PREDIKSI KEKERINGAN PENGARUH EL NINO TAHUN DAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI MODIFIKASI CUACA UNTUK MENGANTISIPASINYA

dokumen-dokumen yang mirip
EVALUASI PENINGKATAN HASIL CURAH HUJAN DAN KETERSEDIAAN AIR AKIBAT KEGIATAN MODIFIKASI CUACA DI DAS CITARUM

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGARUH KONSEP SISTEM DAN LINGKUNGAN DALAM MODIFIKASI CUACA TERHADAP PENINGKATAN CURAH HUJAN DAN KETERSEDIAAN AIR DI DAS CITARUM

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PREDIKSI DAN ANTISIPASI KEKERINGAN TAHUN 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TEKNOLOGI HUJAN BUATAN DALAM SISTEM PENGELOLAAN WADUK IR. JUANDA, DAS CITARUM. JAWA BARAT

Benarkah Tahun 2002 akan Terjadi El-Niño dengan Intensitas Lemah?

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah

PENDAHULUAN Latar Belakang

EVALUASI KONDISI SUMBER DAYA AIR TAHUN 2011/2012. Status 31 Januari 2012

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ADAPTASI DAN MITIGASI FENOMENA EL NIÑO DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

I. PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. paling terasa perubahannya akibat anomali (penyimpangan) adalah curah

1. BAB I PENDAHULUAN

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

PENYESUAIAN SISTEM PENATAAN RUANG TERHADAP PERUBAHAN IKLIM

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

I. PENDAHULUAN. di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas ribu kilometer persegi. Curah

PENGARUH ENSO TERHADAP POLA ANGIN DAN CURAH HUJAN DI DAS LARONA, SULAWESI SELATAN

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air

MEMPRAKIRAKAN KEDATANGAN FENOMENA EL-NINO TAHUN 2002~2003

Buletin Analisis Hujan Bulan Februari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 KATA PENGANTAR

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

Fenomena El Nino dan Perlindungan Terhadap Petani

BAB I PENDAHULUAN. karena curah hujan yang tinggi, intensitas, atau kerusakan akibat penggunaan lahan yang salah.

Buletin Analisis Hujan Bulan Januari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR

KAJIAN DAYA TAHAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP GANGGUAN FAKTOR EKSTERNAL DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN. Bambang Sayaka

7. PERUBAHAN PRODUKSI

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan peningkatan ketahanan pangan nasional. Hasil Sensus Pertanian 1993

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian

3. METODOLOGI PENELITIAN

PEDOMAN TEKNIS BANTUAN SARANA PRODUKSI DALAM RANGKA ANTISIPASI DAMPAK KEKERINGAN

DAMPAK EL NINO DAN LA NINA TERHADAP PELAYARAN DI INDONESIA M. CHAERAN. Staf Pengajar Stimart AMNI Semarang. Abstrak

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

2014 KAJIAN KUALITAS AIR TANAH DI SEKITAR KAWASAN BUDIDAYA IKAN PADA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK JATILUHUR KABUPATEN PURWAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Irigasi pada hakekatnya merupakan upaya pemberian air pada tanaman

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MANFAAT EKONOMIS DISEMINASI TEKNOLOGI MODIFIKASI CUACA DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM

I. PENDAHULUAN. interaksi proses-proses fisik dan kimia yang terjadi di udara (atmosfer) dengan permukaan

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Desember 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Februari, Maret dan April 2013 KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 2 (2013), Hal ISSN :

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana pembangunan di bidang

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

BAB VI. POLA KECENDERUNGAN DAN WATAK DEBIT SUNGAI

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009).

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1

BAB I PENDAHULUAN. banyak sekali dampak yang ditimbulkan oleh pemanasan global ini.

