeks bakteri pada penderita kusta di RSUP Sanglah Denpasar? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Untuk membuktikan adanya hubungan antara MDA dengan penyakit kusta di RSUP Sanglah Denpasar. 1.3.2 Tujuan khusus 1. Untuk membuktikan adanya perbedaan kadar MDA plasma antara penderita kusta tipe PB dengan kusta tipe MB di RSUP Sanglah Denpasar.

2. Untuk membuktikan adanya korelasi positif antara kadar MDA plasma dengan nilai indeks bakteri pada penderita kusta di RSUP Sanglah Denpasar. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis Memberi sumbangan ilmu pengetahuan mengenai peranan MDA sebagai penanda stres oksidatif pada patogenesis penyakit kusta serta hubungan antara MDA dengan indeks bakteri pada penderita kusta. 1.4.2 Manfaat praktis 1.4.2.1 Manfaat untuk klinisi Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk penelitian selanjutnya mengenai MDA sebagai faktor risiko progresivitas penyakit kusta. 1.4.2.2 Manfaat untuk penderita Dengan mengetahui korelasi kadar MDA plasma dengan indeks bakteri pada penyakit kusta, maka kadar MDA plasma dapat dipertimbangkan sebagai pemeriksaan tambahan dalam menilai kondisi stres oksidatif pada penderita penyakit kusta.