BAB V MENGANALISA PEMIKIRAN REKONSTRUKSI TRADISI PEWAYANGAN. Setelah memperhatkan secara seksama atas data-data yang penulis dapatkan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP. kesimpulan untuk mengingatkan kembali hal-hal yang penting dan sekaligus

BAB I PENDAHULUAN. Wayang kulit merupakan kesenian tradisional rakyat Indonesia yang mampu

BAB I PENDAHULUAN. Danandjaja (dalam Maryaeni 2005) mengatakan bahwa kebudayaan daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB IV RESPON MASYARAKAT MUSLIM TERHADAP TRADISI RUWATAN BULAN PURNAMA. A. Masyarakat Umum di Komplek Candi Brahu

BAB I PENDAHULUAN. cerdas, sehat, disiplin, dan betanggung jawab, berketrampilan serta. menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi misi dan visi

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB IV ANALISIS DATA. ajaran Islam yang bersumber pada al-qur an dan as-sunnah. Sedangkan secara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil temuan di lapangan mengenai perkembangan seni

Hasil Wawancara Dengan Ki Kasim Kesdo Lamono dan Paguyuban Cinde

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Seni Dzikir Saman Di Desa Ciandur Kecamatan Saketi Kabupaten Pandeglang Banten

Mam MAKALAH ISLAM. Wali Songo, Antara Legenda dan Fakta Sejarah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

Bab VI Simpulan & Saran

TONTONAN, TATANAN, DAN TUNTUNAN ASPEK PENTING DALAM AKSIOLOGI WAYANG

BAB V KESIMPULAN. Adaptasi dalam Jêmblungan berdampak pada perubahan. garap pertunjukannya sebagai media hiburan. Adalah ngringkês

I. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen atau majemuk, terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kesatuan yang dibangun di atas keheterogenan

BAB I PENDAHULUAN. Keberagaman kesenian tradidisional adalah salah satu potensi budaya yang

BAB V PENUTUP. Masjid Agung Demak mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Kota Medan merupakan salah satu kota terbesar yang terdapat di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rizky Nugaraha,2013

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB V PENUTUP Kesimpulan

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam tradisi Jawa dikenal dengan nama Wali Sanga. Wali Sanga

BAB I PENDAHULUAN. mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB VI P E N U T U P. A. Kesimpulan. purwa lakon Subali Lena sajian dalang Enthus Susmono dalam acara Tirakatan

Oleh: Alief Baharrudin G

BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENGAJIAN TAFSIR AL-QUR AN DAN UPAYA PEMECAHANNYA DI DESA JATIMULYA KEC. SURADADI KAB. TEGAL

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari orang Jawa. Keyakinan adanya tuhan, dewa-dewa, utusan, malaikat, setan,

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI. A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunita, 2014

23. URUSAN KEBUDAYAAN

BAB V P E N U T U P. A. Kesimpulan. berikut ini. Pertama, dinamika historis masyarakat Hatuhaha Amarima selalu

BAB I PENDAHULUAN. digital seperti sekarang ini dirasa semakin berkurang kualitas penyajian dan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. satu budaya penting bagi masyarakat Islam Jawa, baik yang masih berdomisili di

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Kesenian wayang golek merupakan salah satu kesenian khas masyarakat

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Ajaran Persaudaraan Setia Hati Terate dari masa ke masa mengalami

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB IV ANALISIS TOLERANSI ATAR UMAT BERAGAMA DI KALANGAN SISWA DI SMA NEGERI 3 PEKALONGAN

BAB V PENUTUP. Peranan Panakawan dan Denawa (Buta) pada pertunjukan seni tradisi Wayang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berbagai budaya masyarakat, adat istiadat dan kebiasaan yang dilakukan turun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Wayang orang atau wayang wong dalam bahasa Jawa-nya yang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

IDENTITAS KULTURAL DAN PENGEMBANGAN DAKWAH DI ERA GLOBALISASI

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan dan tradisinya masing-masing. Syari at Islam tidak

BAB V KESIMPULAN. Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, kiranya. telah cukup menjawab berbagai permasalahan yang diajukan

BAB IV RESEPSI MASYARAKAT DESA ASEMDOYONG TERHADAP TRADISI BARITAN. Secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception

BAB IV PENYIMPANGAN AQIDAH DALAM SEDEKAH LAUT DI KELURAHAN BANDENGAN

17. URUSAN WAJIB KEBUDAYAAN

BAB I PENDAHULUAN. Ibid hlm. 43

Wayang dan Mahabharata. Written by Pitoyo Amrih Saturday, 23 August :57 - Last Updated Saturday, 23 August :16

KURIKULUM Kompetensi Dasar. Mata Pelajaran PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN. Untuk KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. Pada makanan tertentu bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan biologis,

