UNIVERSITAS DIPONEGORO

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

MEMFOKUSKAN TARGET EKSPLORASI MIGAS DI KAWASAN TIMUR INDONESIA. Rakhmat Fakhruddin, Suyono dan Tim Assesmen Geosains Migas

BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR

FASIES BATUBARA FORMASI WARUKIN ATAS DAERAH TAPIAN TIMUR, KP PT. ADARO INDONESIA KALIMANTAN SELATAN

PENENTUAN PALEOGEOGRAFI BERDASARKAN STRUKTUR SLUMP STUDI KASUS FORMASI HALANG DAERAH WONOSARI, KEBUMEN, JAWA TENGAH

STUDI FASIES PENGENDAPAN FORMASI BAYAH DAN FORMASI BATUASIH DAERAH PASIR BENDE, PADALARANG, KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT

(Sebagian Lembar Peta Rupabumi Digital Indonesia (Bakosurtanal) No ) SKRIPSI : STUDI SEDIMENTOLOGI

Bab III Pengolahan dan Analisis Data

DAFTAR ISI. BAB II GEOLOGI REGIONAL... 9 II.1. Tektonik... 9 II.2. Struktur Geologi II.3. Stratigrafi II.4. Sistem Perminyakan...

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. di Sulawesi Tenggara. Formasi ini diendapkan selama Trias-Jura (Rusmana dkk.,

Gambar 4.5. Peta Isopach Net Sand Unit Reservoir Z dengan Interval Kontur 5 Kaki

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab III Geologi Daerah Penelitian

BAB IV UNIT RESERVOIR

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

I. PENDAHULUAN. Cekungan Asri adalah salah satu cekungan sedimen penghasil hidrokarbon di

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sejarah eksplorasi menunjukan bahwa area North Bali III merupakan bagian selatan dari Blok Kangean yang

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 4 KARAKTERISTIK RESERVOIR

BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Bab II Tinjauan Pustaka

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai

BAB I PENDAHULUAN. cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah

PENELITIAN BATUAN INDUK (SOURCE ROCK) HIDROKARBON DI DAERAH BOGOR, JAWA BARAT

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III ANALISIS FASIES PENGENDAPAN FORMASI TALANG AKAR

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

Kata kunci : Formasi Tanjung,facies, fluvial, delta

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya memiliki status plug and abandon, satu sumur menunggu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSEMBAHAN UCAPAN TERIMAKASIH KATA PENGANTAR SARI DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB 1 PENDAHULUAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Foto 4.9 Singkapan batupasir sisipan batulempung

Interpretasi Stratigrafi daerah Seram. Tabel 4.1. Korelasi sumur daerah Seram

BAB I PENDAHULUAN. telah banyak dilakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. Lapangan XVII adalah lapangan penghasil migas yang terletak di Blok

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri.

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara

KARAKTERISTIK BATUPASIR SEBAGAI BATUAN RESERVOIR PADA SUMUR ABC-1 DAN ABC-2, DI CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

LITOSTRATIGRAFI CEKUNGAN OMBILIN BERDASARKAN INTERPRETASI CITRA SATELIT

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian.

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

IV-15. Bab IV Analisis Asosiasi Fasies

BAB II GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB IV ANALISIS FASIES PENGENDAPAN

BAB IV SEJARAH GEOLOGI

STRUKTUR GEOLOGI TELUK BONE - SULAWESI SELATAN GEOLOGICAL STRUCTURES OF THE BONE GULF- SOUTH OF SULAWESI

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Supriatna et al., 1995 menyebutkan formasi formasi berumur

UNIVERSITAS DIPONEGORO

BAB IV KONDISI GEOLOGI

BAB 4 ANALISIS FASIES SEDIMENTASI DAN DISTRIBUSI BATUPASIR C

Bab II Geologi Regional

BAB I PENDAHALUAN. kondisi geologi di permukaan ataupun kondisi geologi diatas permukaan. Secara teori

BAB IV SEJARAH GEOLOGI

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.2. Perbandingan eksplorasi dan jumlah cadangan hidrokarbon antara Indonesia Barat dengan Indonesia Timur 1

BAB I PENDAHULUAN. usia produksi hidrokarbon dari lapangan-lapangannya. Untuk itulah, sebagai tinjauan

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER

BAB IV SEJARAH GEOLOGI

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

INVENTARISASI BITUMEN PADAT DAERAH LOA JANAN DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DAN KOTA SAMARINDA, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV ANALISA SEDIMENTASI

BAB I PENDAHULUAN. eksplorasi hidrokarbon, salah satunya dengan mengevaluasi sumur sumur migas

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATRA TENGAH

Walker, R. G. dan James, N. P., 1992 : Facies Models Response to Sea Level Change, Geological Association of Canada. Weber, K. J.

