I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

I. PENDAHULUAN. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

TINJAUAN PUSTAKA. pada UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah. Dalam Undang-Undang No. 32

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

I. PENDAHULUAN. Pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia menyebabkan terjadinya pergeseran

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

TRANSFER DANA DESENTRALISASI LAMPAUI RP500 TRILIUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Sidik et al, 2002) UU No.12 tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

PERKEMBANGAN DAN HUBUNGAN DANA ALOKASI UMUM (DAU), PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN BELANJA PEMERINTAH DAERAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keuangan lembaga publik, diantaranya : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

M. Wahyudi Dosen Jurusan Akuntansi Fak. Ekonomi UNISKA Kediri

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. dari amanah yang diemban pemerintah dan menjadi faktor utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam data ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. implikasi pada pelimpahan wewenang antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

Transkripsi:

1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu penyerahan kewenangan yang diberikan dari pemerintah pusat yang mana dalam pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu bentuk harapan yang positif bagi perekonomian Indonesia, dimana dengan adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia memiliki kesempatan untuk mengelola, mengembangkan dan membuat daerah tersebut untuk lebih berkembang dari sebelumnya sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki pada masing-masing daerah. Salah satu kegiatan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah tersebut adalah desentralisasi di bidang keuangan atau yang biasanya disebut dengan desentralisasi fiskal. Dalam proses desentralisasi harus ada pendistribusian wewenang atau kekuasaan dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, sedangkan otonomi berarti adanya kebebasan menjalankan atau melaksanakan sesuatu oleh suatu bagian wilayah/daerah. Dengan kata lain, desentralisasi adalah berkurangnya atau diserahkannya sebagian atau seluruh wewenang pemerintah dari pusat ke daerah-daerah. Sehingga daerah yang menerima kewenangan bersifat otonom, yakni dapat menentukan cara pengelolaan daerahnya sendiri secara bebas. Pada proses desentralisasi ini terdapat proses pendistribusian

2 tanggungjawab, dan pembagian kekuasaan serta wewenang dalam bidang fiskal yang meliputi aspek penerimaan maupun pengeluaran. Secara singkat yang dimaksud dengan desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan public sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan (Seragih, 2003) Dari sisi pemerintah ada 2 hal utama yang menjadi bahasan sehubungan dengan adanya otonomi daerah yakni kebutuhan fiskal (fiscal needs) dan kapasitas fiskal (fiscal capacity) yang keduanya dapat dikaitkan dalam upaya mengoptimalkan Pendapataan Asli Daerah (PAD). Selisih dari kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal disebut dengan kesenjangan fiskal (fiscal gap) ini yang menjadi penentu atau patokan dalam menentukan besarnya transfer dari pusat. Optimalisasi potensi PAD disini sehubungan dengan perannya terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan pelaksanaan UU No. 34/2000 sebagai penguatan PAD. Kesenjangan fiskal (fiscal gap) merupakan selisih negative antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal dianggap sebagai kebutuhan yang harus ditutup melalui transfer Pemerintah Pusat. Sehingga solusi untuk kesenjangan fiskal adalah memperbanyak kapasitas fiskal. Ide dasarnya adalah untuk daerah yang memiliki kapasitas fiskal relatif lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan fiskalnya, maka DAU yang dialokasikan seyogyanya tidak terlalu besar, namun sebaliknya apabila suatu daerah memiliki kebutuhan fiskal yang relatif lebih besar dibandingkan dengan

3 kapasitas fiskalnya maka membutuhkan alokasi DAU yang relatif besar pula. Jadi kapasitas fiskal ini dapat dianggap sebagai acuan atau mewakili kemampuan suatu daerah dalam melaksanakan semua kewenangan wajibnya dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan daerahnya. Desentralisasi fiskal yang dilaksanakan pemerintah Provinsi Lampung belum dapat terlaksana dengan baik. Penerimaan Provinsi Lampung masih bergantung pada dana perimbangan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Setiap tahun dana perimbangan menyumbang lebih besar dari PAD, yaitu sebesar tak kurang dari 60% dari total penerimaan dan juga Kapasitas Fiskal Provinsi Lampung masih tergolong dalam kategori indeks kapasitas yang masuk dalam kategori rendah yaitu sebesar 0,2060 (Fatchurrochman, 2012).Hal ini menunjukan bahwa kemandirian Provinsi Lampung dalam hal fiskal masih kurang. Berdasarkan indeks Kapasitas Fiskal, daerah dikelompokkan dalam empat kategori yaitu sangat tinggi (memiliki indeks 2,0 atau lebih), tinggi (1,0 hingga kurang dari 2,0), sedang (0,5 hingga kurang dari 1,0), dan rendah (kurang dari 0,5). Berikut disajikan tabel indeks kapasitas fiskal berdasarkan kategori yang telah ditetapkan Tabel 1 Kategori Indeks Kapasitas Fiskal Kategori indeks Sangat Tinggi 2 > Tinggi 1-2 Sedang 0,5 1 Rendah 0-0,5 Sumber : www.antaranews.com

