II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembelajaran matematika dalam pandangan konstruktivisme sangat memegang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. yang tinggi dalam proses belajar, tidak sekedar aktivitas fisik semata. Siswa diberi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning), adalah model

BAB II. Tinjauan Pustaka

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembelajaran. Efektivitas itu sendiri menunjukan taraf tercapainya suatu tujuan.

BAB I PENDAHULUAN. yang berkualitas. Pendidikan juga di pandang sebagai sarana untuk menjadikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dedi Abdurozak, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu

BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu pengetahuan mendasar yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika merupakan salah satu unsur utama dalam. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hakikatnya matematika

I. PENDAHULUAN. Pada era global yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika sangat berperan penting dalam upaya menciptakan

I. TINJAUAN PUSTAKA. menuntun siswa dalam mencapai prestasi yang diharapkan. Hal ini sesuai dengan

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu ilmu yang dapat meningkatkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori Belajar yang Melandasi Problem Based Learning

BAB I PENDAHULUAN. dianggap sebagai pelajaran yang sulit dan kenyataannya sampai saat ini mutu pendidikan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penalaran menurut ensiklopedi Wikipedia adalah proses berpikir yang bertolak

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarakan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan : Hasil belajar siswa SMA Negeri 2 Serui Kabupaten Kepulauan Yapen,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia efektif adalah akibatnya atau pengaruhnya.

BAB II KAJIAN TEORITIK. sebagai proses dimana pelajar menemukan kombinasi aturan-aturan yang

BAB I PENDAHULUAN. teknologi tidak dapat kita hindari. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013

PEMAHAMAN KONSEP DAN KOMUNIKASI MATEMATIK DENGAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF CO-OP CO-OP

BAB I PENDAHULUAN. dapat berguna bagi dirinya sendiri dan masyarakat di sekitarnya.

BAB II KAJIAN TEORI. E. Kajian Teori. 1. Kemampuan Pemecahan Masalah. Sebagian besar ahli pendidikan matematika menyatakan bahwa masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Guna memahami apa itu kemampuan pemecahan masalah matematis dan pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan hal yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Becker dan Shimada (1997: 1) mengungkapkan bahwa we propose to call problem

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

I. PENDAHULUAN. dan kritis (Suherman dkk, 2003). Hal serupa juga disampaikan oleh Shadiq (2003)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kajian Teori

TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan

BAB II HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN MENGHITUNG LUAS PERSEGI DAN PERSEGI PANJANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB II KAJIAN TEORITIK. 1. Pengertian Kemampuan Pemahaman Konsep. konsep. Menurut Sudjiono (2013) pemahaman atau comprehension dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. kompetensi yang harus dimiliki individu dan tujuan yang akan dicapai dalam

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan salah satu ilmu yang mendasari perkembangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebagai tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan dan sasarannya. Sutikno

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORETIS

UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI PENALARAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIKA. (PTK Pembelajaran Matematika Kelas VII Semester II SMP Negeri 2

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, menjadi salah satu ilmu yang diperlukan pada saat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) di dunia secara. global dan kompetitif memerlukan generasi yang memiliki kemampuan

BAB II LANDASAN TEORI. a. Pengertian Pembelajaran Langsung

2 Namun pembelajaran matematika di sekolah memiliki banyak sekali permasalahan. Majid (2007:226) menyatakan bahwa masalah belajar adalah suatu kondisi

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. dahulu kita harus mengetahui definisi dari masalah itu sendiri. Prayitno (1985)

BAB I PENDAHULUAN. Hasratuddin : 2006) menyatakan bahwa: matematika merupaka ide-ide abstrak

II. KAJIAN PUSTAKA. Efektivitas dalam bahasa Indonesia merujuk pada kata dasar efektif yang diartikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan semua pihak

TINJAUAN PUSTAKA. dan sasarannya. Efektivitas merujuk pada kemampuan untuk memiliki tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Matematika dalam implementasinya tidak hanya berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. pesat terutama dalam bidang telekomunikasi dan informasi. Sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam

BAB II LANDASAN TEORI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Keterlaksanaan Pembelajaran Matematika

