DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN PERUBAHAN FAKTOR LAIN TERHADAP PERMINTAAN DAN PENAWARAN BERAS DI INDONESIA: ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN

dokumen-dokumen yang mirip
DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN PERUBAHAN FAKTOR LAIN TERHADAP PERMINTAAN DAN PENAWARAN BERAS DI INDONESIA: ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

II. TINJAUAN PUSTAKA Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia. beras. Perkembangan dari hal-hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

IV. METODE PENELITIAN. Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor

III. KERANGKA PEMIKIRAN. fungsi permintaan, persamaan simultan, elastisitas, dan surplus produsen.

BAB I. PENDAHULUAN A.

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus

BAB I PENDAHULUAN. Komoditas pangan masyarakat Indonesia yang dominan adalah beras yang

BAB I PENDAHULUAN. Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1

II. TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dalam hal lapangan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK. Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ANALISIS DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK DAN INDUSTRI GULA INDONESIA. Oleh: AGUS TRI SURYA NAINGGOLAN A

1 Universitas Indonesia

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI

Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

OPERASIONALISASI KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH DAN HARGA ATAP BERAS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS)

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

I. PENDAHULUAN. umumnya, khususnya sebagai sumber penyediaan energi dan protein. Neraca

PENDAHULUAN Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

LAMPIRAN: Surat No.: 0030/M.PPN/02/2011 tanggal 2 Februari 2011 B. PENJELASAN TENTANG KETAHANAN PANGAN

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000),

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

V GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN DAN IMPOR KEDELAI INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

KEBERADAAN BULOG DI MASA KRISIS

BAB I PENDAHULUAN. produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masalah dalam mencukupi ketersediaan pangan adalah:

KERANGKA PEMIKIRAN. transformasi input (resources) ke dalam output atau yang melukiskan antara

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

pertanian pada hakekatnya, adalah semua upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani menuju kehidupan yang lebih

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah

Penyusutan Luas Lahan Tanaman Pangan Perlu Diwaspadai Rabu, 07 Juli 2010

DAMPAK PENGHAPUSAN TARIF IMPOR KEDELAI DI INDONESIA

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun

IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR GRAFIK... DAFTAR LAMPIRAN...

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang

PROGRES PELAKSANAAN REVITALISASI PERTANIAN

I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS DESKRIPTIF PENETAPAN HARGA PADA KOMODITAS BERAS DI INDONESIA

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Dalam periode September Oktober 2009 terbukti telah terjadi

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1)

Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki

Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN

PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat dibutuhkan di

ANALISIS PERKEMBANGAN PASAR TENAGA KERJA INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (STUDI KASUS DKI JAKARTA)

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian merupakan sektor yang mendasari kehidupan setiap

I. PENDAHULUAN. pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah

DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI SEKTOR INDUSTRI CPO TERHADAP KESEIMBANGAN PASAR MINYAK GORENG SAWIT DALAM NEGERI OLEH WIDA KUSUMA WARDANI H

BAB I PENDAHULUAN. adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik. financial openness). Keuntungan dari keterbukaan

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian antara lain: menyediakan pangan bagi seluruh penduduk,

BAB I. PENDAHULUAN. berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi

Transkripsi:

DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN PERUBAHAN FAKTOR LAIN TERHADAP PERMINTAAN DAN PENAWARAN BERAS DI INDONESIA: ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN LYZA WIDYA RUATININGRUM DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

RINGKASAN LYZA WIDYA RUATININGRUM, Dampak Kebijakan Pemerintah dan Perubahan Faktor Lain terhadap Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia: Analisis Simulasi Kebijakan. Dibimbing Oleh NOVINDRA. Saat ini sebagian besar penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai bahan pangan utama. Seiring dengan tingkat pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat dan semakin meluasnya daerah yang mulai beralih mengkonsumsi beras, maka pemerintah harus mampu menyediakan stok beras sesuai dengan kebutuhan. Salah satu upaya pemenuhan kebutuhan beras domestik dapat dilakukan melalui peningkatan produksi beras. Kebutuhan beras nasional saat ini terus meningkat sedangkan produksi domestik tidak mencukupi, harga beras internasional yang relatif rendah mengakibatkan tingginya peluang beras impor masuk ke Indonesia. Ketergantungan terhadap beras impor merupakan cerminan dari rawannya ketahanan pangan yang dapat mengganggu ketahanan nasional. Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran beras di Indonesia dan merumuskan alternatif kebijakan pemerintah dalam menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan permintaan dan penawaran beras di Indonesia. Pengumpulan data dilakukan selama tiga bulan, yaitu dari awal bulan Februari sampai dengan April 2010. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan rentang waktu (time series) dari tahun 1971 sampai dengan tahun 2008. Metode analisis data dilakukan secara kualitatif (deskriptif) dan analisis kuantitatif (model ekonometrika). Model ekonometrika dalam penelitian ini terdiri dari 7 persamaan struktural dan 3 persamaan identitas. Persamaan struktural, yaitu luas areal panen padi (AREA), produktivitas padi (PRDV), harga riil gabah tingkat petani (HGTPR), jumlah impor beras (IMPR), permintaan beras (QDBR), harga riil beras Indonesia (HBINR), dan harga riil beras impor Indonesia (HIMPR). Sedangkan persamaan identitas, yaitu produksi padi (PRDP), produksi beras (PRDB), dan penawaran beras (QSBR). Metode estimasi terhadap persamaan dalam model yang digunakan adalah Two Stage Least Squares (2 SLS) yang diolah menggunakan software Statistical Analysis System (SAS) 9.1. Skenario simulasi model yang diterapkan dalam penelitian ini ada tujuh. Diantaranya, harga riil gabah tingkat petani naik 9 persen, harga riil pembelian pemerintah naik 8 persen, harga riil pupuk urea naik 4 persen, luas areal panen padi turun 1 persen, jumlah penduduk naik 0.04 persen, curah hujan naik 10 persen, dan tarif impor beras turun 0.8 persen. Simpulan dari penelitian ini sebagai berikut: faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran beras di Indonesia, yaitu 2

(1) permintaan beras secara nyata dipengaruhi oleh harga riil beras Indonesia, jumlah penduduk, dan permintaan beras tahun sebelumnya, (2) penawaran beras dipengaruhi oleh produksi beras, jumlah impor beras, stok beras, dan stok beras tahun sebelumnya, (3) harga riil gabah tingkat petani secara nyata dipengaruhi oleh harga riil pembelian pemerintah, produksi padi, dan harga riil gabah tingkat petani tahun sebelumnya, dan (4) harga riil beras Indonesia secara nyata dipengaruhi oleh harga riil pembelian pemerintah. Beberapa alternatif kebijakan pemerintah yang disarankan terkait penelitian ini, yaitu pemerintah sebaiknya tetap menerapkan kebijakan subsidi pupuk, meningkatkan harga pembelian terhadap gabah dan beras, mendorong peningkatan produksi beras (sehingga penawaran beras juga meningkat) melalui pengembangan program intensifikasi. Kebijakan pemerintah lainnya yang disarankan, yaitu menggalakkan program Keluarga Berencana (KB), menyimpan kelebihan produksi beras agar petani tidak merugi ketika produksi beras meningkat yang umum terjadi saat musim panen tiba, dan menggalakkan kembali program diversifikasi konsumsi pangan (substitusi beras) sebagai upaya memenuhi kebutuhan pangan melalui pola pangan harapan. Kata kunci: kebijakan pemerintah, permintaan dan penawaran beras, kesejahteraan petani. 3

DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN PERUBAHAN FAKTOR LAIN TERHADAP PERMINTAAN DAN PENAWARAN BERAS DI INDONESIA: ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN LYZA WIDYA RUATININGRUM H44053027 Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 4

Judul Skripsi : Dampak Kebijakan Pemerintah dan Perubahan Faktor Lain terhadap Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia: Analisis Simulasi Kebijakan Nama NRP : Lyza Widya Ruatiningrum : H44053027 Menyetujui, Dosen Pembimbing Novindra, SP NIP. 19811102 200701 1 001 Mengetahui, Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 19660717 199203 1 003 Tanggal Lulus : 5

PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN PERUBAHAN FAKTOR LAIN TERHADAP PERMINTAAN DAN PENAWARAN BERAS DI INDONESIA: ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. 6

RIWAYAT HIDUP Penulis yang bernama lengkap Lyza Widya Ruatiningrum merupakan putri kedua dari lima bersaudara dari pasangan Suyoto dan Tri Budi Utami lahir di Ngawi, 11 April 1987. Penulis memulai jenjang pendidikan di SDN Kedunggalar 1 kemudian meneruskan ke SMPN 2 Ngawi dan SMAN 2 Magetan sampai lulus. Penulis kemudian berkesempatan untuk meneruskan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) tahun 2005. Selama satu tahun di IPB masuk pada program Tingkat Persiapan Bersama (TPB), kemudian pada tahun 2006 penulis secara resmi terdaftar sebagai mahasiswa di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (ESL) dan mendapat bantuan dari POM dengan mayor ESL dan minor Pengelolaan Wisata Alam dan Jasa Lingkungan. Selama kuliah penulis aktif dalam berbagai organisasi dan kegiatan intra maupun ekstra kampus, diantaranya BEM KM IPB, BEM FEM IPB, Formasi IPB, DKM Al Hurriyyah, dan kepanitiaan lainnya. Selama kuliah penulis pernah menjadi asisten Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam selama tiga periode. 7

KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-nya sehigga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penelitian yang berjudul Dampak Kebijakan Pemerintah dan Perubahan Faktor Lain terhadap Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia: Analisis Simulasi Kebijakan ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Novindra, SP selaku dosen pembimbing atas arahan dan bimbingannya selama ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT sebagai Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan dan semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberi manfaat bagi pembangunan pertanian pada umumnya serta pemerintah Indonesia khususnya, dalam rangka pemanfaatan sumberdaya pertanian secara berkelanjutan. Kritik dan saran sangat diharapkan penulis agar dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis untuk berperan serta dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Bogor, Maret 2011 Penulis 8

UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam persiapan, pelaksanaan, dan penyusunan skripsi ini, antara lain kepada: 1. Allah SWT, karena dengan rahmat dan bimbingan-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Orang tua tercinta, Ayahanda Suyoto dan Ibunda Tri Budi Utami atas segala doa, nasihat, dan dukungan baik moral maupun spiritual yang telah diberikan selama ini. 3. Bapak Novindra, SP, selaku dosen pembimbing skripsi atas semua masukan, transfer ilmu, bimbingan, dan arahan yang sangat berharga bagi penulis selama penyusunan skripsi ini. 4. Bapak Ir. Nindyantoro, MSP, selaku dosen pembimbing akademik dan dosen penguji utama atas segala bimbingan dan masukannya sehingga penulis mendapatkan kemudahan dalam proses perkuliahan. 5. Ibu Pini Wijayanti, SP, M.Si, selaku dosen penguji wakil departemen atas segala kritikan dan masukannya yang membangun sehingga penulis mendapat tambahan pengetahuan baru serta dapat mengetahui kelemahan dan kekurangan dalam penulisan skripsi. 6. Kakak dan adik tercinta (Lusi Prafitri Yuniarti, M. Badarudin Hadinata, D. Syawaludin Ra is, dan M. Syarifudin S. Hidayat) atas segenap daya dan upaya yang senantiasa mendo akan, memberikan kasih sayang, dorongan, dan kesabaran yang tidak kenal lelah kepada penulis. 9

7. Bapak Hari Agung A., Ibu Ade Irma Rufaidah, Mba Eliyawati, Mba Tika, Mba Luki, Dinar, Lisma, Titin, Najmi, dan Ncun yang telah menemani, memberikan semangat, dan motivasi. 8. Teman-teman satu atap (Wisma Vamdi): Mba Mila, Mba Yofi, Teh Pipit, Jatil, Vida, Winda, Phyto, Adian, Mega, Intan dan Ira. 9. Teman-teman seperjuangan: Intan, Pipit, dan Ira yang telah bersama-sama mengikuti bimbingan. 10. Sahabat-sahabat di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (ESL) 42 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Atas segala persahabatan, kenangan, perjuangan, dan asa untuk mencapai tujuan. 11. Sahabat-sahabat Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. 12. Sahabat-sahabat Kuliah Kerja Profesi (KKP) IPB 2008 Desa Leuwiliang, teman bermain dan belajar dalam masyarakat. 13. Tak lupa rasa terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh keluarga besar ESL serta kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi besar selama pengerjaan penelitian ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Bogor, Maret 2011 Penulis 10

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman xiii I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Perumusan masalah... 3 1.3. Tujuan Penelitian... 8 1.4. Manfaat Penelitian... 8 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian... 9 II. TINJAUAN PUSTAKA... 10 2.1. Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia... 10 2.1.1. Produksi... 10 2.1.2. Konsumsi... 11 2.1.3. Stok, Pengadaan, dan Penyaluran Beras... 12 2.2. Kebijakan Pemerintah dalam Perberasan... 14 2.3. Tinjauan Beberapa Studi Terdahulu... 16 III. KERANGKA PEMIKIRAN... 21 3.1. Kerangka Teoritis... 21 3.1.1. Fungsi Produksi... 21 3.1.2. Fungsi Konsumsi... 23 3.1.3. Persamaan Simultan... 25 3.2. Kerangka Operasional... 26 IV. METODE PENELITIAN... 30 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian... 30 4.2. Jenis dan Sumber Data... 30 4.3. Metode Analisis Data... 30 4.3.1. Analisis Kualitatif... 31 4.3.2. Analisis Kuantitatif... 31 4.4. Perumusan Model... 31 4.4.1. Luas Areal Panen Padi... 32 4.4.2. Produktivitas Padi... 33 4.4.3. Harga Riil Gabah Tingkat Petani... 33 4.4.4. Jumlah Impor Beras... 33 4.4.5. Permintaan Beras... 34 4.4.6. Harga Riil Beras Indonesia... 34 4.4.7. Harga Riil Beras Impor Indonesia... 35 4.4.8. Produksi Padi... 35 4.4.9. Produksi Beras... 35 4.4.10. Penawaran Beras... 36 4.5. Identifikasi Model... 36 xiv xv xi