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR

Pengantar. Kalender Tanam Terpadu: Generasi Baru Perencanaan Tanam Menghadapi Perubahan Iklim

BAB I PENDAHULUAN. Mojokerto, Gresik dan Kodya Surabaya, Propinsi Jawa Timur. DAS Lamong

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Oleh Tim Agroklimatologi PPKS

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1 P. Nasoetion, Pemanasan Global dan Upaya-Upaya Sedehana Dalam Mengantisipasinya.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

8. MODEL RAMALAN PRODUKSI PADI

PRAKIRAAN MUSIM 2017/2018

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 )

UPAYA DEPARTEMEN PERTANIAN DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DI WILAYAH PESISIR DAN. Direktur Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air

BAB I PENDAHULUAN. Evaluasi Ketersediaan dan Kebutuhan Air Daerah Irigasi Namu Sira-sira.

OPTIMASI FAKTOR PENYEDIAAN AIR RELATIF SEBAGAI SOLUSI KRISIS AIR PADA BENDUNG PESUCEN

Bab 6: Beradaptasi dengan Iklim yang Berubah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

REKOMENDASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR WADUK/ DANAU PLTA DI INDONESIA MELALUI PEMANFAATAN TEKNOLOGI MODIFIKASI CUACA

Waspadai Tembakau Rusak Akibat Terjadi Kemarau Basah

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

PENGARUH FENOMENA GLOBAL DIPOLE MODE POSITIF DAN EL NINO TERHADAP KEKERINGAN DI PROVINSI BALI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

Prediksi Kekeringan Pengaruh El Nino (Nugroho) 75 PREDIKSI KEKERINGAN PENGARUH EL NINO TAHUN 2001-2002 DAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI MODIFIKASI CUACA UNTUK MENGANTISIPASINYA Sutopo Purwo Nugroho 1 Intisari El Nino diperkirakan akan terjadi kembali pada akhir tahun 2001 hingga 2002. Akibatnya beberapa wilayah Indonesia akan mengalami kekeringan sehingga kondisi air semakin berkurang ketersediaannya. Adanya kekeringan dapat menyebabkan penurunan produksi pertanian, kebakaran hutan, krisis air, dan penurunan pendapatan petani di beberapa wilayah serta timbulnya masalah-masalah sosial dan ekonomi di masyarakat. Untuk mengatasi kekeringan dan menambah ketersediaan air, maka dapat diterapkan teknologi hujan buatan. Teknologi hujan buatan dapat meningkatkan curah hujan dan debit aliran sehingga cadangan air bertambah. Abstract El Nino is predicted to return at the end of 2001 or later. As a consequence some areas in Indonesia might experience drought that will jeopardize the water availability. This drought could cause declining agriculture production, forest fire, water crisis, and other economic social costs. Rain enhancement technology can be applied to overcome this water storage. The rain enhancement technology could enhance rainfall and increase runoff, therefore, water availability will increase. Katakunci : El Nino, kekeringan, air, modifikasi cuaca. 1. PENDAHULUAN Kebutuhan akan penyediaan air yang mencakup kapasitas daya dukung serta tingkat perkembangan kebutuhan air semakin dirasakan mendesak dari waktu ke waktu, baik untuk penyediaan air untuk kebutuhan domestik, pertanian, industri, perkotaan, pemukiman, perkebunan, dan bidang lainnya. Konflik antar berbagai kebutuhan air semakin sering terjadi, di samping akibat dampak pencemaran karena terlampauinya daya dukung sumberdaya air yang ada. Pada abad 21, air akan menjadi isu besar dunia dan penyebab timbulnya konflik jika tidak segera diatasi secara menyeluruh (Seckler, 1996). Oleh karena itu masalah penyediaan air merupakan masalah yang sangat mendesak dan bersifat strategis untuk selalu dicarikan upaya penyelesaiannya. Sebab masalah penyediaan air bagi penduduk di masa mendatang semakin komplek dan rumit permasalahannya. Hal ini terjadi karena semakin menipisnya ketersediaan air, baik secara kuantitas maupun kualitas. Di Pulau Jawa, pada tahun 2000, ketersediaan air permukaan hanya tersedia 47.263 juta m 3 /tahun sedangkan kebutuhan mencapai 89.476 juta m 3 /tahun, sehingga perimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan mencapai 189%. Secara nasional ketersediaan air permukaan hanya mencukupi 23% dari kebutuhan penduduk. Indikasi masalah ini sudah terlihat pada saat musim kemarau setiap tahunnya dimanamana terjadi krisis air. Pada saat kondisi musim kemarau yang normal saja, kekeringan telah menyebabkan timbulnya masalah-masalah yang berkaitan dengan penyediaan air. Terlebih lagi apabila bersamaan timbulnya fenomena El Nino sehingga menimbulkan kekeringan yang panjang. 1 Peneliti pada Kelompok Hidrologi dan Lingkungan, UPT Hujan Buatan BPPT. J.l. M.H.Thamrin No.8 Gd.I Lt.19 Jakarta 10340

76 Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol.2, No.1, 2001:75-80 Pengalaman beberapa dekade terakhir ini menunjukkan bahwa penyimpangan iklim El Nino telah menyebabkan kekeringan berkepanjangan di beberapa wilayah di Indonesia. Fenomena tersebut telah menyebabkan kegagalan panen, penurunan produksi pertanian secara nasional, kebakaran hutan, krisis air, dan penurunan pendapatan petani di beberapa wilayah serta timbulnya masalah-masalah sosial dan ekonomi di masyarakat. Kejadian kekeringan akibat pengaruh El Nino pada tahun 1994 telah mengakibatkan penurunan produksi beras nasional sebesar 3,2% (Imron, 1999), sedangkan kejadian El Nino pada tahun 1997 telah menyebabkan produksi beras pada tahun 1997 dan 1998 merosot, sehingga pemerintah mengimpor beras sebanyak 5,8 juta ton pada tahun 1998 untuk memenuhi kebutuhan pangan (Saragih, 2001). Kondisi El Nino yang berat jika musim kering datang lebih awal sedang musim hujan berikutnya terlambat. Tingkat keparahan juga dipengaruhi keadaan wilayah dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Musim kering yang datang lebih awal, seperti pada tahun 1997, menyebabkan sebagian pertanaman gagal. Apabila hujan datang terlambat, maka petani akan mengalami kerugian ganda, yaitu gagal panen pada musim kering dan tertunda tanam pada musim hujan. Kondisi demikian berpotensi memicu kerawanan sosial (Purba, 2001). Bagaimana dengan kekeringan akibat pengaruh dari El Nino di tahun 2001 dan 2002? Semula El Nino diperkirakan akan datang tahun 2002, namun ada indikasi akan terjadi lebih awal. Apabila terjadi di tahun 2001, maka dampak terparah bukan kelangkaan pangan tetapi meningkatnya jumlah pengangguran. Hilangnya lapangan kerja dan lumpuhnya kegiatan ekonomi di pedesaan dapat menjadi pemicu puncak kerawanan sosial (Purba, 2001). Terlebih lagi jika El Nino datang beruntun di tahun 2001-2002, maka penderitaan masyarakat akan semakin meningkat. Untuk mengantisipasi dampak dari El Nino, khususnya untuk mengatasi berkurangnya cadangan air dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya adalah modifikasi cuaca atau lebih dikenal dengan hujan buatan. Pengalaman menunjukkan bahwa pada saat terjadi kekeringan dan krisis air pada musim kemarau, pada saat itulah teknologi modifikasi cuaca dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi kekeringan tersebut, baik untuk menambah air di waduk atau bendungan, maupun menjatuhkan air hujan secara langsung di daerah pertanian. 2. METODE PENELITIAN Untuk memahami hubungan antara El Nino dan hujan buatan, maka disini dilakukan secara deskriptif komparatif, yaitu membandingkan antara fenomena El Nino dengan kegiatan hujan buatan yang dilakukan untuk mengantisipasi dampak dari fenomena tersebut. Hubungan empiris keduanya secara langsung memang sangat sulit dilakukan karena berkaitan dengan masalah kebijakan yang sulit untuk diduga. Dalam penelitian ini, prediksi El Nino tahun 2001 sampai 2002 mengacu pada hasil prediksi Climate Prediction Center, National Centers for Environmental Prediction NOAA, yang selalu mengeluarkan buletin yang disebut El Nino/Southern Oscillation ENSO Advisory jika termonitor akan muncul fenomena El Nino hingga fenomena tersebut berakhir. Selain itu penelitian juga didasarkan pada hasil studi pustaka lainnya sebagai pembanding. Selanjutnya untuk mengetahui peluang pemanfaatan teknologi modifikasi cuaca dilakukan berdasarkan kajian aspek ketersediaan air, hasil kegiatan modifikasi cuaca yang pernah dilakukan dan studi pustaka yang mendukung dengan penelitian ini. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Prediksi El Nino Prediksi iklim tidak dimaksudkan untuk meramalkan kondisi cuaca secara rinci dari hari ke hari, dalam satu atau dua musim ke depan. Hal ini disebabkan begitu banyaknya variabel dan perilaku khaotik dari atmosfer sehingga meskipun suatu model prediksi sudah sangat sempurna, namun demikian masih terdapat limit yang membatasi sejauh mana ke depan prediksi tersebut dapat digunakan secara tepat (Ratag dkk., 2001). Demikian pula halnya dalam prediksi El Nino, upaya memprediksi perilaku El Nino agak tak menentu oleh adanya suatu elemen yang tampaknya bersifat khaotik, dan oleh adanya pengaruh variasi cuaca berskala pendek yang disebut derau (noise). Ditinjau dari pola kejadian El Nino dalam 100 tahun terakhir, kemungkinan El Nino datang tahun 2001 (26%) dan 2002 (89%). Menurut data iklim yang ada, El Nino tidak terjadi pada tahun 2001 tetapi pada tahun 2002 kemungkinan besar akan terjadi (Purba, 2001). Menurut ENSO Advisory bulan Maret 2001, kondisi La Nina (mature cold episode) masih berlangsung sejak Februari 2001 mengingat suhu muka air laut (SST) di sekitar ekuator di Lautan Pasifik tercatat sekitar 1 o C di bawah normal. Demikian pula SST di Pantai Amerika Selatan sampai 160 o BT juga di bawah normal (Gambar 1). Sementara itu angin pasat hampir di seluruh Lautan Pasifik tropis lebih kuat dibandingkan dengan normalnya. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena La Nina mendominasi di Pasifik Tengah-Timur.

