HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN TB PARU YANG DI RAWAT DIRUANG RAWAT INAP G 4 TROPIK RSUD. PROF. DR. H. ALOE SABOE KOTA GORONTALO Tugiyem Markuat (1) NIM : 841410118 Pembimbing I : Dr. Lintje Boekoesoe M.Kes (2) Pembimbing II : Wirda Y Dulahu S.Kep, Ns, M.Kes (3) ABSTRAK Tugiyem Markuat. 2014. Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat Dengan Tingkat Kecemasan Pada Pasien TB Paru di Ruang Rawat Inap G4 Tropik di RSUD Prof. Dr. H. Aloe saboe Kota Gorontalo. Skripsi, Jurusan Keperawatan, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan, Universitas Negeri Gorontalo. Pembimbing I Dr. Lintje Boekoesoe, M.Kes dan Pembimbing II Wirda Y. Dulahu S.Kep, Ns, M.Kep Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi dalam keperawatan yang dapat menurunkan kecemasan pasien terutama pada pasien TB Paru. Namun pada saat ini masih adanya beberapa perawat yang belum maksimal menerapkan komunikasi terapeutik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan komunikasi terapeutik dengan tingkat kecemasan pada pasien TB Paru diruang rawat inap G4 Tropik RSUD Prof. Dr. H. Aloe saboe. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan tehnik pengambilan sampel yaitu accidental sampling, menggunakan instrumen berupa kuisioner dengan jumlah sampel sebanyak 30 responden. Analisis data yang digunakan adalah uji statistik korelasi spearmen. Berdasarkan hasil penelitian dari 30 responden menunjukan sebagian 15(50%) responden mengatakan komunikasi terapeutik perawat dalam kategori baik, sedangkan untuk kecemasan yang didominasi oleh kecemasan ringan yaitu sebanyak 14(46,7%). Dari hasil uji statistik korelasi spearmen diperoleh nilai p value = (0,000) < α= (0,05) sehingga dapat disimpulkan ada hubungan komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan pada pasien TB Paru yang di rawat diruang rawat inap G4 tropik RSUD Prof. Dr. H. Aloe saboe. Saran dalam penelitian ini agar dapat meningkatkan penerapan komunikasi terapeutik perawat dalam setiap proses asuhan keperawatan. Kata kunci: Komunikasi Terapeutik, Kecemasan, TB Paru 1. Tugiyem Markuat, 841410061,Dr.Lintje Boekoesoe,M.Kes, Ns.Wirda Y.Dulahu S.Kep,M.Kep
Komunikasi yang terjalin baik akan menimbulkan kepercayaan sehingga terjadi hubungan yang lebih hangat dan mendalam. Kehangatan suatu hubungan akan mendorong pengungkapan beban perasaan dan fikiran yang dirasakan oleh klien yang dapat menjadi jembatan dalam menurunkan tingkatan kecemasan yang terjadi ( Tamsuri, 2006). Kecemasan merupakan bentuk manifestasi dari rasa ketakutan atau rasa kehilangan sesuatu yang penting atau terjadi peristiwa buruk dari kondisi yang ada sekarang, bila di biarkan berlarut-larut akan menyebabkan dampak buruk bagi kesehatan (Stuart & Sundden, 2010). Salah satu faktor yang menyebabkan kecemasan yaitu gangguan fisik. Gangguan fisik yang dapat menyebabkan ansietas antara lain gangguan otak dan gangguan pernafasan obstruktif kronis ( Medicastore, 2011). Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat Dengan Tingkat Kecemasan Pada Pasien TB Paru yang di Rawat di Ruang Rawat Inap G4 Tropik RSUD Prof. Dr. H. Aloe Saboe Kota Gorontalo. Identifikasi masalah dari latar belakang ini Infeksi TB Paru sering terjadi batuk darah, adanya batuk darah dapat menimbulkan kecemasan. Batuk darah menimbulkan kecemasan pada diri klien karena sering dianggap batuk darah merupakan suatu tanda yang berat dari penyakitnya. Berdasarkan data penyakit TB Paru yang ada di Provinsi Gorontalo tahun 2011 sebanyak 1617 orang pada tahun 2012 meningkat menjadi 1674 orang. Berdasarkan data yang didapatkan dari rekam medik RSUD Prof. Dr. H. Aloe Saboe penderita TB Paru sebesar 159 orang dari tahun 2011 sampai tahun 2012. Hasil observasi peneliti terhadap 11 pasien TB Paru diruang rawat inap G4 Tropik di RSUD Prof. Dr. H. Aloe Saboe mengalami kecemasan dengan karakteristik yang berbeda-beda baik dari kecemasan ringan sampai kecemasan berat. Hasil wawancara terhadap pasien TB Paru diruang rawat inap G4 Tropik di RSUD Prof. Dr. H. Aloe Saboe mengatakan bahwa beberapa perawat sudah sering mengajak berkomunikasi saat bertemu dengan mereka, namun adapun beberapa perawat yang hanya kadang berkomunikasinya. Berdasarkan masalah diatas maka perlu dilakukan penelitian tentang Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat dengan Tingkat Kecemasan Pasien TB Paru di Ruang Rawat Inap G4 Tropik di RSUD Prof. Dr. H. Aloe