4.6. Estimasi Model... 37 4.6.1. Uji Statistik-F... 38 4.6.2. Uji Statistik-t... 38 4.6.3. Uji Statistik Durbin-h... 39 4.7. Validasi Model... 39 4.8. Simulasi Model... 40 4.9. Definisi Operasional... 41 V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 45 5.1. Hasil Identifikasi Model... 45 5.2. Hasil Estimasi Model... 47 5.2.1. Luas Areal Panen Padi... 49 5.2.2. Produktivitas Padi... 52 5.2.3. Harga Riil Gabah Tingkat Petani... 54 5.2.4. Jumlah Impor Beras... 56 5.2.5. Permintaan Beras... 58 5.2.6. Harga Riil Beras Indonesia... 60 5.2.7. Harga Riil Beras Impor Indonesia... 62 5.3. Dampak Simulasi Kebijakan Pemerintah dan Perubahan Faktor Lain terhadap Pendapatan Petani Padi di Indonesia... 63 5.3.1 Validasi Model... 64 5.3.2. Simulasi Historis... 64 5.3.2.1. Kenaikan Harga Riil Gabah Tingkat Petani Sebesar 9 Persen... 65 5.3.2.2. Kenaikan Harga Riil Pembelian Pemerintah Sebesar 8 Persen... 66 5.3.2.3. Kenaikan Harga Riil Pupuk Urea Sebesar 4 Persen... 66 5.3.2.4. Penurunan Luas Areal Panen Padi Sebesar 1 Persen... 67 5.3.2.5. Kenaikan Jumla h Pendudu k Sebesar 0.04 Persen... 68 5.3.2.6. Kenaikan Curah Hujan Sebesar 10 Persen... 68 5.3.2.7. Penurunan Tarif Impor Beras Sebesar 0.8 Persen... 69 5.4. Penentuan Alternatif Kebijakan untuk Peningkatan Produksi Beras di Indonesia... 70 VI. SIMPULAN DAN SARAN... 71 6.1. Simpulan... 71 6.2. Saran... 72 DAFTAR PUSTAKA... 74 LAMPIRAN... 77 xii

DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Komposisi Energi, Protein, dan Lemak dari Berbagai Bahan Makanan (per 100 gram) Tahun 2008... 2 2. Produksi Padi dan Tanaman Pangan Utama Lain (000 ton) di Indonesia Tahun 2002-2008... 3 3. Ketersediaan dan Konsumsi Beras (ton) di Indonesia Tahun 2005-2008... 4 4. Luas Areal Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi di Indonesia Tahun 2004-2008... 10 5. Konsumsi Rata-rata Per Kapita Seminggu Beberapa Macam Bahan Makanan Penting Indonesia (rupiah) Tahun 2005, 2007, 2008... 11 6. Pengadaan dan Penyaluran Beras (juta ton) di Indonesia Tahun 2005-2008... 13 7. Hasil Ident ifikasi Mode l dar i Mas ing - Mas ing Per sa maan... 46 8. Hasil Validasi Model Perberasan di Indonesia Tahun 1971-2008... 64 9. Hasil Simulasi Model Perberasan di Indonesia Tahun 1971-2008... 65 xiii

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Kerangka Pemikiran Operasional... 29 xiv

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Nama Variabel yang Digunakan dalam Model Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia... 78 2. Data Time Series yang Digunakan dalam Penelitian... 79 3. Hasil Estimasi Persamaan LuasAreal Panen Padi... 83 4. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Padi... 84 5. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Gabah Tingkat Petani... 85 6. Hasil Estimasi Persamaan Jumlah Impor Beras... 86 7. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Beras... 87 8. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Beras Indonesia... 88 9. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Beras Impor Indonesia... 89 10. Hasil Validasi Model... 90 11. Hasil Simulasi Model... 93 12. Model Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia... 95 xv

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan pemantapan ketahanan pangan menjadi isu sentral dalam pembangunan serta merupakan fokus utama dalam pembangunan pertanian. Peningkatan kebutuhan pangan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kesempatan kerja bagi penduduk guna memperoleh pendapatan yang layak agar akses terhadap pangan merupakan dua komponen utama dalam perwujudan ketahanan pangan. Kebijakan pemantapan ketahanan pangan dalam hal ini termasuk di dalamnya adalah terwujudnya stabilitas pangan nasional (Suryana, 2005). Pembangunan ketahanan pangan di Indonesia telah ditegaskan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Pasal 1 Ayat 17 menyatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Undang-undang ini sejalan dengan definisi ketahanan pangan menurut FAO dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1992, yaitu akses setiap rumah tangga atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2004 memberikan arahan yang lebih jelas tentang ketahanan pangan, dalam dokumen tersebut disebutkan, bahwa pengembangan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumberdaya bahan pangan, kelembagaan dan budaya lokal, dalam rangka 1

menjamin tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah dan mutu yang dibutuhkan, pada tingkat harga yang terjangkau dengan memperhatikan peningkatan pendapatan. Amanat yang terdapat dalam GBHN tersebut, mengandung tiga pokok yang harus diperhatikan dalam mengembangkan sistem ketahanan pangan, yaitu: 1. Sistem ketahanan pangan harus dimulai pada tingkat lokal dengan memanfaatkan atau mengusahakan variasi bahan pangan yang ada di tingkat lokal. 2. Perencanaan pangan harus dibangun pada satuan rumah tangga atau keluarga, dimana ketahanan pangan nasional hanya akan mantap apabila kondisi ketahanan pangan masing-masing rumah tangga atau keluarga juga mantap. 3. Pentingnya efisiensi produksi dalam menghasilkan bahan pangan lokal agar memiliki daya saing dan harganya terjangkau oleh para konsumen tetapi tetap menguntungkan bagi produsen atau petani. Tabel 1. Komposisi Energi, Protein, dan Lemak dari Berbagai Bahan Makanan (per 100 gram) Tahun 2008 No. Jenis Bahan Makanan Energi (Kkal) Protein (gram) Lemak (gram) 1. Beras 360 6.8 0.7 2. Jagung 355 9.2 3.9 3. Ubi Jalar 123 1.8 0.7 4. Ubi Kayu 146 1.2 0.3 Sumber: Kementerian Pertanian, 2008 Saat ini sebagian besar penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai bahan pangan utama. Hal tersebut dapat dibuktikan dari konsumsi beras per kapita, yaitu sebesar 104,85 Kg/kapita/tahun dengan konsumsi totalnya mencapai 32 juta ton (BPS, 2008). Jika dibandingkan dengan jenis bahan makanan lain, beras menghasilkan jumlah energi paling tinggi seperti terlihat pada Tabel 1. 2