BAB I PENDAHULUAN. secara terus menerus sesuai dengan level kognitif siswa. Dalam proses belajar

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

2015 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI LEARNING CYCLE 5E DAN DISCOVERY LEARNING

II. TINJAUAN PUSTAKA. Matematika merupakan cabang ilmu pengetahuan eksak yang digunakan hampir

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika diajarkan tingkat dasar hingga tingkat menengah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Asnawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di semua bidang, salah satunya membangun sumber daya manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era globalisasi saat ini, bangsa Indonesia dihadapkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu matematika sampai saat ini, seperti Pythagoras, Plato,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan sehari- hari maupun dalam ilmu pengetahuan.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, antara lain pembaharuan kurikulum, peningkatan kualitas tenaga. pendidik dan peningkatan sarana dan pra sarana.

BAB I PENDAHULUAN. Diantaranya, Kurikulum 1964, Kurikulum 1974, Kurikulum 1984, Kurikulum

BAB I PENDAHULUAN. Matematika mempunyai peran yang sangat besar baik dalam kehidupan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. a. Pengertian Pembelajaran Matematika. dan matematis (Rina Dyah Rahmawati, dkk, 2006: 01).

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah penalaran matematis dalam beberapa literatur disebut dengan mathematical

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan memerlukan kecakapan hidup.

2014 PENGGUNAAN ALAT PERAGA TULANG NAPIER DALAM PEMBELAJARAN OPERASI PERKALIAN BILANGAN CACAH UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA

II. TINJAUAN PUSTAKA. untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan, dan dapat mencapai tujuan

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti dan tidak disukai siswa. Kecenderungan ini biasanya berawal dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. lambang yang formal, sebab matematika bersangkut paut dengan sifat-sifat struktural

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. logis, konsisten, dan dapat bekerjasama serta tidak mudah putus asa.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara umum belief diartikan sebagai keyakinan atau kepercayaan diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Roheni, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Matematika pada awalnya adalah ilmu tentang pola dan urutan yang

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi serta teknologi yang maju

BAB I PENDAHULUAN. bertujuan agar siswa memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah dasar merupakan salah satu lembaga pendidikan formal yang

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) Pembelajaran matematika dalam pandangan konstruktivisme sangat memegang peranan penting. Hal ini disebabkan karena dalam belajar matematika siswa harus mampu membangun sendiri pengetahuannya. Pengetahuan atau konsep yang diperoleh siswa bukanlah hasil transformasi informasi dari guru ke siswa. Pandangan konstruktivis ini juga menekankan agar siswa aktif berfikir, merumuskan konsep, dan mengambil makna sebuah pengetahuan. Pembelajaran matematika dengan prinsip konstruktivisme mengarahkan siswa kepada aktivitas seperti mengobservasi atau mengeksplorasi. Proses pembelajaran yang menerapkan inquiri mengupayakan penciptaan situasi yang mendorong siswa untuk dapat berperan seperti seorang ilmuwan. Mengobservasi atau mengeksplorasi merupakan aktivitas awal yang dilakukan siswa dalam memahami dan mendalami sebuah persoalan dalam rangka mencari penyelesaiannya. Mendengar dan berbicara adalah proses interaksi diantara siswa, seperti membicarakan berbagai strategi penyelesaian, bagaimana masalah diselesaikan, mengkritisi jawaban yang telah ada sehingga diperoleh jawaban yang lebih baik atau mungkin aktivitas berupa kerja kelompok kecil, diskusi, dan melakukan pekerjaan yang diawali dengan sebuah masalah (problem centered approach).

