SEBERKAS KEGELAPAN Aku selalu takut kegelapan. Padahal kini aku sudah berusia sembilan belas tahun. Aku tidak pernah malu menolak diajak masuk ke rumah hantu, karena aku pernah merasakannya sekali, dan aku benar-benar terlihat seperti seorang pecundang di depan teman-temanku. Namaku Bintang Satria Gautama, panggil saja Bintang. Aku adalah seorang mahasiswa tingkat atas di satu Universitas Negeri ngetop di kotaku. Hidupku terasa biasa saja, hambar, dan tidak ada yang spesial, seolah aku hanya sebuah automaton robot- yang memang didesain untuk melakukan satu hal yang sama setiap hari selama bertahun-tahun. Yang kulakukan setiap hari adalah bangun pagi, berangkat ke kampus, kuliah, pulang, tidur siang, bangun sore, mengerjakan tugas, tidur tengah malam, dan seterusnya, dan seterusnya. Yah, memang setelah kematian Ayahku kira-kira sebulan yang lalu, kehidupanku kini terasa jauh lebih hambar daripada sebelumnya. Biasanya setiap pulang kuliah, Ayahku selalu sempat bertanya Gimana kuliahmu? Walaupun dengan suara yang sangat lirih, tapi delapan belas tahun bersama sudah cukup untuk mengerti bahkan sampai gestur-gestur yang paling kecil. 8
Ayahku meninggal dunia hanya beberapa saat sebelum semester lima berakhir. Aku sempat tidak berniat untuk melanjutkan sisa semester yang tinggal dua minggu tersebut. Rasanya seperti seluruh hasrat meraih titel sarjana dan membanggakan Ayah Ibuku hancur di depan mataku. Bahkan Ayahku tidak ada di rumah saat sahabatsahabatku merayakan ulang tahunku yang ke-sembilan belas. Dan entah mengapa, ketakutanku pada kegelapan semakin parah sepeninggal Ayahku. Aku hampir tidak berani mengunci pintu pagar, apalagi jika sudah lewat jam sepuluh malam. Korden ruang tamu selalu ditutup selepas senja, selagi masih ada sedikit cahaya, yang berarti masih tersisa sedikit keberanian. Ketakutan ini sangat tidak masuk akal, namun juga cukup beralasan. Aku juga tidak mengerti sejak kapan aku menjadi sangat penakut, apalagi notabene-nya aku sering ditinggal di rumah sendirian. Dan memang ketakutanku itu berawal dari seringnya aku ditinggal sendirian di rumah. Terlalu banyak hal yang kualami, jadi mungkin aku hanya akan bercerita sedikit tentang apa yang ada di tempat dimana aku tumbuh dan besar. Ya, rumahku. Dan tentang seorang pria yang membuatku ada sampai saat ini. Ya, Ayahku. Mungkin karena akhir-akhir ini aku sering merasa kangen padanya. *** 9
Entah mengapa, rumahku memiliki aura mistis yang sangat kuat, walaupun banyak teman dan saudara yang merasa sangat nyaman jika berkunjung ke sini. Banyak orang yang bilang rumahku itu seram lah, banyak hantunya lah, atau apalah, yang kupikir hanya halusinasi mereka. Aku sendiri sering sekali melihat sekelebatan bayangan, cahaya, suara-suara, atau apa saja yang bisa dikategorikan sebagai bentuk interaksi makhluk yang mereka sebut sebagai hantu tersebut. Namun reaksiku santai saja, yang penting aku tidak mengganggu mereka dan mereka jangan sampai menggangguku. Namun pernah suatu hari, saat aku masih menginjak semester-semester awal perkuliahan, aku merasakan pengalaman baru di rumah yang telah kutinggali sejak aku berumur dua tahun tersebut. Aku sedang mengerjakan tugas di ruang belajar atau biasa kusebut ruang komputer- yang berhadapan langsung dengan kamar mandi. Ruangan tersebut cukup sempit dan tidak berpintu, hanya sebuah bukaan tembok yang menghubungkannya dengan ruang tamu di depan kamar mandi. Ayah Ibuku sedang pergi, ke rumah nenek, katanya. Aku sih cuek saja, toh aku sedang sibuk mengerjakan tugas di depan komputer. Aku hanya minta tolong agar pagar digerendel, soalnya aku kadang tidak mendengar ada orang masuk jika sedang sibuk mengerjakan tugas. Begitu aku mendengar pintu pagar sudah digerendel dan memastikan Ayah Ibuku sudah berangkat, aku segera terfokus pada kerjaanku lagi. Mungkin belum ada tiga puluh menit, dari sudut mataku, aku melihat Ayahku berdiri di depan pintu ruang komputer. 10