Tabel 2. Produksi Padi dan Tanaman Pangan Utama Lain (000 ton) di Indonesia Tahun 2002-2008 No. Tanaman 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 1. Padi 51,490 52,138 54,088 54,151 54,455 57,157 60,326 2. Jagung 9,585 10,886 11,225 12,524 11,609 13,288 16,317 3. Ubi Kayu 17,055 18,524 19,425 19,321 19,987 19,988 21,758 4. Ubi Jalar 1,749 1,991 1,902 1,857 1,854 1,887 1,881 5. K. Tanah 718 786 837 836 838 789 770 6. Kedelai 673 672 723 808 748 593 775 Sumber: Kementerian Pertanian, 2008 Selama tujuh tahun terakhir, produksi padi dari tahun ke tahun masih mendominasi dibandingkan produksi pangan lainnya seperti yang terlihat pada Tabel 2. Hanya produksi jagung yang cenderung meningkat akibat kenaikan permintaan industri pakan bukan oleh peningkatan konsumsi langsung. Sementara komoditi lain seperti ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, dan kedelai hanya dimanfaatkan sebagai bahan makanan sampingan sehari-hari dan sebagai bahan baku industri pangan. Tingginya konsumsi beras dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya rasa beras yang lebih enak dan mudah diolah dibandingkan dengan bahan pangan lain, kandungan gizi beras, konsep makan (merasa belum makan jika belum mengkonsumsi nasi), rendahnya pengembangan teknologi pengolahan dan promosi atau sosialisasi pangan non beras serta pendapatan masyarakat yang masih rendah (Ashari dan Ariani, 2003). 1.2. Perumusan Masalah Saat ini Indonesia membutuhkan stok beras yang cukup besar karena jumlah penduduk terus meningkat. Selain itu, beberapa daerah yang sebelumnya mengkonsumsi bahan pokok seperti jagung, umbi-umbian, dan sagu juga mulai beralih mengkonsumsi beras. Seiring dengan peningkatan konsumsi beras, maka ketersediaan beras juga mengalami peningkatan. Namun, perbedaannya tidak 3

signifikan. Kondisi seperti ini menuntut perlunya peningkatan produksi beras domestik. Data ketersediaan dan konsumsi beras dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Ketersediaan dan Konsumsi Beras (ton) di Indonesia Tahun 2005-2008 No. Uraian 2005 2006 2007 2008 1. Produksi Padi (GKG) 54,151,097 54,454,937 57,157,435 60,279,897 2. Ketersediaan Beras 30,668,730 30,840,811 32,371,384 34,139,805 3. Konsumsi 30,592,434 30,995,189 31,398,084 31,799,017 4. Impor Beras 189.62 438.11 1,406.85 289.69 5. Stok Akhir 2,035,324 2,318,835 4,586,114 6,926,902 Sumber: BPS, 2009 Menurut Hessie (2009), ada sejumlah kendala yang menjadi tantangan peningkatan produksi beras di Indonesia. Pertama, jumlah pupuk bersubsidi yang tersedia belum dapat memenuhi kebutuhan yang diusulkan daerah. Kedua, masih ada penyimpangan penyaluran pupuk bersubsidi di luar peruntukannya. Ketiga, pabrik pupuk masih beroperasi di bawah kapasitas terpasang, karena keterbatasan pasokan bahan baku gas maupun non gas. Keempat, belum optimalnya pelaksanaan pengawasan di daerah. Menurut Sood (1995) sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota organisasi perdagangan internasional, Indonesia terikat untuk mematuhi ketentuan-ketentuan perdagangan internasional yang disepakati dalam perundingan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) World Trade Organization (WTO). Ketentuan-ketentuan tersebut sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap sistem dan pranata hukum nasional di sektor perdagangan termasuk pada kegiatan industri kecil. Pengaruh tersebut tidak dapat dihindari terutama dalam pembangunan ekonomi nasional, karena Indonesia telah menganut sistem perdagangan bebas semenjak ditandatanginya persetujuan Perundingan Putaran Uruguay (Uruguay Round) yang berakhir di Marrakesh (Maroko) tanggal 15 April 1994. 4

Masuknya Indonesia sebagai anggota perdagangan dunia melalui ratifikasi terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing WTO membawa konsekuensi baik eksternal maupun internal. Konsekuensi eksternal, Indonesia harus mematuhi seluruh hasil kepakatan dalam forum WTO. Konsekuensi internal Indonesia harus melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dengan ketentuan hasil kesepakatan WTO, artinya dalam melakukan hormonisasi, Indonesia harus tetap memikirkan kepentingan nasional namun tidak melanggar rambu-rambu ketentuan WTO. Keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian perdagangan internasional baik pada tataran global (GATT-WTO) maupun regional (Asean Free Trade Area, Asia- Pacific Economic Cooperation, dan China-Asean Free Trade Area) diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi terutama sektor usaha industri kecil dan menengah baik secara nasional maupun internasional, sehingga peranan industri kecil dan menengah merupakan salah satu sektor penting dalam perekonomian nasional. Salah satu upaya penting sebagai perlindungan terhadap kelompok industri kecil dan menengah melalui upaya penerapan tarif bagi produk impor. Hal ini dilakukan karena kedua kelompok ini merupakan salah satu bagian dari sektor industri manufaktur nasional yang akan menerima dampak, baik dampak positif maupun negatif secara langsung dari pemberlakuan GATT-WTO. Dampak positif maupun negatif juga terjadi terutama dalam menghadapi pasar bebas ASEAN pasca Asean Free Trade Area (AFTA) sejak tahun 2003 yang kemudian diikuti oleh pasar bebas China-ASEAN melalui kesepakatan China-Asean Free Trade Area (CAFTA) sejak tanggal 1 Januari tahun 2010, kemudian Asia-Pacific 5

Economic Cooperation (APEC) yang akan berlaku untuk negara berkembang pada tahun 2020. Kebutuhan beras nasional saat ini terus meningkat sedangkan produksi domestik tidak mencukupi, harga beras internasional yang relatif rendah mengakibatkan tingginya peluang beras impor masuk ke Indonesia. Permasalahan yang dikhawatirkan terjadi, yaitu jika pada akhirnya tarif impor beras akan menuju nol. Jika petani sudah bisa menghasilkan produksi gabah yang banyak dan berkualitas, minimal kualitas beras yang dihasilkan sama dengan beras impor, maka tidak perlu lagi ada proteksi sesuai peraturan dalam perdagangan bebas. Akan tetapi, petani Indonesia tidak semuanya siap sehingga akan semakin memperlancar masuknya beras impor ke Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia harus segera mempersiapkan diri untuk menghadapi perdagangan bebas tersebut, antara lain dengan swasembada beras sehingga mampu memenuhi kebutuhan domestik secara mandiri dan mengurangi jumlah impor. Permasalahan lain yang harus dihadapi, yaitu adanya konversi lahan sawah. Rancangan rencana strategis Kementerian Pertanian 2010 2014 menyebutkan bahwa konversi lahan sawah menjadi lahan non pertanian dari tahun 1999 2002 mencapai 563,159 hektar atau 187,719.7 hektar per tahun. Antara tahun 1981 1999, neraca pertambahan lahan sawah seluas 1.6 juta hektar, namun antara tahun 1999 2002 terjadi penyempitan luas lahan seluas 0.4 juta hektar atau 141,285 hektar per tahun. Besaran laju alih fungsi lahan pertanian dari lahan sawah ke non sawah sebesar 187,720 hektar per tahun, dengan rincian alih fungsi ke non pertanian sebesar 110,164 hektar per tahun dan alih fungsi ke pertanian 6

