FAKTOR-FAKTOR RESILIENSI PADA IBU DENGAN ANAK PENYANDANG TUNA RUNGU. Ummi Kulsum. Mahasiswa: Psikologi/ FISIP Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menerima bahwa anaknya didiagnosa mengalami autisme.

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. paling penting dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai upaya meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

RESILIENSI PADA PENYINTAS PASCA ERUPSI MERAPI. Naskah Publikasi. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan pria dan wanita. Menurut data statistik yang didapat dari BKKBN,

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Resiliensi pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Penulisan Ilmiah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

BEATRIX EDYTA & EKA DAMAYANTI

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal dengan istilah adolescence merupakan peralihan dari masa kanakkanak

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA TUNARUNGU (Studi Kasus di SMK Negeri 30 Jakarta)

RESILIENSI PENGUNGSI KONFLIK SAMPANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. 40 tahun dimana terjadi perubahan fisik dan psikologis pada diri individu, selain itu

BAB I PENDAHULUAN. menjadi orang tua dari anak-anak mereka. Orang tua merupakan individu yang

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Stres..., Muhamad Arista Akbar, FPSI UI, 2008

BAB I. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri sehingga

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Resiliensi Seorang Wanita Dalam Menghentikan Perilaku Merokok dan Minum Alkohol HELEN YOHANA SIRAIT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

BAB III METODE PENELITIAN

PENYESUAIAN DIRI DAN POLA ASUH ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

BAB I PENDAHULUAN. syndrome, hyperactive, cacat fisik dan lain-lain. Anak dengan kondisi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. kenyataannya, anak ada yang normal dan anak yang berkebutuhan khusus.

Anak adalah dambaan setiap pasangan, dimana setiap pasangan selalu. menginginkan anak mereka tumbuh dengan sehat dan normal baik secara fisik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia pasti memiliki masalah dalam hidup. Kita juga pernah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

2016 PROSES PEMBENTUKAN RESILIENSI PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK PENYANDANG DOWN SYNDROME

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tekanan internal maupun eksternal (Vesdiawati dalam Cindy Carissa,

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan kemampuan bicara (Somantri, 2006). selayaknya remaja normal lainnya (Sastrawinata dkk, 1977).

BAB IV ANALISIS BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA KOMUNIKASI SISTEM ISYARAT BAHASA

1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. itu secara fisik maupun secara psikologis, itu biasanya tidak hanya berasal

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan fisik, sosial, psikologis, dan spiritual anak.

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang hidup pada era modern sekarang ini semakin. membutuhkan kemampuan resiliensi untuk menghadapi kondisi-kondisi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada saat ini tidak hanya suami saja yang harus bekerja untuk memenuhi

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN. mental. Hal ini seringkali membuat orangtua merasa terpukul dan sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB 1 PENDAHULUAN. psikologis, sosial, dan spiritual (Hidayat, 2009). Sedangkan menurut Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Setiap pasangan memiliki harapan serta keinginan-keinginan menjalani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong

BAB I PENDAHULUAN. sehat jasmani dan rohani. Namun pada kenyataannya tidak semua anak lahir

BAB I PENDAHULUAN. Memiliki anak merupakan hal yang ditunggu-tunggu dan sangat. menggembirakan bagi pasangan suami istri. Kehdiran anak bukan saja

BAB III METODE PENELITIAN. yang dihasilkan dari kata-kata tertulis atau lisan dan perilaku orang-orang

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai anak yang normal. Melihat anak anak balita tumbuh dan. akan merasa sedih. Salah satu gangguan pada masa kanak kanak yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap manusia ingin terlahir sempurna, tanpa ada kekurangan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada

BAB I PENDAHULUAN. bahwa anak bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi masyarakat bahkan juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapi nanti (Rini, 2008). Masa

KARAKTERISTIK GURU SEBAGAI PEMBIMBING DI TAMAN KANAK-KANAK

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

DINAMIKA KEPERCAYAAN DIRI PADA ANAK TUNARUNGU (STUDI KASUS DI SEKOLAH DASAR LUAR BIASA PUTRA JAYA MALANG)

BAB 1 PENDAHULUAN. familiar dikehidupan masyarakat adalah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilihat dari fisik, tetapi juga dilihat dari kelebihan yang dimiliki.

