IV. KONDISI FISKAL PEMERINTAH DAERAH

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bertumpu pada penerimaan asli daerah. Kemandirian pembangunan baik di tingkat

BAB V PENUTUP. dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: tertinggi adalah Kabupaten Sleman yaitu sebesar Rp ,

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI. Halaman Sampul Depan Halaman Judul... Halaman Pengesahan Skripsi... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran...

BAB I PENDAHULUAN. bangsa kita. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

I. PENDAHULUAN. dengan negara-negara lain (open economy),konsekuensinya adalah lemahnya posisi negara

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Semenjak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam era globalisasi dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, desentralisasi fiskal mulai hangat dibicarakan sejak

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

MASALAH UMUM MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan merata

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. lama digemakan, sekaligus sebagai langkah strategis bangsa Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah. Otonomi membuka kesempatan bagi daerah untuk mengeluarkan

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70

BAB I PENDAHULUAN. efisiensi dan efektivitas kegiatan ekonomi. Dalam 30 tahun terakhir pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan

BAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang nantinya diharapkan dapat mendongkrak perekonomian rakyat

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Provinsi/kabupaten/kota di seluruh Indonesia, akan tetapi pelaksanaannya

PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu

BAB I PENDAHULUAN. tentunya perlu mendapatkan perhatian serius baik dari pihak pemerintah pada

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Obyek Penelitian. Jawa Barat adalah salah satu provinsi terbesar di Indonesia dengan ibu

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

CAKUPAN MATERI 1. KONSEP DASAR KEBIJAKAN FISKAL 2. PERAN KEBIJAKAN FISKAL DI INDONESIA 3. KONSEP APBN 4. GAMBARAN UMUM APBN 5. STUDI IMPLEMENTASI

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam Undang-undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Otonomi

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan wujud partisipasi dari masyarakat dalam. pembangunan nasional. Pajak merupakan salah satu pendapatan

I. PENDAHULUAN. pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Lahirnya Undang-undang No.22

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB III METODE PENELITIAN. mengambil lokasi di Kabupaten Brebes dan Pemalang dengan data yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

I. PENDAHULUAN. sumber terbesar penerimaan dalam negeri dan merupakan sumber pemasukan keuangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. oleh setiap daerah di Indonesia, terutama Kabupaten dan Kota sebagai unit pelaksana

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan, setiap daerah memiliki

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Sidik et al, 2002) UU No.12 tahun 2008

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. Pertumbuhan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Tangerang tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah (Mardiasmo, 2002 : 50). Pengamat

BAB I PENDAHULUAN. ini tidak terlepas dari keberhasilan penyelenggaraan pemerintah propinsi maupun

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

EVALUASI EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL DAN RESTORAN

BAB I PENDAHULUAN. (United Nations Development Programme) sejak tahun 1996 dalam seri laporan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

Transkripsi:

IV. KONDISI FISKAL PEMERINTAH DAERAH 4.1. Kondisi Penerimaan Pemerintah Daerah Berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, penerimaan pemerintah daerah terdiri atas: (1) pendapatan asli daerah, (2) dana perimbangan, (3) pinjaman daerah, dan (4) lain-lain penerimaan yang sah. Komponen terpenting dari penerimaan daerah berasal dari pendapatan asli daerah dan dana perimbangan. Pendapatan asli daerah menggambarkan kemampuan daerah untuk memperoleh pendapatan sendiri, sedangkan dana perimbangan merupakan dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah guna menambah kemampuan daerah untuk membiayai pengeluarannya. Tabel 9. Perkembangan Kontribusi Komponen Pembentuk Penerimaan Daerah Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996, Tahun 1995-2005 Komponen Dana Perimbangan Tahun Penerimaan PAD Dana Perimbangan (Juta Rp) (Juta Rp) (%) (Juta Rp) (%) 1995 268 799.28 10 764.61 4.00 241 159.74 89.72 1996 264 542.38 11 817.98 4.47 240 950.67 91.08 1997 256 649.64 11 614.14 4.53 231 680.75 90.27 1998 252 302.76 7 433.98 2.95 238 977.77 94.72 1999 272 895.43 8 308.50 3.04 251 842.35 92.29 2000 272 037.55 17 125.91 6.30 245 685.22 90.31 2001 641 877.01 72 436.99 11.29 543 753.68 84.71 2002 640 040.22 42 998.81 6.72 528 762.32 82.61 2003 920 104.06 41 997.92 4.56 749 164.32 81.42 2004 967 845.80 42 470.59 4.39 770 669.84 79.63 2005 1 018 351.12 50 838.69 4.99 823 251.04 80.84 Rata-rata 5.20 87.06 Tabel 9 dan Tabel 10 menjelaskan bahwa pendapatan asli daerah masih memberikan kontribusi yang sangat kecil terhadap penerimaan daerah baik

54 sebelum maupun sesudah desentralisasi fiskal yaitu sebesar 5.20 persen/tahun. Rendahnya kontribusi pendapatan asli daerah mengindikasikan rendahnya kemampuan daerah untuk memperoleh pendapatan sendiri. Kontribusi terbesar pendapatan asli daerah terhadap penerimaan daerah terjadi pada awal desentralisasi fiskal yaitu tahun 2001 sebesar 11.29 persen. Kontribusi tahun berikutnya mengalami penurunan. Penurunan tersebut lebih dikarenakan menurunnya sumber-sumber penerimaan pendapatan asli daerah terutama yang berasal dari retribusi dan pendapatan asli daerah lainnya. Tabel 10. Perkembangan Pertumbuhan Komponen Pembentuk Penerimaan Daerah Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996, Tahun 1995-2005 Komponen Dana Perimbangan Tahun PAD Dana Perimbangan Nominal (Juta Rp) Tumbuh (%) Nominal (Juta Rp) Tumbuh (%) 1995 10 764.61 241 159.74 1996 11 817.98 9.79 240 950.67-0.09 1997 11 614.14-1.72 231 680.75-3.85 1998 7 433.98-35.99 238 977.77 3.15 1999 8 308.50 11.76 251 842.35 5.38 2000 17 125.91 106.13 245 685.22-2.44 2001 72 436.99 322.97 543 753.68 121.32 2002 42 998.81-40.64 528 762.32-2.76 2003 41 997.92-2.33 749 164.32 41.68 2004 42 470.59 1.13 770 669.84 2.87 2005 50 838.69 19.70 823 251.04 6.82 Berdasarkan pertumbuhannya, pendapatan asli daerah meningkat sangat tinggi yaitu sebesar 322.97 persen pada awal desentralisasi fiskal. Pada tahun 2002 dan 2003 pertumbuhan pendapatan asli daerah mengalami penurunan yaitu masing-masing sebesar 40.64 persen dan 2.33 persen, tetapi dengan nominal yang masih lebih besar dibanding dengan sebelum desentralisasi fiskal. Pada tahun

55 berikutnya, yaitu tahun 2004 dan 2005 pertumbuhan pendapatan asli daerah mulai mengalami peningkatan kembali masing-masing sebesar 1.13 persen dan 19.70 persen. Peningkatan pendapatan asli daerah tahun 2004 dan 2005 tersebut akibat membaiknya penerimaan pajak daerah dan retribusi. Komponen penerimaan lain yang akan dibahas adalah dana perimbangan. Dana perimbangan merupakan komponen utama pembentuk penerimaan daerah, dengan rata-rata kontribusi 87.06 persen/tahun. Besarnya kontribusi dana perimbangan ini mengindikasikan masih besarnya ketergantungan daerah terhadap dana transfer dari pemerintah pusat. Berdasarkan pertumbuhannya, dana perimbangan mengalami peningkatan yang tinggi pada awal desentralisasi fiskal yaitu sebesar 121.32 persen. Pada tahun 2002, pertumbuhan dana perimbangan mengalami penurunan sebesar 2.76 persen. Penurunan pertumbuhan dana perimbangan tersebut akibat dari berkurangnya penerimaan dari bagi hasil pajak dan dana alokasi umum, tetapi pada tahun berikutnya, dana perimbangan kembali mengalami pertumbuhan yang positif. Komponen pendapatan asli daerah terdiri dari: (1) pajak daerah, (2) retribusi daerah, (3) laba badan usaha milik daerah (BUMD), dan (4) pendapatan asli daerah lainnya. Perkembangan pendapatan asli daerah seperti digambarkan pada Tabel 11 dan Tabel 12 menunjukkan bahwa pada awal desentralisasi fiskal, hampir semua komponen pembentuk pendapatan asli daerah mengalami peningkatan, kecuali laba badan usaha milik daerah.