4 Dimaksudkan dengan keterangan tabel diatas bahwa apabila indeks kapasitas fiskal di suatu daerah tergolong rendah berarti suatu daerah tersebut dalam hal pendanaan keuangan masih perlu bantuan pendanaan dari pusat, sedangkan indeks kapasitas fiskal yang tergolong sedang hal itu berarti kemampuan keuangan daerah mengalami peningkatan yang cukup baik, sehingga dalam bantuan pendanaan tidak terlalu besar, kemudian yang dimaksudkan dengan indeks kapasitas fiskal yang tergolong tinggi dan sangat tinggi hal itu menunjukan bahwa daerah tersebut memiliki tingkat kemandirian daerah yang sangat baik.

5 No Tabel 2 Peta Kapasitas Fiskal Provinsi Lampung Tahun 2009-2012 Indeks Indeks Kapasitas Indeks Kapasitas Kapasitas Daerah Fiskal Kategori Fiskal Kategori Fiskal Kategori 2009 2010 2011 Kabupaten Lampung Barat 0,3128 Rendah 0,321 Rendah 0,215 Rendah Kabupaten Lampung Selatan 0,0989 Rendah 0,0978 Rendah 0,1097 Rendah Kabupaten Lampung Tengah 0,1583 Rendah 0,089 Rendah 0,0675 Rendah Kabupaten Lampung Utara 0,1257 Rendah 0,101 Rendah 0,1106 Rendah Kabupaten Lampung Timur 0,1807 Rendah 0,1279 Rendah 0,1537 Rendah Kabupaten Tanggamus 0,1367 Rendah 0,1133 Rendah 0,1765 Rendah Kabupaten Tulang Bawang 0,4547 Rendah 0,325 Rendah 0,3633 Rendah Kabupaten Way Kanan 0,2871 Rendah 0,3607 Rendah 0,3427 Rendah Kota Bandar Lampung 0,2213 Rendah 0,2257 Rendah 0,1989 Rendah 0 Kota Metro 0,6164 Sedang 0,8038 Sedang 0,6671 Sedang 1 Kabupaten Pesawaran 0,1159 Rendah 0,1198 Rendah 2 Kabupaten Pringsewu 0,1133 Rendah 0,1596 Rendah 3 Kabupaten Mesuji 0,325 Rendah 0,6574 Sedang 4 Kabupaten Tulang Bawang Barat 0,325 Rendah 0,5876 Sedang Sumber : Lampiran keputusan menteri keuangan RI nomor 174/Pmk.07/2

6 6 Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa Kabupaten Lampung Tengah memiliki indeks kapasitas fiskal yang tergolong paling rendah di Provinsi Lampung dimana disetiap tahun nya mengalami penurunan indeks kapasitas fiskal yang pada tahun 2009 0,1583 hingga tahun 2011 hanya 0,0675. Dengan berdasarkan indeks kapasitas fiskal tersebut dapat diindikasikan bahwa Kapasitas Fiskal Kabupaten Lampung Tengah pun tergolong rendah. Hal tersebut menunjukan bahwa Kabupaten Lampung Tengah memiliki tingkat kemandirian daerah yang kurang baik serta memiliki kemampuan yang kurang dalam hal menggali sumber-sumber pendapatan daerah nya sendiri. Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa kapasitas fiskal daerah kabupaten Lampung Tengah tergolong rendah sehingga masih sangat bergantung pada transfer dana perimbangan dari pemerintah pusat. Berikut disajikan data perkembangan penerimaan serta pengeluaran pemerintah daerah kabupaten Lampung Tengah Tahun 2009-20011.