Bab IV. Analisa Fasies Pengendapan. 4.1 Data Sampel Intibor

BAB IV ANALISIS DATA

BAB II GEOLOGI REGIONAL

I.1 Latar Belakang I.2 Maksud dan Tujuan

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI. terbagi dalam tujuh (7) satuan fisiografi, yaitu : Dataran Rendah Timur (Eastern

Transkripsi:

UNIVERSITAS DIPONEGORO ANALISIS PERUBAHAN FASIES DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN DI BLOK A PADA FORMASI MELUHU, CEKUNGAN KENDARI, PROVINSI SULAWESI TENGGARA NASKAH PUBLIKASI TUGAS AKHIR FEBRY IRFANSYAH L2L 007 023 FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI SEMARANG DESEMBER 2012

ANALISIS PERUBAHAN FASIES DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN DI BLOK A PADA FORMASI MELUHU, CEKUNGAN KENDARI, PROVINSI SULAWESI TENGGARA Febry Irfansyah, Hadi Nugroho, Yoga Ariwibowo Teknik Geologi Universitas Diponegoro ABSTRACT Limitations of field geological data and subsurface surveys are one of the causes of unattractiveness oil and gas exploration activities in the old basins in eastern Indonesia because it has a high risk that is always avoided by investors in the oil and gas. The research location in Meluhu Formation, Kendari Basin, which is one of Upper Triassic formations in eastern Indonesia is estimated to have potential for hydrocarbon resources. Therefore, to find out more about this potential is conducted by field geological survey that generate data on sedimentology and stratigraphy. This study aims to determine facies and depositional environment that formed in three tracks of stratigraphic section in Block A, Meluhu Formation, Kendari Basin, and to know the changes in facies and depositional environment vertically associated with the impact of sea level changes. The methodology used in this research is descriptive and analysis methods. The descriptive method is done by literature study and field survey includes stratigraphic section measurements at selected tracks, while for analysis methods are litofasies analysis, facies associations, petrographic analysis, and sequence analysis of the relative age. Based on the four analysis, a stratigraphic column of the study area that are arranged based on the relative age of rocks are made and used to determine the pattern of changes in facies and depositional environment vertically. From the combined results of the four methods of analysis, the interpretation of different facies and depositional environment in three stratigraphic section measurements in this area are obtained. On the first track named LS301, some facies found, such as mud flats, mixed flats, sand flats, and tidal channel, which characterize the tidal flat depositional environment. In the second track named LS303, channel fills and overbank facies are found, which characterize the fluvial depositional environment. On the third track named LS306, facies mud flats and sand flats that characterize the deposition of tidal flats are found, and the dominance of overbank and channel fill facies that characterize the fluvial depositional environment. From the analysis of the relative age, the sequence between tracks from old to young is LS301, LS303, and the LS306. So, changes in facies and depositional environment vertically starts from tidal flat and change into fluvial. Compared with the eustacy curve of the Upper Triassic age by Haq (1987) which shows a pattern of decline in sea level, vertical changes on Block A match to the facts on the field. Keywords: Meluhu Formation, facies, depositional environment, relative age, changes vertically LATAR BELAKANG Keterbatasan data-data lapangan dan survei bawah permukaan adalah salah satu penyebab kurang menariknya kegiatan eksplorasi migas pada cekungan cekungan perbatasan karena cenderung memiliki resiko yang tinggi yang selalu dihindari oleh investor di sektor migas. Cekungan Kendari di mana lokasi penelitian dilakukan merupakan salah satu cekungan di daerah perbatasan di kawasan timur Indonesia yang diperkirakan memiliki potensi sumberdaya hidrokarbon. Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih lanjut mengenai potensi tersebut akan dilakukan kegiatan survei lapangan berupa pengumpulan, analisis dan interpretasi data lapangan yakni salah satunya adalah survei sedimentologi dan stratigrafi agar nantinya dijadikan patokan dalam memodelkan Alumni Teknik Geologi Universitas Diponegoro Staf Dosen Teknik Geologi Universitas Diponegoro

