Bab VI Simpulan & Saran

dokumen-dokumen yang mirip
Unsur Tasawuf dalam Perupaan Wayang Kulit Purwa Cirebon dan Surakarta

diciptakan oleh desainer game Barat umumnya mengadopsi dari cerita mitologi yang terdapat di Di dalam sebuah game karakter memiliki

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rizky Nugaraha,2013

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang

ABSTRAK TASAWUF DAN PERUPAAN PADA WAYANG KULIT PURWA CIREBON DAN SURAKARTA. Moh. Isa Pramana NIM :

BAB I PENDAHULUAN. cerdas, sehat, disiplin, dan betanggung jawab, berketrampilan serta. menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi misi dan visi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. unsur-unsur penting situasi di mana penutur mengujarnya. Makna. merupakan hubungan antara bahasa dengan bahasa luar yang

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. a. Langer terkesan dengan pengembangan filsafat ilmu yang berangkat

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

Wayang dan Mahabharata. Written by Pitoyo Amrih Saturday, 23 August :57 - Last Updated Saturday, 23 August :16

BAB V PENUTUP. kesimpulan untuk mengingatkan kembali hal-hal yang penting dan sekaligus

BAB I PENDAHULUAN. suatu bahasa. Puisi juga merupakan cara penyampaian tidak langsung seseorang

BAB V MENGANALISA PEMIKIRAN REKONSTRUKSI TRADISI PEWAYANGAN. Setelah memperhatkan secara seksama atas data-data yang penulis dapatkan

BAB I PENDAHULULAN. sebenarnya ada makna yang terkandung di dalamnya yang diharapkan dimengerti oleh sasaran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 DATA DAN ANALISIS Perang Wanara dan Raksasa. satu ksatria yang sangat ditakuti oleh lawannya.

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB VI KESIMPULAN. kesenian yang khas. Konsep akan yang indah (beauty) itu sendiri seiring waktu

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP. 1. Sejarah Singkat dan Perkembangan Wayang Rumput (Wayang Suket) Menurut berbagai sumber, pada mulanya Wayang Rumput (Wayang

BAB I PENDAHULUAN FAJRI BERRINOVIAN 12032

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lilis Melani, 2014 Kajian etnokoreologi Tari arjuna sasrabahu vs somantri di stsi bandung

BAB I PENDAHULUAN. negara yang kaya dalam berbagai hal, termasuk dalam segi kebudayaan.

TONTONAN, TATANAN, DAN TUNTUNAN ASPEK PENTING DALAM AKSIOLOGI WAYANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. wayang wong merupakan suatu khasanah budaya yang penuh dengan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sedikit pergeseran yaitu tidak hanya sebagai pelindung tubuh dari. gangguan alam dan untuk kesopanan, tetapi juga untuk menyalurkan


BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Elwin Adlian Raharja, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah karya seni tidak terlepas dari pembuatnya, yaitu lebih dikenal dengan

BAB III GAGASAN KARYA DAN PROSES BERKARYA

Tugas Akhir ~~ PERANCANGAN BUKU VISUAL DEWA RUCI ~~ Mahasiswa / RijalMuttaqin pembimbing / RahmatsyamLakoro,S.Sn,MT.

Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global

III. METODE PENCIPTAAN TOPENG SEBAGAI TEMA DALAM PENCIPTAAN KARYA SENI RUPA. A. Implementasi Teoritis

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat ditemui hal-hal

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

menganggap bahwa bahasa tutur dalang masih diperlukan untuk membantu mendapatkan cerita gerak yang lebih jelas.