BAB I PENDAHULUAN. kelompok atau lapisan sosial di dalam masyarakat. Kebudayaan ini merupakan suatu cara

BAB I PENDAHULUAN. tinggal di daerah yang memiliki beraneka ragam budaya, adat istiadat, norma

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. masyarakat, bangsa, dan negara sesuai dengan pasal 1 UU Nomor 20 Tahun 2003.

barakah sesuai dengan sosio-kultural yang membentuknya dan mendominasi cara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. serta mudah dipahami oleh orang awam lantaran pendekatan-pendekatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

MAKALAH ISLAM. Mbah Sa'id, Sebuah Catatan Tentang Moderasi Islam (Bagian II, Habis)

EKSISTENSI PANCASILA DALAM KONTEKS MODERN DAN GLOBAL PASCA REFORMASI

BAB I PENDAHULUAN A. LATARBELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Konstruksi identitas jender, Putu Wisudantari Parthami, 1 FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rezki Puteri Syahrani Nurul Fatimah, 2015

PENGARUH MODERNITAS TERHADAP HUKUM ISLAM DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, dimana banyak memiliki

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah

BAB I PENDAHULUAN. tauhid, mengubah semua jenis kehidupan yang timpang kearah kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. aspek, termasuk dalam struktur sosial, kultur, sistem pendidikan, dan tidak

LKPJ WALIKOTA SEMARANG AKHIR TAHUN ANGGARAN 2014

2015 KESENIAN MACAPAT GRUP BUD I UTOMO PAD A ACARA SYUKURAN KELAHIRAN BAYI D I KUJANGSARI KOTA BANJAR

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. andil pada perubahan sistem dan tata nilai dalam masyarakat Islam.

JURNAL SKRIPSI. MAKNA RITUAL DALAM PEMENTASAN SENI TRADISI REOG PONOROGO (Studi Kasus di Desa Wagir Lor, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo)

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP. kebaikan serta mengandung nilai-nilai ajaran Islam. Teater Wadas

BAB I PENDAHULUAN. Modernisasi merupakan fenomena budaya yang tidak dapat terhindarkan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia selalu saja menarik untuk diwacanakan, dikaji, diteliti, bahkan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

BAB I PENDAHULUAN. luhur yang sudah lama dijunjung tinggi dan mengakar dalam sikap dan perilaku seharihari.

2015 TARI MAKALANGAN DI SANGGAR SAKATA ANTAPANI BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. sampai merauke, menyebabkan Indonesia memiliki banyak pulau. dijadikan modal bagi pengembang budaya secara keseluruhan.

Sambutan Presiden RI pada Peresmian Pesta Kesenian Bali ke-35, Denpasar, 15 Juni 2013 Sabtu, 15 Juni 2013

Transkripsi:

BAB V MENGANALISA PEMIKIRAN REKONSTRUKSI TRADISI PEWAYANGAN Setelah memperhatkan secara seksama atas data-data yang penulis dapatkan dilapangan, ada beberapa catatan mendasar atas fenomena kemunculan komunitas peduli wayang kulit di Jawa Timur ini. 1. Konsepsi Fenomenologis Pendirian Komunitas Peduli Wayang Gagrag Jawa Timuran Sebagaimana disebutkan pada kerangka teori, keberadaan wayang dalam frame produk kebudayaan (karya pemikiran manusia) bukanlah hal yang baru. Wayang ataupun pewayangan ada bersamaan dengan perkembangan agama-agama di dunia. secara historis, wayang merupakan media ritual keagamaan dan dalam perkembangannya wayang juga menjadi media l syiar agama-agama sebelum Islam, seperti Hindu-Budha di Nusantara ini. Dan pada masa Islam era Wali Songo, keberadaan wayang menjadi bagian integral dari penyebaran agama Islam. Pada waktu yang bersamaan, masyarakat Indonesia, khususnya yang ingin memeluk agama Islam, tidak mempermasalahkan keberadaan wayang sebagai bagian kebudayaan. Bahkan, sebagian besar umat Islam mengapresiasi upaya Wali Songo menggunakan wayang sebagai media syi ar Islam. Namun, pada proses perkembangannya, ada pergeseran pandangan atau pemikiran masyarakat tentang wayang. Beberap kelompok ummat Islam dari unsur Kyai maupun santri tidak menginginkan Islam dengan kebudayaan lokal khususnya kesenian wayang kulit. Melalui tajuk purifikasi ajaran Islam mereka menganggap bahwa penggunaan wayang sebagai produk media dakwah adalah bid ah. Pola pikir ini, hingga saat ini, masih terus dikembangkan oleh kelompok tersebut. Ciri kelompok yang menolak keberadaan wayang ini, sebagian besarnya, berhaluan aliran transnasional.