lainnya sebesar 77,556 hektar per tahun. Adapun alih fungsi lahan kering pertanian ke non pertanian sebesar 9,152 hektar per tahun (BPS, 2004). Konversi lahan sawah tidak hanya berkurangnya luas lahan untuk memproduksi padi maupun komoditi lainnya, tetapi juga merupakan salah satu bentuk degradasi agroekosistem, degradasi tradisi dan budaya pertanian, dan penyusutan rata-rata luas garapan petani pada umumnya. Dalam beberapa kasus, konversi lahan sawah cenderung progresif sehingga semakin besar lahan sawah yang terkonversi maka semakin besar pula lahan-lahan sawah di sekitarnya yang terkonversi pada waktu-waktu berikutnya (Sumaryanto dan Sudaryanto, 2005). Setelah tahun 1987, Indonesia sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan beras bagi masyarakatnya, sehingga sampai saat ini mengandalkan impor dari negara lain seperti Vietnam, Thailand, India, dan Amerika. Ketergantungan terhadap beras impor merupakan cerminan dari rawannya ketahanan pangan yang dapat mengganggu ketahanan nasional. Pada kondisi tertentu, ketiadaan stok beras dapat memicu terjadinya gejolak sosial yang dapat meresahkan masyarakat dan akhirnya bisa mengganggu stabilitas nasional (Solahuddin, 2009). Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi permintaan dan penawaran beras di Indonesia? 2. Alternatif kebijakan apa yang bisa dirumuskan dalam menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan permintaan dan penawaran beras di Indonesia? 7

1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari dan menganalisis dampak kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah dan perubahan faktor lain terhadap pendapatan petani padi di Indonesia. Secara spesifik tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran beras di Indonesia. 2. Merumuskan alternatif kebijakan dalam menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan permintaan dan penawaran beras di Indonesia. 1.4. Manfaat Penelitian Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain sebagai berikut: 1. Bagi peneliti diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan. 2. Bagi akademisi diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi dalam mengkaji dampak perubahan kebijakan pemerintah dan faktor lainnya terhadap pendapatan petani padi di Indonesia. 3. Bagi pemerintah Indonesia diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan khususnya dalam peningkatan produksi padi dan perencanaan kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan petani padi dalam menghadapi era perdagangan bebas. 8

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini mulai tahun 1971 sampai tahun 2008 dan supaya tujuan dari penelitian tercapai, maka dibangun suatu model yang menggambarkan fenomena ekonomi dengan keterbatasan sebagai berikut: 1. Permintaan beras tidak dilakukan pemisahan berdasarkan jenis beras pada permintaan beras sedangkan penawaran beras merupakan agregat nasional. 2. Kebijakan pemerintah dan faktor lain difokuskan pada kebijakan harga riil gabah tingkat petani, harga riil pembelian pemerintah, harga riil pupuk urea, luas areal panen padi, jumlah penduduk, curah hujan, dan tarif impor beras. 9

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia Kondisi permintaan dan penawaran beras di Indonesia dapat diidentifikasi berdasarkan perkembangan yang berkaitan dengan produksi, konsumsi, dan stok beras. Perkembangan dari hal-hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut. 2.1.1. Produksi Salah satu upaya yang dilakukan untuk mewujudkan swasembada beras secara nasional pada tahun 2008, yaitu dengan peningkatan produksi beras. Besarnya produksi beras diperoleh dari hasil perkalian antara produksi padi dengan faktor konversi atau tingkat rendemen pengolahan padi menjadi beras seperti yang telah ditetapkan oleh pemerintah, yaitu sebesar 0.63. Sementara, besarnya produksi padi ditentukan oleh luas areal panen dan tingkat produktivitas padi (Nainggolan dan Suprapto, 1987). Luas areal panen, produktivitas, dan produksi padi di Indonesia disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Luas Areal Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi di Indonesia Tahun 2004-2008 No. Tahun Luas Areal Panen (Ha) Produktivitas (ton/ha) Produksi (ton) 1. 2004 11,922.97 4.54 54,088.47 2. 2005 11,839.06 4.57 54,151.10 3. 2006 11,786.43 4.62 54,454.95 4. 2007 12,147.64 4.71 57,157.44 5. 2008 12,327.43 4.89 60,325.93 Sumber: BPS, 2009 Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa produksi padi tahun 2006 sebesar 54.45 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) bertambah sebesar 303.85 ribu ton dibanding dengan produksi tahun 2005. Kenaikan produksi tahun 2006 diimbangi dengan peningkatan produktivitas sebesar 0.05 ton/hektar namun luas panen mengalami penurunan seluas 52.63 ribu hektar. Peningkatan produksi padi tersebut dapat disebabkan oleh adanya usaha-usaha intensifikasi pertanian seperti 10

pemakaian air irigasi yang efektif dan efisien, penggunaan bibit unggul, dan pemakaian pupuk yang tepat guna dan tepat sasaran (Girsang, 2009). Ketersediaan lahan persawahan memiliki peran yang sangat penting terhadap dinamika produksi padi. Peningkatan luas panen padi dapat ditempuh melalui pembangunan jaringan irigasi yang memungkinkan peningkatan intensitas tanam padi per tahun dan peningkatan luas sawah melalui pencetakan sawah baru. Namun demikian, keterbatasan sumberdaya lahan dan anggaran pembangunan menyebabkan kedua upaya tersebut semakin sulit diwujudkan (Irawan, 2005). 2.1.2. Konsumsi Saat ini beras mendominasi pola konsumsi pangan penduduk Indonesia. Beras menjadi bahan makanan yang lebih superior daripada bahan makanan lainnya seperti jagung, ketela, ikan, dan lainnya. Data konsumsi rata-rata per kapita seminggu beberapa macam bahan makanan penting Indonesia disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Konsumsi Rata-rata Per Kapita Seminggu Beberapa Macam Bahan Makanan Penting Indonesia (rupiah) Tahun 2005, 2007, 2008 No. Jenis Makanan Satuan 2005 2007 2008 1. Beras Kg 1.872 1.740 1.797 2. Jagung basah berkulit Kg 0.018 0.046 0.024 3. Jagung pocelan, pipilan Kg 0.047 0.060 0.044 4. Ketela pohon Kg 0.161 0.134 0.147 5. Ketela rambat Kg 0.060 0.046 0.051 6. Gaplek Kg 0.003 0.005 0.005 7. Ikan dan udang segar Kg 0.281 0.260 0.263 8. Ikan dan udang diawetkan ons 0.499 0.523 0.537 9. Daging sapi, kerbau Kg 0.010 0.008 0.007 10. Daging ayam ras, kampung Kg 0.076 0.079 0.073 11. Telur ayam Kg 0.106 0.122 0.115 12. Telur itik, manila, asin butir 0.075 0.093 0.088 13. Susu kental manis 397 gr 0.057 0.068 0.061 14. Susu bubuk kaleng, bayi Kg 0.018 0.026 0.025 15. Tahu Kg 0.153 0.163 0.137 16. Tempe Kg 0.159 0.152 0.139 17. Minyak kelapa, goreng liter 0.195 0.198 0.196 18. Kelapa butir 0.209 0.216 0.184 19. Gula pasir ons 1.618 1.654 1.617 20. Gula merah ons 0.192 0.209 0.188 Catatan: 1) Ikan segar meliputi ikan darat, laut, dan udang 2) Satu butir telur ayam diperkirakan beratnya sebesar 0.05 Kg Sumber: BPS, 2009 11

