BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. Teori yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu Theory of Planned

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan, dan yang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. 2. Rerangka Teori dan Pengembangan Hipotesa

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini pajak merupakan penerimaan terbesar Indonesia. Pajak merupakan alat yang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1:

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah kepada masyarakat yang akan digunakan untuk membiayai keperluan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior) merupakan pengembangan dari Teori Perilaku Beralasan (Theory of

BAB II LANDASAN TEORI. A. Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior) bahwa (2013:9) Psikologi memandang perilaku manusia (human behavior)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berbagai definisi tentang pajak yang berbeda-beda, tetapi pada dasarnya definisi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suryani N. A., 2016 Pengaruh Pelayanan Fiskus dan Sanksi Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Menurut Andriani (1991) dalam Waluyo (2011), pajak adalah iuran kepada negara

BAB II KAJIAN TEORI. menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat. untuk menyelenggarakan pemerintahan.

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

BAB I PENDAHULUAN. meningkat seiring dengan peningkatan pembangunan itu sendiri. Salah satu sumber pendanaan proyek pembangunan yang dilakukan oleh

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. tahun 2009 (KUP) pasal 1 ayat 1 bahwa pajak adalah kontribusi wajib pajak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumber pendapatan terbesar yang dimiliki suatu Negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buku perpajakan Mardiasmo (2008) : a. Iuran dari rakyat kepada negara. b. Berdasarkan undang-undang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pajak membutuhkan kajian teori sebagai berikut : digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

BAB 1 PENDAHULUAN. pajak (Pangestu, Rusmana:2014). Realisasi penerimaan pajak tahun 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. negara. Tugas Direktorat Jendral Pajak (Ditjen Pajak) adalah senatiasa. untuk melakukan peningkatan jumlah penerimaan pajak.

Perpajakan, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh. untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI. Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

BAB II LANDASAN TEORI. dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Teori Perilaku Yang Direncanakan (Theory of Planned Behaviour) ditentukan oleh tiga faktor penentu yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. baik dalam peraturan perundang-undangan maupun sistem. wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, maka

BAB I PENDAHULUAN. adalah Self Assessment System yang berarti wajib pajak diberi kepercayaan

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang

MENINGKATKAN KEPATUHAN WAJIB PAJAK MELALUI KUALITAS PELAYANAN. NI LUH SUPADMI Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi, Universitas Udayana ABSTRACT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bagian landasan teori akan dijelaskan mengenai beberapa teori yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pembahasan dalam penelitian ini didasarkan pada penelitian-penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. ini pemungutnya dilaksakan oleh Pemerintah Pusat khususnya Depertemen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pajak dan pandangan para ahli dalam bidang tersebut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Theory of Planned Behavior (TPB) menjelaskan bahwa perilaku individu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang

BAB II LANDASAN TEORI. bukunya Mardiasmo (2011 : 1) :

II KERANGKA TEORITIS DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional untuk mencapai

BAB I PENDAHULUAN. langsung berhubungan dengan teori keahlian yang diterima diperkuliahan. Praktik

BAB I PENDAHULUAN. yang paling penting. Pendapatan tersebut nantinya digunakan untuk pembangunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Menurut Soemitro (dalam Sumarsan, 2013:3) pajak adalah iuran rakyat

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. (Rendezvous,2012). Teori ini disusun menggunakan asumsi dasar bahwa manusia

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif wajib pajak dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Keberhasilan suatu bangsa dalam pembangunan nasional sangat ditentukan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI (PKLM) Sebagai mahluk hidup dan juga sosial manusia memerlukan fasilitas-fasilitas

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

BAB II LANDASAN TEORI. Definisi pajak menurut Soemitro, S.H (1990) dalam Resmi (2013) adalah

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan maksimal dengan biaya yang optimal (Nasucha, 2004).