Prediksi Kekeringan Pengaruh El Nino (Nugroho) 77 Episode hangat atau El Nino diperkirakan baru terjadi kemungkinan pada akhir tahun 2001. Hal ini ditandai dengan meningkatnya SST pada bulan November 2001, yaitu antara 1 1,5 o C (Gambar 2). Peningkatan SST tersebut terus berlangsung hingga tahun 2002, bahkan pada bulan Februari 2002 mencapai lebih dari 1,5 o C. Peningkatan aktivitas konveksi di Pasifik Tengah sekitar khatulistiwa tersebut menyebabkan sirkulasi zonal tersendiri, yaitu Pasifik Tengah menjadi daerah konvergensi sementara wilayah Indonesia menjadi daerah divergensi disertai dengan anomali curah hujan yang diasosiasikan dengan warm episode. Akibat yang terjadi adalah musim kemarau tahun 2002 dimungkinkan terjadi lebih awal sehingga musim kemarau akan berlangsung lebih lama. tuntas. Sampai saat ini pengelolaan sumberdaya air masih terfokus di daratan karena masih adanya anggapan bahwa sumberdaya air di Indonesia melimpah dan didukung oleh curah hujan tahunan yang tinggi. FAO (1996), melaporkan bahwa wilayah Indonesia dikategorikan sebagai negara yang tidak rawan krisis air hingga abad 21 karena adanya potensi curah hujan wilayah yang relatif tinggi dan memiliki sumberdaya air yang cukup besar. Namun demikian kenyataannya menunjukkan bahwa beberapa wilayah kondisi sumberdaya airnya sudah waspada hingga kritis. Sebagai gambaran ketersediaan air di Pulau Jawa diperkirakan tinggal 1.750 meter kubik per kapita per tahun, yang telah mengisyaratkan krisis air jika dibanding dengan standar kecukupan air sebesar 2.000 meter kubik per kapita per tahun. Hal tersebut akan merosot sampai 1.200 meter kubik per kapita per tahun ketika penduduk Indonesia mencapai 267 juta pada tahun 2020, dimana 150 juta diantaranya tinggal di Pulau Jawa (Imron, 1999). Menyadari akan adanya keterbatasan dan kelangkaan air pada musim kemarau nanti, maka perlu dilakukan tindakan antisipasi untuk Gambar 1. Rata-rata dan anomali suhu muka air (SST) laut pada bulan Februari 2001 di Lautan Pasifik (Sumber : http://www.cpc.ncep.noaa.gov) 3.2. Pemanfaatan Teknologi Modifikasi Cuaca Terjadinya kekeringan akibat El Nino pada musim kemarau tahun 2002 diperkirakan akan semakin menipisnya persediaan air permukaan, khususnya di Pulau Jawa. Pengaruh El Nino di Pulau Jawa dapat mengakibatkan turunnya curah hujan musim kemarau beberapa ratus persen di bawah kondisi normal, dan curah hujan yang terjadi pada pada musim penghujan turun hingga 50% (Pawitan, 1999). Mengingat di Indonesia pengelolaan sumberdaya air masih dilakukan secara sektoral dan belum dipadukan secara komprehensif antara sumberdaya air di daratan dan atmosfer, maka sumberdaya air tidak pernah tertangani secara Gambar 2. Prediksi anomali SST bulan Mei 2001 hingga Februari 2002 (Sumber: http://www.cpc.ncep.noaa.gov)