11 Teori perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses di mana anak secara aktif membangun pengetahuannya melalui pengalaman dan interaksi dengan lingkungannya. Menurut Piaget (dalam Holil, 2008: 2), perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Implikasi dari teori Piaget dalam pembelajaran matematika antara lain memusatkan perhatian siswa pada proses berfikir tidak hanya pada hasil belajarnya saja, memperhatikan keterlibatan aktif siswa di dalam pembelajaran, serta menghargai adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan. PBM merupakan salah satu model pembelajaran yang didasari atas pandangan konstruktivis. Ada beberapa cara menerapkan PBM dalam pembelajaran. Secara umum penerapan model ini dimulai dengan adanya masalah yang harus dipecahkan oleh peserta didik. Masalah tersebut dapat berasal dari peserta didik atau dari pendidik. Peserta didik akan memusatkan pembelajaran di sekitar masalah tersebut, dengan arti lain, peserta didik belajar teori dan metode ilmiah agar dapat memecahkan masalah yang menjadi pusat perhatiannya. Pemecahan masalah dalam PBM harus sesuai dengan langkah-langkah metode ilmiah. Dengan demikian, peserta didik belajar memecahkan masalah secara sistematis dan terencana. Menurut Agus dalam artikel edukasiana, strategi pembelajaran berbasis masalah terdiri dari 5 fase atau langkah seperti yang tercantum pada Tabel 2.1. Fase-fase dan perilaku tersebut merupakan tindakan berpola. Pola ini diciptakan agar hasil pembelajaran dengan pengembangan pembelajaran berbasis masalah dapat diwujudkan. Sintaks PBM adalah sebagai berikut:

12 Tabel 2.1 Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah Fase-fase Fase 1 : mengorientasikan peserta didik pada masalah Fase 2 : mengorganisasikan peserta didik untuk belajar Fase 3 : membimbing penyelidikan individual maupun kelompok Fase 4 : mengembangkan dan menyajikan hasil karya Fase 5 : menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Perilaku pendidik Pendidik menyampaikan tujuan pembelajaran, mendeskripsikan berbagai kebutuhan logistik penting dan memotivasi peserta didik untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah. Pendidik membantu peserta didik mendefinisikan dan mengoragnisasikan tugas-tugas belajar terkait dengan permasalahannya. Pendidik mendorong peserta didik untuk mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan eksperimen, dan mencari penjelasan dan solusi. Pendidik membantu peserta didik dalam merencanakan dan menyiapkan artefak-artefak yang tepat, seperti laporan, rekaman video, dan model-model serta membantu mereka untuk menyampaikannya kepada orang lain. Pendidik membantu peserta didik melakukan refleksi terhadap investigasinya dan proses-proses yang mereka gunakan. Tampak bahwa PBM memberikan suatu lingkungan pembelajaran dengan masalah merupakan basisnya, artinya pembelajaran dimulai dengan masalah kontekstual yang harus dipecahkan. Masalah dimunculkan sedemikian hingga siswa perlu menginterpretasi masalah, mengumpulkan informasi yang diperlukan, mengevaluasi alternatif solusi, dan mempresentasikan solusinya. Ketika siswa mengembangkan suatu metode untuk mengkonstruksi suatu prosedur, mereka mengintegrasikan pengetahuan konsep dengan keterampilan yang dimilikinya. Dengan demikian secara keseluruhan siswa lah yang mengkonstruk pengetahuan mereka, dengan bantuan guru selaku fasilitator. Dalam proses pembelajaran matematika, siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bekerja dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan pada siswa. Siswa harus dapat mengkonstruksikan pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri. Hal ini sesuai dengan esensi dari teori konstruktivisme yang menekankan bahwa