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

PERPAJAKAN (SEBUAH PENGANTAR) Disampaikan oleh: Rr. Indah Mustikawati, M.Si., Ak.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. (APBN) dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dapat dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. dan bangsa yang adil, sejahtera, aman, dan tertib. Dalam rangka mencapai tujuan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan, menurut Suparmono dan Damayanti (2010:10) mengatakan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. disamping komponen pembiayaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Menurut Undang-Undang (UU) no. 20 tahun 1997 tentang Penerimaan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. disetujui masyarakat melalui perwakilannya di dewan perwakilan, dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

BAB II LANDASAN TEORI. Penelitian ini menggunakan Theory of Planned Behavior yang menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di Indonesia salah satu penerimaan negara yang sangat besar dan semakin

BAB II LANDASAN TEORI. Berikut ini beberapa pengertian pajak menurut beberapa ahli, salah. satunya menurut R. Santoso Brotodiharjo sebagai berikut:

BAB II LANDASAN TEORI. pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama. atau definisi pajak yang berbeda-beda, namun demikian berbagai definisi

BAB II LANDASAN TEORI. satu sama lain pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu merumuskan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kepatuhan Wajib Pajak membutuhkan teori sebagai berikut :

BAB II LANDASAN TEORI. keempat atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 ketentuan Umum dan Tata

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan pemerintahan dan pembangunan. Pajak bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Nasional. Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang berlangsung terusmenerus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. Pranata (2014) menyataka n legitimasi didapatkan jika apa yang dijalankan oleh

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menjelaskan suatu kondisi dimana seseorang taat terhadap perintah atau

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditimbulkan oleh individu muncul karena adanya niat untuk berperilaku. Sedangkan. perilaku dan evaluasi atas hasil tersebut.

Ekonomi dan Bisnis Akuntansi

Transkripsi:

10 BAB II LANDASAN TEORI A. Dasar Perpajakan 1. Pengertian Pajak Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan memberikan definisi pajak sebagai berikut : kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sementara itu, Mardiasmo (2006:1) memberikan definisi pajak sebagai berikut : Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Dari 2 definisi diatas dapat ditarik kesimpulan : 1. Pajak dibayarkan oleh orang pribadi atau badan 2. Bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang 3. Tidak mendapatkan imbalan secara langsung 4. Digunakan untuk kemakmuran rakyat

11 Lembaga pemerintah yang membantu mengurusi kewajiban kewajiban wajib pajak di Indonesia adalah Direktorat Jendral Pajak ( DJP ) yang berada dibawah Kementrian Keuangan Republik Indonesia. 2. Fungsi pajak Pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu: A. Fungsi mengatur (regulerend) Dalam mengatur pertumbuhan ekonomi pemerintah bisa menggunakan kebijaksanaan pajak sebagai alat untuk mencapai pertumbuhan tersebut. Misalnya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi negara yang dilakukan melalui perusahaan perusahaan yang ada di Indonesia, pemerintah dapat meringankan pajak yang rendah bagi seseorang yang ingin berinvestasi. B. Fungsi anggaran ( budgetair ) Suatu negara pasti mempunyai suatu tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut pastinya memerlukan dana yang besar untuk menjalankan tugas rutin negara, membiayai pengeluaran negara, membiayai pembangunan. Dana ini diperoleh dari penerimaan pajak yang dibayarkan oleh warga negara dari negara tersebut. C. Fungsi redistribusi pendapatan Fungsi ini lebih menekankan pada unsur pemerataan pada masyarakat. Dana yang didapat negara digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum termasuk untuk membiayai pembangunan yang dapat

12 membuka kesempatan kerja. Dengan terciptanya kesempatan kerja dapat meningkatkan pendapatan warga negara. D. Fungsi stabilitas Stabilitas dalam negeri dapat dikendalikan melalui pajak. Jika negara sedang mengalami inflasi, pemerintah dapat menaikkan pajak untuk mengurangi kelebihan permintaan dalam masyarakat dan mengurangi peredaran uang. 3. Pengelompokan Pajak 1. Menurut golongannya, pajak terdiri dari : a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan pembayarannya tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan. b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai. 2. Menurut sifatnya, pajak terdiri dari: a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang dasarnya adalah subjeknya, dalam arti memfokuskan pada diri Wajib Pajak, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang dasarnya adalah objeknya, dalam arti tidak memfokuskan pada diri Wajib Pajak.

