RISALAH KEDUDUKAN AL- ADAH WA AL- URF DALAM BANGUNAN HUKUM ISLAM

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV KELEBIHAN DAN KELEMAHAN MANHAJ. sama, pengambilan hukum yang dilakukan oleh lembaga Dewan Hisbah yang

dalam ibadah maupun muamalah. Namun nas-nas syarak tidak secara rinci memberikan solusi terhadap berbagai macam problematika kehidupan manusia.

BAB IV ANALISIS DATA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG URF. Konsep Islam sebagai Agama wahyu mempunyai doktrin-doktrin ajaran

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya, manusia melakukan usaha sesuai bidang

Muza>ra ah dan mukha>barah adalah sama-sama bentuk kerja sama

BAB III PROSES IJMA MENURUT ABDUL WAHAB KHALLAF DAN PROSES PENETAPAN HUKUM DALAM KOMISI FATWA MUI

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IMAM SHAFI I TERHADAP. A. Komparasi Pendapat Imam Malik dan Imam Shafi i terhadap Ucapan

Mazhab menurut bahasa: isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I ânah ath- Thalibin, I/12).

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI REPENAN DALAM WALIMAH NIKAH DI DESA PETIS SARI KEC. DUKUN KAB. GRESIK

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

BAB IV ANALISIS DATA. Yogyakarta, 2008, hlm Dimyauddin Djuwaini, Pengantar fiqh Muamalah, Gema Insani,

BAB IV ANALISIS HEDGING TERHADAP KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK-BBM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI TUKAR-MENUKAR RAMBUT DENGAN KERUPUK DI DESA SENDANGREJO LAMONGAN

Ji a>lah menurut masyarakat Desa Ngrandulor Kecamatan Peterongan

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KETENTUAN PASAL 182 KHI DAN PERSPEKTIF HAZAIRIN TENTANG BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH

Biografi Singkat Empat Iman Besar dalam Dunia Islam

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan Setelah menguraikan dan menuliskan sub-bab hasil penelitian dan sub-bab

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

BAB IV ANALISIS MAṢLAḤAH TENTANG POLIGAMI TANPA MEMINTA PERSETUJUAN DARI ISTRI PERTAMA

KELOMPOK 1 : AHMAD AHMAD FUAD HASAN DEDDY SHOLIHIN

BAB IV TINJAUAN MAS}LAH}AH MURSALAH TERHADAP UTANG PIUTANG PADI PADA LUMBUNG DESA TENGGIRING SAMBENG LAMONGAN

Article Review. : Jurnal Ilmiah Islam Futura, Pascasarjana UIN Ar-Raniry :

BAB IV ANALISIS SADD AL-DH>ARI< AH TERHADAP JUAL BELI PESANAN MAKANAN DENGAN SISTEM NGEBON OLEH PARA NELAYAN DI DESA BRONDONG GANG 6 LAMONGAN

BAB III TINJAUAN TENTANG KEDUDUKAN DAN TUGAS LEMBAGA JURU DAMAI DALAM PENYELESAIAN PERKARA SYIQAQ

MAQASHID SYARI AH (SUATU PERBANDINGAN) MARYANI, S. Ag, MHI ABSTRAK

BAB IV ANALISIS METODE ISTINBA<T} HUKUM FATWA MUI TENTANG JUAL BELI EMAS SECARA TIDAK TUNAI

BAB IV DENGAN UANG DI DESA LAJU KIDUL KECAMATAN SINGGAHAN KABUPATEN TUBAN

BAB IV PEMERIKSAAN KESEHATAN PRANIKAH (PREMARITAL CHECK UP) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. ajaran yang sangat sempurna dan memuat berbagai aspek-aspek kehidupan

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK

IMA>MIYAH TENTANG HUKUM MENERIMA HARTA WARISAN DARI

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRAKTIK PENJATUHAN TALAK SEORANG SUAMI MELALUI TELEPON DI DESA RAGANG KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy-

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai subyek hukum pada dasarnya dipandang. mempunyai kecakapan yang berfungsi untuk mendukung hak dan kewajiban

BAB IV ANALISIS JUAL BELI MESIN RUSAK DENGAN SISTEM BORONGAN DI PASAR LOAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PERSYARATAN TEKNIS DAN SANKSI HUKUM MODIFIKASI KENDARAAN BERMOTOR YANG

BAB IV. Setelah mempelajari putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang izin poligami, penulis dapat

Etimologis: berasal dari jahada mengerahkan segenap kemampuan (satu akar kata dgn jihad)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD JI ALAH. Berarti: gaji/upah. 1 Ji'alah suatu istilah dalam ilmu fiqh,

TEORI MUSHAWWIBAT MUKHATHTHIA'T DALAM BERIJTIHAD. Oleh : E. Mulya S 1

BAB IV. A. Mekanisme Penundaan Waktu Penyerahan Barang Dengan Akad Jual Beli. beli pesanan di beberapa toko di DTC Wonokromo Surabaya dikarenakan

urf, syarat-syarat urf, kehujjahan urf, kedudukan urf, dan perbenturan urf.

