MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT Penyakit Tropis yang Terabaikan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

Proses Penularan Penyakit

BAB I PENDAHULUAN.

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan

BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian

BAB I PENDAHULUAN. menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

BAB 1 PENDAHULUAN. Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment

FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI PUSKESMAS TIRTO I KABUPATEN PEKALONGAN

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

Prevalensi pre_treatment

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari spesies, stadium larva

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 RANGKUMAN Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah.

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Filariasis limfatik atau Elephantiasis adalah. penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit di mana

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang

DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF THE PEOPLE AT NANJUNG VILLAGE RW 1 MARGAASIH DISTRICT BANDUNG REGENCY WEST JAVA ABOUT FILARIASIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. manusia melalui perantara vektor penyakit. Vektor penyakit merupakan artropoda

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ABSTRAK PREVALENSI FILARIASIS DI KOTA BEKASI PERIODE

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN UKDW. sebagai vektor penyakit seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN

BAB XX FILARIASIS. Hospes Reservoir

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa tahun terakhir, penyakit yang ditularkan oleh nyamuk cenderung

KEPADATAN NYAMUK TERSANGKA VEKTOR FILARIASIS DI DESA PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS, DESA JALAKSANA KABUPATEN KUNINGAN DAN BATUKUWUNG KABUPATEN SERANG

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah tropis antara lain adalah malaria dan filariasis merupakan masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. klinis, penyakit ini menunjukkan gejala akut dan kronis. Gejala akut berupa

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses terjadinya penyakit terdapat tiga elemen yang saling berperan

Faktor Risiko Kejadian Filarisis Limfatik di Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi

ABSTRAK. Pembimbing I : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc Pembimbing II : Hartini Tiono, dr.,m. Kes

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak lama tetapi kemudian merebak kembali (re-emerging disease). Menurut

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT FILARIASIS DI KABUPATEN BEKASI, PROVINSI JAWA BARAT PERIODE

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan famili flaviviridae

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah. Filariasis limfatik atau yang biasa disebut dengan kaki

ARTIKEL SISTEM KEWASPADAAN DIM KLB MALARIA BERDASARKAN CURAH HUJAN, KEPADATAN VEKTOR DAN KESAKITAN MALARIA DIKABUPATEN SUKABUMI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh virus dengue dari genus Flavivirus. Virus dengue

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah salah. satu penyakit yang menjadi masalah di negara-negara

Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis di Indonesia. No ISBN :

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.

SITUASI FILARIASIS DI KABUPATEN SUMBA TENGAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Nyamuk merupakan salah satu golongan serangga yang. dapat menimbulkan masalah pada manusia karena berperan

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara. Terdapat empat jenis virus dengue, masing-masing dapat. DBD, baik ringan maupun fatal ( Depkes, 2013).

PENGOBATAN FILARIASIS DI DESA BURU KAGHU KECAMATAN WEWEWA SELATAN KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

BAB I PENDAHULUAN. klasifikasinya nyamuk dibagi dalam dua subfamili yaitu Culicinae yang terbagi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Chikungunya merupakan penyakit re-emerging disease yaitu penyakit

HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi Nyamuk

RISIKO KEJADIAN FILARIASIS PADA MASYARAKAT DENGAN AKSES PELAYANAN KESEHATAN YANG SULIT

BAB I PENDAHULUAN. Data statistik WHO menyebutkan bahwa diperkirakan sekitar 3,2 milyar

ABSTRAK STUDI KASUS PENENTUAN DAERAH ENDEMIS FILARIASIS DI DESA RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG JAWA BARAT TAHUN 2008

Epidemiology of filariasis in Nunukan. Epidemiologi filariasis di Kabupaten Nunukan. Penelitian. Vol. 4, No. 4, Desember 2013

FAKTOR RISIKO KEJADIAN FILARIASIS DI KELURAHAN JATI SAMPURNA

BIOEDUKASI Jurnal Pendidikan Biologi e ISSN Universitas Muhammadiyah Metro p ISSN

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus.

STUDl KOMUNITAS NYAMUK TERSANGKA VEKTOR FILARIASIS DI DAERAH ENDEMIS DESA GONDANGLEGI KULON MALANG JAWA TIMUR. Oleh : Akhmad Hasan Huda

TUGAS PERENCANAAN PUSKESMAS UNTUK MENURUNKAN ANGKA KESAKITAN FILARIASIS KELOMPOK 6

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dari 17% penyakit infeksi ditularkan melalui gigitannya dan lebih dari 1 juta orang

BAB I PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi

DINAMIKA PENULARAN DAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN FILARIASIS DI KECAMATAN KUMPEH KABUPATEN MUARO JAMBI TAHUN 2014

ANALISIS PRAKTIK PENCEGAHAN FILARIASIS DAN MF-RATE DI KOTA PEKALONGAN

V. PEMBAHASAN UMUM. Pengamatan di daerah pasang surut Delta Upang menunjukkan. bahwa pembukaan hutan rawa untuk areal pertanian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di awal atau penghujung musim hujan suhu atau kelembaban udara umumnya

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Gambaran Pengobatan Massal Filariasis ( Studi Di Desa Sababilah Kabupaten Barito Selatan Kalimantan Tengah )

I. PENDAHULUAN. Diantara kota di Indonesia, Kota Bandar Lampung merupakan salah satu daerah

B A B 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing filaria kelompok nematoda, dan ditularkan oleh gigitan berbagai jenis

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR. Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015

Kata kunci: filariasis; IgG4, antifilaria; status kependudukan; status ekonomi; status pendidikan; pekerjaan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Filariasis Limfatik atau penyakit Kaki Gajah merupakan salah

Transkripsi:

MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT Penyakit Tropis yang Terabaikan Endang Puji Astuti Mara Ipa M. Umar Riandi Tri Wahono Lukman Hakim (editor) PENERBIT Penerbit PT PT KANISIUS Kanisius

Mengenal Filariasis di Jawa Barat 1014000024 2014 PT Kanisius PENERBIT PT KANISIUS (Anggota IKAPI) Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55281 Kotak Pos 1125/Yk, Yogyakarta 55011 Telepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349 Website : www.kanisiusmedia.com E-mail : office@kanisiusmedia.com Cetakan ke 3 2 1 Tahun 15 14 13 Desain Isi Desain Sampul : Nael : Yudi ISBN 978-979-21-3969-3 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit. Dicetak oleh Percetakan PT Kanisius Yogyakarta

Kata Pengantar Semangat Pagi! Filariasis (penyakit kaki gajah) yang ditularkan melalui vektor nyamuk, telah lama menjadi ancaman bagi masyarakat. Namun, hal itu dianggap tidak penting dan tidak menjadi target utama pengendalian penyakit menular karena tidak menimbulkan kematian. Padahal, sebenarnya penyakit ini menimbulkan kecacatan, stigma sosial, hambatan psikososial, serta penurunan produktivitas bagi penderita, keluarga, dan masyarakat sehingga berujung pada kerugian ekonomi. Buku ini hadir untuk mengenalkan filariasis di Jawa Barat dengan tujuan agar seluruh pihak terkait dapat mengenal lebih jauh serta mendapatkan informasi dan semoga dapat menunjang program eliminasi. Namun, buku ini tentulah masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan sumbang saran guna melengkapi dan memperbaikinya. Terima kasih kepada tim penulis yang telah memberikan kontribusi, serta kepada semua pihak yang telah membantu dan memberi dukungan sehingga buku ini dapat diterbitkan. Salam Lukman Hakim (editor) iii

Daftar Isi Kata Pengantar... Daftar Isi... iii v Bab 1 FILARIASIS PENYAKIT YANG TERABAIKAN... 1 M. Umar Riandi, Tri Wahono Bab 2 EPIDEMIOLOGI FILARIASIS... 19 Endang Puji Astuti, Mara Ipa Bab 3 UPAYA PENCEGAHAN & PENGENDALIAN FILARIASIS... 45 Tri Wahono, M. Umar Riandi Bab 4 DUA PILAR ELIMINASI FILARIASIS... 65 Mara Ipa, Endang Puji Astuti v

Daftar Tabel Tabel 4.1. Dosis Obat Berdasarkan Berat Badan... 68 Tabel 4.2. Dosis Obat Berdasarkan Umur... 68 Tabel 4.3. Pengobatan Filariasis di Indonesia Tahun 1970 - Sekarang... 69 Tabel 4.4. Rencana Cakupan POMP Filariasis Kabupaten/Kota Tahun 2010-2014 di Indonesia... 72 Tabel 4.5. Pelaksanaan POMP Filariasis di Provinsi... Jawa Barat Tahun 2013... 74 Tabel 4.6. Stadium Limfedema... 81

Daftar Gambar Gambar 1.1. Penyebaran Filariasis Limfatik Dunia pada Tahun 2006... 2 Gambar 1.2. Mikrofilaria a) W. brancofti, b) B. malayi, dan c) B. timori... 3 Gambar 1.3. Cacing; a) Loa loa di jaringan mata; b) O. volvulus, dan c) M. streptpcerca... 4 Gambar 1.4. Mikrofilaria; a) Mansonella perstans dan b) M. ozzardi, sedikit patogen terhadap manusia... 5 Gambar 1.5. Jan Huyghen van Linscheton (1563-1611)... 6 Gambar 1.6. Gejala akut penyakit filariasis limfatik... 7 Gambar 1.7. Siklus Hidup Cacing Filariasis (W. bancrofti)... 10 Gambar 1.8. Nyamuk-nyamuk yang Bisa Menjadi Vektor Penyakit Filariasis... 11 Gambar 1.9. Peta Endemisitas Filariasis di Indonesia Tahun 2009... 12 Gambar 2.1. Kasus Klinis Filariasis di Indonesia Tahun 2000 2009... 21 Gambar 2.2. Jumlah Penderita Filariasis per Provinsi di Indonesia Tahun 2009... 22 vii

viii Mengenal Filariasis di Jawa Barat Gambar 2.3. Distribusi Kasus Kronis dan Kematian Filariasis di Provinsi Jawa Barat Tahun 2002 - Juni 2013. 23 Gambar 2.4. Distribusi Kasus Positif Microfilaria Per Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat per tahun, 1999-2005... 24 Gambar 2.5. Distribusi Kasus Positif Microfilaria Per Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat, 2006-2010... 25 Gambar 2.6. Siklus Penularan Filariasis (Wuchereria bancrofti)... 28 Gambar 2.7. Distribusi Positif Mikrofilaria di Provinsi Jawa Barat Tahun 2002 - Juni 2013... 30 Gambar 2.8. Morfologi Wuchereria bancrofti... 31 Gambar 2.9. Larva Culex spp... 37 Gambar 2.10 Nyamuk Culex quinquefasciatus... 38 Gambar 2.11. Breeding Places Nyamuk di Desa Panumbangan, Kabupaten Ciamis... 40 Gambar 2.12. Breeding Places Nyamuk di Desa Jalaksana, Kabupaten Kuningan... 40 Gambar 3.1. Penyemprotan Nyamuk Dewasa/Fogging... 48 Gambar 3.2. Abate 1G (Temephos 1%)... 49 Gambar 3.3. Berbagai Tanaman yang Bisa Digunakan sebagai Larvasida... 50 Gambar 3.4. Repellent Bahan Kimia Buatan... 51 Gambar 3.5. Berbagai tanaman yang bisa digunakan sebagai repellent... 52 Gambar 3.6. Berbagai ikan pemakan larva/jentik... 53 Gambar 3.7. Bacillus Thuringiensis... 54 Gambar 3.8. Pengendalian Vektor secara Fisik... 55

Mengenal Filariasis di Jawa Barat ix Gambar 3.9. Program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melalui Program 3M (Menguras, Menutup, Mengubur)... 56 Gambar 4.1. Obat Filariasis (DEC, Albendazole dan Paracetamol)... 71 Gambar 4.2. Peta Sebaran Mf Rate dan Kegiatan POMP Filariasis di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012... 73 Gambar 4.3. Cakupan Pengobatan POMP Filariasis Provinsi Jawa Barat Tahun 2012... 78 Gambar 4.4. Limfedema Stadium 1... 82 Gambar 4.5. Limfedema Stadium 2... 82 Gambar 4.6. Limfedema Stadium 3... 83 Gambar 4.7. Limfedema Stadium 4... 83 Gambar 4.8. Limfedema Stadium 1... 84 Gambar 4.9. Limfedema Stadium 1... 85 Gambar 4.10. Limfedema Stadium 1... 85 Gambar 4.11. Lymp Scrotum... 86 Gambar 4.12. Hidrokel... 86 Gambar 4.13. Gambar Rapor Perkembangan Penderita Filariasis Kronis Terapi LDR di Kabupaten Bandung, Jawa Barat... 88 Gambar 4.14. Penderita Filariasis di Kabupaten Bandung... 88 Gambar 4.15. Penderita Filariasis di Kabupaten Kuningan... 89

Bab 1 FILARIASIS PENYAKIT YANG TERABAIKAN M. Umar Riandi Tri Wahono Pendahuluan Ketika kata Filariasis atau penyakit kaki gajah diucapkan kepada Anda, apa yang terlintas di benak Anda? Apakah bayangan seseorang dengan deformasi tungkai kaki? Lalu, apalagi? Jika dikatakan bahwa penyakit kaki gajah memiliki ancaman yang sama besar dengan penyakit demam berdarah dengue, apa yang terlintas dipikiran Anda? Mungkin sebagian dari Anda berpikir bahwa Filariasis bukan penyakit yang berbahaya, tidak menimbulkan kematian. Namun, kecacatan seumur hidup yang jika dipikirkan kembali, lebih banyak menimbulkan kerugian ekonomi dan sosial. Tahukah Anda, bahwa Filariasis merupakan penyakit yang mudah menular, semudah penyebaran DBD atau malaria. Di seluruh dunia, ada 120 juta orang terinfeksi limfatik filariasis dan 1,3 milyar orang berada pada risiko terinfeksi. Penduduk di 83 negara berisiko terinfeksi filariasis, terutama di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis, seperti Asia, Afrika, dan Pasifik Barat. Dari 1,3 milyar 1

2 Mengenal Filariasis di Jawa Barat penduduk tersebut, 851 juta di antaranya tinggal di Asia Tenggara. Indonesia menjadi negara dengan kasus filariasis paling tinggi. Pada komunitas di daerah endemis filariasis, sekitar 10% wanita dapat mengalami pembengkakan tungkai dan 50% pria dapat mengalami kelainan kaki dan organ genitalia akibat penyakit ini (WHO, 2010; Juriastuti et al. 2010). Kondisi tersebut berpengaruh dalam kehancuran masa depan dan kualitas hidup korban, bukan hanya memengaruhi fisik saja, tetapi juga emosional dan ekonomi. Filariasis merupakan penyakit parasit (umumnya disebut penyakit infeksi tropis) yang disebabkan oleh cacing nematoda yang berasal dari superfamili Filarioidea atau dikenal juga dengan Filariae. Cacing parasit ini disebarkan oleh anthropoda pengisap darah, umumnya lalat hitam dan nyamuk. Gambar 1.1 Penyebaran Filariasis Limfatik Dunia pada Tahun 2006 Sumber: WHO, 2008

Mengenal Filariasis di Jawa Barat 3 Ada delapan nematoda filaria yang menggunakan manusia sebagai inang definitifnya. Parasit tersebut dibagi dalam tiga kelompok berdasarkan relung cacing dalam tubuh manusia (www.jurnalmedika.com) sebagai berikut. 1. Filariasis Limfatik Filariasis ini disebabkan oleh cacing Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan B. timori. Cacing-cacing ini menempati sistem limfatik tubuh, termasuk nodus limfa. Pada kasus kronis, cacing ini menyebabkan penyakit elephantiasis (kaki gajah). a b c Gambar 1.2 Mikrofilaria a) W. brancofti, b) B. malayi, dan c) B. timori Sumber: www.dpd.cdc.gov; www. stanford.edu 2. Filariasis Subkutan Filariasis ini disebabkan oleh cacing Loa loa (cacing mata Afrika), Mansonella streptocerca, dan Onchocerca volvulus. Cacing ini mendiami lapisan subkutan kulit, pada lapisan lemak. Cacing L. loa menyebabkan loiasis, sedangkan O. vulvulus menyebabkan river blindness.

4 Mengenal Filariasis di Jawa Barat a b c Gambar 1.3 Cacing a) Loa loa di jaringan mata, b) O. volvulus, dan c) M. streptocerca Sumber: www.stanford.edu; www.dpd.cdc.gov; www.icp.upl.ac.be 3. Filariasis Rongga Serosa Filariasis ini disebabkan oleh cacing M. perstans dan M. ozzardi, yang mendiami rongga serosa dan abdomen. Cacing dewasa yang biasanya mendiami pada satu jaringan, mengeluarkan larva stadium awal yang dikenal sebagai mikro filaria ke dalam peredaran darah inang. Mikrofilaria yang beredar dalam aliran darah ini dapat terbawa bersama darah yang diisap oleh vektor arthropoda, seperti nyamuk dan lalat pengisap darah. Dalam tubuh vektor, mikrofilaria berkembang menjadi larva yang infektif dan dapat ditransmisikan ke inang yang baru.

Mengenal Filariasis di Jawa Barat 5 a b Gambar 1.4 Mikrofilaria a) Mansonella perstans dan b) M. ozzardi, sedikit patogen terhadap manusia. Sumber: www.phsource.us Individu yang terinfeksi oleh cacing filaria dapat dikatakan mengidap microfilaraemic atau amicrofilaraemic bergantung ada atau tidaknya miklorilaria pada darah tepi. Filariasis didiagnosa dari kasus microfilaraemic melalui observasi langsung sediaan darah tepi atau survei darah jari (SDJ). Occult filariasis (filariasis tersembunyi/ asymptomatis) didiagnosa dari kasus amicrofilaraemic melalui observasi klinis, dan dalam beberapa kasus, dengan menemukan antigen yang beredar dalam darah. Sejarah Filariasis Filariasis diduga telah menginfeksi manusia sejak 4000 tahun yang lalu. Artefak dari Mesir Kuno (2000 SM) dan dari Peradaban Nok di Afrika Barat (500 SM) memperlihatkan kemungkinan gejala penyakit kaki gajah. Referensi yang jelas mengenai penyakit ini terdapat pada literatur Yunani Kuno, dimana para pelajar membedakan gejala yang sering dialami penderita limfatik filariasis mirip dengan gejala penyakit kusta.

6 Mengenal Filariasis di Jawa Barat Gambar 1.5 Jan Huyghen van Linscheton (1563-1611) Sumber: www.linschoten-vereeniging.nl Dokumentasi pertama mengenai gejala filariasis didapat pada abad ke-16, ketika Jan Huyghen van Linscheton menulis mengenai hal tersebut dalam ekspedisinya ke Goa India. Gejala yang mirip juga dilaporkan dari beberapa eksplorasi setelahnya di wilayah Asia dan Afrika. Meskipun demikian, pemahaman mengenai penyakit ini tidak berkembang hingga satu abad kemudian. Pada tahun 1866, Timothy Lewis, berdasarkan hasil temuan dari Jean-Nicolas Demarquay dan Otto Henry Wucherer, membangun pemahaman mengenai hubungan mikrofilaria dan elephantiasis (kaki gajah). Hal ini menjadi landasan bagi penelitian yang akhirnya dapat menjelaskan penyakit elephantiasis. Pada tahun 1876, Joseph Bancroft menemukan bentuk dewasa cacing penyebab filariasis. Pada tahun 1877, siklus hidup yang melibatkan arthrophoda dikemukakan oleh Patrick Manson, yang selanjutnya menjadi awal penemuan keberadaan cacing tersebut di nyamuk. Meskipun pada saat itu, Manson salah menyimpulkan hipotesis bahwa cacing tersebut ditransmisikan melalui kontak kulit dengan air dimana nyamuk tersebut

Mengenal Filariasis di Jawa Barat 7 meletakkan telurnya. Hingga pada tahun 1900, George Chamichael Low menemukan metode penularan sebenarnya karena menemukan keberadaan cacing di probosis nyamuk vektor (filariasis.org.uk). Gejala dan Tanda Infeksi Gejala kronis filariasis limfatik adalah elephantiasis atau kaki gajah edema dengan penebalan kulit dan jaringan di bawahnya merupakan penyakit pertama yang ditemukan karena transmisi oleh gigitan nyamuk. Elefantiasis terjadi ketika parasit sampai ke sistem limfatik. Gambar 1.6 Gejala akut penyakit filariasis limfatik Sumber: magelangimages.wordpress.com Spesies cacing filaria cenderung memengaruhi bagian tubuh yang berbeda. Spesies W. brancofti dapat memengaruhi

8 Mengenal Filariasis di Jawa Barat kaki, lengan, vulva, payudara, dan skrotum (menyebabkan formasi hidrokel), sementara B. timori jarang memengaruhi organ genitalia. Uniknya, seseorang yang terinfeksi filaria kronis dan menjadi elefantiasis, biasanya amikrofilaremik dan sering kali memiliki reaksi imunologi terhadap mikrofilaria serta cacing filaria dewasa. Diagnosis Diagnosis filariasis umumnya dengan identifikasi mikrofilaria secara mikroskopis. Dengan bantuan pewarnaan Giemsa sediaan darah apus tipis dan tebal, menggunakan gold standar yang disebut sediaan darah jadi (SDJ) dengan mengambil darah dari kapiler ujung jari. Pembuluh vena yang lebih besar dapat digunakan untuk mengeluarkan darah, namun harus memperhatikan waktu pengambilan darah. Darah harus diambil pada waktu yang sama dengan aktivitas makan serangga vektor. Misalnya, W. bancrofti ditularkan oleh nyamuk yang aktif mengisap darah pada malam hari (nokturnal). Waktu pengambilan darah harus malam hari. Tes provokasi diethyl carbamazine (DEC provocation test) dapat dilakukan untuk memperoleh jumlah parasit pada sampling siang hari dan mengatasi kekurangan survei darah jari. Tes ini memprovokasi mikrofilaria agar bermigrasi ke darah tepi dalam waktu sekitar 1 jam setelah pemberian DEC sehingga dapat dideteksi dengan SDJ. Metode diagnosis lain dapat pula menggunakan metode Polymerase chain reaction (PCR) dan analisis antigen yang mendeteksi antigen filaria dalam darah. Analisis antigen juga dapat digunakan untuk mendeteksi kasus amikrofilaria. Spot survey untuk pemeriksaan antigen melalui ELISA jauh

Mengenal Filariasis di Jawa Barat 9 lebih sensitif dan dapat dilakukan setiap waktu. Saat ini telah tersedia dan ditawarkan berbagai alat diagnostik baru dan telah banyak digunakan untuk alat diagnosis. Salah satunya yang sangat sederhana tanpa memerlukan fasilitas laboratorium yaitu card test untuk mendeteksi antigen parasit yang bersirkulasi, cara kerjanya hanya perlu tetesan darah dari ujung jari. Pada dasarnya teknik tersebut berbasis serologis yang secara riil lebih lemah sensitivitas dan spesifisitasnya dibanding ELISA (Haryuningtyas S., D. & Subekti, D.T., 2004). Aspirasi nodus limfatik dan cairan limfa juga dapat mendeteksi kehadiran mikrofilaria. Pengindraan medis, seperti Computerized Tomography (CT-scan) dan Magnetic resonance imaging (MRI) juga dapat menemukan tanda tarian filaria pada cairan limfa. Pemindaian sinar-x dapat mendeteksi adanya cacing dewasa yang mengalami pengapuran di sistem limfatik. Siklus Hidup Cacing Filaria Cacing filaria memiliki siklus hidup yang rumit, dapat dibedakan menjadi lima tahap. Setelah cacing dewasa melakukan perkawinan, filaria betina menghasilkan ribuan mikrofilaria. Cacing mikrofilaria terbawa oleh vektor serangga (host perantara) seperti nyamuk, ketika mengisap darah manusia. Di dalam host perantara, mikrofilaria melakukan molting (berganti kulit) dan berkembang menjadi larva infektif (tahap ketiga). Saat mengisap darah lainnya, serangga vektor menyuntikkan larva ke dalam lapisan dermis kulit. Setelah sekitar satu tahun, larva melakukan molting hingga dua tahap dan berkembang menjadi cacing dewasa.