56 Tabel 11. Perkembangan Kontribusi Komponen Pembentuk Pendapatan Asli Daerah Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996, Tahun 1995-2005 Komponen Pembentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun PAD Pajak Daerah Retribusi Laba BUMD PAD Lain (Juta Rp.) (%) (Juta Rp.) (%) (Juta Rp.) (%) (Juta Rp.) (%) 1995 10 764.61 2 698.26 25.07 4 003.83 37.19 1 099.47 10.21 2 963.05 27.53 1996 11 817.98 2 976.26 25.18 5 521.91 46.72 1 508.19 12.76 1 811.63 15.33 1997 11 614.14 2 971.40 25.58 5 555.72 47.84 1 272.23 10.95 1 814.80 15.63 1998 7 433.98 2 925.58 39.35 3 044.01 40.95 581.50 7.82 882.89 11.88 1999 8 308.50 2 681.53 32.27 2 790.34 33.58 1 593.63 19.18 1 243.01 14.96 2000 17 125.91 2 788.66 16.28 4 034.75 23.56 682.49 3.99 9 620.01 56.17 2001 72 436.99 4 173.08 5.76 24 386.93 33.67 909.80 1.26 42 967.17 59.32 2002 42 998.81 3 995.93 9.29 5 347.61 12.44 1 118.85 2.60 32 536.43 75.67 2003 41 997.92 5 314.25 12.65 11 718.12 27.90 1 268.64 3.02 23 696.91 56.42 2004 42 470.59 7 386.28 17.39 15 310.77 36.05 836.41 1.97 18 937.12 44.59 2005 50 838.69 6 883.19 13.54 15 257.86 30.01 1 402.02 2.76 27 295.62 53.69 Rata-rata 20.22 33.63 6.96 39.20

57 Tabel 12. Perkembangan Pertumbuhan Komponen Pembentuk Pendapatan Asli Daerah Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996, Tahun 1995-2005 Komponen Pembentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun Pajak Daerah Retribusi Laba BUMD PAD Lain Nominal Tumbuh Nominal Tumbuh Nominal Tumbuh Nominal Tumbuh (Juta Rp.) (%) (Juta Rp.) (%) (Juta Rp.) (%) (Juta Rp.) (%) 1995 2 698.26 4 003.83 1 099.47 2 963.05 1996 2 976.26 10.30 5 521.91 37.92 1 508.19 37.17 1 811.63-38.86 1997 2 971.40-0.16 5 555.72 0.61 1 272.23-15.65 1 814.80 0.18 1998 2 925.58-1.54 3 044.01-45.21 581.50-54.29 882.89-51.35 1999 2 681.53-8.34 2 790.34-8.33 1 593.63 174.05 1 243.01 40.79 2000 2 788.66 4.00 4 034.75 44.60 682.49-57.17 9 620.01 673.93 2001 4 173.08 49.64 24 386.93 504.42 909.80 33.31 42 967.17 346.64 2002 3 995.93-4.25 5 347.61-78.07 1 118.85 22.98 32 536.43-24.28 2003 5 314.25 32.99 11 718.12 119.13 1 268.64 13.39 23 696.91-27.17 2004 7 386.28 38.99 15 310.77 30.66 836.41-34.07 18 937.12-20.09 2005 6 883.19-6.81 15 257.86-0.35 1 402.02 67.62 27 295.62 44.14

