1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Eksistensi dan penyebaran ideologi neoliberal dengan ide pasar bebasnya telah menjadi dasar munculnya konsep good governance. Relasi yang terjalin antara neoliberalisme dan good governance secara spesifik akan di lihat di Indonesia. Pasca jatuhnya rezim Orde Baru, proses internalisasi konsep hegemonial good governance dapat dibuktikan melalui kebijaan yang diambil oleh pemerintah. Berdasar pada hal ini, akan sangat menarik mengungkap relasi yang terjalin antara neoliberalisme dan good governance di Indonesia. Relasi ideologi neloberal dan good governance dapat dianalisis sejak awal tahun 1990-an dengan menguatnya isu demokrasi dan pelaksanaan tata kelola pemerintaahan yang baik ( good governance) sebagai sasaran dan kondisi yang harus diwujudkan bagi penguatan dominasi korporasi-korporasi multinasional (kelas-kelas kapitalis) (Abarahamsem,2000). Good governance dalam konteks ini menjadi suara pembangunan ( sound of development) dengan menjadikannya sebagai pra kondisi bagi eksistensi agenda neoliberal (Wiratraman,2006) Good governance sebagai suara pembangunan dan pra kondisi bagi agenda neoliberal tak terlepas dari peran Bank Dunia sebagai lembaga donor pertama yang memperkenalkan dan mengimposisi konsep ini di negara-
2 negara Sub Sahara Afrika. Meskipun begitu, dalam perkembangannya, ide good governance tidak hanya diperkenalkan dan diproyeksikan oleh Bank Dunia, lembaga-lembaga donor seperti International Monetary Fund (IMF), Asia Development Bank (ADB), agen-agen PBB, institusi internasional, serta beberapa negara industri juga ikut berperan dalam mempromosikan konsep good governance (Wiratraman,2006). Good Governance diformulasikan untuk menjaga tata kelola pemerintahan dalam bingkai pembangunan kondisi dan atmosfir yang baik bagi agenda-agenda pasar bebas, dalam hal ini Structural Adjusment Program (SAP) (Dasgupta 1998 ). Olehnya itu, good governance bisa dikategorikan sebagai imposisi politik hukum yang dikendalikan negaranegara industrial dan agen internasional (lembaga donor). Tujuan yang diusung oleh diskursus good governance adalah membentuk tata pemerintahan yang berselerakan pasar (Wiratraman,2007). Berdasar pada awal mula kemunculan dan proses injeksinya pada negara-negara berkembang serta institusi yang berada dibalik penerimaan ide ini, wacana neoliberalisme kemudian menguat sebagai latar munculnya konsep good governance. Inilah good governance yang lahir dari rahim agenda besar globalisasi yang dikonstruksi ideologi neoliberal. Timbul pertanyaan, apa yang salah dan berbahaya dari hubungan yang terjalin antara neoliberalisme dan good governance. Inilah titik dilematis yang menjadi patokan dalam penemuan fakta-fakta, apa, bagaimana dan agenda
3 seperti apa yang diusung oleh ideologi neoliberal melalui diskursus good governance. Neoliberalisme sebagai ideologi yang mengusung liberalisasi adalah kebangkitan kembali paham liberalisme klasik namun dalam sifatnya yang lebih mengglobal. Hal ini bisa kita teropong dari agenda ideologi neoliberal yaitu memperjuangkan persaingan bebas ( leissez faire) dalam pasar internasional sebagai upaya sistematik membangun sebuah imperium global yang bercorak kapitalistik penuh. Negara dilemahkan dan prevelensi pasar bebas ditonjolkan. Pada akhirnya imperium yang dicita-citakan hanya diperuntukkan bagi kepentingan kelas-kelas kapitalis (Sugiono,2006). Fenomena mengerucutnya jarak dan memadatnya waktu dengan bantuan asimilasi teknologi canggih telah menjadi motor penggerak bagi eksis dan menyebarnya ideologi yang mengusung pasar bebas tersebut. Pasar bebas dengan globalisasinya telah mentransformasikan ide baru bagi mereka yang tergolong kelas atas/elit untuk terus memonopoli dan menjadi superior dalam percaturan ekonomi global dan kelas bawah semakin terpinggirkan di zaman yang mengandalkan kompetisi ini. Restorasi kaum kapitalis inilah yang menjadi sentrum dan cita-cita tertinggi ideologi neoliberal (Harvey, 2006). Upaya pencapaian tujuan besar neoliberalisme tersebut menjadikan negara-negara kapitalis yang berada di pusat imperium seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang dan negara kapitalistik lainnya berupaya melakukan