Saboe Kota Gorontalo. Tujuan Umum Diketahuinya hubungan komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan pada pasien TB Paru di ruang rawat inap G4 Tropik di RSUD Prof. Dr. H. Aloe Saboe Kota Gorontalo. Tujuan Khusus Dianalisisnya hubungan komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan pada pasien TB Paru di ruang rawat inap G4 Tropik di RSUD Prof. Dr. H. Aloe Saboe Kota Gorontalo. Definisi Komunikasi Terapeutik merupakan kata sifat yang dihubungkan dengan seni dari penyembuhan (Mukhripah, 2010). Maka disini dapat diartikan bahwa terapeutik adalah segala sesuatu yang memfasilitasi proses penyembuhan. Sehingga komunikasi terapeutik itu sendiri adalah komunikasi yang yang direncakan dan dilakukan untuk membantu penyembuhan/pemulihan pasien. Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi professional bagi perawat. Pengertian Kecemasan adalah suatu kondisi penyebab kegelisahan atau ketegangan yang menahun dan berlebihan serta menunjukan reaksi terhadap bahaya yang memperingatkan orang dari dalam secara naluri bahwa ada bahaya dan orang yang bersangkutan mungkin kehilangan kendali dalam situasi tersebut (Ramaiah, 2003). Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri mikrobakterium tuberkulosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga juga dikenal dengan Basil Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 maret 1882. Untuk mengenang jasa Koch, bakteri ini diberi nama Baksil Koch. Bahkan penyakit TBC pada paru-paru kerap juga di sebut sebagai Koch Pulmonum (Widoyono, 2008). METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Prof Dr. H. Aloe Saboe Kota Gorontalo. Adapun alasan pemilihan lokasi karena tersedianya sampel yang memadai dan belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya di Rumah Sakit tersebut. Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu pada periode Februari sampai April 2014. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode analitik korelasional. Pada penelitian ini menggunakan desain Cross Sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi
antara faktor-faktor risiko dengan efek dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo, 2010). Variabel bebas Dalam penelitian ini adalah komunikasi terapeutik perawat. variabel terikatnya adalah tingkat kecemasan pada pasien TB Paru. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien TB Paru yang ada di ruangan rawat inap G4 Tropik di RSUD Prof Dr H Aloe SaboeTeknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental sampling. Metode pengumpulan data pada penelitian ini yakni menggunakan angket, wawancara, dan observasi. Angket/kuisioner digunakan untuk mengetahui jawaban pasien dengan cara diedarkan pada responden, sedangkan wawancara dilakukan untuk menanyakan kembali jawaban responden ketika jawaban tidak begitu jelas dan observasi dilakukan peneliti sendiri terhadap perawat untuk melihat komunikasi terapeutik perawat. Intrumen pada penelitian ini adalah kuisioner. Kuisioner untuk kecemasan serta lembar observasi perawat untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan seseorang apakah ringan, sedang, berat atau berat sekali menggunakan instrumen yang dikenal dengan nama Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A). Kuisioner untuk menilai pelaksanaan komunikasi terapeutik penentuan skor sebagai berikut : skor 1 untuk jawaban benar dan 0 untuk jawaban salah. Jumlah soal pada kuisioner ini adalah 14 soal yang telah dilakukan uji validitas dan realibilitas.