58 Pajak daerah tumbuh sebesar 49.64 persen pada tahun 2001. Pada tahun berikutnya pertumbuhan pajak daerah mengalami fluktuasi tetapi dengan nominal yang masih lebih besar dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Apabila dilihat dari kontribusinya, pajak daerah mulai mengalami penurunan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah sejak menjelang desentralisasi fiskal, yaitu tahun 2000. Kemudian pada beberapa tahun berikutnya, pajak daerah selalu lebih kecil daripada sebelum tahun 2000. Pertumbuhan dan nominal dari laba badan usaha milik daerah mengalami fluktuasi baik sebelum maupun setelah desentralisasi fiskal. Laba badan usaha milik daerah memiliki kontribusi paling kecil dalam pembentukan pendapatan asli daerah, dengan rata-rata kontribusi sebesar 6.96 persen/tahun. Sama halnya dengan pajak daerah, laba badan usaha milik daerah mulai mengalami penurunan kontribusi menjelang desentralisasi fiskal dan terus berlanjut hingga beberapa tahun berikutnya. Retribusi dan pendapatan asli daerah lainnya merupakan komponen terakhir dalam pembentukan pendapatan asli daerah. Pada awal desentralisasi fiskal, retribusi dan pendapatan asli daerah lainnya merupakan komponen pendapatan asli daerah yang mengalami pertumbuhan paling tinggi, yaitu masingmasing sebesar 504.42 persen dan 346.64 persen. Pada tahun berikutnya, pertumbuhan kedua komponen pendapatan asli daerah tersebut mengalami fluktuasi. Khusus untuk pendapatan asli daerah lainnya, walaupun setelah tahun 2001 mengalami penurunan pertumbuhan, tetapi kontribusinya tetap dominan terhadap pembentukan pendapatan asli daerah.

59 Pajak daerah dan retribusi sebelum desentralisasi fiskal, memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pembentukan pendapatan asli daerah. Setelah desentralisasi fiskal, kontribusi kedua sumber pendapatan asli daerah tersebut mengalami penurunan sehingga kontribusi pembentuk terbesar pendapatan asli daerah beralih ke pendapatan asli daerah lainnya. Pajak daerah dan retribusi dirancang pemerintah sebagai tumpuan pendapatan asli daerah. Walaupun setelah desentralisasi fiskal terjadi peningkatan terhadap kedua sumber pendapatan asli daerah tersebut, tetapi kontribusinya cenderung mengalami penurunan. Pemerintah daerah tidak dapat memperbesar kontribusi pajak dan retribusinya dengan cara memungut jenis pajak dan retribusi baru karena berdampak pada semakin tingginya beban biaya produksi yang harus ditanggung pengusaha. Menurut simanjuntak (2003), sebagian dari pajak dan retribusi baru tersebut tidak efisien dan cenderung menimbulkan distorsi bagi kegiatan ekonomi sehingga mengganggu para pengusaha dan investor dalam melakukan kegiatan di daerah. Selain itu, instrumen pemungutan pajak dan retribusi baru menurut Lewis (2003) ternyata tidak terbukti menjadi pemicu dalam meningkatkan kapasitas fiskal daerah karena kontribusinya yang masih sangat kecil. Usaha yang bisa dilakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan kontribusi pajak daerah adalah dengan ekstensifikasi dan menertibkan para wajib pajak agar tidak mangkir dari kewajibannya. Berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, dana perimbangan terdiri dari: (1) bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan, (2) bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam, (3) dana alokasi umum, dan (4) dana alokasi khusus. Tabel 13 dan Tabel 14