13 siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks kepada situasi lain, sehingga informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Piaget (dalam Suherman dkk, 2003: 37) mengemukakan bahwa tahap perkem - bangan kognitif atau taraf kemampuan berfikir seorang individu sesuai dengan usianya. Makin seorang individu dewasa makin meningkat pula kemampuan berfikirnya. Perkembangan kognitif dari setiap individu yang berkembang secara kronologis (menurut usia kalender) dirumuskan oleh Piaget pada empat tahap perkembangan yaitu: (1) tahap Sensori Motor, dari lahir sampai sekitar 2 tahun; (2) tahap Pra Operasi, dari sekitar umur 2 tahun sampai dengan sekitar umur 7 tahun; (3) tahap Operasi Konkrit, dari sekitar umur 7 tahun sampai dengan sekitar umur 11 tahun; dan (4) tahap Operasi Formal, dari sekitar umur 11 tahun dan seterusnya. Berdasar pada teori piaget di atas, diketahui bahwa siswa SMP berada pada tahap operasi formal. Tahap ini merupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif secara kualitas. Anak pada tahap ini sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak. Penalaran yang terjadi pada struktur kognitifnya telah mampu hanya dengan menggunakan simbol-simbol, ide-ide, abstraksi, dan generalisasi. Karakteristik lain dari anak pada tahap operasi formal menutut Child (dalam Suherman dkk, 2003, 42) ialah telah memiliki kemampuan untuk melakukan penalaran hipotetik-deduktif, yaitu kemampuan untuk menyusun serangkaian hipotesis dan mengujinya. Selain itu, menurut Wardsworth (dalam Suherman dkk, 2003: 43) mengemukakan bahwa pada tahap ini anak sudah memiliki kemampuan

14 berfikir kombinatorial ( combinatorial thought), yaitu kemampuan menyusun kombinasi-kombiasi yang mungkin dari unsur-unsur dalam suatu sistem. Misalnya, kombinasi warna, kombinasi beberapa bilangan, dan kombinasi beberapa huruf. Dengan demikian, siswa SMP dipandang dapat melakukan kemandirian belajar dan dapat dilatih untuk memiliki kemampuan berfikir tingkat tinggi dengan diterapkannya pembelajaran berbasis masalah. B. Masalah Open-ended Sudiarta ( dalam Poppy, 2010: 2) mengatakan bahwa secara konseptual openended problem dapat dirumuskan sebagai masalah atau soal-soal matematika yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memiliki beberapa atau bahkan banyak solusi yang benar, dan terdapat banyak cara untuk mencapai solusi itu. Contoh penerapan masalah open-ended dalam kegiatan pembelajaran adalah ketika siswa diminta mengembangkan metode, cara atau pendekatan yang berbeda dalam menjawab permasalahan yang diberikan bukan berorientasi pada jawaban (hasil) akhir. Hal ini senada dengan pendapat Suherman dkk (2003: 123) yang menyatakan bahwa masalah open-ended merupakan masalah yang diformulasikan memiliki multijawaban yang benar, disebut problem tak lengkap atau disebut juga open-ended problem atau soal terbuka. Siswa yang dihadapkan dengan openended problem, tujuan utamanya bukan untuk mendapatkan jawaban tetapi lebih menekankan pada cara bagaimana sampai pada suatu jawaban. Dengan demikian bukanlah hanya satu pendekatan atau metode dalam mendapatkan jawaban, namun beberapa atau banyak. Sifat "keterbukaan" dari suatu masalah dikatakan

15 hilang apabila hanya ada satu cara dalam menjawab permasalahan yang diberikan atau hanya ada satu jawaban yang mungkin untuk masalah tersebut. Tujuan dari pemberian masalah-masalah open-ended menurut Nohda ( dalam Suherman dkk, 2003: 124) ialah untuk membantu mengembangkan kegiatan kreatif dan pola pikir matematis siswa melalui problem posing secara simultan, agar pola pikir matematis siswa dapat dikembangkan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan setiap siswa. Dalam metode mengajarnya, satu permasalahan open-ended yang ditujukan kepada siswa dan dikerjakan dengan menggunakan banyak cara yang benar akan memberikan pengalaman untuk menemukan sesuatu yang baru selama proses pemecahan masalahnya. Aktivitas matematika yang dihasilkan dengan menggunakan masalah open-ended sangat banyak dan cerdik sehingga guru dapat mengevaluasi keterampilan berpikir tingkat tinggi. Menurut Sawada (dalam Suherman dkk, 2003: 129-130) ada beberapa cara untuk mengkonstruksi permasalahan yaitu: 1. Siapkan permasalahan melalui sebuah situasi fisik yang nyata dan memuat beberapa variabel sedemikian hingga relasi matematis dapat diamati siswa. 2. Soal-soal pembuktian dapat diubah sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan hubungan dan sifat-sifat dari variabel dalam permasalahan ini. 3. Sajikan bentuk-bentuk atau bangun geometri sehingga siswa dapat membuat suatu konjektur. 4. Sajikan urutan bilangan atau tabel sehingga siswa dapat menemukan aturan matematika.

