Industri Galangan. Jajang Yanuar Habib Abstrak. Kata Kunci: Perkapalan, Industri, Kebijakan LATAR BELAKANG

dokumen-dokumen yang mirip
Stabilitas Harga Menentukan Industri Baja

BAB V PENUTUP. rahim kedaulatan internal sebuah negara pantai / kepulauan atas territorial laut dan

Oleh. Capt. Purnama S. Meliala, MM

Rp ,- (Edisi Indonesia) / Rp ,- (Edisi Inggris) US$ 750 Harga Luar Negeri

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 45 TAHUN 2015 TENTANG PERSYARATAN KEPEMILIKAN MODAL BADAN USAHA DI BIDANG TRANSPORTASI

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Industri pelayaran merupakan salah satu industri padat modal (capital

Analisis Perkembangan Industri

2016, No Republik Indonesia Nomor 4152); 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi telah mendorong timbulnya persaingan yang sangat kompetitif

BAB I PENDAHULUAN. Kuatnya aliran PMA di industri pertambangan akan mendorong pertumbuhan

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM

Bab I. Pendahuluan. Globalisasi mencerminkan hubungan tanpa batas antara negara satu

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh

BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN (OBJEK PENELITIAN)

BAB I PENDAHULUAN. manapun. Dengan adanya globalisasi yang didukung oleh kemampuan teknologi

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2005 TENTANG PEMBERDAYAAN INDUSTRI PELAYARAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 5 KESIMPULAN 5.1 Temuan Studi

Metodologi Pemeringkatan untuk Perusahaan Pelayaran*

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan. Salah satu sumber energi utama adalah bahan bakar. Bentuk bahan bakar

Melipat Riset Untuk Nilai Tambah Perekonomian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

Paket Kebijakan Ekonomi (Tahap XV)

Percepatan Kebijakan Satu Peta pada Skala 1:50.000

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.011/2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. kebangkitan kembali sektor manufaktur, seperti terlihat dari kinerja ekspor maupun

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah kebutuhan akan modal usaha dan investasi sebagai penunjang bisnis

1 of 5 21/12/ :45

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI PERIKANAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1 BAB I PENDAHULUAN. pelabuhan pelabuhan hub disertai feeder dari Sumatera hingga ke Papua dengan

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Batu bara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Perekonomian Indonesia saat ini mulai kembali membaik setelah di

BAB I PENDAHULUAN. bagi pemenuhan kebutuhan transportasi yang cepat dan aman. Perkembangan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI JULI 2014

BAB I PENDAHULUAN. faktor, di Indonesia sendiri banyak yang mengemukakan bahwa faktor-faktor

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Kebijakan Fiskal untuk Mendukung Akselerasi Sektor Industri yang Berdaya Saing

III. METODE PENELITIAN

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Laporan Perkembangan Deregulasi 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

2 Pertambahan Nilai, perlu melakukan penyesuaian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - RR CHINA PERIODE : JANUARI JULI A. Perkembangan perekonomian dan perdagangan RR China

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA TENTANG

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan dari pemberian ijin oleh pemerintah untuk memberikan Kredit

BAB I PENDAHULUAN ,05 Juta ,23 Juta ,75 Juta ,31 Juta ,23 Juta

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen)

Analisis Perkembangan Industri

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

2017, No diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepela

STATISTIK PERHUBUNGAN KABUPATEN MAMUJU 2014

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA KONFERENSI AVIATION MRO INDONESIA (AMROI) JAKARTA, 12 Mei 2015

BAB I PENDAHULUAN. pangsa pasar terbesar di dunia. Pertumbuhan industri penerbangan juga cenderung

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ekonomi di Indonesia saat ini dihadapkan pada era

PENYELENGGARAAN ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI BERDASARKAN SISTEM TRANSPORTASI NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan perdagangan internasional berawal dari adanya perbedaan

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI AGUSTUS 2014

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND BULAN : JANUARI 2015

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

Analisis Model Pembiayaan Investasi Pengembangan Alur Pelayaran Berbasis Public Private Partnership (Studi Kasus: Sungai Kapuas)

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI DESEMBER 2014

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PROFIL PERUSAHAAN

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 9/KPPU/PDPT/IV/2013 TENTANG

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Sektor unggulan di Kota Dumai diidentifikasi dengan menggunakan

Yth. Bapak Jusuf Kalla Wakil Presiden RI; Hadirin sekalian peserta Forum Saudagar Bugis Makassar ke XV

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN.

2017, No sehingga perlu dilakukan perpanjangan jangka waktu penggunaannya; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf

PENGANTAR BISNIS. Memahami Sistem Bisnis Amerika Serikat. Oleh: Catur Widayati, SE.,MM. Modul ke: Fakultas EKONIMI DAN BISNIS. Program Studi Manajemen

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah

Penyertaan Modal Negara (PMN) Industri Strategis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi saat ini, setiap negara dituntut untuk semakin maju dan

PERKEMBANGAN BONGKAR BARANG

Konversi BBM ke BBG: Belajar dari Pengalaman Sebelumnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 154/PMK.03/2010 Tanggal 31 Agustus 2010

Kinerja Ekspor Nonmigas Bulan Februari 2011 Terus Menguat Menuju Pencapaian Target Ekspor

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Peresmian Pabrik Pelapisan Pipa Dan Laboratorium Services PT. Bakrie Pipe Industries.