BAB III CELENG SEBAGAI TEMA DALAM KARYA SENI LUKIS. A. Implementasi Teoritis

BAB I PENDAHULUAN. manusia di jaman dahulu. Mahabharata berasal dari kata maha yang berarti

Bab I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pengindonesiaan dari kata tattoo yang berarti goresan, gambar, atau

BAB I PENDAHULUAN. mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 4 KONSEP DESAIN. 4.1 Landasan Teori/Metode Teori membuat Komik. Dalam bukunya, Scott McCloud mengatakan bahwa komik adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Budaya tersebut terbagi dalam beberapa daerah di Indonesia dan salah satunya adalah

BAB V KESIMPULAN. Wayang wong gaya Yogyakarta adalah segala bentuk drama tari tanpa

Oleh: Alief Baharrudin G

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang

2015 TARI KREASI DOGDOG LOJOR DI SANGGAR MUTIARA PAWESTRI PELABUHAN RATU KABUPATEN SUKABUMI

MENGAPRESIASI KARYA SENI LUKIS

BAB IV PENUTUP. wayang yang digunakan, yaitu wayang kulit purwa dan wayang kulit madya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

1.1 BAB I 1.2 PENDAHULUAN

BAB VIII TATA BUSANA. STANDAR KOMPETENSI: Mampu memahami Hakikat Tata Busana

BAB VI KESIMPULAN. dalam kehidupan masyarakat. Gaya hidup yang menjadi pilihan bebas bagi

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. Tari adalah gerak-gerak dari seluruh bagian tubuh manusia yang disusun selaras

BAB V KESIMPULAN. Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, kiranya. telah cukup menjawab berbagai permasalahan yang diajukan

BAB I PENDAHULUAN. Konsep diri merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap

BAB I PENDAHULUAN. Kartun sebagai media komunikasi merupakan suatu gambar interpretatif. diciptakan dapat mudah dikenal dan dimengerti secara cepat.

BAB I PENDAHULUAN. gagasan, ekspresi atau ide pada bidang dua dimensi.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

ARTIKEL TENTANG SENI TARI

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan.

BAB I PENDAHULUAN. maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, mengolah, dan

BAB I PENDAHULUAN. kesenian produk asli bangsa Indonesia. Kesenian wayang, merupakan

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dengan kata lain, seorang aktor harus menampilkan atau. mempertunjukan tingkah laku yang bukan dirinya sendiri.

BEELAJAR MENCIPTAKAN RUANG MELALUI GAMBAR ANAK-ANAK Oleh: Taswadi. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN UKDW

Ringkasan Disertasi MORAL ISLAM DALAM LAKON BIMA SUCI. Oleh: T e guh NIM: /83. Pro motor: Prof. Dr. Marsono Prof. Dr. H. lskandar Zulkarnain

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia merupakan bentuk masyarakat Heterogen, baik dari

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV KONSEP PERANCANGAN

BAB V. UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. Busana bukanlah sebatas persoalan kain yang dikenakan seseorang,

BAB II IDENTIFIKASI DATA

Prambanan, yang disususun menjadi tesis, sebagai syarat menyelesaikan Program Pascasarjana,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil temuan di lapangan mengenai perkembangan seni

Munandar dalam Satriani (2011, hlm. 2) bahwa Kreativitas merupakan

Blangkon gaya Yogyakarta ditinjau dari bentuk motif dan makna simbolisnya

BAB I PENDAHULUAN LatarBelakang Eko Juliana Susanto, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Semua bangsa di dunia memiliki cerita rakyat. Cerita rakyat adalah jenis

BAB I PENDAHULUAN. memprihatinkan. Norma norma dan nilai nilai yang mencerminkan jati diri

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Soemardjo dan Saini K.M (1991:2) sastra merupakan karya fiktif

BAB I PENDAHULUAN. ujian mata kuliah Proyek Akhir yang bertema The Futuristic Of. Ramayana. Yang bertujuan untuk memperkenalkan suatu budaya

BAB I PENDAHULUAN. Sejak zaman prasejarah manusia sudah mengenal hiasan yang berfungsi

Transkripsi:

Bab VI Simpulan & Saran VI.1. Simpulan Berdasarkan analisis pada perupaan sampel artefak yang saling diperbandingkan, maka sesuai hipotesis, memang terbukti adanya pemaknaan Tasawuf yang termanifestasikan di dalam figur Wayang Kulit Purwa gagrak Cirebon dan Surakarta, yang disimpulkan sebagai berikut: 1. Latar belakang pemuatan ajaran Tasawuf dalam sistem perupaan dan penokohan - Unsur-unsur ajaran Tasawuf dapat diwadahi dalam figur wayang kulit Jawa yang mewakili masa Kewalen, karena secara mendasar dan menyeluruh, para Wali telah mendesain sistem perupaan yang sama sekali lain dengan yang ada pada wayang kulit Bali sebagai perwakilan wayang masa Kabudan. Desain sistem perupaan tersebut tentunya sesuai keperluan dakwah dan pengajaran Tasawuf. - Pemasukan ajaran Tasawuf ini juga nampak pada dieksposnya tokoh-tokoh yang tidak ada pada kisah aslinya (India) oleh para Wali, seperti para Panakawan, Buto Prepat atau Begal dan sebagainya. Figur-figur dari berbagai tokoh tersebut diciptakan dengan bentuk-bentuk yang unik selain untuk menarik perhatian, juga agar dapat mewadahi simbol-simbol ajaran Tasawuf. Hal ini justru jelas dilihat dari berbagai interpretasi pemaknaan yang ada dari karakter-karakter ciptaan tersebut, yang ternyata berbeda pada tiap gagrak dan daerah. 2. Bagaimana ajaran Tasawuf termanifestasikan dalam perupaan figur wayang kulit - Unsur-unsur ajaran Tasawuf dimanifestasikan dalam perupaan wayang kulit, baik itu gagrak Cirebon dan gagrak Surakarta, dan manifestasinya tidak berlaku sama untuk seluruh figur tokoh wayang. Ada yang meliputi keseluruhan (golongan figur), ada yang pada bagian anatomi saja, kemudian didasarkan bagian tubuh yang lebih spesifik seperti mata, mulut, hidung, genggaman, dan bagian per bagian aksesoris lalu lebih spesifik lagi pada bagian-bagian tubuh yang dimanipulasi (wanda), seperti tunduk tengadahnya kepala, naik turunnya bahu, kaki yang jinjit, rentang kaki, warna dan sebagainya. 281

282 - Perwatakan dasar sebagai refleksi keberadaan tataran nafsu seorang tokoh, dapat dideteksi melalui penggolongan figur wayang yang didasarkan keutuhan wujud, seperti halnya golongan Denawa yang umumnya berwatak kasar dan jahat, Ponggawa yang umumnya berwatak tegas, atau Satria yang berwatak halus. Perwatakan tersebut ditandai dari adanya bagian-bagian anatomi tertentu dengan kombinasinya Sifatnya permanen (tetap) atau konsisten atau tidak sepenuhnya tergantung dari lakonan tertentu saja, karena mencakup keseluruhan periwayatan. Dari perwatakan ini dapat dipastikan pula pada tataran nafsu yang mana si tokoh tersebut berada. - Wanda yang sifatnya situasional-kondisional (tidak tetap), dapat menjadi penanda kondisi spiritual yang juga menjelaskan berada pada tataran nafsu yang mana si tokoh berada saat itu. Misalkan pada Arjuna wanda Kinanthi gagrak Surakarta dengan ciri fisik yang demikian yang menandakan kesan sedih dan gelisah dapat dipastikan bahwa ia berada pada tataran nafsu al-lawwamah atau kondisi jiwa yang menyesali saat menerima wahyu. 3. Figur wayang kulit yang khusus mewadahi simbol ajaran Tasawuf secara mendetail - Khusus pada figur wayang Bima paling memenuhi persyaratan mewakili seluruh tingkatan pemaknaan Tasawuf, yaitu tiap detail aksesoris yang memiliki makna simbolik-sufistik, didukung kekuatan narasi penceritaan atau lakonan yang spesifik (Lakon Bimaruci). Namun secara perwatakan tak dapat dipastikan dengan tepat pada golongan manakah ia, apakah Ponggawa atau Sanggan, juga perwatakannya (kasar, tegas) yang sama sekali tak mencerminkan periwayatannya yang luar biasa (tingkat makrifat). Maka mengenai tataran nafsu yang dikaitkan dengan perwatakan dan golongan fisik, figur Bima menjadi pengecualian. - Sama halnya dengan figur Bima, figur Semar pun paling memenuhi persyaratan untuk mewakili seluruh tingkatan pemaknaan Tasawuf, dari perupaan secara total yang mencakup postur tubuh hingga detail seperti bagian anatomi, aksesoris dan sebagainya. Namun jika dibandingkan, maka figur Bima dan Semar gagrak Cirebon-lah yang lebih kaya akan atribut simbol Tasawuf yang tervisualisasikan dibandingkan dari gagrak Surakarta.