Di sisi lain, kelompok umat Islam yang menghargai eksistensi wayang sebagai bagian kebudayaan Islam-Jawa atau Indonesia dalam skala yang luas, memiliki keinginan untuk mengembalikan pewayangan tersebut agar dapat diterima di semua elemen masyarakat. Atau tidak ada lagi kelompok yang melarang bahkan mengharamkan wayang dalam kehidupan beragama. Dengan demikian, realitas di masyarakat, menunjukkan konfrontasi pemikiran antara yang mendukung keberadaan wayang dan mereka yang menolaknya. Hingga akhirnya, ada inisiasi yang dibangun Komunitas Peduli Wayang Gragag Jawa Timuran untuk mengakomodasi dan mendialogkan perbedaan pandangan ini dalam bentuk sarasehan dan pertemuan rutin bulanan antara Dalang, Kyai, para budayawan dan akademisi. Sebagaimana yang dijelaskan Kyai Ainur Rofiq, komunitas ini berusaha untuk mengembalikan pewayangan dengan nuansa baru, yakni kental dengan disiplin dan landasan ajaran Islam. Dia juga menjelaskan bahwa seluruh proses pembingkaian cerita yang ada di dalam pewayangan tersebut disesuaikan dengan ajaran Islam, tanpa menghilangkan unsur-unsur khas yang melekat pada dalang, sinden, dan pagelaran wayang yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Pada konteks ini, penulis beranggapan bahwa mereka (komunitas peduli wayang Jawa Timuran) memahami betul persoalan atau issue yang terjadi di dalam masyarakat. Kelompok Kyai masih memiliki keengganan untuk menerima kebiasaan para dalang yang cenderung mengedepankan aspek kehidupan mistisisme (baca: spiritualisme) Islam. Penulis pun bersepakat dengan Kyai Ainur Rofiq yang mengatakan bahwa keberadaan komunitasnya untuk menggabungkan tradisi shari ah, tharikat, dan hakikat secara bersamaan. Melalui penampilan atau pagelaran pewayangan.

2. Landasan Pemikiran Pewayangan dalam Transmisi Islam Modern oleh Komunitas Peduli Wayang Gragak Jawa Timuran. Dari paparan beberapa tokoh yang tergabung dalam Komunitas Peduli Wayang di atas, maka konstruksi baru tentang wayang/pagelaran pewayangan yang diinginkan terbagi menjadi tiga kerangka penting : a. Tradisi wayang Jawa. Konstruksi keyakinan berbasis pada ajaran kejawen (nilainilai budaya Jawa) bersumber dari para Ki Dalang. Pada penelitian ini adalah Ki Surwedi dan Ki Toyib, sebagai dalang sepuh yang mengajari banyak dalang di Jawa Timur. Ki Surwedi pun mengakui bahwa apa yang ditekuninya murni ajaranajaran yang secara otodidak ditularkan oleh orang tuanya disaat kecil. Di saat dia berkumpul dengan para Kyai memang sedikit ada shock culture yang membuat dirinya berusaha memahami makna pewayangan berdasarkan pada basis ajaran keagamaan. b. Wali Songo, Adapun landasan ini cenderung dipergunakan oleh para Kyai yang memang menghayati dan menjustifikasi bahwa wayang mulai bisa diterima umat Islam disaat Wali Songo menggunakannya sebagai media dakwah. Dengan kata lain, para kyai benar-benar menghormati tradisi masa lalu, dimana para Wali Songo menghasilkan pemikiran tentang pewayangan. Salah satu contoh nilai-nilai historis pewayangan Wali Songo yang tetap dikumandangkan adalah tentang para panakawan, yaitu Semar, Petruk, Gareng, Bagong. Dalam bentuk terjemahanterjemahan Islamnya. Hal yang berbeda adalah adanya gap antara kiai dan para dalang yang berkeyakinan pada asas nilai jawa. Ini dikarenakan adanya kecenderungan terhadap dunia spiritualisme semata. c. Karakter lakon dan kesesuaiannya dengan Islam. Ini adalah proses hasil diskusiintegratif dari kebudayaan jawa dan nilai-nilai ajaran Islam yang diyakini oleh