2.1.3. Stok, Pengadaan, dan Penyaluran Beras Campur tangan pemerintah dalam ekonomi perberasan antara lain dilakukan melalui lembaga pangan yang bertugas melaksanakan kebijakan pemerintah di bidang perberasan baik yang menyangkut aspek pra produksi, proses produksi, dan pasca produksi. Salah satu lembaga pangan yang mendapat tugas dari pemerintah untuk menangani masalah pascaproduksi beras khususnya dalam bidang harga, pemasaran, dan distribusi adalah Badan Urusan Logistik (Bulog) (Saifullah, 2001). Sesuai dengan perkembangan kondisi perberasan di Indonesia, tugas pokok Bulog dibatasi hanya pada komoditi beras. Hal ini telah termaktub dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 29 Tahun 2000. Sejak 1 Januari 2003, dengan mengacu pada Keppres No. 103 Tahun 2001 yang kemudian direvisi lagi dengan Keppres No. 110 Tahun 2001 serta Keppres No. 3 Tahun 2002, Bulog yang pada awalnya berbentuk Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) berubah menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbentuk Perusahaan Umum (Perum). Dengan berbentuk Perum, tugas Bulog sama dengan BUMN lainnya, yaitu berusaha mencari keuntungan dalam segala kegiatannya. Meskipun demikian Bulog diharapkan tetap menjalankan misi sosialnya sebagai Public Service Obligation (PSO) dalam menyalurkan beras untuk keluarga miskin (Raskin) dan menjaga stabilisasi harga beras petani. Tugas Bulog tersebut berdasarkan pada Peraturan Menteri Perdagangan RI (Permendag) No. 22/M-DAG/PER/10/2005 tentang penggunaan cadangan beras pemerintah (CBP) untuk pengendalian gejolak harga. Pertama, CBP adalah sejumlah tertentu beras milik pemerintah pusat yang pengadaannya didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai cadangan stok beras 12

nasional dan dikelola oleh Perum Bulog dengan arah penggunaan untuk penanggulangan keadaan darurat, kerawanan pangan pasca bencana, pengendalian gejolak harga beras, dan untuk memenuhi kesepakatan Cadangan Beras Darurat ASEAN (ASEAN Emergency Rice Reserve). Kedua, gejolak harga beras adalah kenaikan harga beras di tingkat konsumen mencapai lebih dari 25 persen dari harga normal dan berlangsung selama seminggu. Ketiga, harga normal adalah harga rata-rata beras kualitas medium di tingkat konsumen yang telah berlangsung selama tiga bulan sebelum terjadinya gejolak harga beras. Keempat, beras kualitas medium adalah beras dengan kualitas yang setara dengan CBP. Pengadaan beras nasional yang dibeli oleh pemerintah dari petani disimpan dan disalurkan pada gudang-gudang Bulog. Pemerintah mewajibkan Bulog untuk menjaga stok yang aman sepanjang tahun sebesar satu sampai satu setengah juta ton beras. Jika jumlah ini berkurang, maka kewajiban Bulog untuk segera mengisinya kembali baik melalui pengadaan beras dalam negeri maupun melalui impor. Untuk mengetahui perkembangan pengadaan dan penyaluran beras oleh Bulog dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Pengadaan dan Penyaluran Beras (juta ton) di Indonesia Tahun 2005-2008 No. Deskripsi 2005 2006 2007 2008 1. Pengadaan Beras 1.53 1.43 1.77 3.20 2. Penyaluran Beras 2.23 1.62 1.52 2.67 Sumber: Bulog, 2008 Tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah pengadaan dan penyaluran beras cenderung berfluktuasi. Jumlah pengadaan dan penyaluran beras tertinggi dari data tahun 2005 sampai 2008 adalah pada tahun 2008 sebesar 3.20 dan 2.67 juta ton. Jumlah pengadaan beras terendah pada tahun 2006 sedangkan jumlah penyaluran beras terendah pada tahun 2007. 13

2.2. Kebijakan Pemerintah dalam Perberasan Kebijakan adalah suatu peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan (Firdaus et al., 2008). Kebijakan berguna sebagai alat pemerintah untuk campur tangan dalam mempengaruhi perubahan secara sektoral dalam masyarakat. Begitu pula, termasuk di dalamnya kebijakan pada sektor pertanian. Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2005 kebijakan perberasan di Indonesia terbagi menjadi kebijakan harga, kebijakan produksi, kebijakan distribusi, dan kebijakan impor. Kebijakan pemerintah yang paling menonjol pada pemasaran beras di Indonesia yang dimulai sejak tahun 1968-1969 adalah kebijakan harga, stabilitas harga dalam negeri, dan perdagangan (Darwanto, 2005). Sebagai instrumen kebijakan harga adalah penetapan harga dasar dengan tujuan meningkatkan produksi beras dan pendapatan petani melalui pemberian jaminan harga yang wajar dan penetapan batasan harga eceran tertinggi dengan tujuan memberikan perlindungan kepada konsumen. Agar pelaksanaan kebijakan berjalan efektif, pemerintah menunjang dengan sistem pengelolaan stok beras nasional melalui Perum Bulog di tingkat nasional dan Depot Logistik (Dolog) untuk tingkat propinsi. Melalui Inpres No. 9 Tahun 2002, pemerintah mengubah istilah Harga Dasar Gabah (HDG) menjadi Harga Dasar Gabah Pembelian Pemerintah (HDPP) atau lebih dikenal dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Kebijakan HPP hanya menjamin harga gabah pada tingkat tertentu di lokasi yang telah ditetapkan,tetapi tidak lagi menjamin HDG minimum di tingkat petani. HPP juga 14

berlaku di gudang Bulog, bukan di tingkat petani sebagaimana kebijakan HDG. Apabila perubahan secara drastis mungkin akan membuat gejolak, maka diperlukan kebijakan transisi dalam bentuk kebijakan HPP. Melalui kebijakan ini pemerintah melakukan pembelian (pada waktu panen raya) dengan jumlah yang ditentukan pada tingkat harga pasar. Kebijakan ini akan menambah permintaan sehingga pada tingkat harga pasar, petani telah memperoleh keuntungan yang memadai. Selain kebijakan di atas, beberapa kebijakan beras nasional lainnya adalah kebijakan produksi yang bertujuan untuk mencukupi kebutuhan beras domestik melalui intensifikasi dan ekstensifikasi, kebijakan impor yang bertujuan untuk menekan dan mengurangi tingkat ketergantungan impor beras Indonesia yang diimplementasikan melalui dua instrumen pokok, yaitu hambatan tarif dan non tarif (kuota tarif), dan kebijakan distribusi yang diperlukan untuk menjaga ketahanan pangan setiap daerah. Pada tahun 2000 pemerintah mengeluarkan kebijakan protektif dengan menetapkan tarif impor spesifik sebesar Rp 430 per kilogram. Kemudian nilai tarif tersebut dikoreksi kembali pada akhir tahun 2004 menjadi sebesar Rp 450 per kilogram yang bertujuan untuk menekan laju impor beras dari pasar dunia serta untuk pengamanan HPP. Pemerintah Indonesia sejak tahun 2003 menempuh kebijakan non tarif yang bersifat protektif, disamping kebijakan tarif yang sudah ada, yaitu berupa ketentuan tentang importansi beras tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 9/MPP/Kep/1/2004 tentang Ketentuan Impor Beras. Beberapa ketentuan penting adalah: (1) impor beras hanya dapat dilakukan oleh importir yang telah mendapat pengakuan sebagai Importir Produsen Beras 15