ANALISIS POTENSI DAN PANGSA PASAR GALANGAN- GALANGAN KAPAL DI PULAU BATAM

LAMPIRAN NOMOR 191 TAHUN 2014 RINCIAN KONSUMEN PENGGUNA DAN TITIK SERAH JENIS BAHAN BAKAR MINYAK TERTENTU. 1.

Analisis Perkembangan Industri

Press Release Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian: Paket Deregulasi VIII

BAB I PENDAHULUAN. Setidaknya, dalam enam tahun terakhir penjualan mobil meningkat sekitar 334%,

BAB I PENDAHULUAN. dengan spesifikasi tertentu berdasarkan pesanan. mengembangkan posisi perusahaan pada pangsa pasar khusus (niche market)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

Transkripsi:

Industri Galangan Jajang Yanuar Habib jajang@wdspcorp.org Abstrak Penerapan asas cabotage secara signifikan berhasil meningkatkan jumlah kapal berbendera Indonesia. Sayangnya, sama sekali tidak mampu mendorong peningkatan kapasitas industri galangan kapalnya. Diperlukan kebijakan atas linkage pengembangan industri dan kepastian pengguna. Kata Kunci: Perkapalan, Industri, Kebijakan LATAR BELAKANG Industri galangan kapal merem melek. Bisa melek karena makin banyak kapal yang berlayar akan membutuhkan perawatan dan perbaikan. Namun, merem jika ditantang memproduksi yang baru. Alasannya klasik, seperti tidak adanya modal yang murah, kesulitan industri pendukung di dalam negeri, dan karena sebagian besar bahan baku masih impor bea tarif masih memberatkan ongkos produksi. Gejalan dari permasalahan ini sudah sangat dirasakan oleh perusahaan domestik. Bahkan, pada 2012 lalu perusahaan kapal nasional terbesar, PT PAL, menderita rugi hingga Rp13 triliun. Perlu dicatat angka tersebut membukukan rekor kerugian paling besar diantara perusahaan BUMN. Perusahaan pengguna sebagai konsumen memahami betul masalah galangan kapal di tanah air. Sehingga, mereka lebih baik membeli langsung kendaraan transportasi lautnya dari negara lain. Selain produksi luar memiliki selisih harga hingga 30% dari produksi domestik, para pengguna lebih percaya kemampuan luar. Dari data yang dirilis Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menyebutkan hingga lima tahun mendatang para pengusaha akan mengimpor 2.500 unit kapal kecil dari China. Nilai pembelian tersebut kurang lebih mencapai US$5 miliar. Publikasi oleh WDSP 1

PERLUNYA KENDALI MADE IN DAN KETERATURAN Untuk produksi baru, perusahaan galangan kapal domestik saat ini masih terbantu dengan adanya proyek pesanan pemerintah. Secara industri, tentu saja kondisi seperti ini tidak mencerminkan daya saing yang sebenarnya. Dalam pasar kompetitif, para pengguna swasta yang pesanannya lebih banyak nyata-nyata memilih impor. Fenomena ini dapat dengan mudah dilihat setelah Indonesia menerapkan asas cabotage pada 2005. Sejak saat itu jumlah kapal berbendera Indonesia mengalami peningkatan pesat. Yang berarti, perusahaan pelayaran nasional semakin tumbuh dengan baik. Jumlah kapal berbendera Indonesia selama tujuh tahun mengalami peningkatan dua kali lipat, dari 6.041 unit pada awal penerapan cabotage menjadi 12.004 unit pada Februari 2013 lalu. Sementara, selama tujuh tahun itu pula perusahaan pembuat kapal semakin mandul melahirkan produk anyarnya. Keberhasilan multiplier efek dari penerapan asas cabotage ini semakin terlihat semu manakala dibenturkan dengan banyaknya perusahaan pelayaran nasional yang mengandalkan kegiatannya sebagai fungsi keagenan kapal. Transportasi laut merupakan struktur yang sangat penting dalam ekonomi, dan hal ini berlaku bagi semua negara. Tentu saja Indonesia memiliki kepentingan yang sangat besar, karena merupakan sebuah perekonomian dengan kondisi geografis negara kepulauan. Di level global sendiri, sebesar 90% jumlah muatan dalam perdagangan diangkut melalui transportasi laut. Tidak kurang dari 50.000 unit kapal dagang yang aktif melakukan pelayaran internasional mengangkut bermacam-macam kargo. Asas cabotage yang mewajibkan kapal berbendera Indonesia di wilayah perairan Indonesia, merupakan tahap awal untuk mengatur jasa pelayaran. Kebijakan ini diambil cukup terlambat dan dalam pelaksanaannya masih bersifat prosedural. Meskipun demikian, kebijakan ini patut diacungi jempol mampu menyemarakkan pelayaran merah putih. Dalam nilai keekonomiannya, tentu saja keagenan pelayaran nasional yang berstatus badan hukum Indonesia mengalami pertumbuhan. Langkah awal ini sedikitnya mampu menciptakan keteraturan dalam transportasi perairan Indonesia. Namun, ketika mengintip lebih kedalam lagi, kapal-kapal yang berlayar sebagian besar masih produk luar negeri. Andil kebijakan lanjutan dari cabotage sangat diperlukan, dan sudah saatnya masuk dalam kebijakan kendali made in. MENGINTIP INDUSTRI KAPAL NASIONAL Pembuat kapal nasional saat ini mencapai 200 perusahaan, dari skala kapal dengan mesin tempel hingga sekelas PAL milik pemerintah. Produksi tersebut juga mencakup produksi Publikasi oleh WDSP 2