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG URF

BAB IV YANG BERHUTANG. dibedakan berdasarkan waktu dan tempat. Fatwa fatwa yang dikeluarkan oleh

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA PENDAPAT MAŻHAB ANAK LUAR NIKAH

UAS Ushul Fiqh dan Qawa id Fiqhiyyah 2015/2016

BAB III DEFINISI IJBAR, DASAR HUKUM DAN SYARAT IJBAR. Kata ijbar juga bisa mewajibkan untuk mengerjakan. 2 Sedangkan Ijbar

BAB IV ANALISA DATA A. Praktek Gadai Sawah di Kelurahan Ujung Gunung Kecamatan Menggala Kabupaten Tulang Bawang

BAB I PENDAHULUAN. yang wajar dan dalam ajaran nabi, pernikahan ditradisikan menjadi sunnah beliau. dan Anas melihatnya, dan beliau bersabda:

BAB V PENUTUP. 1. Pendapat ulama Muhammadiyah dan Nahd atul Ulama (NU) di kota. Banjarmasin tentang harta bersama.

BAB II KONSEPSI DASAR TENTANG JUAL BELI DALAM ISLAM.. yang berarti jual atau menjual. 1. Sedangkan kata beli berasal dari terjemahan Bahasa Arab

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB IV JUAL BELI SEPATU SOLID DI KECAMATAN SEDATI SIDOARJO DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam tradisi studi ushul fiqh dikenal lima macam hukum syar i yang

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRODUK KEPEMILIKAN LOGAM MULIA (KLM) DI PT. BRI SYARIAH KCP SIDOARJO

place, product, process, physical evidence

Tanya Jawab Edisi 3: Warisan Anak Perempuan: Syari'at "Satu Banding Satu"?

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur

Lahirnya ini disebabkan munculnya perbedaan pendapat

Bayar Fidyah FIDYAH DIBAYAR SEKALIGUS DAN FIDYAH DENGAN UANG

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS

BAB I PENDAHULUAN. Rasulullah SAW juga telah memerintahkan agar orang-orang segera

BAB I PENDAHULUAN. Makna dari mahar pernikahan yang kadang kala disebut dengan belis oleh

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama

BAB IV ANALISIS. A. Persamaan dan Perbedaan Pendapat Mazhab Syafi i dan Mazhab Hanbali Tentang Hukum Menjual Reruntuhan Bangunan Masjid

Munakahat ZULKIFLI, MA

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB I PENDAHULUAN. seluruh alam, dimana didalamnya telah di tetapkan ajaran-ajaran yang sesuai

BAB V P E N U T U P. A. Kesimpulan. Sebagai akhir dari pembahasan, tulisan ini menyimpulkan beberapa kesimpulan penting sebagai berikut :

BAB IV. A. Pengajuan Pemisahan Harta Bersama Antara Suami dan Isteri Sebagai Syarat Mutlak dalam Izin Poligami

BAB IV ANALISIS PENDAPAT HUKUM TENTANG IDDAH WANITA KEGUGURAN DALAM KITAB MUGHNI AL-MUHTAJ

FIQHUL IKHTILAF (MEMAHAMI DAN MENYIKAPI PERBEDAAN DAN PERSELISIHAN) Oleh : Ahmad Mudzoffar Jufri

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 24 Tahun 2012 Tentang PEMANFAATAN BEKICOT UNTUK KEPENTINGAN NON-PANGAN

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

1- Metode qawl qadim sedikit sebanyak masih dipengaruhi oleh metode ahli Hijaz

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERSEPSI NASABAH TENTANG APLIKASI MURA<BAH}AH DI BMS FAKULTAS SYARIAH

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran-saran

Adat Kebiasaan adalah Hakim (dapat dibenarkan hukumnya)

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK PEMBIAYAAN MURA<BAH{AH DI BMT MADANI TAMAN SEPANJANG SIDOARJO

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG. dan ia merupakan salah satu bentuk dari yakni suatu usaha

FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL Nomor: 55/DSN-MUI/V/2007 Tentang PEMBIAYAAN REKENING KORAN SYARIAH MUSYARAKAH

BAB II PEMBAHASAN TENTANG MASLAHAH

BAB IV ANALISIS URF TERHADAP PEMBERIAN RUMAH KEPADA ANAK PEREMPUAN YANG AKAN MENIKAH DI DESA AENG PANAS KECAMATAN PRAGAAN KABUPATEN SUMENEP