(IP Beras) dan importir yang telah mendapat penunjukan sebagai importir Terdaftar Beras (IT Beras), (2) impor beras dilarang dalam masa satu bulan sebelum panen raya, selama panen raya, dan dua bulan setelah panen raya (ditetapkan oleh Menteri Pertanian), yang berarti impor beras hanya boleh dilakukan diluar masa-masa yang telah ditetapkan tersebut, (3) pelaksanaan importasi beras oleh IT Beras hanya dapat dibongkar di pelabuhan tujuan sesuai dengan persetujuan impor yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, dan (4) beras yang diimpor oleh IP Beras hanya boleh digunakan sebagai bahan baku untuk proses produksi industri yang dimilikinya dan dilarang diperjualbelikan atau dipindahtangankan. Kombinasi kedua kebijakan defensif tersebut diharapkan dapat meredam laju impor dan mampu mengangkat harga beras di pasar domestik dan harga gabah petani (Hadi dan Wiryono, 2005). 2.3. Tinjauan Beberapa Studi Terdahulu Hessie (2009) menyatakan bahwa perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Selama kurun waktu 37 tahun (1970-2006), pertumbuhan produksi beras di Indonesia sebesar 2.8 persen per tahun. Angka ini lebih tinggi dari pertumbuhan konsumsi beras 1994 sebesar 2.6 persen per tahun. Pertumbuhan produksi beras per tahun memang lebih tinggi dari konsumsi beras, namun rata-rata konsumsi beras per tahun masih lebih tinggi dari rata-rata produksi beras, yaitu sebesar 27,859.140 ton sedangkan rata-rata produksi beras per tahun hanya 26,725.780 ton. Oleh karena itu, secara umum produksi beras Indonesia selama kurun waktu 37 tahun terakhir ini masih belum dapat menutupi konsumsi beras, sehingga pemerintah masih mengimpor beras. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi yang dapat direpresentasikan 16

dari luas areal panen dan produktivitas padi adalah resiko harga riil gabah di tingkat petani dengan upah riil buruh tani, jumlah penggunaan pupuk urea, luas areal intensifikasi, dan tren waktu. Sementara faktor yang mempengaruhi konsumsi beras adalah harga beras dan populasi. Sunani (2009) menyimpulkan bahwa pada persamaan luas areal panen, variabel harga gabah di tingkat petani, luas areal irigasi, dan curah hujan daerah setempat berpengaruh positif sedangkan harga pupuk urea dan harga jagung sebagai komoditi kompetitif tanaman padi dalam penggunaan lahan berpengaruh negatif, sehingga harga riil jagung atau semua variabel berpengaruh nyata secara statistik. Pada persamaan produktivitas padi, variabel harga gabah di tingkat petani, luas areal panen, jumlah penggunaan pupuk urea, dan tren berpengaruh positif, sedangkan upah tenaga kerja berpengaruh negatif. Selain itu, harga riil gabah di tingkat petani, semua variabel berpengaruh nyata terhadap produktivitas padi. Pada persamaan konsumsi beras, variabel jumlah penduduk, PDRB, dan harga jagung sebagai komoditi substitusi berpengaruh positif sedangkan harga eceran beras berpengaruh negatif. Hanya jumlah penduduk yang berpengaruh nyata sedangkan variabel lainnya tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi beras. Pada persamaan harga eceran beras, variabel jumlah konsumsi beras, dan harga eceran beras t-1 berpengaruh positif sedangkan jumlah produksi beras berpengaruh negatif. Hanya variabel harga eceran beras t-1 yang berpengaruh nyata. Pratiwi (2008) menuliskan beberapa kesimpulan, diantaranya kebijakan peningkatan produk beras diintervensi pemerintah melalui berbagai Program 17

Peningkatan Produksi Padi (P4) seperti pengelolaan Bimbingan Massal (Bimas) tahun 1965, Intensifikasi Khusus (Insus) tahun 1798, dan Program Peningkatan Beras Nasional (P2BN) tahun 2007. Pelaksanaan program melalui dua paket teknologi, yaitu bantuan alat dan bahan serta pendekatan sosial. Kebijakan impor dilakukan melalui penetapan tarif spesifik, kuota tarif, dan red line untuk menekan jumlah ekspor beras. Kebijakan harga dilakukan dengan menetapkan HDPP untuk produsen, OPM, Raskin, dan menetapkan pagu harga untuk konsumen. Kebijakan distribusi menunjuk Bulog sebagai pengelola CBP sekaligus sebagai penyalur Raskin. Keempat kebijakan mengalami berbagai hambatan baik dari internal maupun eksternal sehingga belum mencapai sasaran yang diharapkan. Kebijakan distribusi merupakan kebijakan paling efektif dibandingkan dengan ketiga kebijakan yang lainnya. Baiknya distribusi beras didukung oleh spesifiknya intervensi Bulog terhadap distribusi beras nasional. Bulog hanya menguasai kurang dari sepuluh persen pangsa pasar beras dan hanya digunakan sebagai CBP melalui pengadaan dalam negeri. Selain itu, juga didukung dengan gudang yang tersebar di seluruh Indonesia dan koordinasi dengan baik antar wilayah dan hak istimewa yang dimiliki Bulog sebagai State Trading Enterprise (STE) stabilitator harga. Kebijakan harga dinilai tidak efektif karena kecenderungan pemerintah melindungi konsumen melalui ceilling price, OPM, dan Raskin justru mendistorsi harga pasar beras karena sarat subsidi. Kebijakan impor juga dinilai tidak efektif karena tarif impor justru memicu tingginya penyelundupan yang akibatnya merusak harga beras domestik. Selain itu juga tercermin dari perbedaan data jumlah impor antar instansi. Kebijakan produksi 18

dinilai sebagai kebijakan paling tidak efektif karena kegagalan pemerintah mengurangi konversi, mendiversifikasi pangan, dan produktivitas yang stagnan. Prioritas strategi kebijakan pengembangan perberasan nasional adalah mengkombinasikan kebijakan protektif dengan kebijakan promotif untuk melindungi beras dalam negeri. Strategi kebijakan lainnya adalah mengembangkan diversifikasi berbasis pangan lokal, mengembangkan input dan teknologi melalui kemitraan, memperbaiki infrastruktur dan teknologi budidaya, memperbaiki mekanisme kredit, mengawasi kinerja dan transparansi Bulog serta melakukan reformasi agrarian. Prioritas pertama dari program peningkatan produksi padi adalah membangun sarana irigasi berkoordinasi dengan pemerintah daerah terkait. Prioritas kedua adalah mengadopsi teknologi sesuai dengan kondisi wilayah dan sumber daya lokal. Prioritas ketiga adalah memperketat aturan alih fungsi lahan dan pemberian insentif bagi pemilik lahan sehingga tingkat konversi lahan pertanian dapat dikurangi. Adriana (2007) menyimpulkan bahwa penawaran beras dunia bagi Indonesia semakin meningkat karena beras yang diperdagangkan di pasar dunia cenderung mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan produksi beras dunia. Peningkatan tersebut karena didukung kebijakan perberasan negara-negara eksportir utama dalam memberikan insentif kepada petani untuk meningkatkan produksi beras secara berkelanjutan. Kebijakan perberasan Indonesia yang ditujukan melindungi produsen dalam pengembangannya saat ini telah berjalan cukup efektif dikarenakan telah ada penetapan tarif, pengaturan izin, dan tata laksana impor yang ditujukan untuk perlindungan produsen dan konsumen. 19