kapal penumpang, niaga, hingga kapal militer. Potensi manufaktur kapal di tanah air sebenarnya tidak bisa dianggap sepele lagi. Tentu masih hangat di ingatan kita tentang kapal perang jenis siluman KRI Klewang yang diproduksi oleh PT Lundin Industry Invest di Banyuwangi, namun karena mengalami kebakaran akibat korsleting pada September 2012. Just in case, secara teknologi, kapal perang lebih rumit daripada kapal muatan atau kapal barang. Namun, hal ini menunjukkan bahwa penguasaan teknologi pada industri kapal di tanah air sudah sangat mumpuni. Pada kapal komersil, permasalahan yang ada justru terletak pada keberadaan konsumen. Sederhananya, perusahaan mana yang akan memproduksi kapal baru jika konsumennya tidak ada. Sementara jika mengandalkan pesanan, perusahaan mana yang mau mengeluarkan investasi untuk riset dan pengembangan. Alhasil, perusahaan setengah hati mengembangkan kemampuan produksinya. Per September 2012, nilai pesanan pembuatan kapal hanya sebesar Rp950 miliar. Dari total kontrak tersebut, sebagian besar diperoleh dari pemerintah untuk pemesanan jenis kapal roll on roll of (ro-ro) dan kapal perintis. Sedangkan pemesanan kapal dari pihak swasta berupa jenis kapal tunda (tug boat) sebagai fasilitas pendukung pengeboran minyak lepas pantai. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, industri galangan kapal saat ini mengandalkan bisnisnya sebagai bengkel. Peningkatan kemampuan ini pun tumbuh relatif lambat. Sejak 2009, sektor industri galangan kapal hanya mampu menambah ruang produksi sebesar 300.000 dwt (deadweight tonnage) per tahun. Pada tahun 2009, kapasitas ruang produksi sebesar 600.000 dwt per tahun. Sementara kapasitas reparasi bertambah 2 juta dwt per tahun. Saat ini ruang reparasi sebesar 12 juta dwt. REKOMENDASI: Banyak yang mengurai masalah industri kapal dari sisi komposisi produksi. Yang intinya, diperlukan kebijakan khusus untuk memudahkan proses produksi, seperti kemudahan pinjaman modal, pengurangan beban tarif impor, dan kurangnya tenaga ahli. Padahal jika melihat upaya pengembangan, industri kapal yang saat ini kurang lebih berjumlah 200 perusahaan sudah setengah mati. Perusaahaan-perusahaan tersebut justru jadi setengah hati untuk mengembangkan kemampuan produksinya karena rendahnya ceruk pasar di dalam negeri. Tidak adanya kepastian konsumen, sebenarnya masalah terbesar dalam industri pembuatan kapal di tanah air. Perusahaan pengguna lebih percaya produk jadi dari luar negeri ketimbang produk domestik. Padahal, dalam banyak hal, industri di dalam negeri sendiri mengimpor bahan baku dari luar. Publikasi oleh WDSP 3

Jika hubungan permintaan dan penawaran berjalan, niscaya hubungan industrial pada sektor perkapalan dapat berjalan mengikuti mekanisme pasar yang wajar, tanpa perlu ada kebijakan khusus pada perdagangan faktor produksi. Paling tidak, pemerintah perlu menekankan kebijakan pada penggunaan kapal made in Indonesia untuk pelayaran di dalam negeri. Meskipun demikian, kebijakan made in seperti ini tidak boleh membuat sentimen anti produk asing. Untuk menghindari hal tersebut, maka produk asing sebenarnya dapat digunakan di dalam negeri, dengan catatan produk tersebut dibuat di dalam negeri sebagai hasil partnership dengan perusahaan dalam negeri. Skema ini perlu penerapan kebijakan perdagangan melalui skema licensing, joint venture, atau perdagangan dengan skema offset diantara produsen asing, pengguna, dan melibatkan subkon industri dalam negeri. *Tulisan ini pernah dimuat pada majalah Warta Ekonomi edisi WE-06/XXV/2013 Grafik Tulisan Perkembangan Kapal Berbendera Indoneia 9.835 10.784 11.620 12.004 6.041 2005 2010 2011 2012 2013 Publikasi oleh WDSP 4

Pemegang izin usaha perusahaan angkutan laut (SIUPAL) - unit 2.248 2.106 1.885 2010 2011 2012 NOTES - REFERENCES - Publikasi oleh WDSP 5