16 5. Berikan beberapa contoh konkrit dalam beberapa kategori sehingga siswa dapat mengelaborasi sifat-sifat dari contoh itu untuk menemukan sifat-sifat yang umum. 6. Berikan beberapa latihan serupa sehingga siswa dapat membuat generalisasi dari pekerjaannya. Selanjutnya, Sawada (1997: 27-28) mengungkapkan ada tiga tipe permasalahan open-ended,.seperti diuraikan berikut ini. 1. Mencari hubungan: siswa diberi pertanyaan untuk menemukan suatu aturan matematis atau relasi/hubungan. 2. Klasifikasi: siswa diberi pertanyaan untuk mengklasifikasi berdasarkan karakteristik-karakteristik yang berbeda yang membuat mereka memformulasikan konsep-konsep matematis. 3. Pengukuran: siswa diberi pertanyaan untuk menemukan ukuran numeris berkaitan dengan fenomena yang diberikan. Permasalahan seperti ini menuntut siswa mengaplikasikan pengetahuan matematis dan keterampilan yang mereka miliki untuk menyelesaikan permasalahan ini. Hasil penelitian yang dilakukan The National Assesment of Educational Progress (NAEP) dalam Suherman (2001: 84) menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan siswa dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah menurun drastis manakala setting (konteks) permasalahannya diganti dengan hal yang tidak dikenal siswa, walaupun permasalahan matematikanya tetap sama. Oleh karena itu, konsepkonsep dan ide-ide matematika haruslah dipelajari sebagai suatu kegiatan manusia yang diimplementasikan dalam pembelajaran melalui penyelesaian masalah-

17 masalah yang akrab dengan kehidupan keseharian anak, baik di awal, di pertengahan, maupun di akhir pembelajaran di kelas. C. Pemecahan Masalah Suatu masalah biasanya memuat suatu situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara lansung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya. Jika suatu masalah diberikan kepada seorang anak dan anak tersebut langsung mengetahui cara menyelesaikannya dengan benar, maka soal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai masalah. Untuk memperoleh kemampuan dalam pemecahan masalah, seseorang harus memiliki banyak pengalaman dalam memecahkan berbagai masalah. Menurut Aan (2010: 2), berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang diberi banyak latihan pemecahan masalah memiliki nilai lebih tinggi dalam tes pemecahan masalah dibandingkan anak yang latihannya lebih sedikit. Adanya rasa tertarik untuk menghadapi tantangan dan tumbuhnya kemauan untuk menyelesaikan tantangan tersebut merupakan modal utama dalam pemecahan masalah. Suatu masalah dapat di pandang sebagai masalah merupakan hal yang sangat relatif. Menurut Suyitno (2010: 5): Suatu soal dapat dikatakan sebagai masalah bagi siswa jika dipenuhi syaratsyarat berikut: a. Siswa memiliki pengetahuan awal untuk mengerjakan soal tersebut b. Diperkirakan siswa mampu mengerjakan soal tersebut c. Siswa belum tahu algoritma atau cara menyelesaikan soal tersebut d. Siswa mau dan berkehendak untuk menyelesaikan soal tersebut.