BAB IV ANALISIS MAS{LAH{AH MURSALAH TERHADAP PENGEMBALIAN KREDIT MIKRO DI USAHA SIMPAN PINJAM KAMPOENG ILMU SURABAYA

DIPLOMA PENGAJIAN ISLAM. WD4013 USUL FIQH (Minggu 1)

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS TAUKIL WALI NIKAH VIA TELEPON

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN

PEMIKIRAN IMAM SYAFI I TENTANG KEDUDUKAN MASLAHAH MURSALAH SEBAGAI SUMBER HUKUM

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK JUAL BELI EMAS DI TOKO EMAS ARJUNA SEMARANG

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO

BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN KEWARISAN TUNGGU TUBANG ADAT SEMENDE DI DESA MUTAR ALAM, SUKANANTI DAN SUKARAJA

HUKUM MENGENAKAN SANDAL DI PEKUBURAN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG TRADISI MELARANG ISTRI MENJUAL MAHAR DI DESA PARSEH KECAMATAN SOCAH KABUPATEN BANGKALAN

Transkripsi:

RISALAH KEDUDUKAN AL- ADAH WA AL- URF DALAM BANGUNAN HUKUM ISLAM Imron Rosyadi Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta ABSTRAK Dalam makalah ini penulis mengkaji tentang al- adah wa al- urf dalam bangunannya dengan hukum Islam. Dari paparan yang dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa kedudukan adat dalam bangunan hukum Islam menjadi salah satu bahan untuk menetapkan hukum Islam. Para Imam mazhab telah menggunakan adat menjadi bagian tak terpisahkan dari hukum yang akan ditetapkan. Bahkan hukum dapat berubah karena adanya perubahan adat dalam zaman dan tempat yang berbeda. Selanjutnya, dari pembahasan tentang posisi adat dalam penetapan hukum Islam di atas, dapat disimpulkan bahwa pemikiran hukum Islam, baik dalam bentuk fatwa, keputusan pengadilan, undang-undang yang dibuat untuk masyarakat muslim dan hukum yang terdapat dalam kitabkitab fikih, sedikit banyak ada unsur al- adah. Dengan demikian, pemikiran-pemikiran hukum ini telah menjadi turats. Dengan kata lain, hukum Islam yang akan diterapkan untuk masyarakat dewasa ini harus memperhatikan setting social masyarakat. Kata Kunci: al- adah wa al- urf, hukum Islam, setting sosial. Pendahuluan Dalam kajian-kajian ushul fikih, al- adah wa al- urf dipergunakan untuk menjelaskan tentang suatu kebiasaan yang berkembang di tengah masyarakat. Para ulama ushul fikih (ushuliyyun) mempergunakan dua kata ini secara bergantian dalam menjelaskan kebiasan: Kedudukan Al- Adah Wa Al- Urf dalam... (Imron Rosyadi) 3

kadang memakai al- adah (selanjutnya ditulis adat) dan kadang memakai al- urf. Adat didefinisikan sebagai suatu perbuatan yang dikerjakan secara berulang tanpa hubungan rasional (Musthafa Ahmad al-zarqa,1978: 838-839). Sedangkan al- urf dimaknai sebagai kebiasaan mayoritas umat, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Dengan kata lain, al- adah wa al- urf itu adalah sesuatu yang telah biasa berlaku, diterima dan dianggap baik oleh masyarakat (Al Syatibi, tt: 197). Melihat pemetaan seperti dalam pengertian di atas, Mushtafa Ahmad al- Zarqa, membuat kesimpulan bahwa alurf itu bagian dari adat karena adat lebih umum daripada al- urf Musthafa Ahmad al-zarqa,1978: 843-844). Namun, bila memperhatikan kaidah yang terkait dengan al- adah wa al- urf ini, maka dijumpai berbagai kaidah yang menggunakan dua kata ini yang memiliki makna yang sama. Sebut saja sebagai misal, kaisah al- Adah Muhkamah dan al-tsabit bi al- Urf ka Tsabit bi al- Nash. Berdasarkan fakta ini, maka dalam konteks tulisan ini, adat dan al- urf dimaknai sama. Adat atau al- urf yang kemudian menjadi salah satu aspek penting dalam penetapan hukum Islam itu bukan merupakan perilaku individual tetapi sudah berlaku pada kebanyakan masyarakat di daerah tertentu. Misalnya, di daerah tertentu dalam menetapkan keperluan rumah tangga yang diambilkan dari mahar yang diberikan suami. Kalau kebiasaan ini sudah menjadi bagian dari cara kehidupan masyarakat tertentu maka kebiasaan seperti ini dapat dijadikan sebagai kaidah untuk menetapkan kebolehan penggunaan mahar yang itu sebetulnya menjadi milik istri. Macam-macam Adat Dalam kajian ushul fikih, seperti dibahas oleh para ushuliyyun, adat sebagai sasaran kajian, dipilah menjadi tiga, pertama, adat dilihat dari sisi bentuk materialnya; kedua, adat dilihat dari segi cakupannya; dan ketiga, adat dilihat dari segi keabsahannya sebagai dalil untuk dijadikan sebagai salah satu sumber hukum Islam. Kajian adat dilihat dari segi bentuk material. Dilihat dari aspek ini, adat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu adat dalam bentuk ungkapan (qauli) atau lafadh dan adat dalam bentuk praktik ( amali) (Abdul Wahab Khallaf, 1970: 145). Adat pertama (qauli) merupakan kebiasaan masyarakat dalam menggunakan ungkapan tertentu untuk mengungkapkan sesuatu sehingga makna ung-kapan itulah yang dipahami masyarakat. Menurut Ibn al-thayyib al-mu tazily, banyak sekali lafadh di dalam al-quran yang harus dipahami berdasarkan adat waktu itu. Misalnya, lafadh hurrima pa-da ayat: حرمت عليكم الامهات dan حرمت عليكم الميتة (Ibn al-thayyib al-mu tazily, tt: 192). Sedangkan yang dimaksud dengan adat dalam bentuk praktik ( amali) adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau 4 SUHUF, Vol. XVII, No. 01/Mei 2005: 3-12

