URIC ACID RELATIONSHIP WITH BLOOD SUGAR PATIENTS TYPE 2 DIABETES MELLITUS THE EXPERIENCE OF OBESITY

dokumen-dokumen yang mirip
Proses Penularan Penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

BAB I PENDAHULUAN. menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular

BAB I PENDAHULUAN.

BAB 1 PENDAHULUAN. Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang

ABSTRAK STUDI KASUS PENENTUAN DAERAH ENDEMIS FILARIASIS DI DESA RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG JAWA BARAT TAHUN 2008

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 4 HASIL PENELITIAN

Prevalensi pre_treatment

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian

ABSTRAK. Pembimbing I : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc Pembimbing II : Hartini Tiono, dr.,m. Kes

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Filariasis Limfatik atau penyakit Kaki Gajah merupakan salah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF THE PEOPLE AT NANJUNG VILLAGE RW 1 MARGAASIH DISTRICT BANDUNG REGENCY WEST JAVA ABOUT FILARIASIS

PENGOBATAN FILARIASIS DI DESA BURU KAGHU KECAMATAN WEWEWA SELATAN KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun

PENYAKIT-PENYAKIT DITULARKAN VEKTOR

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Cakupan Pemberian Obat Pencegahan Massal Filariasis di Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan

SITUASI FILARIASIS DI KABUPATEN SUMBA TENGAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2009

Gambaran Pengobatan Massal Filariasis ( Studi Di Desa Sababilah Kabupaten Barito Selatan Kalimantan Tengah )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ABSTRAK PREVALENSI FILARIASIS DI KOTA BEKASI PERIODE

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT FILARIASIS DI KABUPATEN BEKASI, PROVINSI JAWA BARAT PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. 1

SOP POMP FILARIASIS. Diposting pada Oktober 7th 2014 pukul oleh kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi

Kata kunci: filariasis; IgG4, antifilaria; status kependudukan; status ekonomi; status pendidikan; pekerjaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. klinis, penyakit ini menunjukkan gejala akut dan kronis. Gejala akut berupa

Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis di Indonesia. No ISBN :

BAB 1 RANGKUMAN Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS SITUASI FILARIASIS LIMFATIK DI KELURAHAN SIMBANG KULON, KECAMATAN BUARAN, KABUPATEN PEKALONGAN Tri Wijayanti* ABSTRACT

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

Filariasis Limfatik di Kelurahan Pabean Kota Pekalongan

FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

Juli Desember Abstract

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEEFEKTIFAN MODEL PENDAMPINGAN DALAM MENINGKATKAN CAKUPAN OBAT PADA PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS

BAB XX FILARIASIS. Hospes Reservoir

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang

RISIKO KEJADIAN FILARIASIS PADA MASYARAKAT DENGAN AKSES PELAYANAN KESEHATAN YANG SULIT

BAB I PENDAHULUAN. distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari spesies, stadium larva

TUGAS PERENCANAAN PUSKESMAS UNTUK MENURUNKAN ANGKA KESAKITAN FILARIASIS KELOMPOK 6

FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI PUSKESMAS TIRTO I KABUPATEN PEKALONGAN

BAB 1 PENDAHULUAN. agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat

5. Manifestasi Klinis

CAKUPAN PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS DI KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA TAHUN 2011 FILARIASIS MASS TREATMENT COVERAGE IN DISTRICT SOUTHWEST SUMBA 2011

SURVEI DARAH JARI FILARIASIS DI DESA BATUMARTA X KEC. MADANG SUKU III KABUPATEN OGAN KOMERING ULU (OKU) TIMUR, SUMATERA SELATAN TAHUN 2012

GAMBARAN PEMBERIAN OBAT MASAL PENCEGAHAN KAKI GAJAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WELAMOSA KECAMATAN WEWARIA KABUPATEN ENDE TAHUN ABSTRAK

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa tahun terakhir, penyakit yang ditularkan oleh nyamuk cenderung

Filariasis : Pencegahan Terkait Faktor Risiko. Filariasis : Prevention Related to Risk Factor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Faktor Risiko Kejadian Filarisis Limfatik di Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN FILARIASIS DI PUSKESMAS SE-KOTA PEKALONGAN TAHUN 2016

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Gondanglegi Kulon kecamatan

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Filariasis limfatik atau Elephantiasis adalah. penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit di mana

Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 8 No. 2, 2014 : 61-66

STUDI ENDEMISITAS FILARIASIS DI WILAYAH KECAMATAN PEMAYUNG, KABUPATEN BATANGHARI PASCA PENGOBATAN MASSAL TAHAP III. Yahya * dan Santoso

UPAYA KELUARGA DALAM PENCEGAHAN PRIMER FILARIASIS DI DESA NANJUNG KECAMATAN MARGAASIH KABUPATEN BANDUNG

SKRIPSI SARI UKURTHA BR. TARIGAN NIM

TOPIK UTAMA Filariasis di Indonesia OPINI Analisis Epidemiologi Deskriptif Filariasis di Indonesia Oleh : dr. Tri Yunis Miko Wahyono, M.Sc...