para Kiai. Maka dari itu, komunitas ini sebenarnya memiliki sebuah Forum khusus bernama Forum Silaturrahmi Kiai-Dalang dan Budayawan. Forum ini berguna untuk menambah secara terus menerus kajian-kajian penting tentang terminilogi pewayangan dan lakon yang ada di dalamnya. Selain sebuah pemikiran yang bertitik tumpu pada background keahlian dan kompetensi masing-masing. Komunitas ini juga sering mengundang civitas akademika kampus untuk memperkaya keilmuan dan pemikirannya. Para civitas akademisi ini diperuntukkan untuk mentashih seluruh produk narasi pewayangan yang mereka hasilkan dalam diskusi. Fenomena ini menandakan bahwa sebagai bentuk diskursi pemikiran konstruksi kesadaran mereka sangat sesuai dengan kerangka-kerangka teoritik yang ada dalam penelitian ini. Mereka memiliki landasan-landasan pemikiran yang sangat bagus. Sedangkan, dari sisi transmisi dalam konteks Islam modern. Pemikiran komunitas memiliki relevansi yang sangat bagus. Khususnya, dalam upaya membingkai kerangka pemikiran integratif di kehidupan modern. Dengan model pemikiran yang multi-disipliner di atas, seraya menyajikan beberapa alternatif anggapan terhadap persoalan agama saat ini. Berdasarkan pada paparan data, menegaskan bahwa upaya menghormati masa lalu yang mereka kerjakan, hanya diperuntukkan untuk menjaga tradisi dan budaya Islam-Indonesia yang murni. Pasalnya, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ada banyak tantangan yang dihadapi orang Indonesia yang memeluk agama Islam. Salah satunya, upaya mengganti asas Pancasila menjadi negara agama. Untuk terus melakukan proses koreksi dan penyebaran pemikirannya, komunitas ini melakukan beberap program-program yang terbuka untuk kalangan akademisi, seperti mahasiswa, masyarakat umum, dan kalangan budayawan lainnya. Paparan data di atas juga

menggambarkan bagaimana mereka juga masih memiliki kekurangan dalam konteks penyampaian (delivering) pesan menggunakan bahasa paten pewayangan. Mereka sedang berusaha untuk mengganti model kebahasaannya ke bahasa yang lebih membumi dan dipahami anak muda. 3. Konstruksi Pewayangan bernuansa Islam oleh Komunitas Peduli Wayang Gragak Jawa Timuran. Tidak jauh berbeda daripada pembahasan sebelumnya, kerangka baru dalam tradisi pewayangan yang ditawarkan kelompok ini: a. Perubahan Tampilan Pagelaran atau Acara ceremonial Pewayangan. Perubahan ini memang tidak menyangkut aspek-aspek content, melainkan hanya untuk menampilkan kesan bahwa wayang dan elemen-elemen yang ada di dalamnya, juga bisa bernuansa Islami. Tujuan perubahan tampilan ini adalah untuk merubah mindset masyarakat bahwa wayang yang umumnya diidentikan dengan perilaku negatif dan bebas dari nilai-nilai keagamaan berubah sebaliknya, menjadi tontonan yang tidak bertentangan dengan agam Islam malahan kaya dengan pesan moral. Secara faktual, perubahan itu dipertunjukkan sebelum prosesi pagelaran dimulai, yakni dengan memberikan waktu seluas-luasnya pada Kyai untuk memberikan gambaran wayang yang akan ditampilkan, sinden yang berbusana Islam, ditambahkannya pembacaan ayat suci al Qur an dan shalawat, serta penampilan dalang-dalang yang berlatar belakang Kyai. Di sisi lain, sebagaimana penjelasan Kyai Ainur Rofiq, pagelaran wayang yang sering diselenggarakan pada dini hari, dirubah diantara waktu-waktu yang efektif dan efesien dalam penyampaian dakwah. b. Rekonstruksi makna dalam Tokoh dan Lakon serta cerita yang bernuansa dan berasaskan ajaran Islam. Salah satu yang dicontohkan adalah Brotoseno dan Dewa Ruci sebagai jelmaan Wali dan Malaikat. Tidak hanya sekedar merubah semata, para

dalang yang menyampaikan cerita tersebut wajib menyisipkan hasil-hasil kajian (baca; dalil-dalil al-qur an atau hadits) yang memiliki relevansi terhadap karakter wayang tersebut. c. Rekontruksi makna dari sisi tradisi pewayangan. Dalam konteks penelitian ini, makna yang dirubah adalah tradisi Ruwatan atau upacara pembersihan yang lazimnya diyakini masyarakat sebagai upacara persembahan dan tolak-balak yang ini jelaslah mengaburkan aqidah, menjadi acara Shokhwatul Hadharah atau ruwat agung tanpa sesajen. Dalam konteks ini, penulis mengasumsikan bahwa Rekonstruksi ini merupakan sebuah proses yang cukup sederhana. Dan, berdasarkan pada aspek kesejarahan, sudah sering dilakukan oleh para Wali Sembilan. Tapi, penulis juga harus menyadari bahwa ada banyak proses-proses diskusi yang tidak penulis teliti secara seksama, untuk mengatakan bahwa produk pemikiran ini bukan merupakan invantion dan inovation pemikiran Islam. Dengan demikian, sebatas pengetahuan penulis, tetap beranggapan bahwa apa yang dilakukan komunitas peduli wayang ini adalah kerangka pemikiran baru untuk membumikan kembali pewayangan yang memiliki budaya seni yang tinggi dan keislaman di era modern.