I.PENDAHULUAN. Perkembangan kehidupan bersama bangsa-bangsa dewasa ini semakin tidak mengenal batas

dokumen-dokumen yang mirip
2 c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, persetujuan terseb

Bola Panas Putusan Pengujian Undang-Undang Pengesahan Piagam ASEAN oleh: Ade Irawan Taufik *

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 39/PUU-XII/2014 Hak Memilih

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi

BAB IV PENUTUP. sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

Desain Tata Kelola Kelembagaan Hulu Migas Menuju Perubahan UU Migas Oleh: Wiwin Sri Rahyani * Naskah diterima: 13 April 2015; disetujui: 22 April 2015

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

DESAIN TATA KELOLA MIGAS MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 32/PUU-XIV/2016 Pengajuan Grasi Lebih Dari Satu Kali

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XV/2017 Tafsir konstitusional frasa rakyat pencari keadilan

TEORI / AJARAN TTG HUBUNGAN H.I. DGN. H.N.: TEORI DUALISME, MONISME DAN PRIMAT HI

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004).

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi

KUASA HUKUM Munathsir Mustaman, S.H., M.H. dan Habiburokhman, S.H., M.H. berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 18 Desember 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XVI/2018 Dua Kali Masa Jabatan Bagi Presiden atau Wakil Presiden

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIII/2015 Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 45/PUU-XIV/2016 Kewenangan Menteri Hukum dan HAM dalam Perselisihan Kepengurusan Partai Politik

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 6/PUU-XIV/2016 Pembatasan Masa Jabatan dan Periodesasi Hakim Pengadilan Pajak

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 44/PUU-XV/2017

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

KUASA HUKUM Heru Widodo, S.H., M.Hum., dkk berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 22 Januari 2015.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2014 TENTANG

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 57/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 102/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 4/PUU-XV/2017 Pemilihan Pimpinan DPR oleh Anggota DPR Dalam Satu Paket Bersifat Tetap

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XV/2017. I. PEMOHON 1. Hadar Nafis Gumay (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I);

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 67/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 20/PUU-XVI/2018 Parliamentary Threshold

NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

RechtsVinding Online

HUKUM ACARA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 063/PUU-II/2004

Oleh: Iskandar Muda, S.H., M.H. Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi DLB Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung

OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 65/PUU-XV/2017

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 56/PUU-XIII/2015 Kualifikasi Pemohon dalam Pengujian Undang-Undang dan Alasan yang Layak dalam Pemberian Grasi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XVI/2018

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

SILABUS PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENINGKATAN PEMAHAMAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA PUSAT PENDIDIKAN PANCASILA DAN KONSTITUSI

I. PEMOHON Serikat Pekerja PT. PLN, selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 38/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Hak Recall

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 18/PUU-XV/2017 Daluwarsa Hak Tagih Utang Atas Beban Negara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018


RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 78/PUU-XII/2014 Para Pihak dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. yang menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia menuju cita demokrasi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 9/PUU-XIV/2016 Upaya Hukum Kasasi dalam Perkara Tindak Pidana Pemilu

BAB I PENDAHULUAN. mengawal dan menjaga agar konstitusi sebagai hukum tertinggi (the supreme

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 8/PUU-VIII/2010 Tentang UU Penetapan Hak Angket DPR Hak angket DPR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 4/PUU-XIII/2015 Penerimaan Negara Bukan Pajak (Iuran) Yang Ditetapkan Oleh Peraturan Pemerintah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 7/PUU-VIII/2010 Tentang UU MPR, DPD, DPR & DPRD Hak angket DPR

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XVI/2018 Privatisasi BUMN menyebabkan perubahan kepemilikan perseroan dan PHK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 53/PUU-XV/2017 Verifikasi Partai Peserta Pemilu serta Syarat Pengusulan Presiden dan Wakil Presiden

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

Transkripsi:

I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kehidupan bersama bangsa-bangsa dewasa ini semakin tidak mengenal batas negara dan cenderung pada terbentuknya suatu sistem global sehingga mendorong semakin banyak pula dilangsungkannya kesepakatan antar negara-negara dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian internasional. Kesepakatan antar negara atau pun antara negara dengan subjek hukum internasional lainnya yang dituangkan dalam bentuk perjanjian internasional tersebut memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan dinamika Hukum Tata Negara, hal tersebut nampak pada fakta bahwa perjanjian internasional merupakan salah satu sumber Hukum Tata Negara. Menurut Jimly Asiddiqie : 1 Traktat atau perjanjian adalah salah satu sumber hukum formil dari Hukum Tata Negara, sepanjang traktat atau perjanjian itu menentukan segi Hukum Ketatanegaraan yang hidup bagi negara masing-masing yang terikat di dalamnya, sekali pun ia termasuk dalam bidang Hukum Internasional. Di samping sebagai salah satu sumber Hukum Tata Negara, perjanjian internasional disebut memiliki kaitan erat dengan Hukum Tata Negara karena dalam pembuatannya diperlukan adanya mekanisme ketatanegaraan. Berkenaan dengan mekanisme ketatanegaraan yang terdapat pada pembuatan perjanjian internasional diatur lebih lanjut dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang - Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi : (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. 1 Jimly Asiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara jilid I, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, 2006, hal. 230

(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang. Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit menyebutkan kekuasaan untuk membuat perjanjian internasional dipegang oleh Presiden dan menekankan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk perjanjian internasional yang akan dibuat oleh Presiden. Pasal 11 ayat (1) UUD 1945 mengatur tentang perjanjian dengan negara lain dan diperlukannya persetujuan DPR, selanjutnya Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan terdapat jenis perjanjian internasional lainnya yang harus memperoleh persetujuan DPR yaitu perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang. Untuk mengetahui makna frasa perjanjian internasional lainnya sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (3) UUD 1945 maka diperlukan pengaturan lebih lanjut oleh suatu undang-undang. Dewasa ini peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perjanjian internasional adalah UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Pasal 1 Huruf a UU Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional sendiri mengartikan perjanjian internasional sebagai perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. UU Nomor 24 Tahun 2000 dengan demikian membatasi pengaturan hanya pada perjanjian internasional yang diatur dalam hukum internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik saja.

Lebih lanjut hubungan Presiden dan DPR dalam pembuatan suatu perjanjian internasional sebagai penerapan makna persetujuan DPR Pasal 11 UUD 1945 diatur dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU Nomor 24 Tahun 2000, menurut pasal tersebut perjanjian internasional hanya akan disahkan melalui undang-undang atau keputusan presiden apabila perjanjian internasional tersebut mempersyaratkan pengesahan. Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2000 karena itu memberi batasan kriteria bahwa hanya pada perjanjian internasional yang mensyaratkan adanya pengesahan saja persetujuan DPR diharuskan. Pengesahan melalui Undang-Undang sebagaimana yang dimaksud Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2000 harus terlebih dahulu memenuhi kualifikasi yang disyaratkan dalam Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000 dengan ketentuan kriteria materi perjanjian internasional sebagai berikut: a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c. kedaulatan atau hak berdaulat negara; d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e. pembentukan kaidah hukum baru; f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Diaturnya kriteria perjanjian internasional yang disahkan melalui undang-undang bermakna tidak seluruh perjanjian dengan negara lain harus memdapatkan persetujuan DPR demikian pula perjanjian internasional lainnya sebagaimana yang dimaksud Pasal 11 ayat (2) UUD Tahun 1945 karena terlebih dahulu mempertimbangkan apakah perjanjian internasional tersebut berkaitan dengan beban keuangan negara yang dapat menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat atau tidak.

Batasan untuk perjanjian internasional yang memperoleh persetujuan DPR dalam UU Nomor 24 Tahun 2000 adalah perjanjian yang diatur dalam Hukum Internasional serta berdampak pada timbulnya hak dan kewajiban pada bidang hukum publik, perjanjian internasional yang mensyaratkan pengesahan dan ketentuan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000. UUD Tahun 1945 di sisi lain hanya memberi pertimbangan konstitusional pada aspek materi perjanjian saja, persoalan akan muncul ketika meski terdapat pembuatan perjanjian dengan materi yang diatur dalam ketentuan Pasal 11 ayat (2) UUD Tahun 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000 serta melibatkan unsur asing namun perjanjian yang dibuat tersebut tidak menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik dan tidak mensyaratkan pengesahan maka perjanjian tersebut dengan demikian tidak memerlukan persetujuan DPR. Berikut merupakan contohcontoh dari pertentangan yang pernah terjadi dalam praktek pembuatan perjanjian internasional di Indonesia. Pada tahun 2010 DPR melakukan penolakan terhadap permohonan pemerintah kepada DPR tahun 2010 untuk mengesahkan Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and Government of the Russian Federation on Militarry-Technical Cooperation 2003 2 yaitu dengan sikap menolak usulan Rancangan Undang-Undang Kerjasama Teknik Militer Rusia dan Indonesia. Perbedaan pandangan mengenai usulan Rancangan Undang-undang tersebut bermula dari sikap pemerintah yang menilai bahwa perjanjian tersebut masuk pada kategori Pasal 10 huruf a UU Nomor 24 Tahun 2000 karena berkaitan dengan masalah pertahanan. DPR dalam hal ini Komisi I justeru menilai meskipun menyangkut pertahanan, perjanjian ini bersifat teknis karena memuat 2 Dikutip dari : Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional ( Kajian Teori dan Praktik di Indonesia) Rafika Aditama, Bandung, 2010, hal. 87

prihal kegiatan produksi, pembelian dan pemeliharaan alat-alat militer. Perbedaan pandangan antara Presiden dan DPR berujung pada kesepakatan bahwa pengesahan Perjanjian tentang Kerja Sama Teknik Militer Rusia dan Indonesia cukup dengan menggunakan Keputusan Presiden sebagaimana ketentuan Pasal 11 UU Nomor 24 Tahun 2000 Contoh berikutnya dapat diamati pada pengajuan permohonan uji Materiil UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi oleh 8 anggota DPR RI, dan berujung pada dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 20/PUU -V/2007 tanggal 17 Desember 2007 tentang Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-undang Dasar 1945. Permasalahan yang menjadi pokok perkara dalam kasus ini adalah keberatan 8 anggota DPR terhadap Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2001. Ketentuan tersebut berbunyi, Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang mengisyaratkan bahwa, pemerintah tidak perlu meminta pertimbangan atau persetujuan kepada DPR jika mengadakan Kontrak Kerja Sama (KKS) sektor Migas dengan kontraktor asing. DPR hanya akan menerima sebatas salinan kesepakatan setelah pemerintah dan kontraktor menandatangani KKS. Menurut pendapat pemerintah sesuai dengan Pasal 1 huruf a UU Nomor 24 Tahun 2000 maka Kontrak Kerja Sama (KKS) sektor Migas antara BP Migas dengan kontraktor asing bukan merupakan perjanjian internasional. Berbeda dengan pendapat pemerintah, para pemohon uji

materi berpandangan bahwa ketentuan pasal 11 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2001 tersebut dianggap bertentangan dengan pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945. 3 Pada uraian dan contoh yang telah dikemukakan di atas meski telah jelas diatur dalam Pasal 11 UUD 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, masih terjadi perbedaan pendapat dan kerancuan mengenai jenis-jenis perjanjian internasional yang dibuat Presiden dengan keharusan memperoleh persetujuan DPR. Karenanya penulis tertarik untuk melakukan kajian terkait KEDUDUKAN PRESIDEN DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL. I.2 PERMASALAHAN Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah kedudukan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembuatan perjanjian internasional? I.3 RUANG LINGKUP Ruang lingkup penilitian ini dikhususkan pada bidang Ilmu Hukum Kenegaraan karena mengkaji mengenai kedudukan Presiden dan DPR dalam pembuatan perjanjian internasional. I.4 TUJUAN DAN MANFAAT I.4.1 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan maksud ditujukan untuk : 3 Laporan Putusan MK terkait uji materi UU Migas (putusan ringkasan),www. Djpp depkumham.go.id, diunduh pada 31 Desember 2011, hal. 2

Untuk mengetahui dan menganilisis mengenai kedudukan Presiden dan DPR dalam pembuatan perjanjian internasional I.4.2 Manfaat Penelitian Berkaitan dengan tujuan yang hendak diperoleh dari penelitian ini, maka penulis berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat ke depannya. 1.4.2.1 Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat memberikan sumbangan dan memperkaya khasanah keilmuan dan pengetahuan dalam lingkup ilmu Hukum Tata Negara I.4.2.2 Manfaat praktis Diharapkan penelitian ini nantinya dapat menjadi bagian dari evaluasi terhadap perangkat aturan mengenai kedudukan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam membuat perjanjian internasional. Manfaat berikutnya yang tidak kalah penting penulis harapkan dapat terwujud adalah penelitian ini dapat memberi sumbangsih kepada Fakultas Hukum Universitas Lampung, tempat penulis mencari ilmu pengetahuan serta untuk melengkapi salah satu syarat akademik dalam rangka ujian akhir guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.