NYAMUK SI PEMBAWA PENYAKIT Selasa,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS PRAKTIK PENCEGAHAN FILARIASIS DAN MF-RATE DI KOTA PEKALONGAN

BAB I PENDAHULUAN UKDW. sebagai vektor penyakit seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese

Kondisi Filariasis Pasca Pengobatan Massal di Kelurahan Pabean Kecamatan Pekalongan Utara Kota Pekalongan

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap ketahanan nasional, resiko Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) pada ibu

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses terjadinya penyakit terdapat tiga elemen yang saling berperan

PEMERIKSAAN MIKROFILARIA DI DUSUN CIJAMBAN KECAMATAN PANUMBANGAN KABUPATEN CIAMIS. Mei Widiati*, Ary Nurmalasari, Septi Nurizki ABSTRACT

GAMBARAN EPIDEMIOLOGI FILARIASIS DI KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR PENDIDIKAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS YANG DITENTUKAN BERDASARKAN DISTRIBUSI IGG4 ANTIFILARIA. Biyan Maulana*, Heri Wibowo**

Kajian Epidemiologi Limfatikfilariasis Di Kabupaten Sumba Barat (Desa Gaura) dan Sumba Tengah (Desa Ole Ate) Tahun Hanani M.

BAB 1 PENDAHULUAN. dari genus Plasmodium dan mudah dikenali dari gejala meriang (panas dingin

GAMBARAN KARAKTERISTIK PENDERITA FILARIASIS DI DESA SANGGU KABUPATEN BARITO SELATAN KALIMANTAN TENGAH

BAB 1 PENDAHULUAN. Asia Tenggara termasuk di Indonesia terutama pada penduduk yang

I. PENGANTAR. Separuh dari keseluruhan penduduk dunia, diperkirakan 3,3 miliar orang,

BAB 1 PENDAHULUAN. (Harijanto, 2014). Menurut World Malaria Report 2015, terdapat 212 juta kasus

The occurrence Factor of Filariasis Transmission In Lasung Health Centers Kusan Hulu Subdistrict, Tanah Bumbu Kalimantan Selatan

I. PENDAHULUAN. nyamuk Anopheles sp. betina yang sudah terinfeksi Plasmodium (Depkes RI, 2009)

Analisis Nyamuk Vektor Filariasis Di Tiga Kecamatan Kabupaten Pidie Nanggroe Aceh Darussalam

Transkripsi:

Studi Literatur TRANSMISSION ASSESSMENT SURVEY SEBAGAI SALAH SATU LANGKAH PENENTUAN ELIMINASI FILARIASIS Diterima Oktober 2013 Disetujui Desember 2013 Dipublikasikan 1 April 2014 Fauziah Elytha 1 JKMA Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas diterbitkan oleh: Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas ISSN 1978-3833 8(2)84-91 @2014 JKMA h p://jurnal. m.unand.ac.id/index.php/jkma/ 1 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas Padang Filariasis ( Penyakit Kaki Gajah) adalah penyakit menular yang mengenai saluran dan kelenjar limfe disebabkan oleh cacing filarial dan ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini bersifat kronis dan bila tidak diobati dapat menimbulkan cacat menetap, berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin pada perempuan maupun laki-laki. Akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain sehingga menjadi beban masyarakat. Data WHO menunjukkan bahwa didunia terdapat 1,3 miliar penduduk yang berada dinegara berisiko tertular filariasis, dan lebih dari 60 % negara-negara tersebut berada di Asia Tenggara.(1) Dengan berbagai akibat tersebut, saat ini penyakit kaki gajah telah menjadi salah satu penyakit yang diprioritaskan untuk dieliminasi.telah disusun rencana aksi Nasional yang sistematis untuk menanggulangi hal tersebut yaitu dengan menetapkan dua pilar kegiatan yang akan ditempuh yaitu Memutuskan mata rantai penularan dengan Pemberian Obat Massal Pencegahan Filariasis (POMP filariasis) di daerah en demis dengan menggunakan Diethyl Carbamazine (DEC) 6 mg/kg berat badan yang dikombinasikan dengan albendazole 400 mg sekali setahun dan dilakukan minimal 5 tahun berturut turut. Setelah 5 tahun menjalani pengobatan masal filariasis maka dilakukan evaluasi microfilaria dalam darah melalui survey darah jari (SDJ) dan Transmission Assesment Surveys(TAS) pada anak sekolah, sedangkan untuk kasus klinis dilakukan perawatan kasus akut maupun kasus klinis kronis.(1) Kata Kunci : Filariasis, Eliminasi, TAS, Survey Darah Jari URIC ACID RELATIONSHIP WITH BLOOD SUGAR PATIENTS TYPE 2 DIABETES MELLITUS THE EXPERIENCE OF OBESITY Filariasis or elephantiasis is an infectious disease of the tract and lymph nodes caused by filarial worms and transmitted by mosquitoes. The disease is a chronic (chronic) and if not treated can lead to permanent disability, such as enlargement of the legs, arms and genitals in both women and men. As a result, the patient can not work optimally even his life depends on someone else to become a burden on society. WHO data With a wide range due to the current disease elephantiasis has become one of the priority diseases for elimination.the National action plan for the systematic overcome it is to set the two pillars of the activities that will be pursued That Decided transmission chain with Multiple Drug Administration Obat of Prevention (POMP filariasis) in endemic areas using Diethyl Carbamazine (DEC) 6 mg / kg of body weight in combination with albendazole 400 mg once a year and made at least 5 consecutive years. After 5 years of mass treatment of filariasis then be evaluated through a survey of microfilaria in the blood of finger blood (SDJ) and Transmission Assessment Surveys (TAS) in school children, whereas clinical cases performed for treatment of clinical cases of acute and chronic cases. (1) Shows that there are 1.3 billion people in the world who are at risk of contracting filariasis country, and more than 60% of the countries in Southeast Asia. (1) Keywords : filariasis, Elimination, TAS, Finger Blood Survey Korespondensi Penulis: Fakultas Kesehatan Masyarakat Unand,Jalan Perin s Kemerdekaan Padang Sumatera Barat Email : elytha12@gmail.com 84

Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas April 2014 - September 2014 Vol. 8, No. 2, Hal. 84-91 Pendahuluan Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang mengenai saluran dan kelenjar limfe disebabkan oleh cacing filarial dan ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap, berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik pada perempuan maupun laki-laki. Akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat dan Negara. (1) Data WHO menunjukkan bahwa didunia terdapat 1,3 miliar penduduk yang berada dinegara berisiko tertular filariasis, dan lebih dari 60 % negara-negara tersebut berada di Asia Tenggara. (WHO dalam Kemenkes RI, 2010). Dengan berbagai akibat tersebut, saat ini penyakit kaki gajah telah menjadi salah satu penyakit yang diprioritaskan untuk dieliminasi. Diprakarsai oleh WHO sejak 1999, pada tahun 2000 diperkuat dengan keputusan WHO dengan mendeklarasikan The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020. (1) Indonesia sepakat untuk ikut serta dalam Eliminasi Filariasis Global yang ditandai dengan pencanangan dimulainya eliminasi filariasis di Indonesia oleh Menteri Kesehatan pada tanggal 8 April 2002 di Desa Mainan, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Pemerintah telah menetapkan Program Eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas nasional pemberantasan penyakit menular sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004-2009, Bab 28, D.5. Selain itu diterbitkan Surat Edaran Mendagri No.443.43/875/SJ tentang Pedoman Pelaksanaan Pengobatan Massal Filariasis dalam rangka Eliminasi Filariasis di Indonesia, sehingga diharapkan komitmen dari pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota akan semakin meningkat (2) Epidemiologi Penyakit Filariasis Sebanyak 1,3 miliar penduduk yang berada di 83 negara beresiko tertular filariasis. Diperkirakan lebih dari 120 juta orang diantaranya sudah terinfeksi dan 40 juta orang sudah menunjukkan gejala klinis berupa pembengkakan organ tubuh di kaki dan lengan (Lymphoedema) atau anggota tubuh lainnya. (2) Selain itu, data WHO menunjukkan sekitar 66% yang berisiko infeksi hidup di wilayah Asia Tenggara WHO dan 33% di Afrika. (1) Di wilayah Afrika sebesar 85% ( 39 dari 46 negara) endemis filariasis limfatik dengan populasi berisiko 396 juta di tahun 2008, di wilayah Amerika 7 negara endemis filariasis limfatik dengan 12 juta orang berisiko. Di wilayah bagian timur Mediterania ada 3 negara endemis yaitu Mesir, Sudan, Yaman dengan 12 juta orang beresiko, dimana hampir 510.000 orang dirawat pada tahun 2008. Di wilayah Asia Tenggara sekitar 66% dari populasi global berisiko filariasis limfatik yang terdiri 9 negara endemis dengan 426 juta orang yang menerima perawatan. (3) Hampir seluruh wilayah Indonesia adalah daerah endemis filariasis, terutama wilayah Indonesia Timur yang memiliki prevalensi lebih tinggi. Sejak tahun 2000 hingga 2009 dilaporkan kasus kronis filariasis sebanyak 11.914 kasus yang tersebar di 401 kabupaten/kota. Hasil laporan kasus klinis kronis filariasis dari kabupaten/kota yang ditindaklanjuti dengan survey endemisitas filariasis, sampai dengan tahun 2009 terdapat 337 kabupaten/kota endemis dan 135 kabupaten/kota non endemis. (1) Penyebab Penyakit Filariasis Filariasis disebabkan oleh infeksi Nematoda (Cacing Gelang) dari keluarga Filariodidea, ditularkan melalui berbagai jenis nyamuk (Culex, Anopeheles, Mansonia dan Aedes). Ada tiga jenis cacing filaria: Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Dari ketiga jenis cacing filaria penyebab filariasis, Brugia malayi mempunyai penyebaran paling luas di Indonesia. Brugia timori hanya terdapat di Indonesia Timur yaitu: di Pulau Timor, Flores, Rote, Alor dan beberapa pulau kecil di Nusa Tenggara Timur. Sedangkan Wuchereria bancrofti terdapat di Pulau Jawa, Bali, NTB dan Papua. (4) Cacing dewasa masuk kedalam sistem limfatik dan mengganggu sistem kekebalan 85