283 4. Pengaruh latar belakang kedaerahan atau gagrak terhadap manifestasi ajaran Tasawuf dalam perupaan figur wayang kulit - Manifestasi unsur Tasawuf tidak sama derajat dan kedalaman dari perwujudannya antara masing-masing gagrak wayang kulit, yaitu antara gagrak Cirebonan dengan Surakarta, karena ada perbedaan latar belakang dalam memahami dan cara pengungkapannya. Dalam hal ini jelas berkaitan erat dengan latar budaya dan kedaerahan. Ini tak mengherankan mengingat bagaimanapun seni adalah representasi sosial budaya dan masyarakat. - Dalam pandangan gagrak Surakarta. Cara Surakarta mengekspresikan suatu gagasan dalam wujud visual bersifat laten atau halus, dan cenderung menyembunyikan sisi jeleknya misalkan pada figur Rahwana, Duryudhana dan Dursasana sedangkan pada Cirebonan lebih ekspresif dan blak-blakan. Ini dikarenakan latar belakang budaya Surakarta yang berpijak pada kehidupan Keraton yang lebih mengutamakan kehalusan, keindahan dan kemewahan pada rupa dan tentunya lebih berpijak pada penampilan manusia dalam kenyataan, bahwa tokoh-tokoh jahat bisa saja berpenampilan begitu agung, berwibawa dan terhormat. - Simbolisasi Tasawuf pada Cirebon lebih difokuskan pada tokoh-tokoh penting, sedangkan pada gagrak Surakara, justru lebih pada tokoh-tokoh tambahan atau figuran. Misalkan pada tokoh Cakil yang sangat diekspos dan kehadirannya pada babak Perang Begal selalu dimaknai sebagai suatu simbol moral dan Tasawuf, sama halnya dengan para Buto Prepat dan kehadiran Kadang Bayu dalam lakon Wahyu Makutharama. Simbolisasi yang beragam pada tokoh-tokoh tambahan pada gagrak Surakarta juga menunjukkan kemajuan perkembangan pemikiran yang semula berasal dari Tasawuf namun terus berkembang dan bercampur dengan paham lain di luar ajaran Islam, seperti animisme, Hindu-Buddha, aliran kebatinan dan Kejawen, bahkan bercampur dengan kepentingan politik Keraton. Hal ini bisa dilihat dari adanya sofistikasi yang intensif terhadap perupaan wayang kulit di sana. - Penggambaran perwatakan pada tokoh Pewayangan di Surakarta berpijak pada kenyataan yang ada di sana, dan juga tercermin pada perupaan figur wayang kulitnya. Maka dari sisi simbolisme yang berkaitan dengan Tasawuf, gagrak Surakarta sedikit mengalami pemudaran, namun di lain pihak ia menjadi lebih cocok dan akurat dengan gambaran keadaan masa kini, di mana semua serba abu-