mu amalah keperdataan. Yang dimaksudkan dengan perbuatan biasa di sini adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu, atau kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam cara tertentu. Adapun adat yang berkaitan dengan mu amalah perdata adalah kebiasaan masyarakat dalam melakukan akad atau transaksi atau lainnya dengan cara tertentu. Misalnya, kebiasaan masyarakat dalam berjual beli yang kemudian barangbarang yang dibeli diantarkan ke rumah pembeli oleh penjualnya bila barangnya itu berat dan besar. Contoh lain adalah kebiasaan masyarakat dalam berjual beli dengan cara mengambil barang dan membayar uang tanpa adanya akad secara jelas, seperti di pasar swalayan (Al-Zarqa, 1978: 857-872 dan Al- Suyuti, tt: 99-123). Kajian adat dari segi cakupan. Dari segi cakupannya, adat terbagi menjadi dua, adat yang bersifat umum ( am) dan adat yang bersifat khusus (khas). Dimaksud adat yang umum di sini adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah (Muh. Abu Zahrah, 1958: 217). Misalnya, dalam jual beli mobil, maka seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban cadangan, termasuk dalam harga jual tanpa akad tersendiri. Adapun dimaksudkan dengan adat yang khusus adalah kebiasaan yang berlaku di daerah tertentu dan dalam masyarakat tertentu. Misalnya, kebiasaan yang berlaku di kalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dijual, maka konsumen dapat mengembalikannya, namun pada daerah lain cacat yang terdapat dalam barang yang sama, konsumen tidak dapat mengembalikan barang itu (Zahrah, 1978: 216-217). Kajian adat dilihat dari segi keabsahannya. Dari segi ini, adat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu adat yang shahih dan adat yang fasid (Wahbah al- Zuhaili, 1978: 381). Dimaksudkan dengan adat yang shahih adalah kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash, tidak menghilangkan kemaslahatan dan tidak pula membawa kemudaratan (Zahrah., 1978: 217). Misalnya, dalam masa pertunangan, pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita, tetapi hadiah itu tidak dianggap sebagai mahar. Adapun adat yang fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil syara dan kaidah dasar dalam syara. Misalnya, kebiasaan manusia menghalalkan riba. Contoh lain adalah soal sogok-menyogok untuk memenangkan perkaranya, seseorang memberi sejumlah uang kepada hakim. Kehujjahan adat Memperhatikan uraian yang dipaparkan di atas, para ushuliyyun sepakat Kedudukan Al- Adah Wa Al- Urf dalam... (Imron Rosyadi) 5