HASIL Dan PEMBAHASAN Hasil Penelitian Karakteristik Responden Pasien TB Paru dan Perawat Tabel 4.1. Distribusi Karakteristik Berdasarkan Pengalaman Perawatan di Rumah Sakit Pasien TB Paru yang dirawat di Ruang Rawat Inap G4 Tropik RSUD. Prof. Dr. H. Aloe Sabeo Tahun 2014 N Pengalaman Persentasi n o Perawatan % 1 Pernah 13 43,3 2 Tidak Pernah 17 56,7 Total 30 100% Sumber : Data Primer Berdasarkan tabel 4.1 di dapatkan sebagian besar 17 (56,7%) responden pasien TB Paru belum pernah dirawat dirumah sakit sebelumnya dan sebanyak 13 (43,3%) responden sudah pernah mengalami perawatan dirumah sakit. Tabel 4.2. Distribusi Karakteristik Berdasarkan Tingkat Pendidikan Pasien TB Paru yang di Rawat di Ruang Rawat Inap G4 Tropik RSUD. Prof. Dr. H.Aloe Saboe Tahun 2014 No Tingkat Persentasi n Pendidikan % 1 Tamat SD 16 53,3 2 Tamat SLTP 10 33,3 3 Tamat SMA 4 13,4 4 Perguruan Tinggi - 0 Total 30 100% Sumber : Data Primer Berdasarkan tabel 4.2 didapatkan bahwa lebih banyak 16 (53,3%) reponden hanya memiliki tingkat pendidikan tamat SD.
Tabel 4.3. Distribusi Karakteristik Responden Perawat Berdasarkan Tingkat Pendidikan Perawat di Ruang Rawat Inap G4 Tropik RSUD Prof. Dr. H. Aloe Saboe Tahun 2014 N o Tingkat Pendidikan n Persentase % 1 SPK 1 9 2 D III 9 82 Keperawatan 3 S1 Kep. Ns 1 9 Total 11 100 Sumber : Data Primer Berdasarkan tabel 4.3 sebagian besar 9 (82%) responden perawat di ruang rawat inap G4 Tropik memiliki tingkat pendidikan D III keperawatan dan 1 (9%) memiliki tingkat pendidikan SPK dan S.Kep. Ns Tabel 4.4. Distribusi Karakteristik Responden Perawat Berdasarkan Masa Kerja Perawat di Ruang G4 Tropik RSUD Prof. Dr. H. Aloe Saboe Tahun 2014. No Masa kerja n Persentase % 1 1-5 tahun 6 60 2 Lebih 5 tahun 5 40 Total 11 100 % Sumber : Data Primer Berdasarkan tabel 4.4 didapatkan bahwa sebagian besar 6 (60%) perawat mempunyai masa kerja 1-5 tahun.
Tabel 4.5. Komunikasi Terapeutik Perawat di Ruang Rawat Inap G4 Tropik di RSUD Prof. Dr. H. Aloe Saboe Tahun 2014 N Komunikasi Persentase n o Terapeutik % 1 Baik 12 40 2 Cukup Baik 15 50 3 Kurang baik 3 10 Total 30 100% Sumber : Data Primer Dari tabel 4.5 menunjukan bahwa sebagian 15 (50%) responden mengatakan bahwa komunikasi terapeutik perawat di ruang rawat inap G4 Tropik dalam kategori cukup baik. Tabbel 4.6. Tingkat Kecemasan Responden Pasien TB Paru Yang di Rawat di Ruang Rawat Inap G4 Tropik RSUD Prof. Dr. H. Aloe Saboe Tahun 2014. N Tingkat Persentase o Kecemasan n % Pasien TB Paru 1 Tidak cemas 2 6,6 2 Cemas Ringan 14 46,7 3 Cemas Sedang 10 33,3 4 Cemas berat 4 13,3 Total 30 100% Sumber : Data Primer Berdasarkan tabel 4.6 di dapatkan bahwa sebanyak 14 (46,7%) dengan tingkat kecemasan ringan, sedangkan 10 (33,3 %) dengan tingkat kecemasan sedang.