cekungan hingga sistem perminyakan yang berkembang di daerah tersebut. Berdasarkan hal di atas, maka dalam tulisan tugas akhir ini penulis akan membahas suatu tulisan yang berjudul Analisis Perubahan Fasies dan Lingkungan Pengendapan di Blok A pada Formasi Meluhu, Cekungan Kendari, Sulawesi Tenggara. MAKSUD a) Melakukan pengumpulan data data sedimentologi dan stratigrafi terhadap singkapan dengan cara mengukur penampang dari lintasan lintasan terpilih di lapangan. b) Menganalisis petrologi dan petrografi conto batuan dari penampang stratigrafi terukur TINJAUAN PUSTAKA Cekungan Kendari terletak di bagian selatan dari Lengan Tenggara Sulawesi. Cekungan ini dibatasi di bagian utaranya oleh Eastern Sulawesi ophiolite complex, sebelah barat oleh Teluk Bone, sebelah timurnya dibatasi Laut Banda, dan sebelah selatannya berbatasan dengan Cekungan Muna-Buton. Berdasarkan peta cekungan hasil publikasi Badan Geologi (2009), Cekungan Kendari diidentifikasi termasuk kedalam tipe cekungan Pre-Tersier. Pembentukan intrakratonik Cekungan Kendari tidak terlepas dari pembentukan Mintakat Lengan Tenggara Sulawesi yang merupakan fragmen dari mikrokontinen Australia yang bertumbukan dengan komplek ofiolit di bagian timur Sulawesi pada pada Oligosen hingga Miosen Awal. TUJUAN a) Mengetahui fasies dan lingkungan pengendapan yang terbentuk di 3 lintasan pengukuran penampang stratigrafi pada Blok A, Formasi Meluhu, Cekungan Kendari. b) Mengetahui perubahan fasies dan lingkungan pengendapan secara vertikal pada daerah penelitian yaitu Blok A yang meliputi 3 lintasan pengukuran penampang stratigrafi dikaitkan dengan pengaruh perubahan tingkat muka air laut. LOKASI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di suatu area yang dinamakan Blok A, yang secara geologi terletak pada Formasi Meluhu, Cekungan Kendari di Provinsi Sulawesi Tenggara. Tektonik Kejadian tektonik di Lengan Tenggara Sulawesi secara umum dibagi kedalam 3 (tiga) kelompok periode tektonik, yaitu: sebelum, selama dan sesudah proses kolisi (Surono, 2008). Periode tektonik sebelum kolisi (Pre- Collision periode) teridentifikasi oleh karakteristik stratigrafi dan sedimentologi dari Batuan-batuan sedimen yang berumur Trias sampai Paleogen. Periode tektonik selama kolisi terjadi pada kala Eosen-Miosen yang ditandai oleh pembentukan sedimen-sedimen molase, antiklin-sinklin dan sesar-sesar naik serta strukutur imbrikasi. Deformasi yang sangat kuat pada saat kolisi antara continental terrane dan komplek ofiolit telah menyebabkan terbentuknya struktur

tersebut. Sesar-sesar naik yang terjadi pada umumnya menjadi batas antara ofiolit komplek dengan continental terrane di sepanjang pantai timur dan barat lengan tenggara Sulawesi. Pada periode pasca kolisi umumnya ditandai oleh pembentukan sesar-sesar geser yang berarah baratlaut-tenggara pada periode Pliosen hingga Resen, seperti Lawanofo Fault, Kolaka Fault dan Konaweha Fault. dengan yang lain serta memiliki kecenderungan lingkungan pengendapan yang sama. Lingkungan Pengendapan Lingkungan pengendapan adalah tempat mengendapnya material sedimen beserta kondisi fisik, kimia, dan biologi yang mencirikan terjadinya mekanisme pengendapan tertentu (Gould, 1972; dalam Boggs,1987).. Stratigrafi Secara umum urutan stratigrafi batuan di Lengan Tenggara Sulawesi disusun oleh batuan Pra-Tersier, Tersier dan Kuarter. Batuan tertua di daerah ini adalah batuan metamorf yang berumur Paleozoik, disusun oleh skis, kuarsit, slate dan marbel. Batuan ini diperkirakan sebagai batuan dasar bersama-sama dengan batuan granit dan intursi aplitic yang ditemukan pada beberapa lokasi di daerah ini. Batuan dasar ini ditindih secara tidak selaras oleh Formasi Meluhu yang berumur Trias Atas. Formasi Meluhu secara umum disusun oleh batupasir, serpih dan batulumpur Lingkungan Pengendapan Sungai Berkelok Pada sungai tipe ini erosi secara umum lemah sehingga pengendapan sedimen kuat. Erosi horisontalnya lebih besar dibandingkan erosi vertikal, perbedaan ini semakin besar pada waktu banjir. Hal ini menyebabkan aliran sungai sering berpindah tempat secara mendatar. Ini terjadi karena adanya pengikisan horisontal pada tepi sungai oleh aliran air utama yang pada daerah kelokan sungai pinggir luar dan pengendapan pada kelokan tepi dalam. Kalau proses ini berlangsung lama akan mengakibatkan aliran sungai semakin bengkok. Fasies Menurut Walker dan James (1992) menyatakan bahwa fasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki kombinasi karakteristik yang khas dilihat dari litologi, struktur sedimen dan struktur biologi memperlihatkan aspek fasies yang berbeda dari tubuh batuan yang yang ada di bawah, atas dan di sekelilingnya. Menurut Walker dan James (1992) asosiasi fasies merupakan suatu kumpulan dari fasies fasies yang secara genetik saling berhubungan satu Gambar 1. Sketsa lingkungan pengendapan di sungai berkelok (Nichols, 2009) Lingkungan Pengendapan Tidal Flat Berdasarkan pada elevasinya terhadap tinggi rendahnya pasang surut, lingkungan tidal flat dapat dibagi menjadi tiga zona, yaitu subtidal, intertidal dan supratidal.

Gambar 2. Pembagian zona-zona pada lingkungan tidal flat (Boggs, 1987) METODOLOGI Studi Pustaka Metode studi pustaka dilakukan untuk menambah pengetahuan dasar dari rekonstruksi tektonik daerah penelitian dan teori dasar mengenai fasies dan lingkungan pngendapan pada batuan jenis silisiklastik. Studi pustaka yang digunakan dalam penyusunan Tugas Akhir ini adalah buku-buku referensi maupun jurnal-jurnal ilmiah. Metode Survei Lapangan Metode survei yang diterapkan pada penelitian kali ini meliputi kegiatan pengukuran penampang stratigrafi pada lintasan terpilih dalam peta topografi Cekungan Kendari dengan skala 1:250.000 yaitu lintasan LS301, LS303, dan LS306 Metode analisis Analisis litofasies, Asosiasi fasies, Analisis petrografi, Analisis urutan umur relatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengukuran Penampang Stratigrafi Lintasan LS301 Dari hasil pengamatan di lapangan terdapat beberapa tipe litofasies penciri yang dapat dideskripsikan antara lain sebagai berikut: 1. Serpih berstruktur perlapisan dengan lensa batupasir - Litofasies serpih perlapisan 2. Batupasir halus berstruktur gradded bedding - Litofasies batupasir halus gradded bedding 3. Batupasir halus berstruktur laminasi - Litofasies batupasir halus laminasi 4. Batupasir sedang berstruktur ripple mark dan laminasi - Litofasies batupasir sedang ripple laminasi 5. Batulanau berstruktur massif dan bernodul lempung coklat kemerahan - Litofasies lanau masif 6. Serpih berstruktur lentikuler - Litofasies serpih lentikuler 7. Batupasir halus berstruktur flaser - Litofasies batupasir halus flaser Asosiasi fasies Asosiasi fasies lintasan LS301 No Litofasies Interpretasi Fasies 1 Serpih lentikuler, Serpih Mud Flat perlapisan 2 Lanau masif, Serpih Mixed Flat perlapisan 3 Batupasir halus flaser, Batupasir sedang ripple laminasi, Batupasir halus laminasi Sand Flat