bahwa adat yang tidak menyalahi dalil syara, baik adat yang am maupun yang khas, lafdhi maupun yang qauli dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum Islam. Imam al-qarafi, seorang mujtahid yang beraliran Maliki, misalnya, menyatakan bahwa seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan masyarakat tersebut (Abdul Aziz Dahlan, dkk, 201: 1878). Senada dengan al-qarafi, Imam al-syatibi dan Ibn Qayyim al-jauziyah, berpendapat bahwa adat bisa diterima sebagai dalil untuk menetapkan hukum Islam. Namun, kedua Imam tersebut memberikan catatan, apabila tidak ada nash yang menjelaskan hukum suatu masalah yang dihadapi. Misalnya, seseorang yang mempergunakan jasa pemandian umum dengan harga tertentu padahal lamanya ia dalam kamar mandi itu dan berapa jumlah air yang terpakai tidak jelas. Sesuai dengan ketentuan umum hukum Islam tentang suatu akad, kedua hal itu harus jelas. Tetapi karena perbuatan seperti ini telah memasyarakat, maka seluruh ulama mazhab menganggap sah akad tersebut. Menurut mereka, adat seperti ini termasuk adat dalam bentuk amali. Penetapan adat sebagai hujjah oleh para ulama seperti disebutkan di atas, banyak didukung oleh beberapa hadis yang di dalamnya mengukuhkan adat sebelumnya yang telah berkembang di masyarakat. Misalnya, kebolehan jual beli yang sudah ada sebelum Islam. Hadis-hadis Rasulullah SAW. juga banyak sekali yang mengakui eksistensi adat yang telah berlaku dalam masyarakat, seperti hadis yang berkaitan dengan jual beli salam (pesanan). Dalam sebuah riwayat dari Ibn Abbas dikatakan bahwa ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, Rasulullah SAW melihat penduduk setempat melakukan jual beli salam. Lalu Rasulullah SAW bersabda, siapa yang melakukan jual beli salam, maka hendaklah ditentukan jumlahnya, takarannya dan tenggang waktunya (al-bukhari). Mencermati posisi adat dan berbagai kasus adat yang dijumpai dalam hadis, para ushuliyyun kemudian membuat kaidah-kaidah yang terkait dengan adat ini yang pada intinya adat bisa dijadikan sebagai dasar hukum. Kaidah-kaidah tersebut adalah (1) al- Adat Muhkamah (adat kebiasaan itu bisa menjadi landasan hukum), (2) La Yungkaru Taghayyur al-ahkam bi Taghayyur al-azminah wal al-amkinah (tidak diingkari bahwa perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat), (3) al-ma ruf Urfan ka al-masyrut Syarthan (yang baik itu menjadi adat, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat), dan (4) al-tsabit bi al-urf ka al-tsabit bi al- Nas (yang ditetapkan melalui al- urf [adapt] itu sama dengan yang ditetapkan melalui nash), al-haqiqah Tutraku bi Dilalah al- Adah (makna hakiki dapat 6 SUHUF, Vol. XVII, No. 01/Mei 2005: 3-12

digantikan dengan makna berdasarkan adat) (Al-Zarqa, 1978: 135-136). Syarat Adat sebagai Dalil Para ulama ushuliyyun sepakat bahwa tidak semua adat bisa dijadikan sebagai dalil untuk menetapkan hukum Islam. Suatu adat baru dapat dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum Islam apabila memenuhi syarat sebagai berikut: (Al-Zarqa, 1978: 873-881). (1) suatu adat, baik yang khusus dan umum maupun yang amali dan qauli, berlaku secara umum. Artinya, adat itu berlaku dalam kebanyakan kasus yang terjadi dalam masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut. (2) adat yang akan dijadikan sebagai dalil hukum Islam adalah adat yang telah berjalan sejak lama di suatu masyarakat ketika pesoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Artinya, adat yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Dalam kaitan ini, ulama usul fikih dapat menjadikannya sebagai sandaran hukum dalam menyelesaikan kasus hukum yang telah terjadi. (3) adat yang akan dijadikan sebagai dasar penetapan hukum tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas oleh para pihak dalam masalah yang sedang dilakukan. Sebagai contoh, antara penjual dan pembeli ketika melakukan transaksi jual-beli telah menyepakati bahwa dengan kesepakatan secara jelas bahwa barang yang dibeli akan dibawa sendiri oleh pembeli ke rumahnya. Padahal adat yang berlaku adalah barang yang dibeli akan diantarkan penjualnya ke rumah pembeli. Ini berarti bahwa ada pertentangan antara adat dan yang diungkapkan secara jelas dalam transaksi tersebut. Bila demikian keadaannya, maka adat yang berlaku di masyarakat tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan hukum dalam jual beli tersebut. (4) suatu adat dapat diterima sebagai dasar hukum Islam manakala tidak ada nash yang mengandung hukum dari permasalahan yang dihadapi. Artinya, bila suatu permasalahan sudah ada nashnya, maka adat itu tidak dapat dijadikan sebagai dalil hukum Islam. Pertentangan Adat dengan Dalil Syara. Adat yang berlaku di tengah masyarakat adakalanya bertentangan dengan nash dan dalil hukum Islam lainnya. Dalam konteks ini, ushuliyyun memberikan perincian sebagai berikut: pertama, pertentangan adat dengan nash yang bersifat khusus atau terperinci. Jika pertentangan itu menyebabkan tidak berfungsinya hukum yang ditunjuk oleh nash itu sendiri, maka adat seperti ini jelas tidak dapat dijadikan dasar penetapan hukum Islam. Contoh untuk konteks ini, misalnya tentang mengadopsi anak. Seperti diketahui bahwa kebiasaan di zaman jahiliyah dalam mengadopsi anak, maka anak yang diadopsi itu statusnya Kedudukan Al- Adah Wa Al- Urf dalam... (Imron Rosyadi) 7