Tabel 4.7. Distribusi Analisis Komunikasi Terapeutik Perawat dengan Tingkat Kecemasan Pasien TB Paru yang di Rawat di Ruang Rawat Inap G4 Tropik RSUD Prof. Dr. H. Aloe Saboe Tahun 2014. Komunikasi Tingkat Kecemasan Pasien TB Paru Terapeutik Tidak ada Ringan Sedang Berat Total P value Perawat N % N % N % N % Baik 1 3 10 33 1 10 0 0 12 0,645 Cukup baik 1 3 5 16 7 23 2 6 15 sig Kurang baik 0 0 0 0 1 3 2 6 3 0,000 Tidak baik 0 0 0 0 0 0 0 0 0 < Total 2 7 15 50 9 30 4 13 30 0,05 Sumber : Data Primer Hasil analisis hubungan antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan pasien TB Paru yang di rawat di ruang rawat inap G4 Tropik di RSUD Prof. Dr. H. Aloe Saboe menunjukan bahwa, sebanyak 30 responden TB Paru diketahui dari 12 pasien TB Paru, yang mengatakan komunikasi terapeutik perawat baik, didapatkan lebih banyak 10 (33%) responden dengan tingkat kecemasan ringan, dari 15 pasien yang mengatakan komunikasi terapeutik perawat cukup baik didapatkan sebanyak 7 (23%) responden dengan tingkat kecemasan sedang, dan responden ( 6%) dengan tingkat kecemasan berat dengan komunikasi kurang baik. Berdasarkan hasil uji korelasi Spearmen dapat dilihat bahwa terdapat hubungan positif sebesar 0,645, pada taraf signifikan p= 0,000 ( p< α 0,05)yang artinya semakin baik komunikasi terapeutik perawat maka semakin rendah tingkat kecemasan pasien TB Paru. Dengan demikian hipotesis Ho di tolak dan menerima H1 dimana terdapat hubungan yang signifikan antara komunikasi terapeutik perawat
Pembahasan Penelitian Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komunikasi terapeutik sangat berperan penting dengan proses asuhan keperawatan itu sendiri dan sangat efektif untuk menurunkan kecemasan pasien. Hal yang terpenting dalam komunikasi terapeutik perawat adalah penerapannya dalam kehidupan sehari- hari. Responden lebih menyukai perawat yang komunikatif daripada perawat yang terampil namun terkesan tidak ramah karena mengabaikan komunikasi saat berinteraksi dengan klien. Penggunaan bahasa yang baik dan lembut kepada pasien dapat mengurangi emosi, dan kekhawatiran. Hasil penelitian terkait tentang penerapan komunikasi terapeutik perawat di ruang rawat inap G4 Tropik RSUD Prof. Dr. H. Aloe saboe dari 30 responden pasien TB Paru didapatkan sebagian besar (90%) pasien mengatakan komunikasi terapeutik perawat dalam kategori baik dan cukup baik. Sedangkan 3 (10%) responden mengatakan komunikasi terapeutik perawat dalam kategori kurang baik. Hal ini tak jauh beda dengan hasil observasi oleh peneliti terhadap 10 responden perawat tentang komunikasi terapeutik dimana adanya kecenderungan bahwa sebagian besar perawat telah menerapkan komunikasi terapeutik dengan kategori baik dan cukup baik, dan tidak didapatkan perawat yang menerapkan komunikasi terapeutik dengan kategori kurang baik. Sesuai pernyataan diatas dapat dilihat bahwa pada dasarnya perawat diruang rawat inap G4 Tropik sudah menerapkan komunikasi terpeutik dengan baik dan cukup baik. Namun belum sepenuhnya diterapkan keseluruh pasien. Sehingga adanya pasien (3 responden) yang mengatakan bahwa komunikasi terapeutik perawat masih dalam kategori kurang baik. Maka hal ini dapat ditinjau lebih lanjut keterkaitannya dengan aspek lain atau faktor lain seperti karakteristik perawat diantaranya tingkat pendidikan dan lama kerja perawat. Jika dikaitkan antara karakteristik responden tersebut dengan penerapan komunikasi terapeutik perawat maka didapatkan hasil dari 6 perawat yang memiliki masa kerja 1-5 tahun maka seluruhnya menerapkan komunikasi terapeutik dengan kategori cukup baik, dari 4 responden perawat yang memiliki masa kerja > 5 tahun sebanyak 2 perawat yang menerapkan komunikasi terapeutik dengan kategori baik, serta 2 perawat dengan yang menerapkan komunikasi terapeutik dengan kategori cukup baik.