18 Polya (dalam Suyitno, 2010: 6) berpendapat: Dalam pemecahan suatu masalah terdapat empat langkah yang harus dilakukan yaitu: a. Memahami masalah b. Merencanakan pemecahannya c. Menyelesaikan masalah sesuai perencanaan d. Memeriksa kembali hasil yang diperoleh. Gagne mengemukakan belajar pemecahan masalah adalah tingkat tertinggi dari hierarki belajar ( Suherman dkk, 2003: 34). Sudah tentu, bahwa untuk memiliki kemampuan tingkat tinggi seperti ini, diperlukan latihan-latihan memecahkan masalah yang terkelola dengan baik di kelas. Dalam matematika sekolah, kemampuan pemecahan masalah sangat dibutuhkan, karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaian masalah, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin. Melalui kegiatan ini aspek-aspek kemampuan matematik penting seperti penerapan aturan pada masalah tidak rutin, penemuan pola, penggeneralisasian, komunikasi matematik, dan lain-lain dapat dikembangkan secara lebih baik. Melalui pemecahan masalah, diharapkan siswa dapat mengembangkan kemampuan memecahkan masalah-masalah yang mereka jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, pembelajaran dengan pemecahan masalah seyogyanya menjadi bagian dari pembelajaran matematika di sekolah. Matematika yang disajikan dalam bentuk masalah akan memberikan motivasi kepada siswa untuk mempelajari matematika lebih dalam. Dengan dihadapkan pada suatu masalah matematika, siswa akan berusaha menemukan penyelesaiannya melalui berbagai strategi pemecahan masalah matematika. Kepuasan akan tercapai apabila siswa dapat

19 memecahkan masalah yang dihadapinya. Kepuasan intelektual ini merupakan motivasi intrinsik bagi siswa (Laodesyamri, 2010: 3). Sanjaya ( dalam Laodesyamri, 2010: 3-4) mengemukakan beberapa keunggulan pembelajaran dengan pemecahan masalah diantaranya: a. Pemecahan masalah dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa. b. Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa. c. Pemecahan masalah dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata. d. Pemecahan masalah dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Disamping itu, pemecahan masalah itu juga dapat mendorong untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya. e. Melalui pemecahan masalah bisa memperlihatkan kepada siswa bahwa setiap mata pelajaran, bahwa pada dasarnya merupakan cara berpikir, dan sesuatu yang harus dimengerti oleh siswa, bukan hanya sekedar belajar dari guru atau dari buku buku saja. f. Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru. g. Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.

20 Berikut ini beberapa saran yang berkaitan dengan hambatan dan kesalahan dalam memecahkan masalah. Beberapa kebiasaan yang sering diberi penekanan khusus oleh para ahli. a. Mekanisasi (mechanisation) Kadang-kadang seseorang melihat terlalu jauh atau terlalu dalam sebuah masalah yang sebenarnya mudah dikarenakan melihat masalah itu termekanisasi. Mekanisasi di sini dimaksudkan hanya melihat pada arah yang terbaca langsung dari pertanyaan atau redaksi soal. Mekanisasi dapat membantu kita menemukan solusi suatu masalah, tetapi ia akan membutakan kita terhadap solusi terbaik atau cara terbaik yang bisa ditempuh. Orton (1992: 102) menyatakan: In general, in mathematics, we are sometimes inclined to overlook a quicker roote in our haste to apply a known rootine. b. Membuat asumsi prematur (fixation) Kadang kita selalu membuat asumsi-asumsi yang belum tentu tepat bahkan mungkin bertentangan dengan masalah yang dihadapi. Ini dikenal dengan istilah fixation. Scheerer (dalam Orton, 1992: 102) yang mungkin pertama kali membahas masalah ini mengemukakan: If insight is the essential element in intelligent problem-solving, fixation is its arch enemy. c. Functional Fixedness Functional Fixedness merupakan ketidakmampuan melihat masalah yang biasa dengan cara atau pendekatan yang baru atau tidak biasa. Dengan sering berlatih memecahkan masalah, maka kita dapat mengasah keterampilan melihat masalah dengan cara atau pendekatan baru. d. Salah pengertian dan salah memilih data