78 Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol.2, No.1, 2001:75-80 menambah persediaan sumber air. Salah satu upaya atau kegiatan yang seringkali dilakukan untuk mengatasi krisis air akibat El Nino adalah dengan melakukan kegiatan modifikasi cuaca. Seperti tahun-tahun sebelumnya pada saat terjadi El Nino pemerintah melalui Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Ditjen Pengelolaan Sumberdaya Air, Departemen Pertanian dan pengelola waduk seperti Perum Jasa Tirta (PJT) I, PJT II, dan PLN serta pengelola air lainnya, sering meminta jasa teknologi modifikasi cuaca. Berhubung kurang adanya keterpaduan dalam pengelolaan sumberdaya air, maka seringkali kegiatan modifikasi cuaca dilakukan pada waktu yang kurang tepat, yaitu pada saat musim kemarau yang sudah sangat kering sehingga kondisi cuaca tidak mendukung. Akibatnya kegiatan modifikasi cuaca tidak menghasilkan curah hujan yang optimal, sehingga sering menimbulkan opini di masyarakat bahwa hujan buatan tidak bermanfaat. Untuk itu pemilihan waktu dimulainya suatu kegiatan merupakan langkah strategis yang harus ditetapkan dengan baik. Berdasarkan hasil curah hujan dan debit aliran yang dicapai selama kegiatan modifikasi cuaca dalam mengantisipasi kekeringan akibat El Nino, secara umum menunjukkan hasil yang signifikan antara hujan buatan dengan peningkatan curah hujan di daerah target atau sasaran. Beberapa contoh keberhasilan kegiatan modifikasi cuaca, dalam mengatasi kekeringan akibat El Nino antara lain adalah kegiatan pada tahun 1997 1998. Kegiatan pada umumnya dimaksudkan untuk menambah ketersediaan air atau menaikkan duga muka air (DMA) di waduk, mengingat DMA pada saat itu masih jauh di bawah pola rencana. Apabila pola rencana waduk tersebut tidak tercapai, maka fungsi waduk menjadi tidak optimal, sehingga pada gilirannya tidak akan mampu mengairi daerah pertanian. Kondisi demikian telah terjadi di daerah pengairan Waduk Jatiluhur seperti Karawang, Bekasi, Subang, dan Purwakarta, serta di daerah aliran sungai (DAS) Cimanuk-Cisanggarung yang menyebabkan musim tanam padi mundur lebih kurang 4-5 bulan dari pola tanamnya. Dalam kegiatan modifikasi cuaca di DAS Citarum pada tanggal 17 Februari - 18 Maret 1998 menghasilkan air sebesar 366,96 juta m 3, dimana 187,51 juta m 3 tertampung di Waduk Saguling dengan kenaikan DMA sebesar 3,46 m, 140,11 juta m 3 di Waduk Citara dengan kenaikan DMA sebesar 4,27 m, dan 39,34 juta m 3 di Waduk Jatiluhur dengan kenaikan DMA sebesar 6,77 m (Tabel 1). Keberhasilan kegiatan modifikasi cuaca tersebut menyebabkan waduk kaskade Citarum yang pada