Elytha TAS Sebagai Salah Satu Langkah Penentuan Eliminasi Filariasis Gambar 1. Penyebaran Kasus Filariasis di Indonesia Cacing dewasa masuk kedalam sistem limfatik dan mengganggu sistem kekebalan tubuh. Mereka tinggal selama 6-8 tahun dan selama hidup menghasilkan jutaan mikrofilaria (larva kecil) yang beredar dalam darah. Filariasis limfatik ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk misalnya dengan nyamuk Culex, tersebar luas di seluruh daerah perkotaan dan semi-perkotaan; Anopheles terutama di daerah pedesaan, dan Aedes, terutama di pulau-pulau endemik di Pasifik. Anak dari cacing dewasa berupa mikrofilaria bersarung, terdapat di dalam darah dan paling sering ditemukan di aliran darah tepi. Mikrofilaria ini muncul di peredaran darah enam bulan sampai satu tahun kemudian dan dapat bertahan hidup hingga 5-10 tahun. Pada Wuchereria bancrofti, mikrofilaria berukuran 250-300 x 7-8 mikron. Sedangkan pada Brugia malayi dan Brugia timori, mikrofilaria berukuran 177-230 mikron. (5) Vektor Penular Filariasis Saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia dan Armigeres yang dapat berperan sebagai vektor filariasis. Tetapi vektor utamanya adalah Anopheles farauti dan Anopheles punctulatus. Wuchereria bancrofti tipe urban ditemukan di kota-kota besar. (2) Hasil penelitian menyebutkan bahwa beberapa spesies dari genus Anopheles disamping berperan sebagai vektor malaria juga dapat berperan sebagai vektor filariasis. Spesies nyamuk mempunyai tempat perindukan berbeda-beda misalnya: di rawa-rawa, air kotor (comberan), air sawah, air laguna. Nyamuk dapat bersifat antropofilik (menyukai darah manusia), zoofilik (menyukai darah hewan) dan zooantropofilik (menyukai darah hewan maupun manusia), eksofagik (menggigit diluar rumah) dan endofagik (menggigit di dalam rumah). Tempat beristirahat nyamuk juga berbeda-beda tergantung spesiesnya. (5) Larva infektif yang disebut mikrofilaria memiliki panjang sekitar 200-250 µm serta lebar 5-7 µm yang bersarung. Bedanya diantara W. bancrofti, B.malayi, dan B.timori, hanya B.timori yang sarungnya tidak menyerap pewarna sehingga tidak kelihatan bersarung di mikroskop. Juga yang membedakan ketiga spesies ini, pada spesies Brugia, terdapat inti tambahan terutama di ujung ekor serta karakteristik lain seperti jarak mulut, panjang tubuh. Perkembangan dari larva muda hingga menjadi larva infektif di dalam tubuh nyamuk berlangsung selama 1-2 pekan sedangkan dari mulai masuknya larva dari nyamuk ke tubuh manusia hingga menjadi cacing dewasa berlangsung selama 3-36 bulan. Meski terkesan gampang sekali tertular oleh nyamuk, namun pada kenyataannya diperlukan ratusan hingga ribuan gigitan nyamuk hingga bisa menyebabkan penyakit filarial. (5) Cara Penularan dan Morfologi Cacing jantan dan betina hidup di saluran dan kelenjar limfe, bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung. Mikrofilaria ini hidup di dalam darah dan terdapat di aliran darah tepi pada waktu-waktu tertentu saja yang mempunyai periodisitas. Pada umumnya, Microfilaria W. bancrofti bersifat periodisitas nokturna, artinya mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam. Pada siang hari, mikrofilaria terdapat di kapiler dalam paru, jantung, ginjal dan sebagainya. (5) Di daerah perkotaan, parasit ini ditu- 86

Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas April 2014 - September 2014 Vol. 8, No. 2, Hal. 84-91 larkan oleh nyamuk Culex quinquefasatus. Di pedesaan vektornya berupa nyamuk Anopheles atau nyamuk Aedes. Daur hidup parasit ini memerlukan waktu yang panjang. Masa pertumbuhan parasit di dalam nyamuk kurang lebih 2 minggu. Pada manusia, masa pertumbuhan belum diketahui secara pasti tetapi diduga kurang lebih 7 bulan, sama dengan masa pertumbuhan parasit ini di dalam Presbytis cristata (lutung). Microfilaria yang terisap oleh nyamuk, melepaskan sarungnya di dalam lambung, menembus dinding lambung dan bersarang di antara otot-otot toraks. Mula-mula parasit ini memendek, bentuknya menyerupai sosis dan disebut larva stadium I. Dalam waktu kurang lebih seminggu, larva ini bertukar kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang disebut larva stadium II. Pada hari kesepuluh dan selanjutnya, larva bertukar kulit sekali lagi, tumbuh makin panjang dan lebih kurus disebut larva stadium III. (5) Gerakan larva stadium III sangat aktif. Bentuk ini bermigrasi, mula-mula ke rongga abdomen kemudian ke kepala dan alat tusuk nyamuk. Bila nyamuk sedang aktif mencari darah akan terbang berkeliling sampai adanya rangsangan hospes yang cocok diterima oleh alat penerima rangsangannya. Rangsangan ini akan memberi petunjuk pada nyamuk untuk mengetahui dimana adanya hospes kemudian baru menggigit. Bila nyamuk yang mengandung larva stadium III bersifat infektif dan mengigit manusia, maka larva tersebut secara aktif masuk ke dalam tubuh hospes dan bersarang di saluran limfe setempat. Di dalam tubuh hospes, larva mengalami dua kali pergantian kulit, tumbuh menjadi larva stadium IV, lalu stadium V dan cacing dewasa. (7). Siklus ini yang berterusan sehingga semakin banyak menderita filariasis dan manusia merupakan definitive host. (5) Patologi dan Gejala Klinis Penyakit Filariasis mempunyai gejala dan tanda klinis akut dan dan kronis. (6) Gejala dan Tanda Klinis Akut meliputi demam berulang selama 3 5 hari. Demam dapat hilang bila istirahat dan timbul lagi setelah bekerja berat. Pembengkakkan kelanjar getah bening (tanpa ada luka) di daerah lipatan paha, ketiak (limfadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit. Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal ke arah ujung kaki atau lengan. Abses filarial terjadi akibat seringnya pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, kantong buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (limfedema dini) Gejala dan Tanda Klinis Kronis meliputi pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, atau buah zakar. Gejala klinis filariasis limfatik disebabkan oleh mikrofilaria dan cacing dewasa baik yang hidup maupun yang mati. Mikrofilaria biasanya tidak menimbulkan kelainan tetapi dalam keadaan tertentu dapat menyebabkan occult filariasis. Gejala yang disebabkan oleh cacing dewasa menyebabkan limfadenitis dan limfagitis retrograd dalam stadium akut, disusul dengan obstruktif menahun. Cara diagnosis penyakit filariasis di antaranya adalah pemeriksaan klinis, pemeriksaan langsung darah segar ujung jari, pemeriksaan darah jari/vena dengan pewarnaan, pemeriksaan darah dengan Quantitatif Buffy Coat (QBC), pemeriksaan ultrasound (Filaría Dance Sign) terutama untuk evaluasi hasil pengobatan dan hanya dapat digunakan untuk infeksi filaria oleh W. bancrofti, pemeriksaan serologis deteksi antibodi, deteksi antigen beredar dengan teknik ELISA Sandwich menggunakan antibodi monoclonal (Harrison, 2008), Immuno Chromatographic Test (ICT Filariasis) merupakan cara diagnosis filariasis paling sensitif pada saat ini (Soeyoko, 1998), deteksi DNA dengan metoda Polymerase Chain Reaction (PCR) dan lymphangiography. (7) Intervensi yang efektif dan penggunaan sumber daya yang efisien melalui upaya yang sistematis dan strategis akan menghasilkan penghematan bagi negara. Untuk itu dibutuhkan suatu rencana yang sistematis di tingkat Nasional untuk menanggulangi hal tersebut yaitu dengan menetapkan dua pilar kegiatan yang akan ditempuh dengan memutuskan mata rantai penularan dengan Pemberian 87