21 Persoalan yang satu ini umumnya dikarenakan siswa kurang paham terhadap masalah atau siswa kurang memahami konsep matematika yang terkait atau siswa tidak menggunakan nalar atau logika dengan baik dalam menyelesaikan masalah. Oleh karena itu memahami masalah dengan sejelas-jelasnya termasuk keterampilan dasar dalam pemecahan masalah. e. Kepercayaan diri yang rendah Walaupun ini persoalan yang umum, namun kita perlu mewaspadai dan menghindarinya. Lebih dari itu, kita juga harus berusaha meningkatkan rasa percaya diri siswa dan sikap berani mengambil resiko untuk menyelesaikan masalah sesuai kemampuan. Dalam istilah yang lebih umum, sikap yang menganggap penyelesaian suatu masalah matematika terlalu sulit bagi kita, termasuk bagian dari apa yang disebut math anxiety (kecemasan matematika). Djamarah (2000: 66) mengungkapkan bahwa guru perlu menciptakan suatu masalah untuk dipecahkan oleh siswa di kelas. Salah satu indikator kepandaian siswa banyak ditentukan oleh kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Pemecahan masalah dapat mendorong siswa untuk lebih tegar dalam menghadapi berbagai masalah belajar. Siswa yang terbiasa dihadapkan pada masalah dan berusaha memecahkannya akan cepat tanggap dan kreatif. Jika masalah yang diciptakan itu bersentuhan dengan kebutuhannya, siswa akan bersemangat untuk memecahkannya dalam waktu yang relatif singkat. Johson dan Rising (dalam Laodesyamri, 2010: 4) mengemukakan beberapa alasan mengapa pemecahan masalah dipandang perlu dalam pembelajaran matematika, antara lain karena kebiasaan memecahkan masalah menjadi suatu latihan dalam

22 menggunakan konsep-konsep maupun prinsip matematika yang telah dipelajari. Hal ini perlu karena dalam belajar matematika tidak cukup hanya dengan manghafal. Setiap konsep ataupun prinsip matematika yang dipelajari perlu dipraktekkan, sehingga matematika dapat bermanfaat. Melalui pemecahan masalah diperoleh pengetahuan baru. Di dalam pemecahan banyak muncul pengetahuan baru yang sebelumnya tidak pernah dipelajari. Seseorang yang terbiasa memecahkan masalah matematika akan mendapatkan manfaat yang sangat besar dengan adanya pengetahuan baru yang muncul dalam pemecahan masalah. Selain itu, pemecahan masalah dapat merangsang rasa keingintahuan intelektual. Rasa ingin tahu merupakan suatu dorongan yang sangat penting dalam belajar matematika. Adanya rasa ingin tahu akan mendorong seseorang untuk mempelajari hal-hal yang baru. Untuk menimbulkan rasa ingin tahu dibutuhkan adanya sesuatu yang menantang. Hal seperti ini biasanya muncul bila seseorang menghadapi suatu masalah yang harus segera dipecahkan. D. Kerangka Pikir Tujuan diberikannya matematika antara lain agar siswa mampu menghadapi perubahan keadaan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, dan efektif. Hal ini jelas tuntutan yang sangat tinggi yang tidak mungkin dicapai hanya melalui hapalan, latihan pengerjaan soal yang bersifat rutin serta proses pembelajaran biasa. Untuk menjawab tuntutan tujuan yang demikian tinggi, maka perlu dikembangkan materi serta proses pembelajaran yang sesuai.

23 Salah satu faktor yang dapat menunjang keberhasilan belajar siswa adalah model pembelajaran yang digunakan oleh guru di kelas. Model pembelajaran akan berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Jika guru dapat memilih dan menggunakan model pembelajaran yang tepat maka kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pun akan dapat berkembang dengan baik. Dengan demikian terdapat asosiasi atau kaitan antara model pembelajaran dengan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa merupakan salah satu indikator dari hasil belajar pada mata pelajaran matematika. Kemampuan pemecahan masalah matematis terdiri dari empat indikator, yaitu memahami masalah yang ada, merencanakan pemecahannya, menyelesaikan masalah sesuai perencanaan, dan memeriksa kembali hasil yang diperoleh (looking back). Pada fase pertama, tanpa adanya pemahaman terhadap masalah yang diberikan, siswa tidak mungkin mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan benar. Maka dari itu, pada fase ini siswa dilatih untuk mengemukakan ide-ide dan me-recall pengetahuan yang telah mereka miliki. Mengobservasi atau mengeksplorasi merupakan aktivitas awal yang dilakukan siswa dalam memahami dan mendalami sebuah persoalan dalam rangkaian mencari penyelesaian. Setelah siswa dapat memahami masalahnya dengan benar, selanjutnya mereka harus mampu menyusun rencana penyelesaian masalah. Kemampuan melakukan fase kedua ini sangatlah tergantung pada pengalaman siswa dalam menyelesaikan masalah. Pada umumnya, semakin bervariasi pengalaman mereka, ada kecenderungan siswa lebih kreatif dalam menyusun rencana penyelesaian masalah. Selanjutnya dilakukan pe-