4 Batupasir halus gradded bedding Tidal Channel Asosiasi Fasies1 - Mud Flat Fasies mud flat ini merupakan fasies yang terbentuk pada zona pasang surut bagian atas. Proses pasang surut dengan tingkat yang tinggi akan menghasilkan suatu endapan dengan butiran halus seperti serpih dan lanau karena energi pasang surut yang semakin menjauhi garis pantai akan mengalami penurunan energi, dan penurunan energi ini akan mendukung terendapkannya material sedimen halus. Jadi dalam pengaruh pasang surut, suatu kawasan sedimen bermaterial halus justru menunjukkan endapan yang mendekati wilayah daratan. Gambar 4. Endapan batulanau sebagai fasies mixed flat Asoiasi fasies 3 - Sand flat Fasies sand flat dilihat dari kombinasi litofasies penyusunnya dapat diinterpretasikan telah terbentuk di bagian bawah dari zona pasang surut. Energi pengendapan yang mendukung terbentuknya fasies ini juga cenderung tinggi dibandingkan fasies mud flat dan mixed flat berdasarkan ukuran butir yang mendominasi fasies ini berupa pasir halus dan pasir sedang. Gambar 3. Fasies mud flat pada lintasan LS301 Asosiasi Fasies 2 - Mixed flat Fasies mixed flat dilihat dari kombinasi litofasies yang menyusunnya secara konseptual terletak pada zona pasang surut bagian tengah dan berada di bawah fasies mud flat. Energi pengendapan yang mendukung terbentuknya fasies ini juga cenderung lebih tinggi dibandingkan fasies mud flat, terbukti ditemukannya endapan-endapan sedimen kasar berupa lensa batupasir halus maupun lapisan batulanau. Gambar 5. Fasies sand flat pada lintasan LS301 Asosiasi Fasies 4 - Tidal channel Fasies tidal channel dilihat dari litofasies yang menyusunnya diinterpretasikan terbentuk di lingkungan pasang surut dengan energi transportasi lebih tinggi dibandingkan fasies mud flat, mixed flat, dan sand flat.

2. Batupasir halus hingga sedang berstruktur perlapisan dan silang siur planar - Litofasies batupasir silang siur Gambar 6. Fasies tidal channel pada lintasan LS301 Pembagian Zona dan Lingkungan Pengendapan. Asosiasi fasies Asosiasi fasies lintasan LS303 No Litofasies Interpretasi Fasies 1 Batupasir silang siur Channel Fill 2 Serpih laminasi Overbank Asosiasi Fasies1 Channel Fill Fasies channel fill dilihat dari susunan litofasiesnya yang terdiri dari sedimen pasir yang tergolong kasar yaitu batupasir halus hingga sedang menandakan telah terbentuk oleh energi pengendapan yang cukup tinggi. Keberadaan struktur silang siur planar didukung dengan tidak ditemukannya karbonatan dalam batupasir di fasies ini memperkuat asumsi bahwa fasies ini terbentuk cenderung di darat dan memperlihatkan karakteristik dari channel fill Gambar 7. Pembagian fasies, zona, dan lingkungan pengendapan pada lintasan LS301 Hasil Pengukuran Penampang Stratigrafi Lintasan LS303 Dari hasil pengamatan di lapangan terdapat beberapa tipe litofasies penciri yang dapat dideskripsikan antara lain sebagai berikut: 1. Serpih berstruktur laminasi - Litofasies serpih laminasi Gambar 8. Fasies channel fill pada lintasan LS303

Asosiasi Fasies 2 - Overbank Struktur sedimen yang ditemukan hanya laminasi parallel didukung dengan komposisi semen yang non karbonatan, merupakan keadaan penciri dari fasies overbank yang dahulu sebagai daerah dataran banjir bagi aliran sungai. Melihat ukuran butir sedimen yang halus dan strukturnya laminasi parallel, menandakan bahwa fasies ini terbentuk akibat fase pengendapan yang berganti-ganti dengan energi pengendapan yang rendah. Gambar 9. Fasies overbank pada lintasan LS303 Pembagian Zona dan Lingkungan Pengendapan Dari hasil pengamatan di lapangan terdapat beberapa tipe litofasies penciri yang dapat dideskripsikan antara lain sebagai berikut: 1. Batupasir halus berstruktur flaser dan laminasi - Litofasies batupasir halus flaser 2. Serpih berstruktur laminasi - Litofasies serpih laminasi 3. Batupasir sedang berstruktur perlapisan dan gradded bedding - Litofasies batupasir sedang gradded bedding 4. Batupasir halus berstruktur perlapisan dan silang siur planar - Litofasies batupasir silang siur 5. Serpih berstruktur laminasi dan lentikuler - Litofasies Serpih lentikuler Asosiasi fasies Asosiasi fasies lintasan LS306 No Litofasies Interpretasi Fasies 1 Serpih lentikuler Mud Flat 2 Batupasir halus flaser Sand Flat 3 Batupasir silang siur, Batupasir sedang gradded bedding Channel Fill 4 Serpih laminasi Overbank Gambar 10. Pembagian fasies dan lingkungan pengendapan pada lintasan LS303 Hasil Pengukuran Penampang Stratigrafi Lintasan LS306 Asosiasi Fasies1 - Mud Flat Fasies mud flat ini merupakan fasies yang terbentuk pada zona pasang surut bagian atas. Peristiwa pasang surut dengan tingkat yang tinggi akan menghasilkan suatu endapan dengan butiran halus seperti serpih dan lanau karena energi pasang surut yang semakin