tahun 1997 DMA-nya turun drastis dan diperkirakan baru dapat pulih kembali (recovery) antara 3-4 tahun kemudian, ternyata pada akhir tahun 1998 sudah dapat kembali normal (Santoso, 2001). Volume air tersebut diperoleh dari besarnya debit Sungai Citarum dikurangi dengan aliran dasar, infiltrasi, perkolasi dan evaporasi, serta didasarkan sifat hujan dari prediksi BMG pada periode tersebut, sehingga diperoleh besarnya volume air yang tertampung di setiap waduk sebagai hasil hujan buatan. Jadi volume air tersebut sudah dipisahkan dengan debit sungai hasil hujan alami. Demikian pula halnya dengan kegiatan modifikasi cuaca pada tanggal 12 Maret 10 April 2001 untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya El Nino pada akhir tahun 2001. Adanya kegiatan modifikasi cuaca telah menyebabkan kenaikan DMA di Waduk Saguling sebesar 3,84 m dengan air masuk lokal (AML) sebesar 443,81 juta m 3, kenaikan DMA di Waduk Cirata sebesar 1,90 m dengan AML sebesar 358,04 juta m 3, dan kenaikan DMA di Waduk Jatiluhur sebesar 3,68 m dengan AML sebesar 45,48 juta m 3. Air keluar di Waduk Jatiluhur selama kegiatan berjumlah 288,27 juta m 3. Dengan demikian maka volume air yang tertampung di ketiga waduk adalah 559,06 juta m 3. Hasil tersebut oleh PJT II selaku user dan Tim Evaluasi Kegiatan Modifikasi Cuaca dinilai sangat berhasil sehingga kebutuhan air untuk musim tanam gadu 2001 di daerah irigasi Jatiluhur cukup tersedia, bahkan masih terdapat cadangan air sebesar 1.440,26 juta m 3. Namun demikian jika dibandingkan dengan pola rencana untuk kebutuhan air musim tanam rendeng 2001/2002 dan musim tanam gadu 2002 masih terdapat kekurangan air sebesar 152,7 juta m 3 (PJT II, 2001) Melihat hasil yang dicapai tersebut, kegiatan modifikasi cuaca merupakan suatu kegiatan yang bersifat strategis sebagai alternatif menambah ketersediaan air, khususnya pada saat cadangan air di waduk, danau, atau badan air berkurang. Namun demikian, dalam menentukan pelaksanaan kegiatan modifikasi cuaca harus memperhatikan kondisi cuaca, dimana ketersediaan awan-awan potensial masih mendukung agar kegiatan tersebut dapat dilakukan secara optimal. 4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Fenomena El Nino di Indonesia diperkirakan akan terjadi pada akhir tahun 2001 hingga tahun 2002. Kondisi demikian akan berpengaruh pada berkurangnya ketersediaan air, sehingga dapat menyebabkan kurangnya produksi pertanian, menurunnya suplai air untuk kebutuhan domestik, produksi listrik dan kebutuhan lainnya, serta menimbulkan masalah sosial ekonomi di masyarakat. Untuk mengatasi kekeringan dan