STRATEGI COPING DALAM MENGHADAPI PERMASALAHAN AKADEMIK PADA REMAJA YANG ORANG TUANYA MENGALAMI PERCERAIAN NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. impian setiap orang. Ketikamenikah, tentunya orang berkeinginan untuk

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dianggap sebagai masa topan badai dan stres, karena remaja telah memiliki

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kehadiran seorang bayi dalam keluarga merupakan berkah yang luar

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Orang tua merupakan sosok yang paling terdekat dengan anak. Baik Ibu

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. emosional yang positif karena telah terpenuhinya kondisi-kondisi yang

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. aktivitas sehari-hari. Menurut WHO (World Health Organization) sehat adalah

BAB I PENDAHULUAN. setiap anak berhak memperoleh pendidikan yang layak bagi kehidupan mereka,

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi

RESILIENSI PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI YANG TERLAMBAT MENYELESAIKAN SKRIPSI DI UNIVERSITAS X

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

BAB I PENDAHULUAN. melihat sisi positif sosok manusia. Pendiri psikologi positif, Seligman dalam

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik

BAB I PENDAHULUAN. Gempa bumi kedua terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah telah

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hal yang sangat mendasar untuk perkembangan

Transkripsi:

FAKTOR-FAKTOR RESILIENSI PADA IBU DENGAN ANAK PENYANDANG TUNA RUNGU Ummi Kulsum Mahasiswa: Psikologi/ FISIP Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur ABSTRACT This study aim to understand and know factors of resilience mothers with child hearing impairment. This study uses qualitative methods with phenomenological approach. Techniques of data collection use semi-structured interviews and nonparticipant observation. Analysis techniques use coding of open coding, axial coding and selective coding.there are three subjects in this study, all three showed factors resilience. Factor of resilience on subjects AT and HN are emotional regulation, impulse control, optimistic, causal analysis, emphaty, self-efficacy, and reaching out. While factors of resilience subject TN are emotional regulation, impulse control, optimistic, causal analysis, emphaty, and reaching out. She felt lack of ability to give best treatment for her children because how cost is expensive to pay. Key words: Resilience Factors, Mother, Hearing Impairment ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mengetahui faktor-faktor resiliensi ibu dengan anak penyandang tunarungu. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara semi terstruktur dan observasi non-partisipan. Analisis data menggunakan koding yaitu open coding, axial coding dan selective coding. Terdapat tiga subyek dalam penelitian ini, ketiganya menunjukkan faktor-faktor beresiliensi. Pada subyek AT dan HN beresiliensi dengan Emotional Regulation, Impulse Control, Optimis, Causal Analysis, Emphaty, Self-Efficacy, dan Reaching Out. Sedangkan subyek TN beresiliensi dengan Emotional Regulation, Impulse Control, Optimis, Causal Analysis, Emphaty, dan Reaching Out. Ia merasa kurang mampu untuk memberikan penanganan terbaik untuk anaknya karena besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Kata kunci: Resiliensi, Ibu, Anak tuna rungu 1

2 PENDAHULUAN Setiap orang pasti menginginkan memiliki keluarga yang sempurna. Keluarga memiliki peran penting bagi perkembangan anak. Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama untuk perkembangan setiap anak. Keluarga yang harmonis akan memberikan dampak yang positif terhadap perkembangan anak tanpa adanya konflik yang terjadi dalam keluarga. Namun, kondisi keluarga menjadi berbeda ketika salah satu dari anggota keluarganya terlahir dengan kebutuhan khusus (Semiawan dan Mangunsong, 2010). Kelahiran seorang anak memiliki dampak yang sangat signifikan pada dinamika sebuah keluarga (Semiawan dan Mangunsong, 2010). Keluarga, khususnya orang tua yang mendapati salah satu dari anaknya merupakan anak berkebutuhan khusus, mengalami perubahan yang lebih kompleks dan lebih berat, setidaknya perlu penyesuaian lebih agar dapat diterima di masyarakat serta rutinitas sehari-hari dalam keluarga menjadi terganggu. Kebutuhan khusus yang dimiliki anak dapat pula berdampak lebih jauh, misalnya pada keharmonisan dan karir seseorang (Mangunsong, 2009). Memiliki anak yang berkebutuhan khusus mempengaruhi ibu, ayah, dan semua anggota keluarga dengan cara yang bervariasi. Suran dan Rizzo mendefinisikan bahwa anak yang memiliki kebutuhan khusus sebagai anak yang secara signifikan berbeda dalam beberapa dimensi yang penting dari fungsi kemanusiaan. Mereka yang secara fisik, psikologis, kognitif, atau sosial terhambat dalam mencapai tujuan-tujuan atau kebutuhan dan potensinya secara maksimal, meliputi mereka yang tuli, buta, mempunyai gangguan bicara, cacat tubuh, retardasi mental, gangguan emosional (Semiawan dan Mangunsong, 2010). Tuna rungu menurut Hallahan dan Kauffman merupakan satu istilah umum yang menunjukkan ketidakmampuan mendengar dari yang ringan sampai yang berat sekali yang digolongkan kepada tuli (deaf) dan kurang dengar (a hard of hearing) (Wardani, Astati, Hernawati dan Somad, 2007).