24 nyelesain masalah sesuai dengan rencana yang dianggap paling tepat. Dan langkah terakhir adalah melakukan pengecekan atas apa yang telah dilakukan. Dengan cara seperti ini maka berbagai kesalahan yang tidak perlu dapat terkoreksi kembali sehingga siswa sampai pada jawaban yang benar sesuai dengan masalah yang diberikan. Memikirkan atau menelaah kembali langkah-langkah yang telah dilakukan merupakan kegiatan yang sangat penting untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Melalui empat fase pemecahan masalah di atas, siswa menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan, kemudian menganalisisnya dan akhirnya meneliti hasilnya. Dengan demikian potensi intelektual siswa dapat meningkat, dan siswa belajar tentang bagaimana melakukan penelusuran melalui penemuan. PBMO merupakan pembelajaran yang dimulai dengan masalah yang harus dipecahkan, artinya PBMO ini memberikan suatu lingkungan pembelajaran dengan masalah matematika yang menjadi basisnya. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar dan siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin. Dalam PBMO soal-soal yang diajukan kepada siswa memiliki banyak jawab. Dengan demikian, PBMO menjanjikan kepada suatu kesempatan kepada siswa untuk meginvestigasi berbagai strategi dan cara yang diyakininya sesuai dengan kemampuan mengelaborasi permasalahan. Tujuannya tiada lain adalah agar kemampuan berpikir matematika siswa dapat berkembang secara maksimal. Inilah

25 yang menjadi pokok pikiran PBMO, yaitu pembelajaran yang membangun kegiatan interaktif antara matematika dan siswa sehingga mengundang siswa untuk menjawab permasalahan melalui berbagai strategi. Selain itu, siswa diharapkan bukan hanya mendapatkan jawaban tetapi lebih menekankan pada proses pencarian suatu jawaban. Dengan keberagaman penyelesaian atau metode penyelesaian, maka pembelajaran ini memberikan keleluasaan bagi siswa untuk mengemukakan jawaban dan membuat siswa menyadari adanya metode-metode penyelesaian yang beragam, hingga pada akhirnya kapasitas matematika siswa untuk menyelesaikan masalah matematik yang lebih fleksibel dapat meningkat. PBMO dengan menggunakan kelompok-kelompok kecil dapat membantu siswa untuk bekerja sama dalam kelompoknya, menghargai pendapat orang lain, aktif bertanya, dan mau menjelaskan ide atau pendapat. Selama pembelajaran berlangsung, siswa bekerja sama dalam situasi yang semangat sehingga pembelajaran dapat berjalan dengan efektif dan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pun akan meningkat. Peningkatan kemampuan siswa seperti ini tidak terjadi pada siswa degan pembelajaran konvensional, karena pada pembelajaran konvensional kelas lebih didominasi oleh guru yang aktif dalam menyampaikan informasi sedangkan siswa hanya bertugas untuk menerima informasi, yang akibatnya siswa menjadi pasif. Pada model pembelajaran konvensional memang guru dapat menguasai kelas yang memiliki jumlah siswa yang banyak, tetapi guru tidak mampu untuk mengontrol sejauh mana siswa telah memahami uraian yang telah disampaikan oleh guru. Dengan kata lain, guru tidak benar-benar dapat melakukan evaluasi terhadap kemampuan siswa yang hanya mengandalkan ingat atau tidak ingat terhadap suatu rumus tertentu.

26 Dengan demikian, PBMO dipandang mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa, karena pembelajaran ini tidak mengharuskan siswa menghafal tanpa makna, tetapi mendorong siswa mengkonstruksi pengetahuan di dalam pikiran mereka sendiri, mengemukakan ide-ide, memecahkan masalah, dan menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya. E. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah open-ended lebih baik daripada rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional.