I. PENDAHULUAN. miskin khususnya di perdesaan terpuruk di bawah garis kemiskinan. Beberapa

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. orang miskin khususnya di perdesaan terpuruk di bawah garis kemiskinan.

BAB I PENDAHULUAN. yang terkena PHK (pengangguran) dan naiknya harga - harga kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. pada umumnya juga belum optimal. Kerelawan sosial dalam kehidupan

Analisis tingkat kesehatan lembaga unit pengelola kegiatan( studi kasus. pada UPK PNPM Kecamatan Kalijambe Kabupaten Sragen ) Oleh : Wawan Apriyanto

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan

Program Pengentasan Kemiskinan melalui Penajaman Unit Pengelola Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. kerja bagi angkatan kerja di perdesaan. Permasalahan kemiskinan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan tidak dapat ditakar hanya dengan kemampuan memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata kehidupan yang

P E N D A H U L U A N

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, dengan kata lain telah mengakar luas dalam sistem sosial

Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Kemiskinan menjadi salah satu alasan rendahnya Indeks Pembangunan

I. PENDAHULUAN. kemiskinan struktural, dan kesenjangan antar wilayah. Jumlah penduduk. akan menjadi faktor penyebab kemiskinan (Direktorat Jenderal

BAB I PENDAHULUAN. dasar lingkungan yang memadai dengan kualitas perumahan dan permukiman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketidakmampuan secara ekonomi dalam memenuhi standar hidup rata rata

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan

BAB I PENDAHULUAN. tidak terpisahkan serta memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah dan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya

Optimalisasi Unit Pengelola Keuangan dalam Perguliran Dana sebagai Modal Usaha

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

KONSEPSI PENGEMBANGAN BADAN USAHA MILIK MASYARAKAT DESA MELALUI LEMBAGA KEUANGAN MASYARAKAT MANDIRI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Didalam kehidupan ekonomi pada umumnya, manusia senantiasa berusaha untuk

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap pembangunan di suatu daerah seyogyanya perlu dan

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam perekonomian Indonesia, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan sturktural dan kemiskinan kesenjangan antar wilayah. Persoalan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Khaidar Syaefulhamdi Ependi, 2014

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dari situasi sebelumnya. Otonomi Daerah yang juga dapat dimaknai

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang tengah dihadapi oleh dunia adalah kemiskinan.

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak

2.1 RPJMD Kabupaten Bogor Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini hampir semua negara-negara di dunia menganut sistem pasar bebas

BAB I PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan munculnya. menurunnya konsumsi masyarakat. Untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan

BAB IV IMPLEMENTASI SPP (SIMPAN PINJAM KELOMPOK PEREMPUAN) DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Yang pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Sari Surya

BAB I PENDAHULUAN. yang saling berkaitan, diantaranya, tingkat pendidikan, tingkat kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sehingga menjadi suatu fokus perhatian bagi pemerintah Indonesia.

BAB 2 PERENCANAAN KINERJA. 2.1 RPJMD Kabupaten Bogor Tahun

BAB I PENDHAULUAN. dari masyarakat penerima program maka hasil pembangunan tersebut akan sesuai

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki persoalan kemiskinan dan pengangguran. Kemiskinan di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara yang kuat sering di artikan sebagai negara dengan kondisi ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan penyediaan kesempatan kerja bagi masyarakat miskin. memberdayakan masyarakat (BAPPENAS, Evaluasi PNPM 2013: 27).

Laporan Perekonomian Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Filipina, Malaysia dan lainnya yang mengalami distorsi ekonomi yang

I. PENDAHULUAN. secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. upaya dan kegiatan aktifitas ekonomi masyarakat tersebut. Untuk mencapai kondisi

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan industri di Indonesia diarahkan untuk mampu. pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan. Salah satu jalan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Badan Pusat Statistik. Data Penduduk Indonesia Per Maret Diakses 14 Februari 2011

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM

BAB I PENDAHULUAN. industri di sebuah negara. Perkembangan industri manufaktur di sebuah

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

BAB I PENDAHULUAN. harus diminimalisir, bahkan di negara maju pun masih ada penduduknya yang

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan lahiriyah dan batiniyah saja tetapi juga keseimbangan,

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang amat serius. Kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. masa depan perekonomian dunia. Menurut Kunarjo dalam Badrul Munir (2002:10),

I. PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 dan 34 mengamanatkan bahwa pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah Persentase (Juta) ,10 15,97 13,60 6,00 102,10 45,20. Jumlah Persentase (Juta)

BAB I PENDAHULUAN Sekilas Tentang UPK Sauyunan Kecamatan Bojongsoang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan dan pengangguran menjadi masalah yang penting saat ini di

4.2 Strategi dan Kebijakan Pembangunan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. tahun 2015 dan sejalan dengan target pencapaian MDGs (Millennium Development

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu upaya untuk mewujutkan cita-cita bangsa yakni terciptanya

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

BAB I PENDAHULUAN. Istilah kredit berasal dari bahasa yunani credere yang berarti kepercayaan

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

PROYEK PENINGKATAN KAPASITAS & KEBERLANJUTAN PINJAMAN DANA BERGULIR

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan kemiskinan yang cukup kompleks membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. yang dimulai dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan di Amerika

BAB I PENDAHULUAN. poranda, ditandai dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara sedang berkembang selalu berupaya untuk. meningkatkan pembangunan, dengan sasaran utama adalah mewujudkan

DEKLARASI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang salah satunya sebagai negara yang berkembang masih mengalami ketertinggalan

Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program

BAB I PENDAHULUAN. Usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) merupakan suatu isu yang

BAB V VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN TERWUJUDNYA MASYARAKAT BONDOWOSO YANG BERIMAN, BERDAYA, DAN BERMARTABAT SECARA BERKELANJUTAN

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 telah menyebabkan jutaan orang miskin khususnya di perdesaan terpuruk di bawah garis kemiskinan. Beberapa indikator ekonomi makro dan mikro mengalami keterpurukan, seperti tingkat inflasi yang naik tajam dari 11,1% ditahun 1997 menjadi 77,6% ditahun 1998 dan juga pertumbuhan ekonomi yang mengalami pertumbuhan negatif pada tahun 1998. Beberapa indikator ekonomi makro dan mikro sebelum dan sesudah krisis ekonomi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perkembangan Indikator Ekonomi Makro dan Mikro Sebelum dan Sesudah Krisis (1997, 1998, 1999) No Indikator Tahun 1997 1998 1999 1 Pertumbuhan (%) 4,9-13,7 0,79 2 Inflasi (%) 11,1 77,6 2,01 3 SBI (%) 20 56 73 37,40 4 Nilai Tukar Rupiah (Rp/USD) 3.500 11.50 7.100 5 Transaksi Berjalan (%PDB) 8,6 11,7 16,3 6 Pengangguran (juta) 4,28 5,05 6,03 7 Kemiskinan (%) 17,47 1 24,30 23,43 8 Status Kesehatan/Angka 64,2 64,1 63,6 Harapan Hidup(th) Keterangan : 1. Data tahun 1996 Sumber : Data Sekunder BPS (diolah) Nilai tukar rupiah yang merosot tajam mengakibatkan harga-harga kebutuhan yang mengandung bahan impor menjadi sangat mahal. Hal ini menyebabkan inflasi melonjak tinggi hingga 77,6% di tahun 1998. Jumlah penduduk miskin meningkat tajam dari 34,01 juta ditahun 1996 menjadi 49,50 juta ditahun 1998 atau mengalami 1