Penelitian Sitepu (2002) menunjukkan bahwa permintaan beras domestik dan dunia dipengaruhi oleh harga beras dunia, tetapi responnya inelastis. Sedangkan terhadap jumlah penduduk dan jumlah produksi beras, responnya elastis. Menurut Sitepu (2002), kebijakan harga dasar akan menyebabkan net surplus akan bertambah, sedangkan kebijakan penghapusan harga input berdampak pada penurunan produksi, namun demikian total net surplus akan mengalami peningkatan. Pemberlakuan liberalisasi perdagangan (penghapusan peran Bulog dalam pengadaan dan penyaluran gabah atau beras serta penghapusan tarif) tidak efisien dan tidak tepat karena keuntungan yang diterima konsumen lebih kecil jika dibandingkan dengan kerugian yang diterima oleh produsen, sehingga net surplus akan berkurang. Model ekonometrika dalam penelitian ini terdiri dari 7 persamaan struktural yaitu luas areal panen padi, produktivitas padi, harga riil gabah tingkat petani, jumlah impor beras, permintaan beras, harga riil beras Indonesia, dan harga riil beras impor Indonesia serta 3 persamaan identitas yaitu produksi padi, produksi beras, dan penawaran beras. Berdasarkan hasil analisis dari ketujuh simulasi yang diterapkan, diperoleh kebijakan paling layak untuk disarankan kepada pemerintah Indonesia sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai melalui program pencapaian target pemenuhan beras dari kemampuan produksi sendiri (swasembada) dan untuk meningkatkan kesejahteraan petani padi, yaitu kebijakan kenaikan harga riil pembelian pemerintah terhadap gabah dan beras. Kebijakan ini terbukti mampu mendorong peningkatan produksi padi/beras dan menambah pendapatan petani padi yang cukup besar melalui peningkatan harga riil gabah tingkat petani dan harga riil beras Indonesia. 20

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis Komponen utama pasar beras mencakup kegiatan produksi dan konsumsi. Penelitian ini menggunakan model persamaan simultan karena memiliki lebih dari satu variabel endogen/persamaan. Berikut dipaparkan teori dari fungsi produksi, fungsi konsumsi, dan persamaan simultan. 3.1.1. Fungsi Produksi Fungsi produksi dapat didefinisikan sebagai hubungan secara teknis dalam transformasi input (resources) ke dalam output atau yang melukiskan antara hubungan input dengan output (Debertin, 1986; Doll dan Orazem, 1984). Secara umum hubungan antara input-output untuk menghasilkan produksi suatu komoditi pertanian (Y) secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: Y = f (x 1, x 2, x 3, x 4 )... (3.1) dimana: Y = Output (Kg/Ha) x 1 = Luas areal produksi (Ha) x 2 = Jumlah modal (Rp/Ha) x 3 = Tenaga kerja (HOK/Ha) = Faktor produksi lainnya x 4 Produsen yang rasional berusaha memaksimumkan keuntungannya pada tingkat produksi optimum dengan tingkat harga tertentu. Keuntungan maksimum harus memenuhi syarat First Order Condition (FOC) dan Second Order Condition (SOC). Syarat pertama dipenuhi apabila turunan pertama dari fungsi keuntungan sama dengan nol, yang berarti produktivitas marginal faktor produksi sama dengan harga faktornya, sedangkan syarat kedua yang harus dipenuhi yaitu, jika fungsi produksinya cembung, dan nilai determinan Hessian lebih besar dari nol 21

(Koutsoyiannis, 1979). Jika digambarkan secara sederhana fungsi produksi dari padi adalah: dimana: Y = f (A, M, Z)... (3.2) Y = Jumlah produksi padi (Kg) A = Luas areal produksi (Ha) M = Jumlah pupuk (Kg/Ha) Z = Tenaga kerja (HOK/Ha) Pada tingkat harga produksi padi tertentu (HY), maka fungsi keuntungan produksi padi dapat dirumuskan sebagai berikut: dimana: = HY * f (A, M, Z) HA * A HM * M HZ * Z... (3.3) HY HA HM HZ = Keuntungan (Rp) = Harga padi/gabah (Rp/Kg) = Sewa lahan (Rp/Ha) = Harga pupuk (Rp/Kg) = Upah tenaga kerja (Rp/HOK) Fungsi keuntungan maksimum diperoleh jika turunan pertama dari fungsi keuntungan sama dengan nol dan turunan keduanya mempunyai nilai determinan Hessian lebih besar dari nol. Dengan melakukan prosedur penurunan secara matematis dari persamaan 3.3 di atas maka diperoleh: y y HY * HA 0 atau HY * HA... (3.4) A A A y y HY * HM 0 atau HY * HM... (3.5) M M M y y HY * HZ 0 atau HY * HZ... (3.6) Z Z Z Dimana y, A y y, dan M Z adalah produk marginal dari masing-masing faktor produksi. Oleh sebab itu, keuntungan maksimum diperoleh jika produk marginal sama dengan rasio harga faktor produksi terhadap harga produk 22

(padi/gabah). Dapat juga dikatakan bahwa keuntungan maksimum diperoleh jika nilai produk marginal sama dengan harga faktor produksinya (NPM = HFP). Dari persamaan 3.4, 3.5, dan 3.6, fungsi permintaan faktor produksi oleh petani dirumuskan sebagai berikut: A = g (HA, HY, HM, HZ)... (3.7) M = h (HM, HY, HA, HZ)... (3.8) Z = i (HZ, HY, HA, HM)... (3.9) Dengan mensubstitusikan persamaan 3.7, 3.8, dan 3.9 ke persamaan 3.2 maka diperoleh fungsi penawaran padi/gabah sebagai berikut: Qs = q s (HY, HA, HM, HZ)... (3.10) Dolan (1974), mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran suatu komoditi, yaitu harga komoditi itu sendiri, harga komoditi lain (sebagai substitusinya), biaya faktor produksi, biaya perusahaan, tujuan perusahaan, tingkat teknologi, pajak, subsidi, harapan harga dan keadaan alam. 3.1.2. Fungsi Konsumsi Secara umum, fungsi permintaan konsumen terhadap suatu barang diturunkan dari fungsi utilitas konsumen. Diasumsikan fungsi utilitas konsumen adalah: U = u (C s, C n )... (3.11) dimana U adalah total utilitas konsumen dari konsumsi beras (C s ) dan komoditi lain yang dikonsumsi (C n ). Konsumen yang rasional akan berupaya memaksimumkan utilitas pada tingkat harga yang berlaku dan sesuai dengan kendala pendapatan (I). P s *C s P *C I... (3.12) atau P *C P *C I 0 s s n n n n 23