Tabel 3 Perkembangan Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2002-2011 (ribu rupiah) Rincian 2009 2010 2011 PENERIMAAN DAERAH 922.221.009 1.107.611.964 1.284.646.860 18,04 Pendapatan Daerah 887.672.366 1.072.881.274 1.206.784.083 16,67 Pendapatan Asli Daerah 20.289.640 37.086.491 37.681.698 42,19 Pajak Daerah 8.302.270 20.510.342 20.408.468 93,76 Retribisi Daerah 8.611.695 6.980.795 3.640.544 33,38 Hasil perusahaan milik daerah 2.500.000 3.387.525 3.253.037 19,73 lain-lain PAD yang sah 875.675 6.207.829 10.179.849 35,03 Dana Perimbangan 798.756.698 698.563.612 955.388.703 24,65 Bagi Hasil Pajak 46.612.028 76.422.646 41.270.733 54,97 Bagi hasil bukan pajak/sumber Daya Alam 9.458.886 26.136.991 24.543.064 91,20 Dana Alokasi Umum 669.111.784 706.661.775 785.179.586 8,36 Dana Alokasi Khusus 73.574.000 87.142.200 104.395.300 19,11 lain-lain pendapatan yang sah 68.626.028 139.231.144 213.713.482 48,18 pembiayaan daerah 34.548.643 34.730.717 77.862.777 62,35 PENGELUARAN DAERAH 922.221.009 1.107.611.964 1.284.646.860 18,04 Belanja tdk langsung 628.619.525 796.190.026 851.425.345 16,75 belanja langsung 141.670.609 190.734.560 413.221.919 26,63 pembiayaan daerah 97.930.875 120.687.378 20.000.000 30,09 Sumber :BPS Provinsi Lampung (data diolah) Berdasarkan Tabel 3 dapat terlihat bahwa Dana Perimbangan menyumbang lebih besar di setiap tahun nya dari PAD, yaitu sebesar Rp. 798.756.698 pada tahun 2009 kemudian terjadi penurunan yaitu pada tahun 2010 sebesar Rp. 698.563.612 selanjutnya mengalami peningkatan yang amat signifikan yaitu terjadi pada tahun 2011 sebesar Rp. 955.388.703. Sedangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada tahun 2009 Rp. 20.289.640 sampai pada tahun 2011 sebesar Rp. 37.681.698. Hal ini menunjukan bahwa masih besarnya ketergantungan akan Dana Perimbangan dari pemerintah pusat. Hal tersebut pula mengindikasikan masih kurangnya upaya pemerintah daerah Kabupaten Lampung Tengah dalam menggali dan mengelola sumber keuangan daerahnya sehingga tidak mampu menopang perekonomian daerahnya sendiri. 7 Pertumbuhan (%)

8 Variasi pemilikan sumber daya alam dikatakan akan membuat ketimpangan antar daerah, dikatakan pula bahwa daerah yang miskin tentu memiliki PAD dan PDRB yang rendah. Sebagai konsekuensi negara kesatuan, maka pemerintah memainkan peran distribusi dari daerah yang kaya kepada daerah yang miskin agar tidak terjadi ketimpangan yang tajam. Kebijakan yang diambil adalah dengan dana perimbangan terutama melalui DAU, dan masing-masing daerah akan menerima DAU berbeda-beda tergantung pada kapasitas fiskal (PAD, PDRB) dan kebutuhan fiskal (jumlah penduduk, luas wilayah dan sebagainya). Jika kapasitas fiskal suatu daerah rendah sedangkan kebutuhan fiskalnya tinggi maka porsi DAU yang diterima akan besar pula. Transfer DAU kesetiap daerah harus mempertimbangakan kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal (potensi daerah) atau yang disebut dengan celah fiskal. DAU dialokasikan dengan tujuan sebagai jaminan keseimbangan vertikal dan jaminan keseimbangan horizontal (Siti Sriningsih dan Muadi Yasin, 2009). Dalam ketentuan Umum UU Nomor 25 Tahun 1991 dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka Negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan antardaerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata acara penyelenggaraan kewenagngan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya. Sedangkan Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada

daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. 9 Berdasarkan pengertian diatas, dapat disebut bahwa Dana Perimbangan merupakan inti dari hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta merupakan suatu sistem hubungan keuangan yang bersifat vertikal antara pemerintah pusat dan daerah sebagai konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dalam bentuk penyerahan sebagaian wewenang pemerintahan. Oleh karena itu, dikatakan bahwa hubungan keuangan merupakan sebuah sistem pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah. Pengaturan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah sangat perlu dilakukan karena tidak semua wewenang pemerintahan diberikan atau diserahkan kepada pemerintah daerah. Oleh karena itu, kepentingan dan kebutuhan dana untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan pusat atau negara juga harus tersedia secara memadai. Dana perimbangan berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam konteks otonomi daerah atau desentralisasi. Dalam arti sederhana, dana perimbangan adalah pembagian penerimaan antartingkatan pemerintah guna menjalankan fungsi pemerintahan dalam kerangka desentralisasi (Seragih, 2003). Sebagaimana yang telah diterangkan diatas, bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan komponen terbesar dari dana perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Alokasi dana pusat ke daerah dalam bentuk DAU ini merupakan transfer yang bersifat block grants. Di samping itu, kebijakan DAU merupakan instrumen penyeimbang fiskal antar daerah, sebab

10 tidak semua daerah mempunyai struktur dan kemampuan fiskal yang sama itulah mengapa terjadi ketidakseimbangan fiskal antar daerah di karenakan masingmasing daerah memiliki perbedaan luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, potensi sumber daya, kondisi dan kekayaan alam, dan lain-lain. Oleh sebab itu, DAU sebagai bagian dari pusat ke daerah yang berfungsi sebagai faktor pemerataan fiskal antara daerah-daerah serta memperkacil kesenjangan kemampuan fiskal atau keuangan antar daerah. Kesenjangan fiskal (fiscal gap) hingga saat ini masih tergolong relatif besar, hal ini juga disebabkan oleh kebutuhan fiskal daerah (fiscal need) relatif lebih besar dibandingkan dengan kemampuan atau kapasitas fiskal daerah, seperti kemampuan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan kata lain, besarnya DAU suatu daerah adalah total kebutuhan daerah dikurangi dengan total potensi atau kapasitas ekonomi daerah yang bersangkutan. Dana Perimbangan merupakan pendanaan Daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu Daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar-daerah. Ketiga komponen Dana Perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari Pemerintah serta merupakan satu kesatuan yang utuh. DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagihasilkan kepada Daerah berdasarkan angka persentase tertentu. Pengaturan DBH dalam Undang-Undang ini merupakan penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983

11 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. Dalam Undang-Undang ini dimuat pengaturan mengenai Bagi Hasil penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 serta sektor pertambangan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Selain itu, dana reboisasi yang semula termasuk bagian dari DAK, dialihkan menjadi DBH. DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar-daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi Daerah. DAU suatu Daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu Daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan Daerah (fiscal need) dan potensi Daerah (fiscal capacity). Dalam Undang-Undang ini ditegaskan kembali mengenai formula celah fiskal dan penambahan variabel DAU. Alokasi DAU bagi Daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, Daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal. DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di Daerah tertentu yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong

12 percepatan pembangunan Daerah. Dalam melaksanakan pembangunan daerah dibutuhkan pula dana yang mencukupi untuk melaksanakan pembangunan daerah tersebut, tingkat kemahalan konstruksi/harga bangunan merupakan cerminan nilai bangunan/biaya yang dibutuhkan untuk pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan tersebut. Yang dimaksud dengan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) adalah angka indeks yang menggambarkan perbandingan harga bahan bangunan/konstruksi antarlokasi yang berbeda pada periode yang sama. Sedangkan Tingkat kemahalan harga bangunan kabupaten/kota merupakan cerminan dari suatu nilai bangunan /biaya yang dibutuhkan untuk membangun 1 (satu) unit bangunan. Berikut disajikan tabel perkembangan indeks kemahalan konstruksi (IKK) Kabupaten Lampung Tengah pada periode 2002-2011 Tabel 4 Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2002-2011 No tahun Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) 1 2002 62,21 2 2003 65,41 3 2004 68,81 4 2005 72,01 5 2006 75,41 6 2007 75,41 7 2008 78,61 8 2009 81,54 9 2010 84,15 10 2011 87,43 Sumber : BPS Provinsi Lampung 2002-2011