kenaikan sekitar 45,54%. Kemerosotan perekonomian tahun 1998 pada gilirannya telah memunculkan pemikiran tentang peluang baru bagi pemulihan perekonomian nasional. Masalah fundamental ekonomi Indonesia, yang bersifat internal dan kronis, ditandai dengan adanya kesenjangan antar daerah, antar sektor ekonomi, dan antar manusia atau golongan. Keadaan ini sesungguhnya sudah terjadi sejak Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I yang telah memunculkan problema pengangguran, kemiskinan, dan ketertinggalan kelompok masyarakat yang kurang beruntung. Mereka adalah kelompok yang sangat rentan terhadap dampak krisis karena tidak memiliki akses sumber daya alam, teknologi, kesehatan, dan pendidikan, selain tidak mampu berperan serta dalam pembangunan dan kegiatan sosial ekonomi produktif (Sumodiningrat, 2007). Kesenjangan juga nampak pada angka kemiskinan antara perkotaan dan perdesaan. Dari Tabel 2 terlihat bahwa angka kemiskinan di perdesaan lebih tinggi dibanding dengan perkotaan, baik secara jumlah maupun persentasi. Tabel 2. Jumlah Penduduk Miskin Desa dan Kota Tahun 1996-2006 Jumlah Penduduk Miskin (juta) Persentasi Penduduk Miskin Tahun Kota Desa Kota + Desa Kota Desa Kota + Desa 1996 9,42 24,59 34,01 13,39 19,78 17,47 1998 17,6 31,9 49,5 21,92 25,72 24,23 1999 15,64 32,33 47,97 19,41 26,03 23,43 2000 12,3 26,4 38,7 14,6 22,38 19,14 2001 8,6 29,3 37,9 9,76 24,84 18,41 2002 13,3 25,1 38,4 14,46 21,1 18,2 2003 12,2 25,1 37,3 13,57 20,23 17,42 2004 11,4 24,8 36,1 12,13 20,11 16,66 2005 12,4 22,7 35,1 11,68 19,98 15,97 2006 14,49 24,81 39,3 13,47 21,81 17,75 Sumber : Data Sekunder BPS 2

Masalah kemiskinan bukan terjadi di Indonesia saja dan berdasarkan pengalaman tokoh-tokoh dunia yang memiliki komitmen untuk melawan kemiskinan seperti De Soto, Yunus dan Prahalad dapat di simpulkan bahwa hal yang terpenting dalam mengatasi kemiskinan adalah dengan memberikan akses atas modal yang dibutuhkan (Hadinoto & Retnadi, 2007). De Soto dengan program pemberdayaan sektor informal menyatakan merasa perlu memberikan status hukum bagi sektor informal sehingga memudahkan bagi mereka untuk dapat menerima akses dan pelayanan seperti kredit, pengadaan gas, air dan lain-lain. Menurut Prahalad sangat penting melibatkan golongan miskin dalam kegiatan perekonomian pasar karena golongan miskin dapat dijadikan pasar dan juga dapat melakukan kegiatan bisnis produktif untuk meningkatkan kesejahteraanya sendiri. Sedangkan menurut Yunus kaum miskin menjadi miskin bukan karena tidak terampil atau buta huruf, tetapi karena mereka tidak bisa menyisihkan hasil yang didapat dari kerja mereka. Mereka tidak memiliki kontrol atas modal padahal kemampuan mengontrol modal merupakan faktor penting yang memberi kekuatan untuk lepas dari kemiskinan. Di Indonesia, untuk mengatasi kemiskinan, kesenjangan dan untuk memberdayakan masyarakat, pembangunan nasional terangkai dalam tiga arah kebijakan yang saling mendukung yaitu (1) Kebijakan tidak langsung yang mengarah pada sasaran tetapi memberikan dasar tercapainya kondisi yang mendukung kegiatan sosial ekonomi. (2) Kebijakan yang langsung mengarah pada peningkatan kegiatan ekonomi kelompok sasaran. (3) Kebijakan khusus yang mencakup upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan (Sumodiningrat, 2007). Kebijakan langsung diarahkan pada peningkatan peran serta dan produktivitas sumber daya manusia, khususnya masyarakat berpendapatan rendah melalui 3

penyediaan kebutuhan dasar berupa pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan pendidikan serta pengembangan kegiatan sosial ekonomi yang berkelanjutan untuk mendorong kemandirian. Program-program yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi produktif diharapkan dapat menghasilkan nilai tambah lebih tinggi dan pendapatan lebih besar melalui pendekatan kelompok berbentuk usaha bersama. Diharapkan kelembagaan yang didasarkan pada kebersamaan maka kegiatan sosial ekonomi yang dikembangkan kelompok masyarakat akan dapat mendorong terciptanya kemandirian secara berkelanjutan. Beberapa program pemerintah dalam mewujudkan kebijakan khusus adalah melalui Program Pengembangan Wilayah (PPW), Pembangunan Kawasan Terpadu (PKT), Program Pengembangan Kawasan Khusus (PPKK) dan program-program penanggulangan kemiskinan seperti Program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Sebagai tindak lanjut dari program penanggulangan kemiskinan agar lebih terpadu, terarah, dan berkesinambungan dikembangkanlah Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Sebagai upaya serius pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan, maka pada tahun 2007 dicanangkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Program ini terdiri dari beberapa program penanggulangan kemiskinan antara lain Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan atau disingkat menjadi PNPM Mandiri Perdesaan yang sebelumnya bernama PPK (Program Pengembangan Kecamatan) Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM Mandiri Perdesaan) merupakan salah satu mekanisme program pemberdayaan masyarakat yang digunakan PNPM Mandiri dalam upaya mempercepat penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja di perdesaan. Program ini 4