sejajar dengan anak kandungnya. Kesejajaran ini membawa implikasi pada anak angkat itu mendapatkan warisan apabila ayah angkatnya meninggal dunia. Kedua, pertentangan adat dengan nash yang bersifat umum. Menurut al- Zarqa, apabila adat itu telah ada ketika nash yang bersifat umum itu datang, maka harus dibedakan antara adat lafdzi dan adat amali. Apabila adat tersebut adalah adat lafdzi, maka adat lafdzi itu bisa diterima sebagai dalil untuk mentakhsis, sehingga nash yang umum itu makhsus oleh adat lafdzi yang telah berlaku tersebut, dengan syarat tidak adanya indikator yang menunjukkan bahwa nash yang am itu tidak dapat dikhususkan oleh suatu adat yang berlaku. Sebagai contoh, kata-kata salat, puasa, haji dan jual beli diartikan oleh masyarakat dengan makna adat yang berlaku di masyarakat kecuali ada indikator yang memang menunjukkan bahwa kata-kata itu dimaksudkan sesuai dengan makna terminologinya. Bagaimana kalau pertentangan dengan nash bersifat umum itu adalah adat amali? Dalam menyikapi hal ini, para ushuliyyun berbeda pendapat tentang kehujjahannya. Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa jika adat amali itu besifat umum, maka adat tersebut dapat mengkhususkan nash yang umum, karena pengkhususan nash tersebut tidak membuat nash itu tidak dapat diamalkan. Pengkhususan itu, menurut ulama mazhab Hanafi, hanya sebatas adat amali yang berlaku; di luar itu, nash yang bersifat umum itu tidak berlaku. Misalnya dalam sebuah hadis dikatakan bahwa Rasulullah melarang menjual sesuatu yang tidak dimiliki manusia dan memberi keringanan dalam jual beli pesanan (HR. al-bukhari dan Abu Daud). Hadis Rasulullah ini bersifat umum dan berlaku untuk seluruh bentuk jual beli yang barangnya belum ada kecuali dalam jual beli pesanan. Termasuk dalam larangan ini adalah akad istishna (akad yang berkaitan dengan produk suatu industri). Tetapi karena akad seperti ini sudah menjadi adat dalam berbagai masyarakat di berbagai daerah, maka ijtihad para ahli usul fikih, termasuk jumhur ulama membolehkannya sesuai dengan adat yang berlaku. Ketiga, adat yang telah berkembang di masyarakat itu terbentuknya lebih kemudian dibandingkan dengan nash yang ada, dan adat ini bertentangan dengan nash umum. Apabila suatu adat terbentuk setelah datangnya nash yang bersifat umum dan antara keduanya terjadi petentangan, maka seluruh ulama fikih sepakat bahwa adat seperti ini, baik yang bersifat lafdzi maupun yang bersifat amali, tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum Islam. Karena seakan-akan adat itu membatalkan nash, padahal suatu adat itu tidak bisa membatalkan. Akan tetapi, apabila illat suatu nash adalah adat itu sendiri, dalam artian bahwa nash itu ketika turun didasarkan atas adat amali sekalipun adat itu baru tercipta, maka illat nash itu hilang, hukumnya pun berubah. Dengan demi- 8 SUHUF, Vol. XVII, No. 01/Mei 2005: 3-12