60 menunjukkan bahwa kontribusi dana alokasi umum dominan dalam membentuk penerimaan daerah dengan kontribusi rata-rata sebesar 72.34 persen/tahun. Setelah desentralisasi fiskal, kontribusi dana alokasi umum terhadap dana perimbangan mengalami kecenderungan meningkat dengan kontribusi terbesar terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 80.76 persen. Berdasarkan pertumbuhannya, dana alokasi umum mengalami peningkatan yang signifikan pada awal dilaksanakannya desentralisasi fiskal, yaitu sebesar 125.06 persen. Hal ini disebabkan karena formulasi dana alokasi umum yang baru, dirancang pemerintah agar dapat mengurangi ketimpangan horizontal dan membiayai kebutuhan fiskal daerah yang semakin besar. Tabel 13. Perkembangan Kontribusi Komponen Dana Perimbangan Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996, Tahun 1995-2005 Dana Komponen Dana Perimbangan Tahun Perimbangan BHP BHBP DAU (Juta Rp) (Juta Rp) (%) (Juta Rp) (%) (Juta Rp) (%) 1995 241 159.74 73 366.81 30.42 21 042.83 8.73 146 750.10 60.85 1996 240 950.67 70 622.33 29.31 21 883.03 9.08 148 445.31 61.61 1997 231 680.75 68 012.26 29.36 21 381.73 9.23 142 286.76 61.42 1998 238 977.77 53 732.10 22.48 15 588.64 6.52 169 657.04 70.99 1999 251 842.35 43 592.35 17.31 13 835.23 5.49 194 414.76 77.20 2000 245 685.22 37 566.09 15.29 15 902.92 6.47 192 216.21 78.24 2001 543 753.68 55 539.13 10.21 12 264.37 2.26 432 605.93 79.56 2002 528 762.32 49 226.03 9.31 43 557.00 8.24 427 034.85 80.76 2003 749 164.32 72 028.70 9.61 34 724.48 4.64 523 099.85 69.82 2004 770 669.84 84 739.16 11.00 29 248.73 3.80 612 583.48 79.49 2005 823 251.04 97 189.58 11.81 21 462.39 2.61 624 358.08 75.84 Rata-rata 17.83 6.10 72.34 Komponen bagi hasil selanjutnya adalah bagi hasil pajak. Kontribusi bagi hasil pajak terhadap pembentukan bagi hasil sebesar rata-rata 17.83 persen/tahun. Berbeda dengan dana aloksi umum yang mengalami peningkatan kontribusi

61 setelah desetralisasi fiskal, bagi hasil pajak cenderung mengalami penurunan kontribusi setelah desetralisasi fiskal. Walaupun mengalami penurunan kontribusi tetapi dilihat secara nominal tetap mengalami peningkatan. Berdasarkan pertumbuhannya, bagi hasil pajak mengalami peningkatan yang cukup tinggi pada awal desentralisasi fiskal yaitu sebesar 47.84 persen. Peningkatan pertumbuhan bagi hasil pajak tersebut dikarenakan setelah desentralisasi fiskal pemerintah daerah lebih serius dalam menggali sumber-sumber bagi hasil pajak, guna membiayai semakin besarnya pengeluaran yang harus dibiayai oleh pemerintah daerah. Tabel 14. Perkembangan Pertumbuhan Komponen Dana Perimbangan Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996, Tahun 1995-2005 Komponen Dana Perimbangan Tahun BHP BHBP DAU Nominal Tumbuh Nominal Tumbuh Nominal Tumbuh (Juta Rp) (%) (Juta Rp) (%) (Juta Rp) (%) 1995 73366.81 21042.83 146750.10 1996 70622.33-3.74 21883.03 3.99 148445.31 1.16 1997 68012.26-3.70 21381.73-2.29 142286.76-4.15 1998 53732.10-21.00 15588.64-27.09 169657.04 19.24 1999 43592.35-18.87 13835.23-11.25 194414.76 14.59 2000 37566.09-13.82 15902.92 14.95 192216.21-1.13 2001 55539.13 47.84 12264.37-22.88 432605.93 125.06 2002 49226.03-11.37 43557.00 255.15 427034.85-1.29 2003 72028.70 46.32 34724.48-20.28 523099.85 22.50 2004 84739.16 17.65 29248.73-15.77 612583.48 17.11 2005 97189.58 14.69 21462.39-26.62 624358.08 1.92 Komponen dana perimbangan yang terakhir adalah bagi hasil bukan pajak. Bagi hasil bukan pajak memberikan kontribusi paling kecil terhadap pembentukan dana perimbangan, dengan rata-rata kontribusi sebesar 6.10 persen/tahun. Sama halnya dengan bagi hasil pajak, bagi hasil bukan pajak juga mengalami penurunan