3 Masalah utama pada anak dengan gangguan pendengaran adalah masalah komunikasi. Penderitaan anak tunarungu berpangkal dari kesulitan mendengar, sehingga pembentukan bahasa sebagai salah satu cara berkomunikasi menjadi terhambat (Mangunsong, 2009). Ketidakmampuan berbahasa pada anak khususnya secara verbal, akan mengalami kesulitan dalam menyampaikan pikiran, perasaan, gagasan, kebutuhan dan hendaknya pada orang lain, sehingga kebutuhan mereka kurang terpuaskan secara sempurna. Disamping tidak dimengerti oleh orang lain, anak tuna rungu sukar memahami orang lain, sehingga tidak jarang mereka terkucil atau terisolasi dari lingkungan sosialnya (Mangunsong, 2009). Menghadapi respon masyarakat bagi orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus bukanlah hal yang mudah. Masyarakat terkadang dapat bereaksi tidak sepantasnya atau bahkan kejam pada anak-anak yang berkebutuhan khusus (Mangunsong, 2009). Tekanan dari masyarakat tidak hanya tertuju pada anak yang menderita tunarungu melainkan juga pada orang tua dikarenakan anaknya berbeda dengan anak pada umumnya yang bisa berkomunikasi dengan baik. Tekanan yang diterima oleh orang tua membuatnya merasa lebih bersalah. Menurut Semiawan dan Mangunsong (2010) tingginya tingkat rasa bersalah diantara para orang tua kemungkinan besar diakibatkan oleh kenyataan bahwa penyebab utama dari kekhususan anaknya tidak diketahui. Para orang tua dapat merasa sangat rapuh terhadap kritik dari pihak lain tentang bagaimana mereka menangani masalah-masalah anaknya. Hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap orang tua yang memiliki anak penyandang tunarungu pada tanggal 23 maret 2013, menyebutkan bahwa anaknya sering mendapatkan cacian dari teman-temannya karena keadaannya yang tunarungu. Sering kali masyarakat memperlakukan tidak baik kepada semua anggota keluarganya. Latar belakang masyarakat mencaci ataupun memperlakukan tidak baik karena berkebutuhan

4 khusus yaitu tunarungu. Ibu yang dikenal menjadi pengasuh utama anak, sering kali merasa bertanggung jawab atas kondisi anaknya. Ibu merasa lebih sensitif dan rapuh atas apa yang terjadi pada anaknya. Oleh sebab itu, perlu penyesuaian yang lebih berat pada ibu atas keadaan keluarga yang memiliki berkebutuhan khusus (AT, 2013). Dukungan sosial yang diterima oleh orang tua dapat menolong mereka dalam menghadapi tekanan membesarkan anak yang berkebutuhan khusus, sehingga perlu adanya penyesuaian diri terutama dalam lingkungan masyarakat. Penyesuaian diri yang baik merupakan sebuah bentuk kemampuan seseorang untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam keadaan apapun yang dikenal dengan resiliensi. Menurut Reivich dan Shate (Desmita, 2010) resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi yang sulit. Jackson mengatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan individu untuk dapat beradaptasi dengan baik meskipun dihadapkan dengan keadaan yang sulit. Orang tualah yang menjadi pokok dalah menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupan keluarga dan individu-individu didalamnya. Pada penelitian ini orang tua yang dimaksud adalah ibu. Faktor ibu adalah faktor yang sangat penting yang mana adalah pengasuh utama. Ibu orang pertama yang berhubungan, melakukan kontak fisik dan emosional dengan anak (Andayani dan Koentjoro, 2007). Gunarsa dan Gunarsa mengatakan, kedudukan seorang ibu sebagai tokoh sentral sangat penting untuk melaksanakan kehidupan. Kepedulian ibu terhadap anaknya dianggap sebagai reaksi naluriah. Ibu dapat mengembangkan hubungan emosional yang kuat (Gunarsa dan Gunarsa, 2004). Anak juga membutuhkan model yang tepat agar dalam perkembangannya anak dapat mencapai kedewasaan yang matang secara sosial, emosional, intelektual dan spiritual, sehingga pada berbagai budaya didunia pengasuhan dibebankan atau dipercayakan kepada ibu (Andayani dan Koentjoro, 2007).