Lho, lagi ngerjain apa dik? Aku tidak menanggapinya karena aku sudah hafal bagaimana Ayahku. Ia biasa bertanya macam-macam, tapi kemudian tidak mendengarkan jawabannya. Dan benar saja, Ayahku segera berjalan ke arah ruang keluarga di belakang setelah bertanya. Aku kembali sibuk mengetik tugas di depan komputer. Satu menit, dua menit, tiga...empat... Aku baru tersadar, aku tidak mendengar suara gerendel pagar dibuka! Dan Ayahku juga tidak terlihat berjalan kembali dari ruang keluarga. Aku coba memanggil, tidak ada jawaban. Aku mencari di ruang keluarga, tidak ada siapa-siapa. Mungkin sedang di kamar, tidak ada, di kamarku, juga tidak ada siapa-siapa. Atau mungkin sedang merokok dan SMS-an di teras ya, saat itu Ayahku masih merokok, ternyata juga tidak ada. Dan kerennya lagi, pintu pagar masih digerendel seperti saat Ayah Ibuku berangkat. Aku berlari ke dalam, dan segera menelepon ke rumah nenekku. Ajaibnya, yang mengangkat teleponnya adalah Ayahku, yang memang sedari tadi berada disana, dan memang seharusnya masih disana.. 11
SUATU PERTANDA? Menjelang wafatnya Ayahku, semakin sering terjadi hal-hal aneh yang terjadi di rumahku, atau paling tidak kurasakan. Kira-kira sebulan sebelum Ayahku masuk ICU, aku mendengar suara burung kuburan aku tidak tahu itu burung jenis apa, bunyinya nyaring dan menyedihkanyang menurut kepercayaan setempat itu adalah pertanda bahwa akan ada orang yang meninggal di sekitar tempat burung itu berkicau. Mitos ini mirip dengan legenda Banshee di Irlandia, namun Banshee jelas lebih mengerikan karena ia berwujud wanita tua bersayap yang meraung-raung di atas atap rumah orang yang akan meninggal. Suara burung itu berkali-kali terdengar di dekat jendela kamarku. Namun anehnya, Ayahku tidak mendengar suara burung itu, padahal suaranya jelas keras sekali. Aku berkali-kali bertanya padanya, walaupun aku tidak bilang itu adalah burung kuburan, aku hanya bilang ada suara burung bagus di depan rumah. 12 Twiiit Twiiit Twitwitwitwitwitwit.. Sekali lagi aku bertanya, dan Ayahku tetap berkata tidak mendengarnya. Ya sudah, mungkin memang
tidak kedengaran. Aku mendesah lega, karena kupikir mitos tetaplah sebuah mitos. *** terjadi. Beberapa hari berikutnya, keanehan kembali Aku sedang asyik mengakses sebuah web komedi lewat laptopku sambil duduk nyaman dan hangat di sudut kamarku. Seperti biasa, aku harus selalu ada di dekat Ayahku yang terbaring lemah untuk dapat melayaninya setiap saat. Waktu itu belum terlalu malam, sekitar jam delapan atau setengah sembilan sore (ya, sore, karena biasanya aku baru bisa tidur setelah Ayahku minum obat tidur lewat tengah malam). Ayahku yang sedang berusaha beristirahat tiba-tiba menangis dan memanggil-manggil namaku. Aku sangat terkejut, dan segera kubangunkan Ayahku. Ternyata ia tidak sedang bermimpi, ia dalam kesadaran penuh, dan berkata-kata dengan sangat jelas, walaupun suaranya sudah hampir menghilang digerogoti penyakitnya. takut! Katanya, Ada orang di depan jendela, Bapak Jantungku rasanya mencelos, di depan jendela kamarku hanya ada rerimbunan tanaman dan kandang anjingku, yang hanya bisa diakses lewat pintu kayu kecil. 13