10 Mengenal Filariasis di Jawa Barat Spesies W. bancrofti, B. malayi, dan B. timori sebagai penyebab filariasis limfatik hidup eksklusif dalam tubuh manusia. Cacing berada pada sistem limfatik antara pembuluh limfe dan pembuluh darah yang memelihara keseimbangan cairan tubuh dan merupakan komponen yang essensial untuk sistem pertahanan imun tubuh. Cacing hidup selama 4-6 tahun menghasilkan larva (mikrofilaria) yang akan ikut dalam sirkulasi darah (Haryuningtyas S., D. & Subekti, D.T., 2004). Gambar 1.7 Siklus hidup cacing filariasis (W. bancrofti) Sumber: suryapurnama.student.umm.ac.id

Mengenal Filariasis di Jawa Barat 11 Penularan Diperkirakan kurang lebih 77 spesies nyamuk dari genus Anopheles spp, Aedes spp, Culex spp, dan Mansonia spp. dapat mendukung perkembangan W. bancrofti, tetapi secara alami hanya sebagian kecil yang dapat berlaku sebagai vektor. Nyamuk Culex spp. dan Anopheles spp. merupakan vektor utama bentuk periodik nocturnal, sedang bentuk subperiodik ditransmisikan nyamuk Ae. polynesiensis. Pada B. malayi, bentuk periodik nocturnal ditemukan pada area dengan banyak sawah sedangkan bentuk subperiodik nocturnal ditemukan di desa terpencil, perkebunan dan hutan-hutan disekitar sungai. Nyamuk yang menjadi Gambar 1.8 Nyamuk-nyamuk yang bisa menjadi vektor penyakit filariasis Sumber: arali2008.wordpress.com

12 Mengenal Filariasis di Jawa Barat vektor B. malayi adalah nyamuk malam dari genus Mansonia, Aedes dan Culex. Spesies An. barbirostris yang berkembang biak pada area persawahan diketahui sebagai vektor B. timori (Haryuningtyas S., D. & Subekti, D.T., 2004). Endemisitas di Indonesia Filariasis dilaporkan pertama kali di Indonesia oleh Haga dan Van Eecke pada tahun 1889. Dari ketiga jenis cacing filaria penyebab filariasis, B. malayi mempunyai penyebaran paling luas di Indonesia. Spesies B. timori hanya terdapat di Indonesia Timur yaitu di Pulau Timor, Flores, Rote, Alor, dan beberapa pulau kecil di Nusa Tenggara Timur; sedangkan W. bancrofti terdapat di Pulau Jawa, Bali, NTB, dan Papua. Gambar 1.9 Peta Endemisitas Filariasis di Indonesia Tahun 2009 Sumber: Subdit Filariasis & Schistomiasis Direktorat P2B2 (2010)

Mengenal Filariasis di Jawa Barat 13 Hampir seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah endemis filariasis, wilayah Indonesia Timur memiliki prevalensi lebih tinggi. Sejak tahun 2000 hingga 2009 dilaporkan kasus kronis filariasis sebanyak 11.914 kasus yang tersebar di 401 kabupaten/kota. Laporan yang ditindaklanjuti dengan survey endemisitas filariasis, sampai dengan tahun 2009, adalah 337 kabupaten/kota endemis dan 135 kabupaten/ kota nonendemis (Subdit Filariasis & Schistomiasis Direktorat P2B2., 2010). Di Provinsi Jawa Barat, sepanjang tahun 2004-2005 telah dilaporkan kasus filariasis lebih dari 17 kabupaten, di antaranya adalah Bogor (5 kasus), Sukabumi (6 kasus), Cianjur (6 kasus), Garut (7 kasus), Tasikmalaya (7 kasus), Ciamis (7 kasus), Kuningan (4 kasus), Cirebon (4 kasus), Majalengka (1 kasus), Subang (6 kasus), Purwakarta (5 kasus), Karawang (2 kasus), Bekasi (61 kasus), kota bekasi (18 kasus), Kota Sukabumi (4 kasus), dan kota Bandung (1 kasus) (Haryuningtyas S., D. & Subekti, D.T., 2004). Pencegahan dan Pengobatan Mengeliminasi filariasis secara cepat dan ekstrim relatif sulit dilakukan. Meskipun parasit dapat dideteksi secara mikroskopis di dalam darah, penyebaran filariasis cukup sulit dikendalikan karena nyamuk sebagai vektor filariasis sulit untuk dikendalikan. Menurut Haryuningtyas, DS dan Didik Subekti (2004), pencegahan utama yang dapat dilakukan adalah melindungi diri dari gigitan nyamuk pada daerah endemis. Hal ini tentunya sama dengan pencegahan beberapa penyakit yang ditularkan oleh vektor nyamuk, semisal malaria, chikungunya, dan DBD.

14 Mengenal Filariasis di Jawa Barat Pada tahun 1993, International Task Force for Disease Eradication mendeklarasikan bahwa limfatik filariasis sebagai salah satu dari tujuh penyakit infeksi yang potensial untuk dapat diberantas. Beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa transmisi infeksi cacing filaria dapat diputuskan ketika satu dosis obat oral kombinasi diberikan secara berkala selama kurang lebih tujuh tahun. Dengan pengobatan yang konsisten akan terjadi pengurangan mikrofilaria, sehingga penyakit tidak akan ditularkan, cacing dewasa akan mati dan siklus cacing dapat diputuskan. Oleh karena itu, strategi untuk eliminasi penularan limfatik filariasis adalah pemberian obat masal yang dapat membunuh mikrofilaria dan menghentikan penularan parasit oleh nyamuk pada komunitas endemis filariasis. Pemberian obat ini dikenal dengan Pemberian Obat Massal Pencegahan (POMP) Filariasis. Pertama kali dilakukan di Nigeria pada tahun 2009. Pada tahun 2012 dilakukan survei pada 7.100 anak-anak dan 173 sekolah, didapat hasil yang memuaskan. Program POMP mengombinasikan obat albendazole (donasi oleh Glaxo Smithkline) dengan obat ivermectin (donasi Merck & Co) untuk mengobati filariasis (Anon n.d., 2013). Di China, filariasis telah dieliminasi menggunakan garam yang diperkaya dengan diethylcarbamazine (DEC) (WHO, 2007). Obat DEC menghambat metabolisme asam arachidonic pada mikrofilaria yang merusak sistem imun parasit. Pencegahan filariasis lainnya dengan menghindari gigitan nyamuk, tidur menggunakan kelambu berinsektisida. Filariasis menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia sesuai dengan resolusi World Health Assembly (WHA) tahun 1997. Program eleminasi filariasis di dunia dimulai berdasarkan deklarasi WHO tahun 2000, yaitu The Global

Mengenal Filariasis di Jawa Barat 15 Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020. Program eliminasi filariasis di Indonesia dimulai pada tahun 2002. Pada tahun 2010 telah dilaksanakan pemetaan penyakit filariasis seluruh kabupaten/ kota di Indonesia dan didapatkan prevalensi filaria rata-rata 19%. Ini berarti 40 juta penduduk Indonesia bisa menderita filariasis di masa mendatang apabila tidak dilaksanakan POMP dan kegiatan-kegiatan yang terencana menuju eliminasi filariasis di Indonesia tahun 2020. Diperkirakan kerugian ekonomi mencapai 43 trilyun rupiah, jika tidak dilakukan POMP filariasis. Untuk mencapai eliminasi, di Indonesia ditetapkan dua pilar yang akan dilaksanakan memutuskan rantai penularan dengan POMP filariasis di daerah endemis; dan mencegah atau membatasi kecacatan karena filariasis. (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan RI, 2010). Penutup Filariasis limfatik merupakan salah satu penyakit tropis terabaikan tertua dan paling melemahkan; disebabkan oleh 3 spesies utama cacing filaria: W. bancrofti, B. malayi, dan B. timori. Diperkirakan 120 juta manusia di 81 negara saat ini terinfeksi dan 1,34 milyar manusia berisiko terinfeksi karena hidup di wilayah endemis. Diperkirakan juga sekitar 40 juta orang menderita akibat cara pandang yang salah mengenai penyakit ini sehingga menghalangi manifestasi klinis terhadap filariasis. Hal ini termasuk sekitar 15 juta orang yang menderita limfodema (elefantiasis) dan 25 juta laki-laki yang mengalami pembengkakan urogenital (WHO, 2010). Di