5 Ibu dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak dalam masa kanak-kanak akhir. Hurlock (2002) menjelaskan bahwa akhir masa kanak-kanak akhir yaitu berumur enam sampai tiga belas pada perempuan dan enam sampai enam belas tahun pada laki-laki. Goleman (Desmita, 2010) juga menjelaskan perkembangan emosional pada masa kanakkanak akhir telah mampu mengklasifikasi kecerdasan emosional diantaranya, mengenali emosi, mengelola emosi, motivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti akan mengkaji resiliensi pada ibu dengan anak penyandang tuna rungu. Hal tersebut dimaksudkan agar ibu sebagai pengasuh utama dapat mengetahui kemampuan dirinya dalam mengasuh anaknya serta memaksimalkan kemampuan yang dimiliki oleh anaknya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sari, Mardiawan dan Prakoso (2011) menyebutkan memiliki anak autis merupakan tantangan bagi orang tua, khusunya ibu dalam memberikan pendampingan dan pengasuhan pada anaknya. Hal ini dikarenakan ibu yang memiliki anak autis memiliki stres yang lebih besar dan penyesuaian yang lebih sulit dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak dengan kesulitan fisik dan intelektual lainnya, sehingga menjadikan alasan peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam mengenai bagaimana cara ibu bertahan serta bangkit dari kesulitan-kesulitan yang dialaminya serta hal-hal yang mempengaruhinya melalui faktor-faktor resiliensi. TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI Resiliensi menurut Desmita, adalah suatu kemampuan yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan seseorang karena kehidupan manusia senantiasa diwarnai adanya adversity (kondisi yang tidak menyenangkan). Reivich dan Shate mengungkapkan

6 resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi yang sulit (Desmita, 2010). Resiliensi menurut Luthar, merupakan suatu proses dinamis yang menuju pada fungsi adaptasi ditunjukkan oleh kemalangan atau kesengsaraan para individu yang signifikan. Menurut Kaplan, fokus dari fungsi adaptasi adalah menahan bahaya dari identifikasi resiliensi yang merupakan karakteristik individu yang sukses dalam hidup, mengikuti asumsi bahwa setiap orang dapat melakukannya jika mereka berusaha cukup keras (Schoon, 2006). B. FAKTOR-FAKTOR RESILIENSI Menurut Reivich dan Shatte (Jackson dan Watkin, 2004) terdapat tujuh faktor dalam resiliensi, yaitu: 1. Emotional Regulation Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang dalam kondisi yang penuh tekanan. 2. Impulse Control Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam dirinya. 3. Optimism Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Mereka yakin bahwa berbagai hal dapat berubah menjadi lebih baik. Mereka memiliki harapan terhadap masa depan dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah kehidupannya. 4. Emphaty Empati menggambarkan sebaik apa seseorang dapat membaca petunjuk dari orang lain berkaitan dengan kondisi psikologis dan emosional orang tersebut.

7 5. Causal Analysis Analisis kausal merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada kemampuan individu untuk secara akurat mengidentifikasi penyebab dari permasalahan mereka. 6. Self-Efficacy Self-efficacy menggambarkan keyakinan seseorang bahwa ia dapat memecahkan masalah yang dialaminya dan keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk mencapai kesuksesan 7. Reaching Out Reaching out menggambarkan kemampuan seseorang untuk mencapai keberhasilan. Menunjukkan adanya keberanian untuk melihat masalah sebagai tantangan bukan ancaman dan adanya kemampuan pada seseorang untuk mencapai keberhasilan di dalam hidupnya. C. HUBUNGAN IBU DAN ANAK Ibu menurut Andayani dan Koentjoro (2007) adalah faktor terpenting dalam perkembangan anak. Selama ini ibu-lah yang menjadi tokoh utama menentukan warna dari perkembangan anak. Menurut Kartono, pada awalnya sang ibu wajib memuaskan semua kebutuhan intinktual anaknya. Anak akan merasakan kasih sayang dan kelembutan ibunya. Tugas selanjutnya dari ibu ialah mendidik anaknya. Sebab disamping memelihara fisik, kini ia harus melibatkan diri dalam menjamin kesejahteraan psikis anaknya, agar anaknya bisa mengadakan adaptasi terhadap lingkungan sosialnya. Ibu harus terus menerus melatih anaknya, agar anak mampu mengendalikan instinkinstinknya, untuk menjadi manusia beradap (Kartono, 2007). D. MASALAH DAN DAMPAK KETUNARUNGUAN Reaksi-reaksi yang tampak biasanya dapat dibedakan atas bermacam-macam pola Somantri (2007), yaitu: 1. Timbul rasa bersalah atau berdosa

8 2. Orang tua menghadapi cacat anaknya dengan perasaan kecewa karena tidak memenuhi harapannya 3. Orang tua malu menghadapi kenyataan bahwa anaknya berbeda dari anak-anak lain. 4. Orang tua menerima anaknya beserta keadaanya sebagaimana mestinya METODE Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Penelitian ini menggunakan 3 ibu dengan karakteristik pemilihan subyek yaitu ibu yang memiliki anak tuna rungu dengan rentang usia 6-11tahun (masa kanak-kanak akhir), tinggal dan hidup bersama anaknya. Selain data primer yaitu ibu, peneliti juga memperoleh data sekunder dari suami dan orang tua subyek. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara semi terstruktur dan observasi non partisipan serta dokumentasi. Teknik analisa data menggunakan coding yaitu open coding, axial coding dan selective coding (Emzir, 2010). Keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan Derajat Kepercayaan (Credibility/Validitas Internal), Keteralihan (Transferability/Validitas Eksternal), Keajegan (Depenability/Reliabilitas), dan Kepastian (Confirmability/Objektivitas) Prastowo (2012). HASIL Berdasarkan analisa hasil penelitian yang dilakukan pada ketiga subyek menggunakan coding sehingga menghasilkan ringkasan sebagai berikut: Tabel 7. Ringkasan Faktor-Faktor Resiliensi Pada Setiap Subyek Faktor Pembentuk Emotional Regulation Subyek AT Subyek TN Subyek HN Ketika anaknya diejek dan diperlakukan tidak baik, AT merasa kesal namun ia mampu Ketika anaknya diejek, TN merasa sedih namun ia mampu Ketika anaknya diejek dan diperlakukakn tidak baik, HN berusaha