13 3. Menurut lembaga pemungutnya, pajak terdiri dari: a. Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Meterai. b. Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas : 1) Pajak Daerah Tingkat I (Propinsi), contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. 2) Pajak Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota), contoh: Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan Jalan. 4. Asas dan Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia Asas pemungutan pajak : 1. Asas Domisili (tempat tinggal) Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan dari dalam maupun luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri. 2. Asas Sumber Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di

14 wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. 5. Asas Kebangsaan Pengenaan pajak dihubungkan denagn kebangsaan suatu negara. Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan berkebangsaan Indonesiayang bertempat tinggal di Indonesia. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak luar negeri. 5. Kepatuhan Pajak Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia. Kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Kepatuhan adalah motifasi seseorang kelompok; atau organisasi untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Perilaku kepatuhan seseorang merupakan interaksi antara perilaku individu, kelompok dan organisasi. Internal Revenue Servise (IRS) dalam Mustikasari (2007) mendefinisikan Tax Compliance sebagai accurate, timely and fully paid return without IRS enforcement effort. Dengan demikian kepatuhan pajak dapat didefinisikan sebagai memasukkan dan melaporkan pada waktunya informasi yang diperlukan; mengisi secara benar jumlah pajak terutang dan membayar pajak pada waktunya tanpa ada tindakan pemaksaan. Berdasarkan pemahaman atas definisi kepatuhan pajak seperti yang diungkapkan di atas, maka diharapkan semua warga negara dapat lebih patuh dalam membayar pajak sehingga dapat memenuhi fungsi dari pajak.

15 Nurmantu (2003: 148-149) mengemukakan bahwa kepatuhan perpajakan didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Ada dua macam kepatuhan perpajakan menurut Nurmantu (2003) yakni kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai ketentuan dalam undang undang perpajakan. Sedangkan kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara subtantif / hakekat memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang undang perpajakan. Permasalahan tentang kepatuhan pajak merupakan permasalahan lama dalam bidang perpajakan. Dalam membahas permasalahan ini dapat menggunakan berbagai perspektif. Menurut James et al (1998) dalam Mustikasari (2007), perspektif tersebut diantaranya keuangan publik, penegakan hukum, persediaan tenaga kerja, etika dan kombinasi dari perspektif tersebut. Sebelum tahun 1982, literatur akademis empiris tentang kepatuhan pajak masih sangat sedikit dan penelitian tersebut menggunakan desain survey. Responden yang disurvey adalah pembayar pajak untuk mengetahui perilaku mereka. Perkembangan berikutnya setelah tahun 1980 an riset tentang kepatuhan kebanyakan menggunakan desain eksperimental. Jackson dan Milliron (1986) dalam Mustikasari (2007) telah melakukan review literature yang menyeluruh terhadap penelitian yang berkaitan dengan kepatuhan pajak. Mereka kemudian mengidentifikasi 14 variabel yang paling