dilakukan untuk lebih mendorong upaya peningkatan kualitas hidup, kesejahteraan dan kemandirian masyarakat di perdesaan. Visi PNPM Mandiri Perdesaan adalah tercapainya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin perdesaan. Kesejahteraan berarti terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. Kemandirian yaitu mampu mengorganisir diri untuk memobilisasi sumberdaya yang ada di lingkungannya, mampu mengakses sumberdaya di luar lingkungannya, serta mengelola sumberdaya tersebut untuk mengatasi masalah yang dihadapinya, khususnya masalah kemiskinan. Misi PNPM Mandiri Perdesaan adalah: (1) peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaannya; (2) pelembagaan sistem pembangunan partisipatif; (3) pengoptimalan fungsi dan peran pemerintahan lokal; (4) peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi masyarakat; (5) pengembangan jaringan kemitraan dalam pembangunan. Kegiatan-kegiatan yang dapat diusulkan dalam PNPM Mandiri Perdesaan adalah kegiatan pembangunan atau perbaikan sarana-prasarana, peningkatan pelayanan kesehatan dan pendidikan, peningkatan kapasitas/keterampilan kelompok usaha ekonomi dan penambahan modal kegiatan simpan pinjam untuk perempuan. Kegiatan Simpan Pinjam Khusus Perempuan hanya bisa diusulkan oleh kelompok perempuan dengan alokasi maksimal 25% dari dana alokasi kecamatan. Kegiatan Simpan Pinjam Perempuan dikelola oleh lembaga yang ada di kecamatan dengan nama Unit Pengelola Kegiatan (UPK) dengan pengurus yang dipilih langsung oleh masyarakat. Lembaga UPK selain mengelola dana bergulir, juga mengelola kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan dan dana-dana program yang akan disalurkan kepada masyarakat. Pada paska program, lembaga UPK diharapkan tetap ada dan menjadi Lembaga Kredit Mikro Informal (LKM) yang dapat terus diakses dan dimanfaatkan oleh 5

masyarakat miskin karena pengalaman menunjukkan bahwa keuangan mikro merupakan pendekatan terbaik dalam upaya pemberdayaan dan pengembangan usaha mikro untuk penanggulangan kemiskinan (Hadinoto dan Retnadi, 2007). Hal ini sesuai dengan visi dari LKM yaitu menyediakan jasa layanan keuangan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan usaha mikro, maka misi pengembangan LKM adalah menciptakan industri keuangan mikro yang sehat dan berkelanjutan dengan tetap berorientasi pasar. UPK sebagai pengelola kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan khususnya kegiatan kredit mikro mempunyai potensi yang besar untuk memberikan akses kredit bagi masyarakat miskin. Dalam melaksanakan tugasnya UPK mendapatkan bimbingan dan juga pengawasan baik dari konsultan maupun oleh masyarakat sebagai pemilik program. Biaya operasional UPK bersumber dari dana program yaitu sebesar 2% dari alokasi di kecamatan (antara Rp20 juta Rp60 juta per tahun). Kondisi UPK saat ini dan perkembangannya sangat menentukan keberlanjutan UPK sebagai salah satu lembaga kredit mikro informal di Indonesia. Hal ini diperlukan agar UPK dapat menjangkau orang miskin dalam jumlah lebih besar lagi. Untuk itu akan dilakukan analisis keberlanjutan UPK dengan indikator tingkat efisiensi UPK dalam mengelola kegiatan kredit mikro dengan pendekatan analisis input-output. Rumusan Masalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM Mandiri Perdesaan) merupakan salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam rangka penanggulangan masalah kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan dengan dasar pemberdayaan masyarakat. Berkelanjutan dapat diartikan bahwa sistem pembangunan 6

