II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

commit to user BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

KONSEP EVALUASI LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

LOGO Potens i Guna Lahan

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih baik. Menurut Bocco et all. (2005) pengelolaan sumber daya alam

KETERKAITAN ANTARA PENYIMPANGAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP ALOKASI RUANG DENGAN PERUBAHAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN

Evaluasi Lahan. Evaluasi Kemampuan Lahan

PENDAHULUAN Latar Belakang

Klasifikasi Kemampuan Lahan

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

Gambar 1. Lokasi Penelitian

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Panduan konservasi tanah dan air untuk penanggulangan degradasi lahan

TINJAUAN PUSTAKA Kemampuan Lahan

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Kebutuhan tersebut terkait untuk pemenuhan kebutuhan hidup

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

Evaluasi Lahan. proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan

BAB I PENDAHULUAN. Lahan adalah bagian dari sumber daya alam yang makin terbatas

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

I. PENDAHULUAN. kerusakan akibat erosi dalam ekosistem DAS (Widianto dkk., 2004). Kegiatan

BAB II METODE PENELITIAN

Lampiran 1. Kriteria Lahan Kritis di Kawasan Hutan Lindung (HL), Budidaya Pertanian (BDP) dan Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan (LKHL)

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam

2013, No.1041 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERSYARATAN JARINGAN DRAINASE

Ekologi Padang Alang-alang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan, Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan

TEKNOLOGI PENGELOLAAN & PANEN AIR HUJAN (MK. Manajemen Agroekosistem, smno.jurtnh.fpub.2013)

BAB I PENDAHULUAN. manusia di buktikan dengan terdokumentasinya dalam Al-Qur an, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

SUMBER DAYA HABIS TERPAKAI YANG DAPAT DIPERBAHARUI. Pertemuan ke 2

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Contents 11/11/2012. Variabel-variabel Kemampuan Lahan. Land Capability

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Erosi

SUMBERDAYA LAHAN INDONESIA

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam menimbulkan resiko atau bahaya terhadap kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik

PEMETAAN LAHAN KRITIS KABUPATEN BELITUNG TIMUR MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

RINGKASAN DISERTASI. Oleh : Sayid Syarief Fathillah NIM 06/240605/SPN/00217

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

Erosi. Rekayasa Hidrologi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

MODEL PENANGGULANGAN BANJIR. Oleh: Dede Sugandi*)

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak

PENGELOLAAN DAS TERPADU

HASIL DAN PEMBAHASAN

B A B I PE N D A H U L U A N. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode Universal Soil Loss Equation (USLE)

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN JATINOM KABUATEN KLATEN PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat untuk Hutan Aceh Berkelanjutan Banda Aceh, 19 Maret 2013

Konservasi lahan Konservasi lahan adalah usaha pemanfaatan lahan dalam usahatani dengan memperhatikan kelas kemampuannya dan dengan menerapkan

Transkripsi:

4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap bentuk campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil maupun spirituil (Arsyad, 2000). Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan penyediaan air dan lahan yang diusahakan. Berdasarkan hal itu dikenal macam penggunaan lahan seperti sawah, tegalan, kebun, kebun campuran, semak, perkebunan dan hutan. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi dan sebagainya (Arsyad, 2000). Berikut ini merupakan penjelasan beberapa jenis penggunaan lahan berdasarkan pedoman survai yang digunakan oleh Direktorat Tata Guna Tanah Departemen Dalam Negeri (Sitorus 1989): 1). Hutan adalah areal yang ditumbuhi berbaga jenis pepohonan besar dan kecil dengan tingkat pertumbuhan yang maksimum, dapat meliputi hutan heterogen yang merupakan hutan alam atau hutan homogen yang ditumbuhi pepohonan dengan didominasi oleh satu jenis saja. 2). Perkebunan adalah areal yang ditanami jenis tanaman keras atau tanaman tahunan, baik untuk usaha perkebunan besar maupun perkebunan rakyat. ). Kebun Campuran adalah areal yang ditanami berbagai macam tanaman, jenis tanaman keras, atau kombinasi tanaman keras dan tanaman semusim yang tidak jelas jenis mana yang lebih dominan. 4). Tegalan adalah areal pertanian lahan kering, biasanya tanaman yang diusahakan adalah tanaman berumur pendek. 5). Sawah adalah areal pertanian lahan basah yang secara periodik atau terusmenerus ditanami padi.