Prediksi Kekeringan Pengaruh El Nino (Nugroho) 79 menambah ketersediaan air tersebut, maka dapat diterapkan teknologi modifikasi cuaca. Teknologi modifikasi cuaca terbukti telah dapat meningkatkan curah hujan dan debit aliran sehingga cadangan air meningkat secara signifikan. 4.2. Saran Mengingat pada akhir tahun 2001 hingga 2002 diperkirakan fenomena El Nino akan muncul kembali, maka pola musim hujan dan kemarau akan terpengaruh, dimana musim hujan akan lebih pendek sedangkan musim kemarau akan lebih panjang. Akibatnya cadangan air akan berkurang sehingga cukup sulit untuk mendukung irigasi pertanian dan kebutuhan air lainnya. Sebagai misal di Waduk Jatiluhur, meskipun saat ini terdapat cadangan air sebesar 1.440,26 juta m 3, namun untuk pola rencana kebutuhan air musim tanam rendeng 2001/2002 dan musim tanam gadu 2002 masih terdapat kekurangan air sebesar 152,7 juta m 3. Kondisi demikian perlu segera diantisipasi dengan berbagai kebijakan penggunaan air seperti penghematan air, penerapan teknologi modifikasi cuaca, sistem agroteknologi yang tepat dan usaha lainnya. Efisiensi dan penghematan air dapat dilakukan di sektor pertanian. Sebab saat ini dari total kebutuhan air yang digunakan, sekitar 86% digunakan untuk kebutuhan air irigasi. Dibandingkan dengan negara-negara lainnya, kebutuhan air irigasi untuk penggenangan sawah di Indonesia termasuk sangat berlebihan pemakaiannya. Selanjutnya untuk penerapan teknologi modifikasi cuaca, salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah penentuan waktu pelaksanaan karena sangat berpengaruh terhadap hasil yang curah hujan yang akan dicapai. Tabel 1. Kegiatan modifikasi cuaca untuk mengatasi kekeringan selama bulan April 1997 April 2001 di Pulau Jawa Waktu Pelaksanaan Daerah Target Evaluasi Kegiatan Modifikasi Cuaca 7 April -12 Mei 1997 DAS Citarum - W.Saguling = 112 juta m 3 (W Saguling, Cirata, Jatiluhur) - W. Cirata = 119 juta m 3 - W.Jatiluhur = 61 juta m 3 23 September - 2 DAS Citarum Meningkatnya curah hujan dan debit Desember 1997 16 November - 20 Desember 1997 (W Saguling, Cirata, Jatiluhur) Daerah pertanian di Kedu Selatan, W.Sempor, Wadaslintang, W. Gajah Mungkur Sungai Citarum Meningkatnya curah hujan hingga di atas pola normal, 207 juta m 3 3-12 Desember 1997 DAS Cimanuk dan Pantura Meningkatnya curah hujan dan debit Sungai Cimanuk 13-28 Desember 1997 DAS Citarum dan daerah irigasi Jatiluhur Meningkatnya curah hujan dan debit Sungai Citarum 15-24 Januari 1998 DAS Brantas dibagi 3 target : I = W Sutami, Lahor II = W Selorejo III = Hilir W Sutami W Sutami, Lahor = 13,39 juta m 3 W Selorejo = 0,26 juta m 3 Hilir W Sutami = 8,20 juta m 3 3-12 Februari 1998 DAS Brantas dibagi 3 target : I = W Sutami, Lahor II = W Selorejo III = Hilir W Sutami 17 Februari - 18 Maret 1998 DAS Citarum dan daerah irigasi Jatiluhur 1-30 April 1998 Daerah pertanian di Kedu Selatan, W. Sempor, W. Wadaslintang, W. Sermo, DAS Serayu Bogowonto 12 Maret 10 April 2001 Sumber : UPT-HB, 1997-2001 Keterangan : W = waduk AML = air masuk lokal W Sutami, Lahor = 57,90 juta m 3 W Selorejo = 2,31 juta m 3 Hilir W Sutami = 47,67 juta m 3 W.Saguling = 187,51 juta m 3 W.Cirata = 140,11 juta m 3 W.Jatiluhur = 39,34 juta m 3 W. Sempor = 7,197 juta m 3 W. Wadaslintang = 119,369 juta m 3 W. Sermo = DMA naik 5,81 m DAS Serayu-Bogowonto = 307,765 juta DAS Citarum AML W.Saguling = 443,81 juta m 3 m 3 AML W.Cirata = 358,04 juta m 3 AML W.Jatiluhur = 45,48 juta m 3