16 sering menjadi fokus penelitian dan ditemukan mempengaruhi perilaku kepatuhan pembayar pajak yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan, tingkat pendapatan, sumber pendapatan, pekerjaan, kepatuhan rekan kerja, keadilan, kontak dengan IRS, sanksi, etika, kemungkinan terdeteksi dan tarif pajak. Berdasarkan hasil review tersebut, Bobek dan Hatfield (2003) mengklasifikasikan ke 14 variabel yang mempengaruhi perilaku kepatuhan dalam 4 golongan besar (1) demografi (misalnya: jenis kelamin, umur), (2) kesempatan ketidakpatuhan (misalnya: tingkat pendapatan, sumber pendapatan), (3) Sikap (misalnya: etika, keadilan), (4) Struktural (kompleksitas, kemungkinan pemeriksaan) Walaupun beberapa laporan atau artikel, baik yang diterbitkan oleh instansi pemerintah maupun majalah ilmiah menunjukkan bahwa masih banyak perusahaan yang tidak mematuhi peraturan perpajakan, akan tetapi masih relatif sedikit penelitian secara akademis melakukan pengujian secara ilmiah terhadap fenomena tersebut untuk perusahaan yang berskala kecil. The General Accounting Office (1990) dalam Siahaan (2005) telah menemukan bahwa perusahaan manufaktur memiliki tingkat kepatuhan terhadap peraturan perpajakan yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan perusahaan jasa (service) dan dagang eceran (retail). Rice (1992) dalam Siahaan (2005) telah melakukan penelitian terhadap tingkat kepatuhan perusahaanperusahaan kecil terhadap peraturan perpajakan. Rice menemukan bahwa 2/3 dari perusahaan kecil yang diteliti tidak mematuhi peraturan perpajakan. Faktor-faktor yang siginifikan yang ditemukan dalam hubungannya dengan tingkat kepatuhan

17 perusahaan-perusahaan kecil terhadap peraturan perpajakan adalah pengungkapan laporan keuangan kepada publik (memiliki hubungan positif), Marginal Tax Rate (memiliki hubungan negatif), ukuran perusahaan (memiliki hubungan positif) dan lokasi yang diidentifikasi oleh IRS yang masuk dalam Poor Compliance Region (memiliki hubungan negatif). 6. Kriteria Wajib Pajak Patuh Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 192/PMK.03/2007 tentang tata cara penetapan wajib pajak dengan kriteria tertentu dalam rangka pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dalam pasal 1 disebutkan bahwa wajib pajak dengan kriteria tertentu yang selanjutnya disebut sebagai wajib pajak patuh adalah wajib pajak yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Tepat waktu dalam penyampaian Surat Pemberitahuan; 2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pajak; 3. Laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan

18 4. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir. Sehubungan dengan penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak, Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-2/PJ./2008 tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu. Dalam surat edaran tersebut tertera definisi wajib pajak patuh dan juga kriteria wajib pajak patuh yang tertuang dalam bagian I nomor 1 dan 2 sebagai berikut: 1. Wajib Pajak Patuh adalah Wajib Pajak yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu dalam Rangka Pengemnbalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak. 2. Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak adalah: a. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan, meliputi:

19 1. Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan tepat waktu dalam 3 (tiga) tahun terakhir; 2. Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat dalam tahun terakhir untuk Masa Pajak Januari sampai November tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut; dan 3. Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud pada butir 2 telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa pajak berikutnya; b. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak, meliputi keadaan pada tanggal 31 Desember tahun sebelum penetapan sebagai wajib pajak patuh dan tidak termasuk utang pajak yang belum melewati batas akhir pelunasan. c. Laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, dengan ketentuan: 1. Laporan keuangan yang diaudit harus disusun dalam bentuk panjang (long form report) dan menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal bagi wajib pajak yang wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan; dan

20 2. Pendapat Akuntan atas Laporan Keuangan yang diaudit ditandatangani oleh Akuntan Publik yang tidak sedang dalam pembinaan lembaga pemerintah pengawas Akuntan Publik; dan d. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir. 7. Pemahaman Tax Profesional Terhadap Sistem Self Assessment Ada beberapa sistem pemeungutan pajak, yaitu: a. Official Assessment System Dalam official assessment system, pemerintah ( fiskus ) mempunyai wewenang dan berperan aktif dalam penghitungan dan penetapan besarnya pajak terutang. b. Self Asessment System Dalam self assessment system besarnya pajak terutang dihitungan, disetor, dan dilapokan oleh wajib pajak. Pemerintah ( fiskus ) hanya sebagai pengawas apakah surat pemberitahuan ( SPT ) sudah diisi dengan lengkap dan benar. c. Witholding Assessment System Dalam witholding assessment system yang melakukan penghitungan, penetapan, penyetoran, dan pelaporan dilakukan oleh pihak ke tiga selain pemerintah ( fiskus ) dan wajib pajak bersangkutan.