Berdasarkan data diatas terlihat adanya kecenderungan bahwa sebagian dari perawat yang memiliki masa kerja > 5 tahun mampu menerapkan komunikasi terapeutik dengan kategori baik di bandingkan dengan perawat yang memiliki masa kerja 1-5 tahun dengan yang penerapannya masih dalam kategori cukup baik. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Robbins (2008), yang mengungkapkan bahwa semakin lama seseorang bekerja, maka keterampilan dan pengalamannya dalam pekerjaannya tersebut akan semakin meningkat. Jika dilihat kecemasan responden berdasarkan hasil penelitian, didapatkan responden yang memiliki tingkat kecemasan ringan dan tingkat kecemasan sedang memiliki persentasi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan responden dengan tingkat kecemasan berat. Tanda tanda yang sering muncul pada responden diantaranya responden mempunyai perasaan gelisah dengan lingkungan perawatan, perasaan berubah-ubah setiap waktu seperti perasaan menjadi sedih dan bosan dengan kondisi penyakitnya. Tidak adanya kecemasan dan kecemasan ringan yang terjadi pada sebagian besar responden karena pola koping yang baik, serta adanya hubungan yang sangat membantu dari perawat itu sendiri. Stuart dan Sundden (2005) mengatakan bahwa: Hubungan yang membantu ini adalah terapeutik, yang meningkatkan iklim psikologis yang membawa perubahan dan pertumbuhan yang positif. Selain itu juga dapat dikaitkan dengan karakteristik responden seperti tingkat Pendidikan, dan pengalaman responden namun selain komunikasi terapeutik perawat adapun karakteristik dari pasien juga bisa mempengaruhi kecemasan pasien. Dari hasil penelitian didapatkan karakteristik dalam hal ini tingkat pendidikan pasien yang dikaitkan dengan kecemasan maka diketahui 16 responden pasien TB Paru mempunyai tingkat pendidikan SD dan lebih banyak 6 (16,7%) responden kecemasan sedang dan 3 (6,8) dengan kecemasan berat, dan terdapat 10 responden pasien TB Paru mempunyai tingkat pendidikan SLTP dan lebih banyak 7 (23,7%) responden dengan kecemasan ringan, Sedangkan terdapat 4 responden pasien TB Paru mempunyai tingkat pendidikan SMA dan sebanyak 2 responden dengan tingkat kecemasan ringan. Perkembangan respon kecemasan setiap individu dipengaruhi oleh pendidikan responden dalam memahami hikmah
yang terjadi dalam kehidupannya, termaksud masalah yang di hadapi. Adapun beberapa responden yang mengalami kecemasan berat dengan tingkat pendidikan SMA dikarenakan ia belum mampu mengatur emosi dan pribadinya untuk menyesuaikan diri dengan dampak yang ditimbulkan oleh suatu kondisi yang penuh dengan tekanan seperti penyakitnya tersebut sehingga hal ini akan mempengaruhi kepribadiannya. Senada dengan pendapat Suliswaty (2005) yang mengatakan bahwa: kecemasan yang terjadi karena individu tidak mampu mengadakan penyesuaian terhadap kondisi dan lingkungan sekitar. Berdasarkan hasil penelitian terdapat responden yang belum ada pengalaman perawatan dirumah sakit mempunyai jumlah lebih banyak dibandingkan responden yang sudah ada pengalaman perawatan dirumah sakit, dan berdasarkan kecemasan ditemukan bahwa lebih banyak (3 responden) yang memiliki kecemasan berat terjadi pada responden yang belum pernah mengalami perawatan dirumah sakit dibandingkan dengan responden yang sudah pernah mengalami perawatan dirumah sakit, sedangkan untuk responden yang memiliki kecemasan ringan dan kecemasan sedang mempunyai distribusi yang sama antara responden yang sudah pernah dan belum pernah mengalami perawatan rumah sakit. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Robby (2009) mengatakan bahwa : pengalaman masa lalu baik yang positif maupun yang negatif dapat mempengaruhi perkembangan keterampilan menggunakan koping. Didukung dengan hasil penelitian Dewi yang berjudul faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kecemasan pada pasien yang menjalani operasi mayor elektif diruang bedah RSUD Fatmawaty yang didapatkan tingkat pendidikan dan pengalaman perawatan dirumah sakit mempunyai hubungan yang signifikan dengan tingkat kecemasan dengan jumlah sampel sebanyak 45 responden. Akan tetapi tidak semua orang yang mengalami stressor psikososial akan mengalami gangguan cemas hal ini sesuai dengan struktur perkembangan kepribadian diri seseorang. Sehingga tidak semua pasien yang diterapkan komunikasi terapeutik perawat dengan baik maupun cukup baik akan mengalami kecemasan ringan ataupun sedang, hal ini bisa juga dikarenakan adanya karakteristik pasien yang
tidak mendukung seperti tingkat pendidikan pasien yang kurang maupun pengalaman pasien itu sendiri. Namun meskipun demikian, komunikasi terapeutik perawat tetap menjadi suatu bagian integral dari proses keperawatan yang dipandang dapat berkontribusi dalam mempengaruhi kecemasan pasien itu sendiri. Karena pada dasarnya perawat adalah salah satu tenaga medis yang paling banyak berinteraksi untuk mengasuh, merawat pasien ketika pada masa perawatan. PENUTUP Kesimpulan 1.1.1. Ada hubungan yang signifikan antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan pasien TB Paru yang dirawat diruang rawat inap G4 Tropik di RSUD. Prof. Dr. H. Aloe saboe yang menunjukan nilai p value = 0,000 dan α= 0,05. Nilai korelasi spearmen sebesar 0,645 menunjukan bahwa kekuatan korelasi dalam kekuatan yang sedang. 5.2. Saran 5.2.1. Bagi Ilmu Keperawatan Lebih dikaji kembali dalam mata ajar Keperawatan Dasar Manusia mengenai kebutuhan Pasien rawat inap, terutama kebutuhan psikologis dan dalam mengatasi kecemasan. 5.2.2. Bagi Praktisi dan Intitusi pelayanan kesehatan Agar bisa ditingkatkan lagi penerapan komunikasi terapeutik perawat sebagai salah satu bagian dari asuhan keperawatan keseluruh pasien rawat inap dalam menurunkan tingkat kecemasan. 1.2.3. Bagi pendidikan, penelitian dapat di jadikan sebagai bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya terkait komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan pasien TB Paru.