9 Impulse Control Optimism Emphaty Causal Analysis Self- Efficacy Reaching- Out mengendalikan perasaanya. Cara ia meluapkan kekesalannya ialah dengan bercerita kepada ibu mertuanya Menerima kondisi anaknya serta tidak malu memiliki anak Tuna rungu Yakin bahwa AU akan mampu berbicara Saling membantu dan peduli kepada sesama orang yang bernasib sama dengan anaknya Karena penyandang tuna rungu sehingga sering diejek Berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan penanganan Mampu mengambil hikmah dari permasalahannya mengendalikan rasa kesalnya dengan cara bercerita kepada suaminya tentang apa yang terjadi pada anaknya Keinginan untuk bisa mengaji Yakin anaknya akan mampu berbicara Saling membantu terutama teman IQ disekolah Karena ketuna runguan pada anaknya Tidak yakin akan kemampuannya untuk mencapai kesuksesan. TN ragu jika harus melakukan operasi gendang telinga pada anaknya, ia takut menerima efek sampingnya Belajar untuk bersabar, mendapatkan hikmah dari permasalahannya mengendalikan amarahnya dengan cara membawa anaknya pulang Ketika bertengkar tidak diperbolehkan bermain Yakin DH mampu mendengar dan berbicara Saling membantu anak tuna rungu serta peduli akan masa depan anak tuna rungu Karena tuna rungu sehingga orang lain menganggap berbeda Yakin akan kemampuannya untuk kenormalan anaknya yaitu dengan cara memaksimalkan penanganan untuk anaknya Memaknai dari setiap permasalahannya dan menjadikan sebagai ujian DISKUSI Resiliensi menurut Reivich & Shatte yaitu merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi yang sulit (Desmita 2010). Penelitian ini mengangkat fenomena resiliensi ibu yang memiliki anak tuna rungu. Ibu dalam penelitian ini merupakan subyek utama, hal tersebut dikarenakan ibu adalah faktor yang sangat penting yang mana adalah pengasuh utama. Ibu orang pertama yang berhubungan, melakukan kontak fisik dan emosional dengan anak (Andayani & Koentjoro, 2007). Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada ibu-ibu yang memiliki anak tuna rungu diketahui bahwa

10 ketiga subyek dalam penelitian ini dapat mengendalikan emosi dan prilakunya ketika menghadapi permasalahan dalam hidupnya, sehingga dapat mengendalikan tindakannya menjadi lebih baik. Mereka tidak senantiasa meluapkan emosinya secara tidak terkendali. Rasa kecewa dan sedih yang mereka rasakan perlahan berkurang seiring usaha mereka dalam memberikan penanganan serta pengasuhan anaknya. Hasil penelitian yang telah dilakukan, pada subyek pertama yaitu AT, ia beresiliensi dengan ketujuh faktor yaitu Emotional Regulation, Impulse Control, Optimis, Empathy, Causal Analysis, Self Efficacy, dan Reaching Out. Subyek AT dapat dikatakan meregulasi dapat ditunjukkan dengan sikapnya yang mampu mengontrol emosinya seperti halnya ketika ada orang yang menghina anaknya yang tuna rungu. Ia tidak senantiasa meluapkan kekesalannya kepada orang tersebut, AT berusaha untuk tetap tenang dalam kondisi yang menekan. Menurutnya akan percuma jika ia harus meluapkan rasa marahnya ataupun merasa kecewa atas kondisi anaknya, tidak akan merubah keadaan. AT menyadari akan keterbatasan yang dimiliki oleh anaknya, sehingga ia berusaha untuk mengendalikan keinginan serta dorongan yang muncul pada dirinya dengan cara memaksimalkan apa yang dimiliki oleh anaknya. Ia yakin anaknya memiliki kelebihan, dari kelebihan tersebut AT menutupi keterbatasan yang dimiliki oleh anaknya. Adanya rasa optimis yang dimiliki oleh AT, mempengaruhi pula self-efficacy pada dirinya. AT yakin kelak anaknya akan mampu berbicara seperti anak normal lainnya, ia berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan anaknya. AT yakin jika ia terus berusaha pasti ada jalan untuk kesembuhan anaknya. Ia juga menyadari kondisi ekonomi keluargannya tergolong dalam ekonomi menengah kebawah, sehingga ia berusaha mencari biaya untuk kesembuhan anaknya dari berbagai bantuan yang diberikan kepadanya. Rasa empatinya tumbuh karena ia sering bertemu dengan beberapa orang yang dianggapnya bernasib sama, baik orang tua yang memiliki anak tuna rungu maupun yang sama-sama memiliki anak sakit