Elytha TAS Sebagai Salah Satu Langkah Penentuan Eliminasi Filariasis Obat Massal Pencegahan Filariasis (POMP filariasis) di daerah endemis dengan menggunakan DEC 6 mg/kg berat badan yang dikombinasikan dengan albendazole 400 mg sekali setahun dan dilakukan minimal 5 tahun. (8) Perawatan kasus filariasis dilakukan baik kasus klinis akut maupun kasus klinis kronis. Penanggulangan dan eliminasi penyakit kaki gajah saat ini telah menjadi perhatian pemerintah dan merupakan salah satu program pengendalian penyakit bersumber binatang yang harus terus diupayakan secara lebih sistematis dan berkelanjutan. Untuk itulah Kementerian Kesehatan membuat program kerja lima tahunan (2010-2014) dan estimasi kebutuhan biaya agar tujuan dan sasaran bisa tercapai sesuai harapan dan mampu memberikan kontribusi mencapai eliminasi filariasis di dunia. (8) Pemeriksaan klinis merupakan cara diagnosis paling cepat dan murah tapi gejala klinis filariasis sangat bervariasi, mempunyai spektrum sangat luas dan sangat tergantung masing-masing individu dan spesies penyebabnya. Penderita tidak menunjukkan gejala sama sekali (asimtomatik), atau menunjukkan gejala-gejala akut dan ada yang berkembang menjadi kronik. Gejala-gejala klinis seperti demam, limfadenitis, limfangitis desendens, abses, funikulitis, epididimitis dan orkitis sifatnya sementara dan dapat sembuh spontan tanpa pengobatan serta dapat terjadi berulangulang. Gejala akut (demam) biasanya muncul jika penderita bekerja berat (kelelahan) dan segera hilang setelah istirahat penuh. Limfadenitis dan limfangitis dapat timbul pada sistem limfe dimana saja, tetapi kebanyakan di daerah lipat paha kemudian menjalar ke arah distal (desendens) terlihat sepert tali berwarna merah dan terasa nyeri. (9) Gejala kronik seperti sikatrik, hidrokel testis dan elephantiasis sifatnya menetap. Pada filariasis bancrofti dapat terjadi elephantiasis pada seluruh kaki atau lengan sedangkan pada filariasis malayi atau timori hanya terjadi elefantiasis di bawah lutut. Di daerah endemik filariasis munculnya gejala-gejala klinis bervariasi, ada yang cepat, ada yang lambat sampai beberapa tahun, tetapi ada yang tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali sepanjang hidupnya walaupun sudah terinfeksi filaria. (9) Penduduk berasal dari daerah non-endemis filariasis apabila terkena infeksi pada umum nya akan menunjukkan gejala-gejala akut, munculnya lebih cepat daripada penduduk asli dan penderita tampak sakit lebih berat. Diagnosis filariasis berdasarkan pemeriksaan klinis memang murah dan cepat, namun banyak kelemahannya karena sebagian besar penderita walaupun telah terinfeksi filaria tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali (asimtomatik) terutama pada penduduk asli, sehingga diperlukan konfirmasi cara diagnosis lainnya. Pemeriksaan klinis dapat dimanfaatkan untuk dengan cepat memperkirakan atau menentukan tingkat endemisitas suatu daerah, karena berdasarkan pengalaman beberapa kali penelitian dapat disimpulkan bahwa jika diantara 1000 penduduk ditemukan seorang menderita elephantiasis dapat diperkirakan ada 10 penderita menunjukkan gejala klinis akut dan kurang lebih terdapat 100 penderita yang didalam darahnya terdapat mikrofilaria (10%). Keadaan ini menyebabkan daerah tersebut dengan cepat dapat diperkirakan tingkat endemisitasnya, yaitu 10%. (9) Hasil pemeriksaan klinis merupakan petunjuk awal ditemukannya daerah endemik filariasis baru, dan hasil temuan ini harus segera dilanjutkan dengan pemeriksaan darah ujung jari untuk menentukan angka mikrofilaria di daerah tersebut dengan pasti. (9) Eliminasi Filariasis Indonesia melalui Kementerian Kesehatan RI telah melakukan kesepakatan bahwa filariasis harus dieliminasi di muka bumi ini pada tahun 2020. Dalam program tersebut diatas disepakati bahwa pemberantasan filariasis limfatik menggunakan metoda yang sama di semua negara endemis. Program eliminasi filariasis di Indonesia ini menerapkan strategi Global Elimination Lymphatic Filariasis dari WHO. Strategi ini mencakup pemutusan rantai penularan filariasis melalui POMP filariasis di daerah endemis filariasis dengan menggunakan DEC yang dikombinasikan dengan albendazole sekali setahun minimal 5 tahun, dan upaya mencegah dan membatasi kecacatan 88

Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas April 2014 - September 2014 Vol. 8, No. 2, Hal. 84-91 dengan penatalaksanaan kasus klinis filariasis, baik kasus akut maupun kasus kronis. (1) Tujuan umum dari program eliminasi filariasis adalah agar filariasis tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020. Sedangkan tujuan khusus program adalah menurunnya angka mikrofilaria menjadi kurang dari 1% di setiap kabupaten/kota, mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis. Adapun pelaksanaan program eliminasi ini dilaksanakan dengan justifikasi, yaitu: Pertama, penyebaran filariasis di 337 kabupaten/ kota sampai dengan Januari 2010 dengan indikasi angka mikrofilaria lebih besar dari 1% dapat dicegah penularannya pada penduduk yang tinggal di daerah endemis dengan melaksanakan Pengobatan Masal Pencegahan Filariasis (POMP Fil) POMP filariasis setahun sekali selama minimal lima tahun berturut-turut. POMP filariasis yang akan dilaksanakan harus dapat memutus rantai penularan filariasis, sehingga dapat menurunkan prevalensi mikrofilaria lebih kecil dari 1%. (1) Kedua, minimal 85% dari penduduk berisiko tertular filariasis di daerah yang teridentifikasi endemis filariasis harus mendapat POMP filariasis. Untuk itu POMP filariasis harus diarahkan berdasarkan prioritas wilayah menuju eliminasi filariasis tahun 2020. (1) Ketiga, penyebaran kasus dengan manifestasi kronis filariasis yang berjumlah 11.914 di 401 kabupaten/kota dapat dicegah dan dibatasi dampak kecacatannya dengan penatalaksanaan kasus klinis baik melalui basis rumah sakit maupun komunitas yaitu Community Home Based Care.(RAN). (1) Pelaksanaan POMP filariaris dilakukan dengan berbasis kabupaten/kota. Walaupun sudah berbasis kabupaten/kota, upaya program tersebut belum dapat menjangkau seluruh penduduk di wilayah kabupaten/ kota tersebut. Pola program semacam ini tidaklah efisien dan tidak efektif karena tetap terdapat risiko penularan (re-infeksi) karena belum seluruh penduduk terlindungi. Untuk itu, pelaksanaan POMP filariasis perlu direncanakan secara komprehensif dan mencakup seluruh wilayah endemis di Indonesia. (2) Untuk penanggulangan filariasis ini dilakukan program eliminasi filariasis yaitu program pemutusan mata rantai penularan fi lariasis sehingga tidak ditemukan lagi penderita baru. Program Eliminasi Filariasis merupakan salah satu program nasional yang memprioritaskan pemberantasan penyakit menular sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004-2009. (2) Survei darah jari merupakan survey endemisitas filariasis. Survei ini dilakukan pada daerah yang ditemukan kasus klinis filarial. Sasaran survey darah jari adalah usia 13 tahun keatas yang bertempat tinggal disekitar penderita.pengambilan spesimen darah jari dilakukan mulai pukul 20.00 s/d 24.00 WITA, dimana cacing filaria di Indonesia mempunyai periodisitas mikrofilaria malam hari. Persiapan pengambilan darah jari yang dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu di dahului dengan mempersiapkan peralatan survey. Memberikan penyuluhan melalui pemutaran film dokumenter tentang filariasis di lokasi SDJ. Registrasi setiap orang yang akan diambil darahnya. Pengambilan darah jari, Slide yang sudah bersih dari lemak atau kotoran, diberi nomor dengan spidol waterproof sesuai dengan nomor penduduk yang telah didaftar dalam formulir pencatatan survey. Ujung jari kedua atau keempat dibersihkan dengan alcohol swab, setelah kering ditusuk tegak lurus alur garis pada jari tangan dengan blood lancet sehingga darah keluar (dengan penekanan ringan). Darah yang keluar pertama dihapus dengan alkohol swab, kemudian darah diteteskan sebanyak tiga tetes (diperkirakan 20 µl) pada slide, dilebarkan dengan menggunakan ujung slide sehingga membentuk sediaan darah tebal berbentuk oval berukuran 1 x 2 cm. Sediaan darah tersebut dikeringkan selama satu malam dengan menyimpan di tempat yang aman dari serangga dan keesokan harinya dihemolisis dengan air selama beberapa menit sampai warna merah hilang, lalu dibilas lagi dengan air dan dikeringkan. Kemudian diwarnai dengan Giemsa sediaan dibilas dengan air bersih dan dikeringkan. Untuk mewarnai 500 sediaan darah dibutuhkan larutan Giemsa 100 89