16 Mengenal Filariasis di Jawa Barat Indonesia kasus filariasis telah dilaporkan terjadi di berbagai daerah antara lain di Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Papua, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, Tangerang, dan lebih dari 17 Kabupaten di Jawa Barat. Diduga lebih dari 73 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Aedes, Culex, dan Mansonia dapat mendukung perkembangan cacing filaria. Pengendalian filariasis perlu segera dilaksanakan mengingat kasusnya terus meningkat setiap tahunnya. Salah satu kontrol yang dilakukan melalui deteksi dini pada orang di daerah endemis dan pengobatan dengan segera bagi orang yang sudah terinfeksi. Daftar Pustaka Anonim, Lymphatic Filariasis Elimination Program. Tersedia di http://www.cartercenter.org/health/lf/index.html [diakses August 6, 2013]. Haryuningtyas S., D. & Subekti, D.T., 2004. Dinamika filariasis di Indonesia. In Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Bogor. pp. 242 250. Tersedia di: http://digilib. litbang.deptan.go.id/repository/index.php/repository/ download/6099/5969. Juriastuti, Puji et al. 2010. Faktor Risiko Kejadian Filariasis di Kelurahan Jati Sampurna. Makara Kesehatan, Vol. 14, No. 1, Juni 2010: 31-36. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan RI, 2010. Buletin Jendela Epidemiologi: Filariasis di Indonesia. Volume 1 Juli 2010. Subdit Filariasis & Schistomiasis Direktorat P2B2, 2010. Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis di Indonesia, Jakarta: Ditjen PP & PL Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Mengenal Filariasis di Jawa Barat 17 WHO, 2007. Bulletin of The World Health Organization. Volume 85, Number 7, July 2007, 501-568. WHO, 2010. Progress report 2000-2009 and strategic plan 2010-2020 of the global programme to eliminate lymphatic filariasis: halfway towards eliminating lymphatic filariasis. WHO. Lymphatic Filariasis (internet) 2008 [diakses 15 Agustus 2013]. Tersedia di: http://www.who.com. Wikipedia. Filariasis (internet) 2013 [diakses 2 Juli 2013]. Tersedia di http://en.wikipedia.org.

Bab 2 EPIDEMIOLOGI FILARIASIS Endang Puji Astuti Mara Ipa Pendahuluan Filariasis atau kaki gajah merupakan penyakit tular vektor yang disebabkan oleh cacing filaria dengan perantara nyamuk. Penyakit ini hampir tersebar di semua pulau besar di Indonesia, penyakit ini awalnya banyak ditemukan di daerah terisolir, namun saat ini sudah banyak di laporkan di daerah perkotaan (urban). Di daerah tropis dan subtropis, kejadian filariasis meningkat, diantaranya disebabkan oleh perkembangan kota sehingga menimbulkan perkembangbiakan nyamuk vektor (Depkes, RI., 2008). Secara epidemiologis, filaria terjadi karena ada interaksi antara hospes/host definitive, yaitu manusia, dan hospes/ host reservoir, nyamuk yang membawa cacing filaria serta lingkungan yang mendukung kelangsungan hidup vektor. Filariasis ditularkan oleh nyamuk vektor, baik dari genus Aedes, Culex, Armigeres, Anopheles dan Mansonia melalui gigitan nyamuk yang membawa cacing filaria infektif (mikrofilaria) dari orang yang sakit/terdapat mikrofilaria dalam 19

20 Mengenal Filariasis di Jawa Barat darahnya ke orang yang sehat/tidak terdapat mikrofilaria. Cacing filaria penyebab filaria di Indonesia terdiri dari dua genus yaitu Wuchereria dan Brugia. Host yang terinfeksi mikrofilaria tidak selalu menimbulkan gejala, penyakit ini merupakan penyakit kronis (menahun) dengan gejala umum adalah terjadinya pembengkakan (edema). Walaupun tidak mematikan, penyakit ini menimbulkan masalah stigma sosial dan psikologis penderita. Pengamatan terhadap penularan filariasis terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah host (manusia), agent (mikrofilaria), nyamuk vektor, lingkungan serta faktor-faktor risiko lainnya perlu dilakukan untuk kegiatan pengendalian serta penurunan kasus filariasis. Penyebaran Filariasis di Jawa Barat Di Indonesia, filariasis hampir menyebar di seluruh provinsi. Berdasarkan data tahun 2000, tercatat bahwa filariasis tersebar di 1553 desa, di 231 kabupaten, 26 provinsi sebagai wilayah endemis. Hasil survei darah jari (SDJ) menghasilkan microfilaria rate (Mf rate) sebanyak 3,1%. Dapat disimpulkan bahwa sebanyak 6 juta orang telah terinfeksi dan sekitar 100 juta orang mempunyai risiko tinggi untuk tertular (WHO, 2000). Kasus filariasis mengalami peningkatan mulai dari tahun 2000-2009 dilaporkan kasus klinis filariasis sebanyak 11.914 kasus pada tahun 2009 yang tersebar di 308 kabupaten/kota di 33 provinsi endemis (Gambar 2.1). Berdasarkan kondisi tersebut, diestimasikan bahwa prevalensi microfilaria rate (Mf rate) sebesar 19%, dengan prevalensi tertinggi adalah wilayah Indonesia bagian timur (Anonim, 2010).

Mengenal Filariasis di Jawa Barat 21 Gambar 2.1 Kasus Klinis Filariasis di Indonesia Tahun 2000 2009 Sumber: Ditjen PP dan PL, Depkes RI., 2009 Pada tahun 2009, kasus filariasis di Provinsi Jawa Barat merupakan tertinggi keenam dengan 474 kasus dan paling tinggi dibandingkan provinsi lain di Pulau Jawa (Gambar 2.2.). Sampai tahun 2010 terdapat 11 kabupaten/ kota endemis dengan Mf rate yang bervariasi antara 1,0 % - 5,25 %, yaitu Kabupaten Subang, Karawang, Purwakarta, Bekasi, Bogor, Tasikmalaya, Kuningan, Bandung, Kota Bekasi, kota Bogor, dan Kota Depok. Sedangkan jumlah kumulatif kasus kronis pada periode tahun 2002 sampai dengan bulan Juni 2013, tercatat 886 penderita dengan jumlah kematian 51 orang, tersebar di 25 kabupaten/kota meliputi 135 kecamatan dan 221 desa/ kelurahan (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2012).

22 Mengenal Filariasis di Jawa Barat Gambar 2.2 Jumlah Penderita Filariasis per Provinsi di Indonesia Tahun 2009 Sumber: Ditjen PP dan PL, Depkes RI., 2009 Kasus kronis filaria dan kematian tertinggi tahun sampai Juni tahun 2013 adalah di Kabupaten Sukabumi, kemudian Kabupaten Bekasi, Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Bekasi mempunyai jumlah kasus yang sama dan berada di urutan ketiga tertinggi di Provinsi Jawa Barat. Kasus klinis dengan Microfilaria rate (Mf rate) positif sudah tidak ditemukan di 25 kabupaten Provinsi Jabar pada tahun 2010-2013, sedangkan Mf rate positif tahun 2009 hanya ditemukan di dua lokasi yaitu kabupaten Bandung (1,16%) dan Kuningan (1,75%) (Tabel 2.1).

Mengenal Filariasis di Jawa Barat 23 Gambar 2.3 Distribusi Kasus Kronis dan Kematian Filariasis di Provinsi Jawa Barat Tahun 2002 - Juni 2013 Sumber : Data kasus Filariasis Dinas Kesehatan Provinsi Jabar Kasus klinis periode tahun 1999 2008 hasil SDJ, ditemukan di 12 wilayah dari 25 kabupaten/kota di Jawa Barat.

24 Mengenal Filariasis di Jawa Barat Gambar 2.4 Distribusi Kasus Positif Microfilaria Per Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat per tahun, 1999-2005 Sumber: Laporan Filariasis Dinkes Provinsi Jabar Berdasarkan data kasus filariasis tahun 1999 2005, ditemukan 10 kabupaten/kota yang positif microfilaria. Survey sediaan darah jari (SDJ) di Kota Bekasi tiap tahun menemukan positif microfilaria, sedangkan di kabupaten Bekasi, Cianjur, Bogor, Tasikmalaya, Karawang, Purwakarta, Kota dan Kabupaten Bogor hanya ditemukan satu kali di periode tahun 1999 2005. Beberapa kabupaten/kota yang sebelumnya belum ditemukan kasus filariasis, pada tahun 2006 2010 ditemukan positif, yaitu: Kabupaten Bandung, Majalengka dan Kuningan, sedangkan Kabupaten Cianjur ditemukan positif lagi di periode tahun 2006 2010. Pemeriksaan SDJ di beberapa kabupaten/kota Jawa Barat yang dilakukan setelah tahun 2010, hasilnya adalah negatif mikrofilaria.

Mengenal Filariasis di Jawa Barat 25 Gambar 2.5 Distribusi Kasus Positif Mikrofilaria per Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat, 2006-2010 Transmisi Filariasis Sumber: Laporan Filariasis Dinkes Provinsi Jabar Penularan atau transmisi filariasis/kaki gajah dapat ter-jadi apabila ada interaksi tiga faktor, antara lain sebagai berikut. 1) Host atau sumber penularan, yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya dan manusia yang rentan. 2) Vektor, yaitu nyamuk yang mempunyai kapasitas sebagai vektor untuk menularkan mikrofilaria infektif ke manusia rentan (host). 3) Agent, yaitu mikrofilaria yang infektif.