4 kendali atas negara berkembang melalui tiga lembaga pendukungnya yaitu IMF,WTO danbank Dunia. Ketiga lembaga supra negara itu merupakan lokomotif dan perangkat hegemoni negara-negara kapitalis dengan mekanisme pemberian bantuan ekonomi (hutang) yang disertai paket kebijakan yang semakin membelit negara berkembang. Paket kebijakan itu dikenal sebagai Konsensus Washington atau Structural Adjusment Programme (Hertz,2005;Baswir,2009). Ketiga lembaga ini menawarkan impian kesejahteraan melalui paket kebijakan yang berusaha melimitasi peran negara dan mengedepankan persaingan bebas (Wiratraman,2007). Akhir tahun 1980-an, Bank Dunia mengidentifikasi kegagalan paket penyesuaian struktural (SAP) yang ditawarkan lembaga donor (IMF dan Bank dunia) di negara-negara Sub Sahara Afrika dikarenakan buruknya tata kelola pemerintahan (World Bank,1989). Untuk pertama kalinya, lembaga donor seperti Bank Dunia menekankan pengaruh tata kelola pemerintahan terhadap keberhasilan agenda ideologi neoliberal. Bank Dunia kemudian memformulasikan sebuah konsep yang dianggap mampu memperbaiki tata kelola pemerintahan yang buruk yaitu good governance yang diikuti oleh lembaga donor lainnya. Hal ini tertuang dalam laporannya tahun 1989 Sub- Saharan Africa: From Crisis to Sustainable Growth. Laporan Bank Dunia tersebut menekankan bahwa pemerintah adalah sumber kegagalan pembangunan. Oleh karena itu, untuk membangun kepemerintahan yang baik (good governance), maka pemerintah harus
5 dikurangi ( less government). Pemerintahan yang besar ( big government) akan menjadi sumber dari kepemerintahan yang buruk ( bad governance). Kepemerintahan yang buruk dalam operasionalisasi Bank Dunia adalah pemerintahan yang tidak representatif terhadap pasar yang dalam prakteknya menjadi sumber kegagalan pembangunan di Afrika (Abrahamsem,2000; Pratikno,2005). Kegagalan SAP negara-negara Sub Sahara Afrika telah dijelaskan Wiratraman, disebutkan bahwa: Pengalaman Afrika pasca krisis utang dan perang dingin telah menggambarkan latar dari suatu iklim umum dalam menyokong pasar bebas dan demokrasi liberal, dan hal ini telah secara dahsyat menunjukkan betapa good governance sebagai pemaksaan politik hukum oleh negara industrialisasi maju dan agen internasional (termasuk lembaga maupun negara donor) dalam membentuk ketatapemerintahan pasar (Wiratraman, 2008:2). Diskursus good governance kemudian menguat dan ditransmisikan kepada negara-negara berkembang termasuk Indonesia lewat lembagalembaga donor seperti Bank Dunia, IMF,UNDP,ADB. Di Indonesia, good governance pertama kali diperkenalkan pasca tumbangnya rezim Orba (Orde Baru) tahun 1998. Maraknya kasus korupsi, penyelewengan kekuasaan, suap, mafia peradilan, krisis ekonomi dan sentralistik kekuasaan selama 32 tahun Suharto memimpin dijadikan media hegemonial dalam mempromosikan good governance secara terbuka sebagai arah baru pembaharuan tata kelola pemerintahan di era reformasi (Wiratraman 2006,).
6 Beberapa kebijakan direformulasi agar tercipta negara yang lebih demokratis, birokrasi yang bebas dari korupsi, penghapusan sentralistik kekuasaan, pencapaian pertumbuhan ekonomi signifikan. Selain itu, reformasi kebijakan ini merupakan prasyarat untuk mendapatkan suntikan dana pembangunan dari Bank Dunia,IMF, ADB dan lembaga donor lainnya. Tak ada jalan lain, pemerintah Indonesia harus menerapkan diskursus good governance yang dikreasikan lembaga donor pro neoliberal (Wiratraman,2008). Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Analisis Neoliberalisme dalam Good Governance di Indonesia. Penelitian ini hendak mendekonstruksi diskursus good governance itu sendiri, apa sesungguhnya yang keliru atau bahkan mungkin apa yang latah diucapkan soal good governance. Penelitian ini berusaha pula untuk menunjukkan masuknya gagasan neoliberal dalam imajinasi perubahan politik, ekonomi,sosial budaya dan administrasi pemerintahan yang digelindingkan di masa-masa akhir kepemimpinan Suharto dan awal reformasi melalui konsep good governance. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah yang dikemukakan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kontekstualisasi good governance bagi eksistensi ideologi neoliberal di Indonesia?
7 2. Bagaimana hubungan neoliberalisme dengan good governance di Indonesia pada konteks Bulog? 1.3 Tujuan Penelitian Mengacu pada rumusan masalah penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk menganalisis kontekstualisasi good governance bagi eksistensi ideologi neoliberal di Indonesia. 2. Untuk mengetahui hubungan neoliberalisme dengan good governance di Indonesia (Bulog sebagai analisis). 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Manfaat Akademis, diharapkan dapat memberikan informasi dan menjadi bahan kajian lanjutan untuk peneliti yang lain dan dapat menjadi bahan untuk pengembangan ilmu sosial, khususnya yang berkaitan dengan analisis good governance dan penerapannya. 2. Manfaat praktis,diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi pemerintah Indonesia maupun pihak-pihak yang terkait dalam melihat secara objektif apakah good governance memang pantas atau tidak diterapkan dalam pembaharuan tata kepemerintahan di Indonesia khususnya dalam konteks Bulog.
8 3. Secara ilmiah dapat dijadikan pijakan dalam memahami proses hegemoni good governance serta pengaruhnya bagi liberalisasi di Indonesia khususnya liberalisasi pertanian.