menjauhi garis pantai akan mengalami penurunan energi, dan penurunan energi ini akan mendukung terendapkannya material sedimen halus. Jadi dalam pengaruh pasang surut, suatu lingkungan sedimen bermaterial halus justru menunjukkan endapan yang mendekati wilayah daratan. yang tergolong kasar yaitu batupasir halus hingga sedang menandakan telah terbentuk oleh energi pengendapan yang cukup tinggi. Keberadaan struktur silang siur planar dan bidang scouring di bagian bawah lapisan, didukung dengan tidak ditemukannya karbonatan dalam batupasir di fasies ini memperkuat asumsi bahwa fasies ini terbentuk cenderung di darat dan memperlihatkan karakteristik dari channel fill sendiri. Gambar 11. Fasies mud flat pada lintasan LS306 Asoiasi fasies 2 - Sand flat Fasies sand flat dilihat dari litofasies penyusunnya maka dapat diinterpretasikan telah terbentuk pada zona pasang surut bagian bawah. Energi pengendapan yang mendukung terbentuknya fasies ini juga cenderung tinggi dibandingkan fasies mud flat, terbukti dengan jelas terlihat endapan-endapan yang mendominasi fasies ini berupa sedimen kasar seperti batupasir halus dan batupasir sedang Gambar 13. Fasies channel fill pada lintasan LS306 Asosiasi Fasies 4 - Overbank Struktur sedimen yang ditemukan hanya laminasi parallel didukung dengan komposisi semen yang non karbonatan, merupakan keadaan penciri dari fasies overbank yang dahulu sebagai daerah dataran banjir bagi aliran sungai. Melihat ukuran butir sedimen yang halus dan strukturnya laminasi parallel, menandakan bahwa fasies ini terbentuk akibat fase pengendapan yang berganti-ganti dengan energi pengendapan yang rendah. Gambar 12. Fasies sand flat pada lintasan LS306 Asoiasi fasies 3 Channel Fill Fasies channel fill dilihat dari susunan litofasiesnya yang terdiri dari sedimen pasir Gambar 14. Fasies overbank pada lintasan LS306

Pembagian Zona dan Lingkungan Pengendapan. Gambar 15. Pembagian fasies dan lingkungan pengendapan pada lintasan LS306 Perubahan Fasies dan Lingkungan Pengendapan Secara Vertikal di Blok A Perubahan fasies dan lingkungan pengendapan secara vertikal di blok A diketahui melalui analisis semua lintasan secara keseluruhan yang dikaitkan dengan kedudukan perlapisan batuan di tiap lintasan Dari kedudukan perlapisan di tiap lintasan, apabila diurutkan berdasarkan umur relatif maka diketahui lintasan LS301 berumur paling tua, di tengah ada lintasan LS303, dan yang terakhir adalah lintasan LS306 sebagai lintasan yang paling muda. Dari informasi umur relatif antar lintasan ini, maka dapat diketahui pula pola perubahan fasies dan lingkungan pengendapan pada blok A secara vertikal dan menyeluruh yakni dari fasies-fasies dan lingkungan tidal flat yang dominan terdapat pada lintasan LS301 sebagai bagian yang paling tua, berubah menjadi fasies-fasies dan lingkungan pengendapan fluvial channel yang dominan terdapat pada lintasan LS303 dan LS306. Kemudian jika dibuktikan kembali dengan kurva eustasi oleh Haq (1987) maka pola perubahan fasies dan lingkungan pengendapan pada blok A yang merupakan bagian dari Formasi Meluhu dan berumur Trias Atas ini cukup mendukung. Dalam pemaparan kurva eustasi oleh Haq (1987) pola perubahan tingkat muka air laut global pada zaman Trias Atas menunjukkan peristiwa regresi atau penurunan muka air laut hingga mendekati akhir dari zaman Trias Atas. Sedangkan dari hasil penelitian yang mencakup 3 lintasan ini juga memperlihatkan pola perubahan yang sama, yaitu endapan yang lebih tua yang didominasi oleh endapan tidal flat berubah secara vertikal menjadi dominan endapan fluvial channel Gambar 16. Pola 2 dimensi kedudukan perlapisan di tiap lintasan stratigrafi terukur dan urutan umur relatif lintasan batuan di Blok A