5 6). Danau adalah areal penggenangan permanen yang dalam dan terjadi secara alami. 7). Rawa adalah areal dengan penggenangan permanen yang dangkal tetapi belum cukup dangkal untuk dapat ditumbuhi tumbuhan besar, sehingga pada umumnya ditumbuhi rerumputan rawa. 8). Perkampungan atau Pemukiman adalah bagian dari permukaan bumi yang dihuni oleh manusia, meliputi segala (sarana dan prasarana) yang menunjang kehidupan penduduk. Penggunaan lahan secara umum dipengaruhi oleh kemampuan lahan dan lokasi lahan. Untuk aktivitas pertanian, penggunaan lahan dipengaruhi oleh kelas kemampuan lahan yang dicirikan adanya perbedaan sifat-sifat yang menjadi penghambat bagi penggunaannya seperti tekstur tanah, lereng, kemampuan menahan air dan tingkat erosi yang telah terjadi. Penggunaan lahan juga dipengaruhi oleh lokasi, khususnya untuk daerah-daerah pemukiman, lokasi industri, maupun untuk daerah-daerah rekreasi (Suparmoko, 1995). Penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahan akan menciptakan pemanfaatan ruang yang tepat guna dan berhasil guna sehingga penting dilakukan perhitungan terhadap faktor-faktor fisik tanah untuk mengetahui besarnya kemampuan dan kesesuaian lahan pada suatu kawasan. Penggunaan lahan yang tidak memperhatikan kaidah ruang, kemampuan dan kesesuaian lahan menyebabkan dampak lingkungan yang kurang menguntungkan, seperti terjadi erosi, menurunnya fungsi hidrologis hutan, terjadinya degradasi lahan dan meningkatnya lahan kritis serta kerusakan lingkungan (Desman, 2007). 2.2. Dampak Penyimpangan Penggunaan Lahan Terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Rencana tata ruang merupakan instrumen penting bagi pemerintah, sehingga penetapan rencana harus mendapat kesepakatan dan pengesahan oleh lembaga legislatif sebagai wakil rakyat dan dukungan masyarakat. Rencana tata ruang secara legal mempunyai kekuatan mengikat untuk dipatuhi baik oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri, sehingga diharapkan proses pemanfaatan ruang dapat dilakukan secara konsisten. Menurut Wiranto (2001), pelaksanaan pembangunan

6 harus sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan, agar dapat dihindari masalah: (1) ketidakseimbangan laju pertumbuhan antar daerah; (2) ketidakefisienan pemanfaatan sumberdaya alam dan kemerosotan kualitas lingkungan hidup; () ketidaktertiban penggunaan tanah; (4) ketidakefisienan kegiatan ekonomi-sosial; dan (5) ketidakharmonisan interaksi sosial ekonomi antar pelaku dalam pemanfaatan ruang. Menurut Dardak (2006), upaya menciptakan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan dirasakan masih menghadapi tantangan yang berat. Hal ini di tunjukkan oleh masih banyaknya permasalahan yang mencerminkan bahwa kualitas ruang kehidupan kita masih jauh dari cita-cita tersebut. Di Indonesia, salah satu masalah pokok dalam usaha penataan penggunaan lahan dan lingkungan hidup antara lain adanya kontradiksi antara kebutuhan yang menjadi pemakai yang lebih luas di satu pihak dan batasan-batasan yang berat demi lingkungan hidup (Sitorus, 2004). Menurut Direktorat Jendral Penataan Ruang (200), terdapat beberapa permasalahan penting yang diduga mempengaruhi terjadinya bencana banjir yang menggenangi hampir 60% wilayah Jakarta di tahun 2002 dan 200, yaitu: berkurangnya fungsi kawasan-kawasan lindung di wilayah Bogor sebagai kawasan resapan air, dan berbagai penyimpangan antara rencana dan pemanfaatan ruang. Kerusakan lahan merupakan beban berat yang harus ditanggung masyarakat terutama jika diperhitungkan akibat sampingan yang ditimbulkan, seperti kerusakan lingkungan, banjir pada saat musim hujan, pendangkalan irigasi dan saluran sungai serta kekurangan air pada saat musim kemarau. Hal ini menuntut perhatian karena memperbaiki lahan yang telah kritis agar dapat berfungsi dengan baik memerlukan waktu yang lama serta biaya yang mahal (Arsyad, 2000). 2.. Lahan Kritis Lahan kritis merupakan lahan yang telah mengalami kerusakan fisik tanah karena berkurangnya penutupan vegetasi dan adanya gejala erosi yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologi dan daerah lingkungannya (Tim Balai Penelitian Tanah, 2004). Timbulnya lahan kritis disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya

7 adalah tutupan vegetasi, lereng, erosi, dan kedalaman solum tanah. Tutupan vegetasi, sangat berpengaruh terhadap kondisi hidrologis. Suatu lahan dengan tutupan vegetasi yang baik memiliki kemampuan meredam energi kinetis hujan, sehingga memperkecil terjadinya erosi percik, dan memperkecil koefisien aliran sehingga mempertinggi kemungkinan penyerapan air hujan, khususnya pada lahan dengan solum tebal. Disamping itu kondisi tutupan vegetasi yang baik juga memberikan serasah yang cukup banyak, sehingga bisa mempertahankan kesuburan tanah (Notohadiprawiro, 2006). Hubungan antara lereng dengan fungsi hidro-orologis adalah bahwa semakin kecil lereng akan semakin besar kemungkinan air hujan untuk meresap ke dalam tanah. Hal ini dikarenakan semakin kecilnya air hujan yang menjadi air permukaan. Disamping itu aliran air di daerah datar, cenderung lebih lambat dibandingkan dengan daerah curam, sehingga kemungkinan terjadinya erosi juga kecil. Dengan demikian pengaruh daerah dengan lereng datar terhadap kemungkinan timbulnya lahan kritis juga semakin kecil (Darmawijaya, 1992). Erosi di daerah hulu antara lain mengakibatkan menurunnya kualitas lahan pertanian, perkebunan, dan padang penggembalaan. Keadaan ini menyebabkan berkurangnya produktivitas lahan-lahan tersebut yang berarti juga akan terjadi peningkatan biaya dibutuhkan untuk mengembalikan tingkat kesuburan tanah. Ditinjau dari aspek kerusakan fisik, lahan kritis dapat diklasifikasikan dalam empat kelompok, yaitu: lahan potensial kritis, lahan semi/hampir kritis, lahan kritis, dan lahan sangat kritis (Sitorus, 2004). a) Lahan potensial kritis adalah lahan yang masih/kurang produktif bila diusahakan untuk pertanian tanaman pangan atau mulai terjadi erosi ringan. Bila pengelolaannya tidak berdasarkan pada kaidah-kaidah konservasi tanah, maka lahan dapat menjadi rusak dan cenderung akan berubah menjadi lahan semi/hampir kritis atau lahan kritis. b) Lahan semi/hampir kritis adalah lahan yang kurang/tidak produktif, dan telah terjadi erosi namun masih dapat diusahakan untuk kegiatan pertanian dengan tingkat produksi yang rendah.