11 jantung. Rasa empati tersebut ia tunjukkan dengan sikap saling membantu antar sesama orang tua anak sakit jantung dan lebih mengerti tentang kondisi anak tuna rungu yang ada disekitarnya. Ia mencoba membantu orang yang menurutnya bernasib sama dengannya seperti halnya sakit jantung. AT membantunya untuk sama-sama mendapatkan pengobatan terbaik karena ia tahu bagaimana susahnya untuk mendapatkan pengobatan yang baik. AT juga mampu mengedintifikasi penyebab dari mengapa anaknya diperlakukan tidak baik serta dihina oleh beberapa orang lain dan sering disebut causal analysis dalam resiliensi. Ia mengatakan bahwa anaknya dihina serta diperlakukan tidak baik oleh beberapa tetangganya dikarenakan kondisi anaknya yang tuna rungu. Beberapa orang tetangganya menganggap AU berbeda dengan anak mereka, sehingga sering kali AU mendapatkan hinaan dari orang-orang tersebut. Atas kondisi anaknya yang tuna rungu, AT dapat mencoba hal-hal baru untuk anaknya seperti halnya lebih mengerti tentang anak tuna rungu, lebih mengerti cara merawat anak tuna rungu, mencoba mencari biaya ke beberapa tempat tempat untuk pengobatan anaknya sehingga menjadikannya pengalaman. Selain itu AT menjadi belajar untuk lebih bersabar dan bersyukur atas kondisi anaknya yang tuna rungu. Subyek kedua yaitu TN, ia beresiliensi dengan beberapa faktor. TN dapat meregulasi emosinya, hal tersebut dapat ditunjukkan dengan sikap tetap tenang dalam menghadapi tekanan dari lingkungan sekitar. Seperti halnya ketika ada orang yang menghina kondisi anaknya serta beberapa temannya yang memperlakukan IQ tidak baik ketika bermain, hal tersebut cukup membuat rasa kesal pada dirinya, namun ia berusaha untuk tidak meluapkan kekesalannya tersebut dengan hal yang tidak baik. Ia meluapkan rasa kesalnya tersebut dengan cara saling berbagi perasaan yang dirasakan kepada suaminya sehingga TN merasa lebih tenang dan tidak perlu lagi untuk merasa kesal atas ucapan orang lain mengenai anaknya. TN juga merasa kesal kepada guru mengaji anaknya yang tidak mau mengajarnya dengan alasan karena IQ seorang tuna rungu. TN berusaha mencari solusi untuk tetap dapat

12 mengajarkan dengan cara tetap. TN menginginkan anaknya bisa membaca Al-Qur an sehingga ia dan suaminya tetap mencoba mengajarkannya mengaji meskipun guru mengajinya tidak mau. Hal tersebut membuktikan bahwa kemampuan meregulasi emosi TN saling berhubungan, ia juga mampu mengendalikan impulse control-nya. Rasa optimis pada diri TN ditunjukkan dengan sikap yakin bahwa anaknya akan mampu berbicara seperti anak yang lain suatu saat nanti. Ia yakin kelak anaknya mampu berbicara dan tidak lagi dihina oleh orang lain karena kondisinya yang tuna rungu, namun rasa optimis yang ditunjukkan oleh TN tidak diikuti oleh self-efficacy-nya. Ia merasa kurang mampu untuk melakukan penanganan terbaik untuk anaknya karena besarnya biasa yang harus dikeluarkan. TN merasa kurang yakin akan keberhasilan jika anaknya melakukan operasi pada telinganya. Efek samping serta biaya dalam melakukan operasi yang membuatnya kurang adanya rasa yakin akan keberhasilan. Hal tersebut menunjukkan adanya sikap kurang merasa yakin akan kemampuannya untuk mendapatkan kesuksesan. Sikap empati yang ditunjukkan oleh subyek TN dengan cara peduli dengan sesama anak tuna rungu ataupun sesama anak yang memiliki keterbatasan di sekolah anaknya. Bentuk peduli tersebut berupa saling membantu dalam mengerjakan PR ataupun membantu dalam menyelesaikan tugasnya dalam kelas. TN juga saling berbagi tentang pengetahuan tingkah laku anak mereka masing-masing. TN dapat mengetahui penyebab mengapa anaknya sering mendapatkan hinaan dan diperlakukan tidak baik oleh beberapa temannya, hal tersebut dikarenakan kondisi IQ yang tuna rungu. Teman-temannya terkadang menganggap IQ berbeda dengan mereka, sehingga seringkali ia mendapat hinaan dari orang lain. Kondisi IQ yang demikian membuat TN belajar untuk lebih bersabar dalam menjalaninya, selain itu ia menjadi lebih mengerti dalam merawat dan segala sesuatunya tentang anak tuna rungu seperti halnya mencoba hal baru dalam belajar menggunakan bahasa isyarat agar dapat memahami