21 Sistem self assessment yang diterapkan dalam perpajakan di Indonesia memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang. Sistem ini akan efektif apabila wajib pajak memiliki kesadaran pajak, kejujuran, dan kedisiplinan dalam menjalankan/melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Hasil penelitian Chusnul Chotimah (2007) yang dilakukan terhadap wajib pajak orang pribadi menunjukkan bahwa pemahaman terhadap sistem self assessment berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi dalam melaksanakan kewajiban perpajakan pajak penghasilan. Jadi semakin tinggi tingkat pemahaman wajib pajak terhadap sistem self assessment akan semakin meningkat pula kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan sehingga akan meningkat pula penerimaan pajak. 8. Tingkat Pendidikan Tax Profesional Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

22 Pendidikan pada dasarnya merupakan usaha pengembangan SDM yang dilakukan secara sistematis, programatis dan berjenjang agar dapat dihasilkan manusis-manusia berkualitas yang akan dapat memberikan mamfaat dan sekaligus meningkatkan kualitas. Adapun tingkatan pendidikan antara lain: a. Pendidikan Dasar Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan awal selama 6 (enam) tahun pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi jenjang pendidikan menengah. b. Pendidikan Menengah Pendidikan menengah merupakan jenjang pendidikan lanjutan pendidikan dasar (SMP/SMA). c. Pendidikan Tinggi Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program sarjana, magister, doctor, dan spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Tingkat pendidikan masyarakat yang semakin tinggi akan menyebabkan masyarakat lebih mudah memahami ketentuan dan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku. Tingkat pendidikan yang masih rendah juga akan berpeluang membuat wajib pajak enggan melaksanakan kewajiban perpajakan karena kurangnya pemahaman mereka terhadap sistem perpajakan yang diterapkan.

23 Hasil penelitian Muhammad Syafiqurrahman dan Sri Surata (2006) menemukan bahwa tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak restoran di Surakarta. Hasil ini juga sejalan dengan hasil penelitian Chusnul Chotimah (2007) terhadap wajib pajak orang pribadi dalam melaksanakan kewajiban pajak penghasilan. 9. Kualitas Pelayanan Fiskus Menurut Boediono (2003) dalam Ni Luh (2006) pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar tercipta kepuasan dan keberhasilan. Hakikat pelayanan umum adalah sebagai berikut: a. Meningkatkan mutu dan produktivitas pelaksanaan tugas dan instansi pemerintah di bidang pelayanan umum. b. Mendorong upaya mengefektifkan sistem data dan tata laksana pelayanan sehingga pelayanan umum dapat diselenggarakan secara lebih berdaya guna dan berhasil guna (efisien dan efektif). c. Mendorong tumbuhnya kretivitas, prakarsa, dan pern serta masyarakat dalam pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas. Dikaitkan dengan pelayanan perpajakan maka pelayanan dapat didefinisikan sebagai pelayanan dalam bentuk jasa di bidang perpajakan oleh

24 Direktorat Jendral Pajak melalui satuan kerja yang ada dibawahnya dalam rangka memenuhi ketentuan perpajakan yang telah ditetapkan dan dapat menjadi sumbangan terbesar penerimaan negara. Salah satu aspek yang menjadi peranan penting bagi fiskus yang dalam hal ini Direktorat Jendral Pajak adalah aspek pelayanan terhadap wajib pajak. Tidak dapat dipungkiri bahwa pelayanan memegang kunci dalam menanamkan citra Direktorat Jendral Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama kepada wajib pajak. Pelayanan yang berkualitas harus dapat memberikan 4K, yaitu keamanan, kenyamanan, kelancaran, dan kepastian hukum. Kualitas pelayanan dapat diukur dengan memberikan pelayanan dengan tanggapan, kemampuan, kesopanan, dan sikap dapat dipercaya yang dimiliki oleh aparat pajak. Di samping itu, juga kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik, memahami kebutuhan wajib pajak, tersediannya fasilitas fisik termasuk sarana komunikasi yang memadai, dan pegawai yang cakap dalam tugasnya (Ni Luh, 2006). Menurut Caro & Garcia (2007), indikator kualitas pelayanan ditentukan oleh tiga faktor yaitu kualitas interaksi, kualitas lingkungan fisik, hasil kualitas pelayanan. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa kualitas interaksi merupakan faktor penting dimana mempunyai pengaruh yang signifikan dalam persepsi wajib pajak terhadap kualitas pelayanan secara keseluruhan. Yang dimaksud dari kualitas interaksi di atas yaitu bagaimana cara fiskus dalam mengkomunikasikan pelayanan pajak kepada wajib pajak sehingga wajib pajak puas terhadap pelayanannya.