284 abu dan tidak lagi hitam-putih. Gagrak Surakarta adalah representasi gambaran perwatakan manusia yang lebih rumit dan maju, sesuai dengan perkembangan zaman, bukan sekedar moralitas hitam-putih lagi. Ia sangat berorientasi pada keduniawian dan kehidupan feodal Keraton sehingga telah beranjak jauh dari fungsi wayang sebagai sarana dakwah dan pembelajaran Tasawuf seperti yang telah dicontohkan para Wali. - Sedangkan pada gagrak Cirebon yang secara visual terasa sangat kasar, lebih kuna, primitif, bahkan non-islami, justru membuktikan aplikasi Tasawuf yang paling ekstrem, di mana perupaan wayang diangap sebagai ikon atau representasi kenyataan tidaklah dipandang penting. Apakah seseorang itu begitu mengerikan, menakutkan, hingga menjijikkan sekalipun namun toh ia berada di pihak yang benar. Para Satria dalam hal ini misalkan figur Bima yang dipandang sebagai wakil kebenaran tidak lantas dibuat lebih "sopan" atau "ramah" dengan memperhalus dan memperlengkap cara berbusana mereka, justru tetap dibiarkan apa adanya berpakaian seperti layaknya figur-figur Hindu atau pra-islam yang terwujudkan pada relief candi atau arca, hanya bercawat dan banyak bagian tubuh yang terbuka, apalagi pada tokoh-tokoh jahat seperti figur Dursasana dan Buto Cakil. Kebenaran yang direfleksikan dalam kesederhanaan, kejujuran bahkan hingga kelugasan dipandang lebih tinggi dan mutlak daripada kebenaran yang harus bersembunyi dalam keindahan dan kehalusan. Di sini pula tercermin pemahaman terhadap ajaran Islam dari sisi yang sangat tegas dan egaliter atau merakyat, sesuai dengan perwatakan masyarakatnya. - Pada pemahaman Tasawuf yang beredar di wayang Cirebon, nyata sekali adanya pandangan bahwa perupaan dalam kesenian begitu pula keindahan yang didasarkan kehalusan hanyalah sebagai media belaka, atau sekadar proses menuju hal yang paling dipentingkan yakni wahdat al-wujud atau manunggaling kawula lan gusti. Wayang kulit adalah media untuk mengenal Tuhan, dan bukannya menjadi tujuan hidup yang utama. VI.2. Saran Khususnya mengenai wayang kulit gagrak Cirebon, Masih banyak yang perlu dikaji dan diangkat dari wayang gagrak ini, terutama dari aspek perupaannya yang khas, karena selama ini image wayang kulit selalu didominasi oleh wayang kulit Jawa Tengah seperti gagrak Surakarta. Padahal banyak hal yang belum diketahui dalam

285 gagrak Cirebon ini dan penulis yakini dapat memperkaya persepsi dan memberikan pemahaman baru yang lebih lengkap dan menyeluruh mengenai apa itu seni tradisional pertunjukan wayang kulit. Selain itu dikarenakan image-nya yang sangat "primitif", wayang Cirebon dapat dijadikan sebagai acuan napak tilas dakwah para Wali, memberikan gambaran kesejarahan seperti apa materi pedalangan dan pertunjukan wayang kulit pada tahaptahap awal masuknya ajaran Islam. Untuk dapat mewadahi pemaknaan Tasawuf pada tokoh-tokoh Pewayangan ini tanpa merusak pakem tradisi, sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi wayang sebagai media dakwah, maka paling memungkinkan adalah memaksimalkan fungsi wanda. Karena kondisi spiritual atau nafsu manusia sendiri tidak selalu berpijak pada satu tataran yang tetap, maka wanda sangat cocok untuk mewadahi beberapa tokoh yang sama dengan berbagai kondisi spiritual yang sesuai dengan aspek Tasawuf. Inovasi dan kreasi wanda baru adalah alternatif yang paling memadai untuk hal ini. Penulisan tesis ini masih terbuka untuk dilanjutkan, ia masih jauh dari kesempurnaan, dikarenakan pembahasannya tidak dapat lebih dalam dan menajam lagi dan belum dapat meliputi figur-figur dari karakter lainnya dalam kisah Pewayangan. Hal ini disebabkan adanya kendala waktu, tenaga, biaya dan pemikiran. Namun penulis berkeyakinan bahwa pada figur-figur karakter Pewayangan masa Kewalen lainnya, tidak terbatas pada gagrak Cirebonan dan Surakarta saja, namun termasuk Yogyakarta, Banyumasan, Betawi hingga Jawa Timuran memuati unsur-unsur ajaran Tasawuf yang masih belum tergali dan dikaji, sesuai dengan hipotesis adanya campur tangan para Wali dalam aspek perupaan. Maka hasil penelitian pada tesis ini adalah sekedar untuk membukakan jalan dan kemungkinan akan adanya penelitian lainnya yang akan mengarah ke sana.