13 bahasa anaknya. Sikap tersebut menunjukkan bahwa TN juga mampu melakukan reachingout. Subyek ketiga yaitu HN, ia dapat menunjukkan kemampuan meregulasi dengan sikap tetap tenang dalam situasi yang menekan. Kemampuan meregulasi emosi tersebut dapat ditunjukkan mampu menyalurkan emosi serta kekesalannya secara baik ketika tahu anaknya mendapat perlakuan tidak baik dari beberapa temannya. Ia tidak lantas meluapkan emosi serta kekesalannya tersebut. HN berusaha untuk tetap tenang dengan cara selalu meminta kepada tuhan agar diberi kesabaran dan kesembuhan untuk anaknya. Anaknya, yaitu DH sering kali mendapatkan hinaan dan perlakuan tidak baik oleh beberapa temannya karena kondisi DH ynag tuna rungu. Bahasa dan cara komunikasi DH-lah yang menjadi suatu permasalahan. Menurutnya akan menjadi percuma jika ia harus kecewa dan bersedih ketika tahu anaknya penyandang tuna rungu, perasaan kecewa dan kesal tidak akan merubah keadaan anaknya. Ia berusaha menerima keadaan anaknya tersebut, serta berusaha membimbing anaknya agar ia mampu seperti anak normal lainnya. Mampunya ia mengendalikan keinginan serta dorongan tersebut menunjukkan terpenuhinya Impulse Contol. Rasa optimis yang ada pada subyek HN ditunjukkan dengan yakinnya ia akan kemampuan anaknya untuk berbicara. Rasa yakin tersebut diiringi dengan terus berusahanya HN serta suami untuk terus mencari penanganan terbaik untuk anaknya. Ia tidak putus asa ketika ada keluarganya yang meminta agar tidak lagi berusaha memberikan penanganan untuk DH namun ia tidak begitu saja untuk menyerah. HN yakin jika ia terus berusaha maka anaknya akan menjadi normal. Selain itu HN yakin akan kenormalan anaknya dengan adanya bimbingan dari orang tua, keluarga serta lingkungan sekitar. HN yakin ia mampu untuk menjadikan anaknya mampu berbicara. HN terus berusaha agar meskipun harus

14 menghabiskan biaya banyak, karena ia yakin jika ia terus berusaha maka akan ada jalan untuk kenormalan anaknya. Keyakinan yang ia memiliki dapat memotivasinya untuk terus berusaha memberikan penanganan untuk anaknya sehingga DH mampu untuk mendengar dan berbicara. Keyakinan tersebut menunjukkan self-efficacy yang mana ia yakin atas kemampuannya dalam mencapai suatu kesuksesan. Faktor empati dalam resiliensi dapat ia tunjukkan dengan adanya rasa peduli serta saling membantu terutama kepada anak penyandang tuna rungu ataupun kepada anak yang sama memiliki keterbatasan. Ia merasa mereka senasib dengannya sehingga ia merasa harus saling membantu. HN juga mampu menganalisis alasan mengapa anaknya sering mendapatkan hinaan serta perlakuan tidak baik dari teman-teman serta orang-orang dilingkungan sekitarnya. Hal tersebut dikarenakan kondisi anaknya yang tuna rungu, menurutnya jika DH normal maka teman-temannya tidak akan menghinanya serta menganggapnya berbeda dengan mereka. Hal tersebut menunjukkan adanya faktor causal analysis dari subyek HN. Kondisi DH yang tuna rungu serta permasalahannya membuat HN menjadi belajar lebih bersabar untuk mengadapi HN, selain itu ia menjadi berusaha mencari hal baru seperti halnya mencari tahu tentang anak tuna rungu serta perawatannya. HN berusaha untuk lebih mengerti kondisi anaknya sehingga ia berusaha untuk mencari tahu segala sesuatu yang berhubungan dengan anaknya. Hal tersebut dimaksudkan agar ia lebih memahami anaknya. Sikap tersebut menunjukkan bahwa HN mampu memenuhi reaching out dalam resiliensi. Tidak mudah bagi seorang ibu untuk dapat menerima kondisi anaknya yang berkebutuhan khusus, namun dengan seiring waktu orang tua dari anak tuna rungu berusaha untuk beradaptasi dengan keadaan yang ada. Mereka menyadari bahwa dengan hanya kecewa dan merasa bersalah atas kondisi anaknya akan percuma dan tidak akan merubah kondisi anaknya saat ini. Motivasi dan pola pikir yang positif mampu membangkitkan para ibu untuk