kian, apabila illat yang menjadi illat hukum yang dikandungnya itu berubah, maka hukumnya pun berubah. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Yusuf, seorang murid Abu Hanifah. Misalnya dalam sebuah hadis dikatakan bahwa tanda-tanda kerelaan anak gadis ketika diminta izinnya untuk dikawinkan oleh walinya adalah diamnya (al-bukhari dan Muslim). Artinya bahwa, apabila ayah anak gadis itu mengatakan saya akan menikahkan kamu dengan Fulan, lalu anak gadis itu diam saja, maka diamnya ini menunjukkan kerelaannya, karena sudah tabiat wanita bahwa mereka malu untuk menyatakan kehendaknya secara terus terang. Akan tetapi sesuai dengan perkembngan zaman, para wanita tidak malu lagi untuk menyatakan kehendaknya untuk kawin dengan seseorang kepada ayahnya. Menurut ulama, adat anak gadis pada saat ini telah berubah. Dengan demikian, untuk menikahkan anak gadis, apabila diminta izinnya lalu ia diam saja, tidak dapat lagi diamnya ini dikatakan sebagai persetujuannya. Oleh karena itu, hukumnya pun harus berubah. Akan tetapi jumhur ulama tidak sepakat dengan tersebut. Dalam hal pertentangan antara adat dan ijtihad, seperti qiyas, istihsan dan al-maslahah al-mursalah, terdapat pula perbedaan pendapat di antara para ulama. Mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa apabila terjadi pertentangan antara adat dengan qiyas, maka yang diambil adalah adat karena mereka menganggap adat menempati posisi ijma menurut syara ketika nash tidak ada. Penguatan adat daripada qiyas menurut kedua mazhab itu, adalah melalui metode istihsan. Demikian juga, mendahulukan adat daripada al-maslahah al-mursalah yang tidak didukung oleh nash secara khusus, juga sangat dipengaruhi oleh adat karena kemaslahatan itu sendiri berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat (Al-Zarqa, 1978: 914). Mazhab Syafi i dan Hanbali, sebagaimana yang dikemukakan Mustafa al-zarqa, secara prinsip juga lebih mendahulukan adat daripada qiyas dan al-maslahah al-mursalah, karena keduanya bukanlah nash, hanya dalam penerapannya ada beberapa perbedaan dengan mazhab Hanafi dan Maliki. Adapun dalam pertentangan adat dengan istihsan, karena mazhab Syafi i dan Hanbali tidak menerima kehujjahan istihsan, maka dengan sendirinya mereka lebih mendahulukan adat daripada istihsan. Misalnya, dalam masalah menjual buah-buahan di pohon sebelum seluruhnya matang. Berdasarkan metode qiyas, jual beli seperti ini tidak sah karena barang yang dijual dalam kasus ini tidak jelas jumlahnya dan buah-buahan itu sendiri belum matang semuanya dan belum dipetik. Akan tetapi, karena jual beli seperti ini telah menjadi adat di tengah masyarakat, maka ulama mazhab sepakat mengatakan bahwa jual beli ini boleh. Muhammad Baltaji, seorang guru besar Universitas Kairo, mengatakan bahwa ketika Imam Syafi i berada di Kedudukan Al- Adah Wa Al- Urf dalam... (Imron Rosyadi) 9

Mesir dan setelah mengamati adat yang berlaku di sana, ia banyak sekali mengeluarkan fatwa yang didasarkan pada adat tersebut bahkan banyak di antara fatwanya ini berbeda dengan fatwanya ketika masih tinggal di Hijaz dan Irak (Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi, 1879). Selanjutnya, Imam Syafi i juga meninggalkan metode qiyas berdasarkan hasil induksi dari pengalamannya sendiri setelah mengamati adat yang berkembang. Sebagai contoh, metode qiyas dalam masalah maksimal masa kehamilan seorang wanita. Menurut kaidah qiyas, kehamilan itu adalah 9 bulan, karena menurut kebiasaan selama inilah masa kehamilan wanita. Akan tetapi, Imam Syafi i berpendapat bahwa maksimal masa kehamilan seorang wanita itu adalah 4 tahun. Fatwanya ini didasarkan pada penelitian dan pengalaman pribadinya setelah mengamati adat di daerah-daerah yang dikunjunginya. Oleh sebab itu, menurut Baltaji, tidak mengherankan apabila Imam Syafi i banyak fatwa yang telah dikeluarkannya setelah ia mempelajari kebiasaan masyarakat di daerah-daerah yang dikunjunginya dan dari sinilah munculnya qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafi i. Pada mazhab Hanbali juga terdapat banyak hukum yang didasarkan kepda adat. Bahkan Ibn Qayyim al- Jauziyah mengatakan bahwa suatu fatwa bisa berubah karna perubahan zaman, tempat, lingkungan, niat dan adat kebiasaan manusia. Oleh sebab itu, menurut Muhammad Baltaji dan Mustafa al-zarqa, seluruh ulama mazhab menjadikan adat sebagai dalil dalam menetapkan hukum ketika nash yang menentukan hukum tersebut tidak ada. Bahkan dalam pertentangan adat dengan metode ijtihad lainnya, ulama mazhab juga menerimanya, sekalipun kuantitas penerimaan tersebut berbeda. Mazhab Maliki dan Hanafi menerapkan konsep adat secara luas, tetapi mazhab Syafi i dan Hanbali tidak demikian (Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi, 1880). KESIMPULAN Dari paparan yang dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa kedudukan adat dalam bangunan hukum Islam menjadi salah satu bahan untuk menetapkan hukum Islam. Para Imam mazhab telah menggunakan adat menjadi bagian tak terpisahkan dari hukum yang akan ditetapkan. Bahkan hukum dapat berubah karena adanya perubahan adat dalam zaman dan tempat yang berbeda. Penerimaan adat sebagai bagian dari upaya untuk menetapkan hukum Islam oleh para Imam Mazhab di atas menarik untuk dicermati. Fenomena ini menunjukkan bahwa para Imam Mazhab dalam menetapkan hukum Islam selalu berangkat dari kenyataan empiris yang berkembang di masyarakat. Tampaknya, para Imam Mazhab dalam penetapan fatwa dimaksudkan untuk membimbing masyarakat sehingga adat yang berkembang di masyarakat harus dijadikan sebagai bagian dari bahan 10 SUHUF, Vol. XVII, No. 01/Mei 2005: 3-12