8 c) Lahan kritis adalah lahan yang tidak produktif atau produktivitasnya rendah sekali sehingga untuk dapat diusahakan sebagai lahan pertanian perlu didahului dengan usaha rehabilitasi. d) Lahan sangat kritis adalah lahan-lahan yang sangat rusak sehingga tidak memungkinkan lagi untuk diusahakan sebagai lahan pertanian dan sangat sukar untuk di rehabilitasi. Di dalam Karmelia (2006) disebutkan bahwa Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat tahun 1997 telah mengklasifikasikan lahan kritis menggunakan empat parameter lahan yaitu : (1) kondisi penutupan vegetasi, (2) tingkat torehan/kerapatan drainase, () penggunaan lahan dan (4) kedalaman tanah. Sesuai dengan parameter-parameter lahan tersebut, lahan kritis dibedakan ke dalam empat tingkat kekritisan lahan yaitu potensial kritis, semi kritis, kritis dan sangat kritis. Ciri-ciri kondisi lapang setiap kriteria dan parameter lahan kritis tersebut disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Kriteria Penilaian Lahan Kritis menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1997 Parameter Potensial Kritis Semi Kritis Kritis Sangat Kritis Penutupan vegetasi > 75 % 50-75 % 25-50 % < 25 % Tingkat torehan / kerapatan drainase Penggunaan lahan Kedalam tanah Sumber : Karmelia (2006) Agak tertoreh Cukup tertoreh Hutan, kebun campuran, belukar, perkebunan Dalam (>100 cm) Cukup tertoreh Sangat tertoreh Pertanian, lahan kering, semak belukar, alangalang Sedang (60-100 cm) Sangat tertoreh Sangat tertoreh sekali Pertanian, lahan kering, rumput semak Dangkal (0-60 cm) Sangat tertoreh Gundul, rumput semak Sangat dangkal (< 0 cm ) Peraturan Direktur Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial N o m o r : S K. 1 6 7 / V -S E T / 2 0 0 4, menggolongkan tingkat kekritisan lahan kedalam lima kelompok, yaitu : (1) Tidak kritis, (2) Potensial Kritis, () Agak Kritis, (4) Kritis, dan (5) Sangat Kritis. Kriteria pengelompokkan ini berdasarkan pada variabel:

9 kondisi tutupan vegetasi, kemiringan lereng, tingkat erosi, penutupan oleh batuan, tingkat pengelolaan (manajemen) dan produktivitas lahan. Kriteria penetapan lahan kritis kawasan budidaya untuk usaha pertanian, Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, Departemen Kehutanan, dapat dilihat pada Tabel 2 dan. Tabel 2. Kriteria lahan kritis kawasan budidaya untuk usaha pertanian, Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, Departemen Kehutanan No Kriteria ( % bobot) 1 Produktivitas (0) 2 Lereng (20) Erosi (15) Kelas Besaran/Diskripsi Skor Keterangan 1. Sangat Tinggi 2. Tinggi. Sedang 4. Rendah 5.Sangat Rendah 1. Datar 2. Landai. Agak Curam 4. Curam 5. Sangat Curam 1. Ringan 2. Sedang. Berat >80% 61 80 % 41 60 % 21 40 % <20 % <8 % 8 15 % 16 25 % 26 40 % >40 % Tanah dalam : <25% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak 20 50 m Tanah dangkal : <25% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak >50 m Tanah dalam : 25 75 % lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak kurang dari 20 m Tanah dangkal : 25 50% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur dengan jarak 20-50 m Tanah dalam : > 75 % lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi parit dengan jarak 20-50 m Tanah dangkal : 50 75 % lapisan tanah atas hilang 5 4 2 1 5 4 2 1 5 4 Dinilai berdasarkan ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional

10 Tabel 2 (Lanjutan) Kriteria No ( % bobot) Erosi (15) 4 Batu batuan (5) 5 Manajemen (0) Kelas Besaran/Diskripsi Skor Keterangan 4. Sangat Berat Tanah dalam : Semua lapisan tanah 2 atas hilang, >25 % lapisan tanah bawah dan/atau erosi parit dengan kedalaman sedang pada jarak kurang dari 20 m Tanah dangkal : >75 % lapisan tanah atas telah hilang, sebagian tanah lapisan bawah tererosi 1. Sedikit < 10 % permukaan lahan tertutup 5 batuan 2. Sedang 10 0 % permukaan lahan tertutup batuan. Banyak >0 % permukaan lahan tertutup 1 batuan 1. Baik - Penerapan teknologi konservasi 5 tanah lengkap dan sesuai petunjuk teknis 2. Sedang - Tidak lengkap atau tidak terpelihara. Buruk - Tidak ada 1 Sumber : Peraturan Direktur Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial N o m o r : S K. 1 6 7 / V -S E T / 2 0 0 4 Tabel. Selang tingkat kekritisan lahan dan jumlah kumulatif skor tiap kelas Tingkat Kekritisan Jumlah Nilai (bobot x skor) Sangat Kritis 115 200 Kritis 201 275 Agak Kritis 276 50 Potensial Kritis 51 425 Tidak kritis 426 500 Sumber : Peraturan Direktur Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial N o m o r : S K. 1 6 7 / V -S E T / 2 0 0 4