15 tetap berusaha untuk dapat mencari solusi agar anaknya bisa normal dan tidak lagi dihina oleh orang lain. Perlu adanya kerjasama antar anggota keluarga untuk dapat beradaptasi dan mengembalikan keadaan dengan baik, namun kadang kala terdapat beberapa faktor yang dapat menghambat terjadinya resiliensi tersebut. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisa yang dilakukan menyimpulkan bahwa ketiga subyek menunjukkan faktor-faktor resiliensi dari permasalahan yang mereka alami. Pada emotional regulation, ketiga subyek mampu tetap tenang dalam kondisi menekan atas ketunarunguan anaknya. Pada impulse control ketiga subyek dapat mengendalikan keinginan serta dorongan yang diterimanya. Ketiga subyek juga memliki rasa optimis bahwa anaknya kelak akan mampu mendengar dan berbicara. Rasa emphaty ketiga subyek ditunjukkan dengan cara saling membantu dan peduli terhadap orang-orang yang dianggapnya memiliki nasib yang sama dengan anaknya. Pada faktor self efficacy subyek AT dan subyek HN dapat ditunjukkan dengan keyakinan atas kemampuan yang dimiliki untuk memberikan penanganan kepada anaknya, namun pada subyek TN ia kurang menunjukkan self-efficacynya karena ia merasa tidak yakin akan keberhasilannya jika harus melakukan operasi gendang telinga anaknya. Ketiga subyek dapat menganalisa penyebab permasalahan mereka yaitu ketunarunguaan yang dialami anaknya. Atas permasalahan yang mereka alami, ketiga subyek menunjukkan reaching out yaitu mampu memaknai segala permasalahannya agar kelak dapat menjadi pribadi yang lebih baik. SARAN Sebagai ibu dari anak tuna rungu sebaiknya tidak menjauhkan anaknya dengan anakanak normal yang lain sehingga anak tidak merasa berbeda, hal tersebut juga dapat

16 meningkatkan perkembangan bahasa sehari-hari anak tuna rungu serta lebih percaya diri dengan apa yang ia miliki saat ini. Dukungan materil ataupun non-materil dari keluarga terutama suami sangat membantu ibu dalam beresiliensi, Pada penelitian ini mengkaji resiliensi pada ibu yang memiliki anak tuna rungu melalui faktor-faktor pembentuk resiliensi saja, sehingga untuk penelitian selanjutnya peneliti menyarankan untuk mengkaji resiliensi pada ibu yang memiliki anak tuna rungu melalui sumber-sumber pada resiliensi. DAFTAR PUSTAKA Andayani. B, & Koentjoro. 2007. Peran Ayah Menuju Coparenting. Sidoarjo: Laros. Desmita. 2005. Psikologi perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Emzir. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta. PT Rajagrafindo Persada. Gunarsa, S.D & Gunarsa, Y.S.D. 2004. Psikologi Praktis: Anak, Remaja, Dan Keluarga. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. Hurlock, E.B. 2002. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga. Jackson R. & Watkin C. 2004. The resilience inventory: Seven essential skills for overcoming life s obstacles and determining happiness. Jurnal. Vol. 20, No. 6, Hal 13-17. Diunduh http://www.google.co.id/url?q=http://www.haygroup.com/downloads/us/pa_the_ resilience_inventory.pdf&sa=u&ei=srpluccveiesrafgyydgbg&ved=0cceqfjad&us g=afqjcnh3bfxntheg-9pyith-14ypldxp8g tanggal 29 Maret 2013. Kartono, K. 2007. Psikologi Wanita (Jilid 2) Mengenal Wanita Sebagai Ibu & Nenek. Bandung: CV. Mandar Maju Mangunsong, F. 2009. Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus,jilid satu. Depok: Lembaga Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Universitas Indonesia. Prastowo, A. 2012. Metode Penelitian Kualitatif Dalam Persepektif Rancangan Penelitian. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Sari, Y., Mardiawan, O., & Prakoso, H. 2011. Profil Resiliensi Pada Ibu Yang Memiliki Anak Anak Autis Di Kota Bandung. Jurnal. Fakultas Psikologi Unisba. Vol XXVII, No. 1, Hal 105-112. Diunduh http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jupekhu/article/view/538 tanggal 16 Juli 2013. Schoon, I. 2006. Risk and Resilience; Adaptions in Changing Times. New York: Cambridge University Press.

17 Semiawan, C.R. & Mangunsong F. 2010. Keluarbiasaan Ganda. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. Somantri, T.S. 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama. Wardani, Astati, Hernawati T., & Somad P. 2007. Pengantar pendidikan luar biasa. Jakarta: Universitas Terbuka.