80 Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol.2, No.1, 2001:75-80 DAFTAR PUSTAKA FAO, 1996: Food Production: The Critical Role of Water. Technical Background Document 6-11. World Food Summit. Rome. Italy. http://www.cpc.ncep.noaa.gov. 2001: El Nino / Southern Oscillation (ENSO) Diagnostic Discussion. Climate Prediction Center. Imron, M., 1999: Kebijaksanaan Nasional Dalam Pengelolaan Sumberdaya Air dan Lingkungan, Makalah Utama dalam Seminar Sehari Kebutuhan Air Bersih dan Hak Azasi Manusia, Masyarakat Hidrologi Indonesia Panitia Nasional Program Hidrologi HATHI, Pawitan, H., 1999: Mengatisipasi Krisis Air Nasional Memasuki Abad 21, Makalah Utama dalam Seminar Sehari Kebutuhan Air Bersih dan Hak Azasi Manusia. Masyarakat hidrologi Indonesia Panitian Nasional Program Hidrologi HATHI. PJT II. 2001: Evaluasi Hasil Pelaksanaan Penyemaian Awan di DAS Citarum 12 Maret 10 April 2001 (Tinjauan Aliran dan Operasi Waduk Kaskade Citarum). Perum Jasa Tirta II. Purwakarta. Purba, S., 2000: Awas El Nino Datang Mengancam. Harian Umum Pagi Kompas 31-12-2000. Purba, S., 2001: "El Nino Dan Kerawanan Sosial. Harian Umum Pagi Kompas 4-3-2001. Ratag., M.A., B. Siswanto, I. Juaeni, dan Halimurrahman. 2001: Sistem Prakiraan Mutakhir dan Akurat Gejala Iklim El Nino. Makalah Seminar Antisipasi El-Nino Tanggal 21 Februari 2001. PERAGI. Bogor. Santoso, T.H., 2001: Pengalaman Perum Jasa Tirta II, Dalam Antisipasi Penyimpangan Iklim dan Penanggulangannya. Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta II. Purwakarta. Saragih, B., 2001: Mengantisipasi Penyimpangan Iklim El-Nino Serta Implementasi Kebijakan Sektor Pertanian. Makalah Seminar Antisipasi El-Nino Tanggal 21 Februari 2001. PERAGI. Bogor. Seckler, D., 1996: The New Era of Water Resources Management : From Dry to Wet Water Savings. International Irrigation Management Institute (IIMI). Colombo. Sri Lanka. UPT Hujan Buatan BPPT. 1997. Laporan Kegiatan Penyemaian Awan/Modifikasi Cuaca di DAS Citarum Tanggal 7 April -12 Mei 1997. UPT Hujan Buatan BPPT. 1998: Laporan Kegiatan Penyemaian Awan/Modifikasi Cuaca di Sub DPS Kali Brantas Tanggal 15-24 Januari 1998 dan 03-12 Februari 1998. Dipersiapkan Untuk Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum. UPT Hujan Buatan BPPT. 2001: Laporan Kegiatan Penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca Untuk Antisipasi El Nino di DAS Citarum Tanggal 12 Maret 10 April 2001. Dipersiapkan Untuk Perum Jasa Tirta II. DATA PENULIS Sutopo Purwo Nugroho, lahir di Boyolali pada tanggal 7-10-1969. Menyelesaikan pendidikan S-1 di Program Studi Hidrologi, Jurusan Geografi Fisik, Fakultas Geografi UGM Yogyakarta pada tahun 1994. Lulus S-2 Program Studi Pengelolaan DAS di IPB Bogor pada tahun 2000. Kursus yang pernah diikuti antara lain AMDAL A, AMDAL B dan Meteorologi/Modifikasi Cuaca. Sejak tahun 1994 bekerja sebagai staf peneliti di Kelompok Hidrologi dan Lingkungan, UPT Hujan Buatan, BPPT.