25 Kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak tergantung pada bagaimana petugas pajak memberikan mutu pelayanan yang terbaik kepada wajib pajak. Selama ini peranan dari fiskus lebih banyak menjadi seorang pemeriksa. Padahal untuk menjaga agar wajib pajak tetap patuh terhadap kewajiban perpajakannya dibutuhkan peran yang lebih dari sekadar pemeriksaan. Fiskus diharapkan memiliki kompetensi dalam arti memiliki keahlian (skill), pengetahuan (knowledge), dan pengalaman (experience) dalam hal kebijakan perpajakan. Selain itu, fiskus harus memiliki motivasi yang tinggi sebagai pelayan publik. Penelitian mengenai pelayanan terhadap wajib pajak seperti dalam Jatmiko (2006) menunjukkan bahwa persepsi tentang kualitas pelayanan berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak. Hasil penelitian Muhammad Syafiqurrahman dan Sri Suranta (2006) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi wajib pajak terhadap kepatuhan pembayaran pajak restoran di Surakarta menunjukan bahwa variabel pelayanan tidak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak dikarenakan kurangnya penyuluhan yang dilakukan. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan yang baik yang diberikan fiskus kepada wajib pajak akan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan, demikian juga sebaliknya.

26 10. Persepsi Tax Profesional Atas Sanksi Pajak Menurut Mardiasmo (2006) sanksi adalah suatu tindakan berupa hukuman yang diberikan kepada orang yang melanggar peraturan. Peraturan atau Undang-undang merupakan rambu-rambu bagi seseorang untuk melakukan sesuatu mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Sanksi diperlukan agar peraturan atau Undang-undang tidak dilanggar. Sanksi pajak merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/ditaati/dipatuhi, dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan. Dengan adanya sanksi perpajakan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Pandangan tentang sanksi perpajakan tersebut diukur dengan indikator menurut Yadnyana (2009) dalam Muliari dan Setiawan (2010) sebagai berikut: a. Sanksi pidana yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak cukup berat. b. Sanksi adminstrasi yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak sangat ringan. c. Pengenaan sanksi yang cukup berat merupakan salah satu sarana mendidik wajib pajak. d. Sanksi pajak harus dikenakan kepada pelanggarnya tanpa toleransi. e. Pengenaan sanksi atas pelanggaran pajak dapat dinegosiasikan. Selama ini ada anggapan umum dalam masyarakat bahwa akan dikenakan sanksi perpajakan hanya bila tidak membayar pajak. Padahal, dalam