penetapan fatwanya. Cara seperti ini mengingatkan pada Basam Tibi, seorang pemiklir Muslim kontomporer yang menjadikan realitas umat Islam sebagai dasar pijak untuk mengentas memajukan Islam. Para Imam Mazhab dengan demikian memberikan contoh yang baik terhadap kita bahwa fatwa hukum yang dikeluarkan dengan memperhatikan adat dapat dilaksanakan dengan baik. Posisi adat dalam proses penetapan fatwa yang penting tersebut karena adat telah dianggap menjadi kesadaran masyarakat, adat telah menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan masyarakat. Bahkan, dalam memahami nash, baik ayat maupun hadis, khususnya penggunaan kata (lafadz), wajib untuk merujuk pada adat setempat sehingga dapat menemukan makna yang benar. Dari perlunya merujuk pada adat ini, sebetulnya para Imam Mazhab tengah mengajarkan kepada kita tentang apa yang disebut dengan pendekatan historis dalam kajian-kajian keagamaan. Selanjutnya, dari pembahasan tentang posisi adat dalam penetapan hukum Islam di atas, dapat disimpulkan bahwa pemikiran hukum Islam, baik dalam bentuk fatwa, keputusan pengadilan, undang-undang yang dibuat untuk masyarakat muslim dan hukum yang terdapat dalam kitab-kitab fikih, sedikit banyak ada unsure al- adah. Dengan demikian, pemikiran-pemikiran hukum ini telah menjadi turats. Oleh karena itu, diperlukan pembaruan atas turats ini kalau hendak dipraktikkan dalam masyarakat disebabkan tempat dan waktu yang berbeda dengan pemikiran hukum Islam yang dibuat oleh para ulama terdahulu. Dengan kata lain, hukum Islam yang akan diterapkan untuk masyarakat dewasa ini harus memperhatikan setting social masyarakat. Dalam konteks Indonesia, gagasan untuk menjadikan setting social dalam produk-produk pemikiran hukum Islam di Indonesia telah dilakukan oleh misalnya, Hasbi as-siddiqie dan Hazairin. Kedua tokoh ini dengan gigih memperjuangkan apa yang mereka sebut dengan fikih Indonesia. Menurut keduanya, masyarakat muslim Indonesia membutuhkan aturan hukum yang didasarkan pada basis masyarakat muslim Indonesia sendiri. Oleh karena masyarakat muslim Indonesia itu memiliki kompleksitas yang berbeda dengan masyarakat di luar Indonesia, maka adalah suatu yang dipaksakan bila hukum diterapkan untuk masyarakat muslim Indonesia itu hukum Islam yang diambilkan dari hukum Islam yang ditetapkan berdasarkan adat masyarakat lain. Apa yang dikemukakan oleh Hasbi dan Hazairin itulah yang otentik untuk Indonesia. Wallahu A lam bi al-shawab. Kedudukan Al- Adah Wa Al- Urf dalam... (Imron Rosyadi) 11

DAFTAR PUSTAKA Abdul Aziz Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), Jilid 6. Abdul Wahab Khallaf, Mashadir al-tasyri al-islamy fi Ma La Nashsha Fihi (Kairo: Dar al-qalam, 1970). Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: Rineka Cipta, 1999). Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 135-136. Ibn al-thayyib al-mu tazily, Al-Mu tamad fi Ushul al-fiqh (Beirut: Dar al-kutub al- Ilmiyah, tth.). Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi i (Bandung: Rosda, 2001). Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-fiqh (Kairo: Dar al-fikr al-adaby, 1958). Musthafa Ahmad al-zarqa, Al-Mazkhal al-fiqhy al- Am (Damaskus: Dar al-fikr, 1978), Jilid I dan II. Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-ahkam (Beirut: Dar al-fikr, tth.), Jilid II. Al-Suyuti Al-Asybah wa al-nadhair (Singapura: Sulaiman Mar i, tth.). Wahbah al-zuhaili, Al-Wasith fi Ushul al-fiqh al-islami (Damaskus: Dar al-kitab, 1978). 12 SUHUF, Vol. XVII, No. 01/Mei 2005: 3-12