yang berada di lingkungan pengendapan fluvial. 2. Dari hasil analisis umur relatif, maka diketahui urutan umur relatif antar lintasan dari tua ke muda adalah lintasan LS301, LS303, dan LS306, kemudian perubahan vertikal fasies dan lingkungan pengendapan dimulai dari lingkungan pengendapan tidal flat kemudian berubah menjadi fluvial. Apabila dibandingkan dengan kurva eustasi pada zaman trias atas oleh Haq (1987) yang menunjukkan pola penurunan muka air laut, maka perubahan vertikal pada Blok A cocok dengan fakta di lapangan. Gambar 17. Urutan umur relatif dan korelasi tiap lintasan stratigrafi terukur pada Blok A dengan kurva eustasi (berdasarkan Haq, 1987) KESIMPULAN 1. Dari rangkaian analisis dari penentuan litofasies hingga asosiasi fasies, didapatkan hasil berupa tipe fasies dan lingkungan pengendapan di tiap lintasan pengukuran penampang stratigrafi di Blok A, yakni sebagai berikut: a. Lintasan LS301 memiliki tipe fasies mud flat, mixed flat, sand flat, dan tidal channel, dan berada di zona intertidal pada lingkungan pengendapan tidal flat. b. Lintasan LS303 memiliki tipe fasies overbank dan channel fill, dan berada pada lingkungan pengendapan fluvial. c. Lintasan LS306 memiliki tipe fasies mud flat dan sand flat yang berada di lingkungan pengendapan tidal flat, serta fasies overbank dan channel fill SARAN Pelaksanaan penelitian fasies dan lingkungan pengendapan yang menggunakan metode pengukuran penampang stratigrafi langsung di lapangan sebaiknya menggunakan standar jumlah lintasan dan interval jarak antar lintasan pada suatu daerah penelitian agar dalam tahap interpretasi didukung oleh data yang lebih akurat dan rapi. UCAPAN TERIMA KASIH 1. Ir. Ir. Hadi Nugroho, Dipl, EGS. MT dan Yoga Ariwibowo, ST, MT selaku pembimbing Tugas Akhir di Kampus Teknik Geologi Universitas Diponegoro. 2. Lauti Dwita Santi selaku pembimbing penelitian di Pusat Survei Geologi 3. Sahabat-sahabat Teknik Geologi angkatan 2007

DAFTAR PUSTAKA Batist dan Jacob. 1996. Geology of Siliciclastic Shealf Seas. The Geological Society: London Boggs, S. Jr. 1987. Principles of Sedimentology and Stratigraphy. Merril Publishing Company : Ohio. Einsele, G. 1992. Sedimentary Basins. Evolution, Facies, and Sediment Budget. New York: Springer-Verlag. Hendratno, Agus. 2005. Lecture Note Petrografi. Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta Krumbein, W.C and Sloss L.L. 1951. Stratigraphy and Sedimentation. California: W. H. Freeman and Company Nazir, M. 1983. Metode Penelitian, Ghalia Indonesia Darussalam: Jakarta. Nichols, Garry. 2009. Sedimentology and Stratigraphy. UK: Willey Blackwell Pub. Slatt, Roger. 2006. Stratigraphic Reservoir Characterization for Petroleum Geologists, Geophysicists, and Engineers. University of Oklahoma, Oklahoma, USA. Stelting, C.E. 2000. Fine-Grained Turbidite System: Overview. AAPG Memoir 72/SEPM. USA Sukardi. 2006. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara Surono. 2008. Geology of The Southeast Arm of Sulawesi. Bandung: Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Walker, R.G., dan James, N.P. 1992. Facies Models : Response To Sea Level Change. Geological Association of Canada: Ontario.