DAFTAR PUSTAKA Arita, M dkk.2009. Komunikasi Terapeutik Panduan BagiPerawat. Yogyakarta: Fitramaya Arwani. 2003. Komunikasi Dalam Keperawatan. Jakarta. EGC Aspuah, Siti. 2013. Kumpulan Kuisioner dan Instrumen Penelitian Kesehatan. Yogyakarta. Nuha Medika Damaiyanti, M. 2010. Komunikasi Terapeutik Dalam Praktik Keperawatan. Bandung. Refika Aditama Dewi. N. 2009. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Kecemasan Pasien Yang Akan Menjalani Operasi Mayor Elektif Diruang Rawat Inap Bedah RSUD Fatmawati Jakarta Selatan. Skripsi. FKIK UIN Syarif Hidayatullah. Edy.Soesanto,dkk.2008.Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat dengan Tingkat Kecemasan Pasien Kardiovaskuler yang Pertama Kali dirawat Di ICU RSU Tugurejo Semarang.FIKKES.Jurnal Keperawatan, Volume 1 No. 2 Edyana, A. (2008). Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat Dengan Kemampuan Perawat Pelaksana dalam Menerapkan Tehnik Komunika Terapeutik di RSJ Bandung Cimahi. Thesis. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Hasan, H. (2002). Faktor-faktor yang berhubungan dengan Persepsi Perawat terhadap Komunikasi Terapeutik Perawat di RSUD Solok Sumatra Barat. Thesis. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Dadang. 2011. Manajemen Stress Cemas dan Depresi. Jakarta. Balai penerbit FKUI Kristina. 2012. Contoh Proposal Skripsi TBC Paru. http://www. Onlinesyariah. Com/2012/11/ contoh-proposal- Skripsi- TBC- Paru, diakses 27 desember 2013 Lestari. P. 2013. Pengaruh Komunikasi Terapeutik Terhadap Tingkat Kecemasan Lansia yang Tinggal Di Balai Rehabilitasi Sosial Mandiri Pucang Gading. Stikes. Jurnal Keperawatan, Volume 1 No. 1 Lukman. Ansietas Pada Fraktur. http://.blogspot. com. Diakses tanggal 3 april 2014 Mandal.K.B,dkk.2008.Lecture Notes Penyakit Infeksi.Jakarta: Erlangga Nursalam. 2013. Konsep Kecemasan. http: //. Ayners blogspot. Com. Diakses tanggal 17 juni 2014
Perry & Potter. 2005. Fundamental Keperawatan Volume 1. Ed. 4. Jakarta. EGC -------. 2011. Faktor yang menyebabkan Kecemasan. http:// repositori. Usu.ac.id, diakses 27 desember 2013. Soekidjo, N. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta. PT Rineka Cipta Suliswaty. 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC Tamsuri, A. 2006. Komunikasi dalam Keperawatan. Jakarta: EGC Yusnita, R. 2008. Hubungan Komunikasi Terapeutik Bidan Dengan Kecemasan Ibu Bersalin Diruang Kebidanan dan Bersalin di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Pidie. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Widoyono. 2008. Penyakit Tropis ( Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &Pemberantasannya). Jakarta. Erlangga