26 Mengenal Filariasis di Jawa Barat WHO menyatakan seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang tersebut digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva cacing mikrofilaria (mf) stadium III (L 3 ). Nyamuk menjadi infektif karena mengisap darah penderita yang mengandung mikrofilaria atau binatang reservoir yang juga mengandung mikrofilaria. Penularan kaki gajah berbeda dengan penularan penyakit tular vektor lainnya, seperti: malaria, demam berdarah dengue (DBD), atau chikungunya. Seseorang dapat terinfeksi/sakit kaki gajah apabila orang tersebut mendapat gigitan dari nyamuk vektor infektif sampai ribuan kali. Siklus penularan penyakit kaki gajah melalui dua tahap, yaitu: 1) perkembangan dalam tubuh nyamuk vektor, 2) perkembangan dalam tubuh manusia (hospes) dan reservoir. Dengan demikian manusia atau hewan yang mengandung mikrofilaria merupakan sumber penularan penyakit. Perkembangan dalam tubuh nyamuk vektor (ekstrinsik) Pada saat nyamuk vektor mengisap darah penderita filariasis, beberapa mikrofilaria akan ikut terhisap bersama darah dan masuk ke dalam lambung nyamuk. Beberapa saat setelah berada dalam lambung nyamuk, mikrofilaria yang bersarung akan melepaskan sarungnya kemudian dalam waktu satu jam akan menembus dinding lambung nyamuk dan bermigrasi ke dalam otot dada atau thorax nyamuk (Anonim, 2012). Dalam thorax, mikrofilaria menjadi lebih pendek dan gemuk dibandingkan dengan larva yang ada di lambung, dan disebut larva stadium 1 (L 1 ). Ukurannya berkisar antara 244

Mengenal Filariasis di Jawa Barat 27-296 μm x 7.5-10 μm (Anonim, 2012). Larva stadium 1 selanjutnya akan berganti kulit dan berkembang menjadi larva stadium 2 (L 2 ) yang ukurannya 200-300 µm x 15 30 µm (Depkes, 2006). Larva stadium 2 ini juga akan berganti kulit lagi dan berkembang menjadi larva stadium 3 (L 3 ) yang merupakan larva infektif yang aktif dan akan bermigrasi ke dalam proboscis nyamuk. Pada saat nyamuk infektif mengisap darah manusia untuk kebutuhan pematangan telurnya, larva cacing L 3 akan jatuh atau keluar dari probosis dan tinggal beberapa saat di kulit sekitar lubang tusukan nyamuk. Nyamuk yang telah mengisap darah manusia akan menarik proboscis, kemudian larva cacing L 3 merayap masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe manusia (Anonim, 2012). Masa inkubasi ekstrinsik spesies W. bancrofti antara 10-14 hari, sedangkan B. malayi dan B. timori antara 8-10 hari (Depkes RI, 2006). Perkembangan dalam tubuh manusia (intrinsik) Larva cacing L 3, selanjutnya bergerak menuju sistem limfe dan tinggal dalam waktu 9-10 hari. Selanjutnya akan berganti kulit dan berkembang menjadi larva stadium 4 (L 4 ) yang merupakan stadium larva paling akhir, yang akan berkembang menjadi cacing dewasa atau makrofilaria atau larva stadium 5 (L 5 ). Cacing dewasa betina berukuran dengan panjang 80-100 mm dan diameter 0.24-0.30 mm, sedangkan ukuran yang jantan panjang sekitar 40 mm dan diameter 0.1 mm (Anonim, 2012).

28 Mengenal Filariasis di Jawa Barat 30 Gambar 2.6 Siklus Penularan Filariasis (Wuchereria bancrofti) Sumber: Centers for Disease Control and Prevention World Health Organization (CDC-WHO) (www.cdc.gov) Stadium larva 3 (L3) mikrofilaria disebut stadium immature. Perkembangan dari stadium immature sampai menjadi dewasa membutuhkan waktu sangat lama, sekitar 6 12 bulan. Cacing dewasa dapat bertahan hidup di dalam tubuh manusia serta berkembang biak 5 10 tahun. Apabila dalam saluran limfe terdapat cacing betina dan jantan, akan terjadi perkawinan. Setelah kopulasi, cacing betina secara periodik menghasilkan mikrofilaria. Satu cacing betina dewasa akan menghasilkan kurang lebih 30.000 mikrofilaria setiap harinya (Depkes RI, 2006). Mikrofilaria tidak hidup dalam saluran atau kelenjar limfe, tetapi akan bermigrasi ke dalam saluran darah dan saluran darah tepi (Anonim, 2012). Mikrofilaria yang beredar di saluran darah tepi akan terisap kembali oleh nyamuk vektor dan akan ditularkan ke manusia lainnya.

Mengenal Filariasis di Jawa Barat 29 Agent Cacing kecil penyebab filariasis termasuk dalam cacing nematoda. Di dunia, sebagian besar kasus filariasis disebabkan oleh cacing W. bancrofti (90%), kemudian B. Malayi, dan B. timori (Das et al. 2002). Agent filariasis di Indonesia juga terdiri atas tiga jenis cacing tersebut (Haryuningtyas et al. 2013). Cacing W. bancrofti banyak ditemui di daerah tropis seluruh dunia, B. malayi terbatas di Asia sedangkan B. timori terbatas di beberapa kepulauan Indonesia. Di Jawa Barat, ditemukan dua agent filariasis yaitu W. bancrofti dan B. malayi, tetapi yang dominan ditemukan adalah W. bancrofti (Rusmartini et al. 2008). Dari hasil SDJ di 22 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat yang terdapat penderita kronis filariasis, spesies mikrofilaria positif yang ditemukan tahun 1999 sampai tahun 2008 adalah W. bancrofti dan tidak menemukan spesies mikrofilaria lainnya. Di Kabupaten Cianjur, Mf rate kurang dari 1%, maka belum dinyatakan sebagai daerah endemis. Jumlah kumulatif kasus klinis positif mikrofilaria hasil SDJ, tertinggi di Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi, kemudian di Kabupaten Subang dan Kabupaten Kuningan (Gambar 2.7). Di wilayah ini sudah dilakukan pengobatan massal, kecuali Kabupaten Kuningan pengobatan hanya dilakukan selektif pada penderita dan masyarakat sekitar penderita.

30 Mengenal Filariasis di Jawa Barat Gambar 2.7 Distribusi Positif Mikrofilaria di Provinsi Jawa Barat Tahun 2002 - Juni 2013 Sumber: Data Kasus Filariasis Dinas Kesehatan Jawa Barat Tahun 2013 Ukuran tubuh mikrofilaria W. bancrofti yang banyak ditemukan di Jawa Barat, lebih besar dibandingkan Brugia malayi dan B. timori yaitu 244 296 µm dan 7,5 10 µm, ekornya berbentuk pita dan mengerucut. Inti sel di tubuh cacing tergambar jelas dan mudah dihitung secara mikroskopis, namun cacing ini tidak mempunyai inti sel di ekornya (McCarthy, James. 2000).

Mengenal Filariasis di Jawa Barat 31 Gambar 2.8 Morfologi Wuchereria bancrofti Sumber: www.stanford.edu. (Lymphatic Filariasis Introduction) Morfologi cacing W. bancrofti dewasa berbentuk silindris, halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing filaria dewasa atau yang lebih dikenal makrofilaria, baik yang jantan maupun betina, hidup pada saluran dan kelenjar limfe. Makrofilaria betina ukurannya kurang lebih dari 65-100 mm x 0.25 mm, sedangkan makrofilaria jantan ukurannya 40 mm x 0,1 mm. Makrofilaria betina akan mengeluarkan larva filaria yang disebut mikrofilaria yang bersarung dengan ukuran berkisar antara 250-300 µm x 7-8 µm (Spicer, W.J. 2000). Berbeda dengan induknya, mikrofilaria hidup pada aliran darah, dan pada waktu-waktu tertentu ditemukanpada aliran darah tepi, sehingga mikrofilaria ini memiliki periodisitas tertentu. Umumnya, periodisitas mikrofilaria W. bancrofti di Jawa Barat adalah nokturna atau malam hari, artinya mikrofilaria hanya terdapat dalam peredaran darah tepi pada

32 Mengenal Filariasis di Jawa Barat malam hari. Pada siang hari mikrofilaria berada pada kapilerkapiler organ dalam seperti paru-paru, jantung, ginjal dan lain-lain. Namun, di beberapa wilayah W. bancrofti juga bersifat diurnal (siang hari) (McCarthy, James. 2000). Host Di dalam darah manusia terdapat mikrofilaria. Artinya, manusia rentan tertular filariasis. Tidak semua manusia/ individu yang terinfeksi mikrofilaria menunjukkan gejala klinis, walaupun dalam tubuhnya telah terjadi perubahan patologis. Proses penularan filariasis membutuhkan waktu yang lama dengan kemungkinan tertular/terkena infeksi kecil, tetapi keberadaan seseorang di daerah endemis dalam waktu yang lama akan memperbesar risiko penularan. Berikut ini beberapa faktor determinan yang mempengaruhi terjadinya penularan pada manusia. Sosiodemografi Faktor-faktor sosiodemografis dapat mempengaruhi penularan filariasis. Berikut ini adalah faktor-faktor tersebut. 1. Jenis kelamin Dalam penelitian Juriastuti et al. 2010 di Depok Jawa Barat, jenis kelamin laki-laki mempunyai risiko penularan 4,7 kali lebih besar dibandingkan wanita. Hasil ini sejalan dengan penelitian terhadap kejadian filariasis di Indonesia yang menunjukkan penderita filariasis lebih banyak berjenis kelamin laki-laki (Santoso et al, 2010). Hal ini terkait dengan perilaku masyarakat baik aktivitas maupun mobilitas, laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah pada malam hari seperti melakukan kegiatan ronda, pengajian, serta mempunyai mobilitas yang tinggi.

Mengenal Filariasis di Jawa Barat 33 2. 3. 4. Kondisi seperti ini mendukung terjadinya kontak antara nyamuk vektor dengan manusia. Umur Penyakit ini dapat menyerang semua kelompok umur. Berdasarkan analisa lanjut Riskesdas tahun 2007 terhadap 967 penderita filariasis di Indonesia, proporsi umur terbanyak adalah 31-46 tahun, sebanyak 256 orang (26,7%). Pekerjaan Kegiatan aktif yang dilakukan pada malam hari ketika nyamuk aktif mencari pakan darah mempunyai risiko yang tinggi terhadap penularan filariasis. Penelitian di Pekalongan tahun 2006 melaporkan bahwa pekerjaan pada malam hari mempunyai korelasi dengan kejadian filariasis (p = 0,003) (Febrianto et al, 2006). Pendidikan Variabel ini tidak mempunyai pengaruh langsung ter hadap kejadian filariasis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Nasrin (2008), dapat dikatakan bahwa pendidikan memengaruhi jenis pekerjaan, pengetahuan, sikap dan perilaku (PSP) seseorang. Tindakan/Praktik Tindakan merupakan bagian dari perilaku. Dalam kasus penyakit tular vektor seperti filariasis, tindakan berkaitan dengan kebiasaan keluar rumah pada malam hari. Hasil penelitian menunjukkan responden yang memiliki kebiasaan keluar rumah pada malam hari memiliki peluang 5,4 kali lebih besar untuk menderita penyakit filariasis (Juriastuti et al. 2010). Hal ini terkait bionomik nyamuk vektor yaitu Cx.

34 Mengenal Filariasis di Jawa Barat quinquefasciatus, seperti penelitian yang dilakukan Astuti et al., 2012 di desa Jalaksana Kabupaten Kuningan, yang memperoleh hasil bahwa puncak kepadatannya hasil umpan orang dalam dan luar terjadi pada pukul 23.00 dan 01.00-02.00 dengan nilai MHD 0,014. Oleh sebab itu, responden yang memiliki kebiasaan untuk keluar pada malam hari lebih berisiko dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki kebiasaan tersebut. Upaya masyarakat untuk menghindari atau memutus kontak dengan nyamuk vektor juga mempunyai pengaruh terhadap kejadian filariasis, antara lain sebagai berikut. 1) Pemakaian kelambu sangat efektif untuk mencegah kontak dengan nyamuk. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Anshari (2004), menyatakan bahwa kebiasaan tidak menggunakan kelambu waktu tidur sebagai faktor resiko kejadian filariasis (OR= 8,09) (Nasrin, 2008). 2) Pemakaian kawat kassa yang dipasang di bagian ventilasi rumah berfungsi untuk mencegah nyamuk masuk ke dalam rumah sehingga terhindar dari gigitan nyamuk sehingga mengurangi risiko terkena filariasis (Febrianto, 2006). 3) Penggunaan insektisida seperti obat anti nyamuk dapat membunuh atau mengurangi populasi nyamuk sedangkan penggunaan losio anti nyamuk, dapat mngurangi kontak atau menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vektor. Menurut Febrianto (2006), diketahui bahwa kebiasaan tidak menggunakan obat anti nyamuk malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis (p= 0,004) (Rufaidah, 2004).

Mengenal Filariasis di Jawa Barat 35 Vektor Nyamuk vektor filariasis W. bancrofti, berbeda genus dan spesies di beberapa wilayah dan tergantung pada geografisnya. Nyamuk vektor di dunia yang telah ditemukan diantaranya adalah Culex (Cx. annulirostris, Cx. bitaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, dan Cx. pipiens); Anopheles (An. arabinensis, An. bancrofti, An. farauti, An. funestus, An. gambiae, An. koliensis, An. melas, An. merus, An. punctulatus dan An. wellcomei); Aedes (Ae. aegypti, Ae. aquasalis, Ae. bellator, Ae. cooki, Ae. darlingi, Ae. kochi, Ae. polynesiensis, Ae. pseudoscutellaris, Ae. rotumae, Ae. scapularis, dan Ae. vigilax); Mansonia (Ma. pseudotitillans, Ma. uniformis); Coquillettidia (C. juxtamansonia) (Anonim, 2012). Nyamuk vektor yang telah teridentifikasi di Indonesia, sebanyak 23 spesies antar lain: Mansonia (Ma. uniformis, Ma. indiana, Ma. dives, Ma. bonneae, Ma. annulifera, Ma. annulata, Ma. dives, Ma. nigerimus), Anopheles (An. nigerimus, An. subpictus, An. barbirostris, An. aconitus, An. vagus, An. dives, An. maculatus, An. farauti, An. koliensis, An. punctulatus, An. bancrofti), Culex (Cx. quinquefasciatus, Cx. annulirostris, Cx. whitmorei, Cx.bitaeniorhynchus), Aedes (Ae. subalbatus) dan Armigeres (Depkes, 2006). Nyamuk Anopheles spp. yang teridentifikasi sebagai vektor W. bancrofti termasuk tipe pedesaan, sedangkan Cx. quinquefasciatus merupakan vektor tipe perkotaan. Nyamuk Mansonia merupakan vektor B. malayi, sedangkan di Indonesia bagian timur, nyamuk vektor yang penting adalah Mansonia dan An. barbirostris. Beberapa spesies Mansonia dapat menjadi vektor B. malayi tipe subperiodik nokturna.

36 Mengenal Filariasis di Jawa Barat Nyamuk An. barbirostris merupakan vektor penting B. timori yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Maluku Selatan (Depkes RI, 2006). Nyamuk vektor di Provinsi Jawa Barat adalah Cx. quinquefasciatus dan Ma. indiana (Depkes, 2006). Nyamuk Ma. Indiana juga ditemukan dalam penelitian Hoedojo et al. (1972), yang mempelajari penyakit kaki gajah selama kurang lebih 10 tahun (1960 1970) di pedesaan Banten, yaitu desa Kresek. Tempat pengembangbiakan larva yang ditemukan di desa tersebut adalah rawa-rawa seluas 125 hektar. Penelitian Dharma et al. 2004 di desa Margamulya Tangerang juga berhasil menemukan tiga spesies Mansonia antara lain: Ma. indiana, Ma. Longipalpis, dan Ma. uniformis. Wilayah Banten masih dilaporkan sebagai wilayah Provinsi Jawa Barat. Pada saat penelitian tersebut, Banten belum menjadi provinsi tersendiri. Penelitian di desa Jalaksana Kabupaten Kuningan Jabar, mendapatkan populasi nyamuk terbanyak di luar maupun di dalam rumah adalah Cx. sitiens, kemudian Cx. quinquefasciatus dan Cx. tritaeniorhynchus. Penelitian dilakukan di daerah yang terdapat penderita kronis, dengan kondisi pemukimannya padat dan dekat dengan jalan utama dan merupakan tipe perkotaan. Sedangkan di Desa Panumbangan Kabupaten Ciamis yang merupakan tipe pedesaan, nyamuk yang tertangkap sebanyak 9 spesies (666 nyamuk), spesies yang dominan adalah Cx. sitiens (386 ekor) dan Cx. tritaeniorhynchus (222 ekor). Hasil pembedahan nyamuk secara massal maupun individu, tidak ditemukan adanya mikrofilaria (negatif) (Astuti et al., 2012). Berdasarkan literatur Depkes RI, nyamuk Cx. sitiens belum ditentukan sebagai vektor filariasis, namun karena