Elytha TAS Sebagai Salah Satu Langkah Penentuan Eliminasi Filariasis ml. Setelah kering sediaan diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran rendah (10x10) untuk menentukan jumlah mikrofilaria dan pembesaran tinggi (10x40) untuk menentukan jenis/spesiesnya. Hasil dicatat pada formulir. Bila hasil survey darah jari ditemukan microfilaria rate > 1 % maka daerah tersebut harus dilkukan MDA (10). Transmission Assessment Survey (TAS) adalah survey untuk menilai apakah serangkaian MDA telah berhasil mengura ngi prevalensi infeksi ke tingkat yang sama dengan atau di bawah cut- off ambang batas kritis untuk berbagai spesies vektor dan kompleks, dan untuk memutuskan apakah MDA dapat distop. (11) Tujuan dari TAS untuk memberikan petunjuk sederhana, bahwa prevalensi filariasis limfatik pada anak-anak berusia 6-7 tahun berada di bawah ambang batas yang telah ditentukan ; untuk menjadi dasar agar POMP Filariasis (MDA) dapat dihentikan. Pelaksanaan Tas Survei dilakukan pada daerah endemis yang telah 5 tahun berturut turut melalukan pengobatan massal pencegahan filariasis dengan cakupan 65 %. (11) Empat langkah program berurutan untuk menghilangkan filariasis limfatik melalui MDA: (11) a. Pemetaan distribusi geografis penyakit; b. Mengelola MDA untuk setidaknya 5 tahun untuk mengurangi jumlah mikrofilaria yang beredar dalam darah ke tingkat yang mungkin akan mencegah vektor nyamuk menularkan infeksi; c. Melaksanakan pengawasan setelah penghentian MDA; d. Mengkonfirmasikan gangguan transmisi di tingkat nasional. Persyaratan Survey Tas: (11) a. Minimal telah melakukan Pengobatan Masal Pencegahan Filariasis 5 tahun berturut turut. b. Cakupan minimal setidaknya cakupan melebihi 65 % dalam total populasi unit. c. Prevalensi infeksi di sentinel dan situs spot- check adalah di bawah 1 % ( untuk kehadiran mikrofilaria ) atau di bawah 2 % ( untuk kehadiran antigen menggunakan uji immunochromatographic (ICT)). Monitoring dan Evalusi POMP Filariasis Monitoring dilakukan dengan survey darah jari. Hasil survei darah jari tahun kelima akan diteruskan dengan survei penilaian penularan (TAS) pada anak sekolah. Survei penularan ini dilakukan pada murid SD usia 6-7 tahun dengan pengambilan darah. Jika survei penilaian penularan (TAS) hasilnya didapatkan microfilaria < 1 % atau antigen < 2% berarti tidak terjadi transmisi baru, maka kabupaten bisa menghentikan POMPFil. (11) Kesimpulan Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang mengenai saluran dankelenjar limfe disebabkan oleh cacing filarial dan ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap, berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik pada perempuan maupun laki-laki. Akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat dan Negara. (1) Indonesia sepakat untuk ikut serta dalam Eliminasi Filariasis Global yang ditandai dengan pencanangan dimulainya eliminasi filariasis di Indonesia oleh Menteri Kesehatan pada tanggal 8 April 2002 di Desa Mainan, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Pemerintah telah menetapkan Program Eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas nasional pemberantasan penyakit menular sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004-2009, Bab 28, D.5 (4) Daerah endemis fialria harus melaksanakan MDA dengan pengobatan Massal Pencegahan filariasis selama 5 tahun berturut 90

Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas April 2014 - September 2014 Vol. 8, No. 2, Hal. 84-91 turut. Transmission Assesmen Survey merupakan salah satu penentu apakah suatu daerah telah dapat mencapai eliminasi dan menghentikan pemberian MDA. Saran Pelaksanaan Transmission Assesment Survey perlu disosialisasikan kepada kabupaten kota dan diikuti dengan survei darah jari,karena penentuan endemis menggunakan survei darah jari sedangkan hasil pemberian POMP filariasis dievaluasi dengan TAS. Daftar Pustaka 1. Depkes RI. Pedoman Pengobatan Massal Penyakit Kaki Gajah (Filariasis). Buku 4. Jakarta; Ditjen PPM & PL. 2002 2. Depkes RI. Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1582/Menkes/SK/ XI/2005; 2005 3. WHO. Epidemiology Lymphatic Filariasis. Tahun 2013 [Online]. Dari :http://www. who.int. [28 September 2013]. 4. Kemenkes RI. Rencana Nasional Program Eliminasi Filariasis diindonesia. Subdit Filariasis dan Schistomiasis. Jakarta; Ditjen PP & PL. 2010 5. Depkes RI. Epidemiologi Filariasis. Ditjen PPM & PL. Jakarta; 2006 6. Depkes RI. Pedoman Promosi Kesehatan dalam Eliminasi Filariasis. Jakarta; Ditjen PPM & PL. 2006 7. Michael. Filariasis di Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi Vol 1 Tahun 2006; 2006 8. Widoyono. Penyakit Tropis: Epidemiologi Penularan, Pencegahan & Pemberantasannya. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008 9. Wahyono, Tri Yunis Miko. Analisis Epidemiologi Deskriptif Filariasis di Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi, Volume 1, Juli 2010 10. Kadir,A. Survei Darah Jari (SDJ)(SDJ),BT- KLPP Banjar Baru, Juni 2011 [Online] http://www.bbtklppbjb.freeiz.com/1_41 [30 Maret,2014] 11. 11.WHO,Transmission Assesment Survey in the Global Program Elimenate Lymphatic Filariasis,WHO 2011 91