27 kenyataannya banyak hal yang membuat masyarakat atau wajib pajak terkena sanksi perpajakan, baik itu berupa sanksi administrasi (bunga, denda, dan kenaikan) maupun sanksi pidana. Secara konvensional, terdapat dua macam sanksi yaitu sanksi positif dan sanksi negatif. Sanksi positif merupakan suatu imbalan, sedangkan sanksi negatif merupakan suatu hukuman. Namun pemberian imbalan apabila wajib pajak patuh dan telah memasukan Surat Pemberitahuan tepat pada waktunya belum diperhatikan. Saat ini Ditjen Pajak masih berfokus pada pemberian sanksi negatif dalam menuntut wajib pajak agar patuh terhadap peraturan perpajakan. Apabila dikaitkan dengan UU Perpajakan yang berlaku, menurut Ilyas dan Burton (2010) terdapat empat hal yang diharapkan atau dituntut dari para wajib pajak, yaitu: 1. Dituntut kepatuhan (compliance) wajib pajak dalam membayar pajak yang dilaksanakan dengan kesadaran penuh 2. Dituntut tanggung jawab (responsibility) wajib pajak dalam menyampaikan atau memasukan Surat Pemberitahuan tepat waktu sesuai Pasal 3 Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 3. Dituntut kejujuran (honesty) wajib pajak dalam mengisi Surat Pemberitahuan sesuai dengan keadaan sebenarnya 4. Memberikan sanksi (law enforcement) yang lebih berat kepada wajib pajak yang tidak taat pada ketentuan yang berlaku. Dari keempat hal di atas, paling efektif menurut Ilyas dan Burton (2010) adalah dengan menerapkan sanksi (law enforcement) tanpa pandang bulu dan

28 dilaksanakan secara konsekuen. Sekarang ini, wajib pajak seolah tidak takut lagi terhadap denda administrasi sebesar Rp 1.000.000 untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan yang terdapat pada pasal 7 UU KUP Nomor 28 Tahun 2007, bila wajib pajak tidak memasukan Surat Pemberitahuan atau terlambat memasukannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP), para wajib pajak seolah-olah menganggap remeh dengan denda yang kecil. Menurut Jatmiko (2006) wajib pajak akan memenuhi pembayaran pajak bila memandang sanksi perpajakan akan lebih banyak merugikannya. Semakin tinggi atau beratnya sanksi, maka akan semakin merugikan wajib pajak. Oleh sebab itu, sanksi perpajakan diduga akan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak. B. Penelitian Terdahulu Tabel berikut ini berisi ringkasan penelitian terdahulu: Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Nama Peneliti dan Tahun Penelitian Fadjar O.P. Siahaan (2005) Judul Penelitian Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kepatuhan Tax Professional dalam Pelaporan Pajak Badan pada Perusahaan Industri Manufaktur di Surabaya Hasil Penelitian Profitabilitas perusahaan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan perusahaan dalam mematuhi peraturan perpajakan. Selain itu juga memberikan bukti

29 Agus Nugroho Jatmiko (2006) Elia Mustikasari (2007) N.K. Muliari dan P.E. Setiawan (2010) Pengaruh sikap WP pada pelaksanaan sanksi denda, pelayanan fiskus, dan kesadaran perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak pada WP OP di Kota Semarang Kajian Empiris tentang Kepatuhan Wajib Pajak Badan di Perusahaan Industri Pengolahan di Surabaya Pengaruh Persepsi tentang Sanksi Perpajakan dan Kesadaran Wajib Pajak pada Kepatuhan empiris bahwa fasilitas perusahaan berpengaruh secara positif signifikan terhadap kewajiban wajib pajak Badan. Sikap WP pada pelaksanaan saknsi dan denda, pelayanan fiskus, dan kesadaran perpajakan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap tingkat kepatuhan WP OP di Kota Semarang sikap terhadap ketidakpatuhan pajak, kontrol keperilakuan yang dipersepsikan, dan persepsi tentang fasilitas perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan pajak tax professional sedangkan norma subyektif, kewajiban moral, persepsi tentang kondisi keuangan, persepsi tentang iklim organisasi, niat tax professional untuk berperilaku tidak patuh, dan ketidakpatuhan pajak badan memiliki pengaruh yang negatif terhadap kepatuhan pajak tax professional. persepsi wajib pajak tentang sanksi perpajakan secara parsial berpengaruh positif dan signifikan