partisipatif dan hasil-hasilnya dapat terus diterapkan dan dinikmati oleh masyarakat penerima program. Pengelolaan kredit mikro yang telah dibangun dan mendapat pendampingan yang cukup intensif diharapkan akan dapat terus berjalan dan berkelanjutan sehingga semakin banyak masyarakat miskin yang dapat mengakses lembaga keuangan mikro UPK. Pada masa perencanaan dan pelaksanaan program, lembaga UPK mendapat pendampingan dari para fasilitator untuk dapat mengelola dana program kredit mikro secara transparan dan efisien sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan program. Selain itu untuk membiayai operasional kegiatan, UPK mendapatkan alokasi dana khusus sebesar 2% dari alokasi dana yang disalurkan ke kecamatan. Hal ini tentu tidak dapat berlangsung lama karena suatu saat program akan selesai sehingga UPK akan ditinggalkan oleh konsultan dan juga tidak akan lagi mendapatkan alokasi dana untuk operasional kegiatannya. Lembaga UPK seperti juga lembaga mikro kredit umumnya menghadapi dua tantangan yaitu lembaga yang menyediakan keuangan bagi orang miskin dan sebagai lembaga yang mampu membiayai diri untuk mencegah dari kebangkrutan (keberlanjutan/suistainability). Sementara menurut Chaves dan Gonzales (1996) lembaga kredit mikro mengalami keberlanjutan jika pendapatan minimal dapat membiayai/membayar biaya-biaya untuk operasional dan pengelolaan aset. Aspek efisiensi menjadi salah satu aspek penting dalam menilai keberlanjutan lembaga kredit mikro khususnya UPK karena pada paska program UPK harus membiayai sendiri kegiatan operasionalnya tanpa adanya subsidi atau bantuan khusus untuk pembiayaan operasional. Unit Pengelola Kegiatan (UPK) sebagai lembaga pengelola kredit mikro di tingkat kecamatan mempunyai potensi yang besar untuk dapat berperan dalam 7

mengurangi kemiskinan dengan memberikan akses kredit kepada masyarakat miskin khususnya perempuan. Namun demikian keberadaan lembaga tersebut perlu mendapatkan penilaian apakah ke depan dapat menjadi lembaga keuangan mikro yang mandiri dan dapat terus melayani masyarakat miskin (sesuai sasaran program). Melihat kondisi di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : a. Bagaimana keberlanjutan dari Lembaga Keuangan Mikro Unit Pengelola Kegiatan dalam mengelola kegiatan kredit mikro dilihat dari aspek efisiensi? b. Aspek-aspek apa saja yang berhubungan dengan tingkat efisiensi lembaga kredit mikro UPK? Tujuan Penelitian a. Mendapatkan gambaran umum tentang kondisi kinerja dan tingkat efisiensi dari Lembaga Unit Pengelola Kegiatan. b. Mengetahui hubungan antara beberapa indikator kinerja UPK dengan tingkat efisiensi Lembaga Unit Pengelola Kegiatan c. Memberikan masukan kepada program terhadap pelaksanaan kegiatan program khususnya untuk jenis kegiatan kredit mikro. Manfaat Penelitian a. Memberikan gambaran, pemahaman, dan wawasan yang luas mengenai kredit mikro dan aspek-aspek yang menentukan keberlanjutannya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran mengenai kegiatan kredit mikro pada Program Nasional 8

Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan dan juga bagi program-program lain sejenis. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian dibatasi pada kegiatan lembaga Unit Pengelola Kegiatan (UPK) di lokasi yang telah mendapatkan program selama minimal 3 tahun. Analisa keberlanjutan UPK akan dibatasi pada salah satu indikator keberlanjutan yaitu efisiensi pada aspek finansial. Sedangkan outreach yang dipertimbangkan sebagai komponen kritis dari keberhasilan kredit mikro tidak dibahas dalam penelitian ini. Aspek efisiensi akan dianalisis menggunakan variabel input-output dengan metode Data Envelopment Analysis. Variabel input yang digunakan adalah variabelvariabel biaya-biaya yang terbagi menjadi biaya tenaga kerja, biaya operasional, biaya penyusutan dan biaya-biaya lain. Sedangkan variabel output yang digunakan adalah variabel yang menentukan tingkat laba yaitu pendapatan operasional yang berasal dari jasa/bunga pinjaman. 9

Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan MB-IPB