Mengenal Filariasis di Jawa Barat 37 berjumlah dominan dan ada penderita filariasis, nyamuk tersebut dikategorikan sebagai tersangka vektor. Selain ditemukan di Ciamis dan Kuningan, berdasarkan penelitian tentang populasi nyamuk oleh Nusa et al. 2007, nyamuk Cx. sitiens juga ditemukan di Kabupaten Bekasi yang merupakan wilayah endemis filariasis. Gambar 2.9 Larva Culex spp. Sumber: http://medent.usyd.edu.au/arbovirus/mosquit/photos/culex_ quinquefasciatus_larvgroup.jpg Periodisitas mikrofilaria dan perilaku nyamuk mengisap darah berpengaruh terhadap risiko penularan sehingga untuk memberantas vektor filariasis, perilaku vektor harus diketahui meliputi perilaku reproduksi, menggigit, dan istirahat (Nutman dan Waller, 2000).

38 Mengenal Filariasis di Jawa Barat Lingkungan Gambar 2.10 Nyamuk Culex quinquefasciatus Sumber: apni-news.blogspot.com Lingkungan sangat berpengaruh terhadap penularan filariasis. Daerah endemis W. bancrofti tipe perkotaan (urban) adalah daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduk dan banyak terdapat genangan air kotor seperti saluran pembuangan air limbah terbuka yang dapat dijadikan sebagai habitat nyamuk Cx. quinquefasciatus. Kondisi lingkungan tipe pedesaan (rural) secara umum yang cocok untuk perkembangbiakan vektor W. bancrofti adalah perkebunan, hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air lain yang ditumbuhi tanaman air (Depkes RI, 2006). Keadaan lingkungan, seperti daerah hutan, persawahan, rawa-rawa yang sering ditumbuhi tumbuhan air dan saluran air limbah dan parit adalah salah satu habitat yang baik untuk pertumbuhan nyamuk spesies tertentu (Sigit SH dan Hadi UK, 2006). Penelitian lain oleh Astuti et al, 2012 yang melaksanakan survei tempat perkembangbiakan nyamuk di

Mengenal Filariasis di Jawa Barat 39 dua lokasi di Provinsi Jawa Barat, melaporkan bahwa lokasi yang berisiko sebagai tempat perkembangbiakan vektor filariais yaitu di Desa Panumbangan Kabupaten Ciamis adalah persawahan, kolam, dan sungai; sedangkan di Desa Jalaksana Kabupaten Kuningan adalah kolam terbengkalai dan selokan terbuka sekitar rumah penduduk. Lingkungan fisik berpengaruh terhadap munculnya tempat perkembangbiakan dan beristirahatnya nyamuk (Notoatmodjo S., 1997). Hasil penelitian di Kabupaten Bekasi menunjukkan adanya hubungan bermakna antara konstruksi plafon, keberadaan kawat kassa, dan barang-barang bergantung dengan kejadian filariasis (Juriastuti et al, 2010). Sedangkan lingkungan pemukiman berpengaruh terhadap terjadinya penularan filariasis. Analisis riskesdas oleh Santoso et al. menunjukkan sebagian besar penderita filariasis (39,2%), tidak memiliki tempat penampungan air limbah, jadi hanya dibuang/ mengalir begitu saja di pekarangan dan dibiarkan terbuka. Kondisi ini dapat meningkatkan munculnya tempat perkembangbiakan nyamuk vektor sehingga meningkatkan risiko terjadinya penularan filariasis karena jaraknya ke pemukiman kurang dari 100 meter yang masih dalam jangkauan terbang nyamuk, karena sesuai dengan teori bahwa nyamuk pada umumnya mempunyai daya terbang sejauh 50-100 meter.

40 Mengenal Filariasis di Jawa Barat Gambar 2.11 Breeding Places Nyamuk di Desa Panumbangan, Kabupaten Ciamis Sumber: Astuti et al., 2012 Gambar 2.12. Breeding Places Nyamuk di Desa Jalaksana, Kabupaten Kuningan Sumber: Astuti et al., 2012

Mengenal Filariasis di Jawa Barat 41 Penutup Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan secara epidemiologi bahwa penularan filariasis di Provinsi Jawa Barat merupakan interaksi dari multifaktor. Faktor risiko yang ditemukan di Jawa Barat dan mendukung terjadinya kasus filariasis adalah host (manusia) positif mikrofilaria, agent (W. bancrofti), nyamuk vektor (Cx. quinquefasciatus), dan faktor lingkungan sekitar tempat tinggal (rawa, kolam terbengkalai, persawahan, selokan terbuka, dan sungai). Di samping itu, jumlah kasus filariasis di Jawa Barat didukung oleh perilaku masyarakat yang berisiko, seperti: kebiasaan keluar pada malam hari, tidur tanpa kelambu, tidak menggunakan kawat kasa pada ventilasi rumah, dan tidak menggunakan repellent atau insektisida. Daftar Pustaka Anonim. 2010. Filariasis di Indonesia [Topik Utama]. Buletin Jendela Epidemiologi. Vol. I Juli 2010 hal. 1-8. ISSN 2087 1546. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi.Kementerian Kesehatan RI. Anonim. 2012. Filariasis. [Last modified: 10/05/2012 00:58:21]. www.dpd.cdc.gov/.../filariasis/ Anshari, Rudi. 2004. Analisis Faktor Risiko Kejadian Filariasis di Dusun Tanjung Bayur Desa Sungai Asam Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Pontianak. [Tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro. Febrianto, Bagus, Asri Maharani, Sapto P, Widiarti. 2006. Studi Faktor Resiko Filariasis Di Desa Sambirejo Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah. Bulletin of Health Research. DOAJ. 2012 Volume 36 issue 2 Juni.

42 Mengenal Filariasis di Jawa Barat Astuti, Endang Puji, Mara Ipa, Tri Wahono, M. Umar Riandi. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Filariasis di Daerah Endemis Provinsi Jawa Barat dan Banten (Gambaran Epidemiologi Filariasis di Kabupaten Ciamis, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Serang). [Laporan Penelitian]. Loka Litbang P2B2 Ciamis. Das, P.K., S.P. Pani and K. Krishnamoorthy. 2002. Prospects of Elimination of lymphatic Filariasis in India. Indian Council Med. Res. 32: 5-6. Depkes RI. 2006. Epidemiologi Penyakit Kaki Gajah (Filariasis) di Indonesia. Ditjen PP & PL. Jakarta. DEPKES RI. Depkes RI. 2008. Pedoman Program Eliminasi Filariasis. Direktorat Jenderal PPM & PL. DEPKES RI. Jakarta. Dharma, Wirya, Hoedojo et al. 2004. Survei Nyamuk di Desa Marga Mulya, Kecamatan Mauk Tangerang. J. Kedokteran Triksakti. April Juni 2004 ; Vol. 23 No. 2. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. 2012. Situasi P2 Filariasis Provinsi Jawa Barat tahun 2007-2011. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Bandung. Kemenkes RI. Haryuningtyas, Dyah dan Subekti, Didik. Dinamika Filariasis. [Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis]. [disitasi Mei 2013]. Balai Penelitian Veteriner Bogor. www.digilib.litbang.deptan. go.id/ Hoedojo, Oemijati S. Environmental control of the vektor of malayan filariasis in Kresek, West Java. Vektor Control in Southeast Asia. Proceedings of the First SEAMEO Workshop Singapore. 1972: August 17-18: 176 82. Juriastuti, Puji et al. 2010. Faktor Risiko Kejadian Filariasis di Kelurahan Jati Sampurna. Makara Kesehatan, Vol. 14, No. 1, Juni 2010: 31-36. Maharani, Asri., Bagus Febrianto et al. 2006. Studi Faktor Risiko Filariasis di Desa Sambirejo, Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan Jateng. [Laporan Risbinkes]. BPVRP Salatiga.