62 kontribusi setelah desentralisasi fiskal. Penurunan kontribusi tersebut dikarenakan peningkatan bagi hasil bukan pajak tidak mampu mengimbangi peningkatan dana alokasi umum. Berdasarkan pertumbuhannya, bagi hasil bukan pajak mengalami penurunan sebesar 22.88 persen setelah desentralisasi fiskal dilaksanakan. Penurunan tersebut disebabkan Kalimantan Tengah tidak memiliki sumber daya alam berupa minyak bumi dan gas alam. Tetapi di masa mendatang, sumbangan bagi hasil bukan pajak diharapkan akan meningkat karena Kalimantan Tengah memiliki banyak sumber daya alam lainnya seperti emas dan batu bara yang belum tereksploitasi. 4.2. Kondisi Pengeluaran Pemerintah Daerah Menilai kondisi pengeluaran daerah dapat dilakukan dengan mengevaluasi pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan daerah. Berdasarkan Tabel 15 dan Tabel 16 diketahui bahwa alokasi untuk pengeluaran rutin terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan rata-rata alokasi sebesar 54.41 persen/tahun. Pengeluaran rutin sebagian besar dialokasikan untuk membiayai gaji pegawai daerah, oleh karena itu peningkatan yang signifikan dalam alokasi pengeluaran rutin tidak dapat dihindari karena setelah desentralisasi fiskal terjadi penyerahan pembiayaan pegawai dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Berdasarkan pertumbuhannya, pengeluaran rutin mengalami peningkatan yang cukup signifikan setelah desentralisasi fiskal yaitu sebesar 113.55 persen. Komponen pengeluaran daerah berikutnya adalah pengeluaran pembangunan. Pengeluaran pembangunan adalah pengeluaran yang ditujukan untuk membiayai berbagai proyek pemerintah daerah di setiap sektor. Alokasi pengeluaran pembangunan cenderung menurun, dengan rata-rata alokasi sebesar

63 45.60 persen/tahun. Menurunnya alokasi pengeluaran pembangunan dikarenakan meningkatnya pengeluaran yang dialokasikan untuk pengeluaran rutin. Meskipun pengeluaran pembangunan mengalami penurunan kontribusi, tetapi pertumbuhannya mengalami peningkatan. Pada awal desentralisasi fiskal, pengeluaran pembangunan tumbuh sebesar 113.55 persen. Pertumbuhan yang positif dalam pengeluaran pembangunan terus berlanjut sampai tahun 2005. Tabel 15. Perkembangan Alokasi Pengeluaran Rutin dan Pembangunan Kalimantan Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996, Tengah Tahun 1995-2005 Tahun Pengeluaran Pengeluaran Pengeluaran Rutin Pembangunan Total (Juta Rp.) (Juta Rp.) (%) (Juta Rp.) (%) 1995 257033.80 92428.35 35.96 164605.45 64.04 1996 250129.75 96693.10 38.66 153436.65 61.34 1997 240656.41 89958.84 37.38 150697.56 62.62 1998 234539.62 138453.40 59.03 96086.22 40.97 1999 264243.23 159603.20 60.40 104640.04 39.60 2000 247415.98 149107.39 60.27 98308.59 39.73 2001 562684.62 352749.45 62.69 209935.17 37.31 2002 562705.81 350436.87 62.28 212268.94 37.72 2003 726887.78 425742.92 58.57 301144.86 41.43 2004 817348.87 500259.72 61.21 317089.15 38.79 2005 896186.33 555941.12 62.03 340568.21 38.00 Rata-rata 54.41 45.60 Berdasarkan hasil evaluasi kondisi fiskal pemerintah daerah secara keseluruhan, diketahui bahwa telah terjadi peningkatan yang besar pada penerimaan daerah. Peningkatan tersebut terjadi karena desentralisasi fiskal menyebabkan kontribusi dana perimbangan meningkat, walaupun di sisi lain terjadi penurunan kontribusi pendapatan asli daerah. Peningkatan penerimaan direspon oleh pemerintah daerah dengan meningkatkan pengeluaran rutin dan