Itu saja hanya jika orang asing tersebut tidak diserang anjingku lebih dulu, jadi sangat tidak mungkin ada orang yang berani mendekati jendela kamarku dari luar. Aku sambil tertawa kecut, separuh heran separuh ketakutan, berkata, Siapa lho? Nggak ada siapa-siapa kok. Itu ada Simbok! timpal Ayahku sambil menggigil ketakutan. Rona wajahnya jelas menunjukkan bahwa ia melihat apa yang tidak kulihat. Aku segera memanggil Ibuku, kubilang ada simbok atau siapa lah, yang datang. Beberapa saat Ibuku masuk ke kamar, Ayahku tiba-tiba tenang, dan tak lama segera tertidur lagi. Aku bertanya pada Ibuku, apa yang sebenarnya dilihat Ayahku. Simbok itu pembantunya Eyang (Ibunya Ayahku) waktu Bapak masih kecil, dia dulu yang merawat Bapak, kata Ibuku. Wow, aku hanya bisa terheran-heran, apa yang dilakukannya disini? Dan tambahan dari Ibuku, beliau sudah lama meninggal dunia. Hawa dingin seketika mengaliri tubuhku. *** 14
Makhluk-makhluk tak kasat mata di rumahku memang sering memperlihatkan diri mereka, tak terkecuali pada teman-temanku. Malam itu tiga temanku menginap, kami bekerja lembur untuk mengerjakan presentasi satu mata kuliah yang harus disajikan keesokan harinya. Kami bekerja hingga larut malam di ruang tamu. Aku sibuk di sektor animasi, bekerja menghadap ke jendela membelakangi ruang tamu, satu temanku sedang sibuk membuat layout presentasi, bersandar di dinding dekat pintu ke arah ruang komputer menghadap ke kamarku, dan dua lainnya sedang tertidur pulas. Saat itu sudah jam sebelas malam, dan kami sudah cukup frustrasi dengan kerjaan presentasi ini. Tiba-tiba si pembuat layout, Vicky (dia cowok, tidak mungkin Ibuku mengijinkan seorang teman cewek menginap di rumah), melihat Ayahku berjalan keluar dari kamarku, menuju ke arah kamar mandi. Ia tadinya mau memanggilku, tapi ia mengurungkan niatnya. Ia pikir mungkin Ayahku mau buang air kecil dan sudah cukup sehat untuk bisa berjalan ke kamar mandi sendiri. Ia cuma melirik dari ujung matanya, tersenyum, lalu melanjutkan mengerjakan tugasnya. Lama kemudian, kira-kira jam setengah satu atau jam satu dini hari, aku sudah menyelesaikan bagianku, lalu aku segera meninggalkan Vicky yang masih berkutat dengan kerjaannya. Aku masuk ke kamar, dan ternyata Ayahku tertidur sangat pulas dan nyaman. Tumben, pikirku, tidak seperti biasanya. Aku sudah sangat lelah, tak lama setelah merebahkan diri, aku segera tertidur. 15
Baru keesokan harinya setelah sampai di kampus, Vicky bercerita tentang kejadian semalam. Namun ada hal menarik yang kudengar dari ceritanya : Ia berkata, Bokap lo semalem ke kamar mandi, Tang. Tapi gue kagak denger suara pintu dibuka, atau suara air gitu. Terus sampe gue tidur, Bokap lo kagak balik-balik, dengan logat Jakarta yang sangat kental. Aku tidak terkejut mendengar ceritanya, karena memang sudah banyak orang yang bercerita tentang halhal aneh yang mereka lihat saat berkunjung ke rumahku. Tapi kenapa sekarang mereka mengambil wujud Ayahku? Apakah ini suatu pertanda? Ah, aku tidak mau memikirkan kemungkinankemungkinan. Yang kuyakini saat itu, kondisi Ayahku sudah jauh lebih baik, dan tidak lama lagi akan segera sehat seperti sediakala. Aku hanya tertawa. Lho apa iya? Jam berapa? Gue lihat sekitar jam sebelas-an, abis itu udah gak balik-balik. Lah lo masuk kamar jam satu, gue baru tidur jam dua, timpalnya. Oh, ya udah, berarti ada yang mau ngajak kenalan. Aku masuk kamar Bapakku udah tidur nyenyak banget, jawabku sambil tertawa hambar. Lah seriusan? Beneran gue liat itu Bokap lo, gue aja sempet senyum ke dia juga, Vicky masih berkeras. 16
Iya, Vik, beneran. Kami kemudian terdiam sesaat, lalu tertawa kecut. Itu mungkin tiga atau empat minggu sebelum Ayahku meninggal dunia.. 17