30 Pelaporan Wajib Pajak Orang Pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Timur pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi. Begitu juga dengan kesadaran wajib pajak secara parsial berpengaruh positif dan signifikan pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi. Sumber: Hasil analis C. Kerangka Pemikiran Teoritis 1. Theory of Planned Behavior Dalam Theory of Planned Behavior (TPB) dijelaskan bahwa perilaku yang ditimbulkan oleh individu muncul karena adanya niat untuk berperilaku. Sedangkan munculnya niat untuk berperilaku ditentukan oleh tiga faktor (Mustikasari, 2007), yaitu: a. Behavioral Beliefs Behavioral beliefs merupakan keyakinan individu akan hasil dari suatu perilaku dan evaluasi atas hasil tersebut. b. Normative Beliefs Normative beliefs yaitu keyakinan tentang harapan normatif orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut. c. Control Beliefs

31 Control beliefs merupakan keyakinan tentang keberadaan hal-hal yang mendukung atau menghambat perilaku yang akan ditampilkan dan persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal yang mendukung dan menghambat perilakunya tersebut (perceived power). Penelitian tentang kepatuhan pajak telah banyak dilakukan. Penelitian sebelumnya yang menggunakan teori tersebut adalah penelitian Mustikasari (2007). Dikaitkan dengan penelitian ini, Theory of Planned of Behavior relevan untuk menjelaskan perilaku wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Sebelum individu melakukan sesuatu, individu tersebut akan memiliki keyakinan mengenai hasil yang akan diperoleh dari perilakunya tersebut. Kemudian yang bersangkutan akan memutuskan bahwa akan melakukannya atau tidak melakukannya. Hal tersebut berkaitan dengan pemahaman terhadap sistem self assessment dan tingkat pendidikan wajib pajak. Semakin tinggi tingkat pemahaman wajib pajak terhadap sistem self assessment akan semakin meningkat pula kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan, begitu juga tingkat pendidikan yang tinggi akan menyebabkan wajib pajak lebih mudah memahami ketentuan dan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku, dan akan memiliki keyakinan mengenai pentingnya membayar pajak untuk membantu menyelenggarakan pembangunan negara (behavioral beliefs). Ketika akan melakukan sesuatu, individu akan memiliki keyakinan tentang harapan normatif dari orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan

32 tersebut (normative beliefs). Hal tersebut dapat dikaitkan dengan kualitas pelayanan, dimana dengan adanya pelayanan yang baik dari petugas pajak, sistem perpajakan yang efisien dan efektif, serta penyuluhan-penyuluhan pajak yang memberikan motivasi kepada wajib pajak agar taat pajak, akan membuat wajib pajak memiliki keyakinan atau memilih perilaku taat pajak. Sanksi pajak terkait dengan control beliefs. Sanksi pajak dibuat adalah untuk mendukung agar wajib pajak mematuhi peraturan perpajakan. Kepatuhan wajib pajak akan ditentukan berdasarkan persepsi wajib pajak tentang seberapa kuat sanksi pajak mampu mendukung perilaku wajib pajak untuk taat pajak. Behavioral beliefs, normative beliefs, dan control beliefs sebagai tiga faktor yang menentukan seseorang untuk berperilaku. Setelah terdapat tiga faktor tersebut, maka seseorang akan memasuki tahap intention, kemudian tahap terakhir adalah behavior. Tahap intention merupakan tahap dimana seseorang memiliki maksud atau niat untuk berperilaku, sedangkan behavior adalah tahap seseorang berperilaku (Mustikasari, 2007). Pemahaman terhadap sistem self assessment, tingkat pendidikan wajib pajak, pelayanan fiskus, dan sanksi pajak dapat menjadi faktor yang menentukan perilaku patuh pajak. Setelah wajib pajak memiliki pemahaman tentang sistem, ketentuan dan peraturan yang berlaku untuk membayar pajak, termotivasi oleh fiskus dan sanksi pajak, maka wajib pajak akan memiliki niat untuk membayar pajak dan kemudian merealisasikan niat tersebut.

33 Gambar 2.1 : Kerangka Pemikiran Variabel independen (X) Variabel dependen (Y) Pemahaman tax professional terhadap sistem self assessment, Tingkat pendidikan tax professional Kualitas pelayanan fiskus Kepatuhan Pajak Badan Persepsi tax professional atas sanksi pajak