13 Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa indeks kemahalan konstruksi Kabupaten Lampung Tengah naik pada setiap tahunnya. Nilai terendah terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 62,21 sedangkan nilai tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 87,43. Dengan pengukuran indeks kemahalan konstruksi tersebut menggambarkan bahwa kebutuhan dana untuk melakukan pembangunan daerah juga meningkat setiap tahunnya. Sedangkan indeks kapasitas fiskal Kabupaten Lampung Tengah tergolong rendah sehingga tidak mampu untuk membiayai sendiri kebutuhan daerah nya dan masih mengandalkan bantuan dana dari pusat. Tingginya nilai kebutuhan fiskal yang dimiliki Kabupaten Lampung Tengah menunjukan masih tingginya kebutuhan dan ketergantungan akan bantuan dana dari pemerintah pusat. Dengan tingginya kebutuhan fiskal Kabupaten Lampung Tengah yang tidak diikuti dengan kapasitas fiskal yang memadai hal tersebut menunjukan bahwa Kabupaten Lampung Tengah belum memiliki kemandirian dalam hal keuangan dalam rangka membiayai kegiatan pemerintahannya. Dengan demikian, secara tidak langsung daerah yang memiliki indeks kapasitas fiskal tergolong rendah sedangkan kebutuhan fiskal relatif tinggi akan membebani anggaran pemerintah pusat. Sejalan dengan amanat UU Nomor 33 tahun 2004 Pasal 27 data daerah yang digunakan untuk mengukur Kebutuhan Fiskal daerah mengalami perubahan menjadi jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia, sedangkan Kapasitas Fiskal diukur dengan data bagi hasil pajak dan bukan pajak serta Pendapatan Asli Daerah (PAD) realisasi. Selanjutnya data jumlah kebutuhan

14 belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah yang sebelumnya digunakan sebagai acuan untuk memperhitungkan faktor penyeimbang dalam formula DAU, berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2004 data tersebut digunakan sebagai dasar penghitungan Alokasi Dasar dalam Dana Alokasi Umum (DAU). Variabel Kebutuhan Fiskal ( jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, PDRB per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia) yang merupakan cerminan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Sedangkan Variabel Kapasitas Fiskal mencerminkan potensi ekonomi daerah yang dipresentasikan dengan potensi Industri, SDA, SDM, dan PDRB. Potensi ekonomi ini dapat dicerminkan oleh penerimaan daerah dari Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, serta potensi PAD yang dimiliki daerah. B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang diatas yang menunjukan bahwa indeks kapasitas Kabupaten Lampung Tengah tergolong paling rendah di Provinsi Lampung, sedangkan kebutuhan fiskal Kabupaten Lampung Tengah lebih besar dari kapasitas fiskal. Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang rumusan masalahnya menganalisis perkembangan celah fiskal Kabupaten Lampung Tengah pada tahun 2002-2011? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian di atas tujuan dari penelitian ini yang ingin dicapai oleh penulis adalah untuk menganalisis perkembangan celah fiskal Kabupaten Lampung Tengah tahun 2002-2011

15 D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi penulis lainnya yang akan melakukan penelitian dengan masalah yang serupa, serta dapat memberikan kontribusi bagi Pemerintah Daerah yang bersangkutan dalam melaksanakan Otonomi Daerah, serta dalam mengelola potensi sumber-sumber daya yang terdapat pada daerah tersebut untuk lebih berkembang lagi. Dengan adanya perhitungan dan analisis dalam penelitian ini, semua pihak yang menjadi otonomi daerah Provinsi Lampung khususnya pada Kabupaten Lampung Tengah akan lebih mudah mengukur kinerja Pemerintahan Daerah, serta tingkat partisipasi dan responbilitas masyarakat. Dalam konteks keilmuan, penelitian ini akan mempertegas implementasi teori Ekonomi Publik (pemerintah daerah), keterkaitan antara konsep teori dan kondisi rill akan tergambar dengan jelas. E. Kerangka Pemikiran Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Agar pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif, dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka mereka harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) termasuk surcharge of taxes, Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat. Sesuai dengan UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 bahwa perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal mengandung pengertian bahwa kepada daerah diberikan kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri dan didukung dengan perimbangan

16 keuangan antara pusat dan daerah. Kebijakan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dilakukan dengan mengikuti pembagian kewenangan (money follows function). Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan antara pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa, sehingga kebutuhan pengeluaran yang akan menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada. Secara teoritis desentralisasi seperti yang dikemukakan oleh Benyamin Hossein adalah pembentukan daerah otonom dan/atau penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah pusat. Philip Mawhod menyatakan desentraliasi adalah pembagian dari sebagiankekuasaan pemerintah oleh elompok yang berkuasa di pusat terhadap kelompok-kelompok lain yang masing-masing memiliki otoritas di dalam wilayah tertentu di suatu negara. Dari defenisi kedua pakar diatas, menurut Jayadi N.K. bahwa mengandung empat pengertian: pertama, desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom; kedua, daerah otonom yang dibentuk diserahi wewenang tertentu oleh pemerintah pusat; ketiga, desentralisasi juga merupakan pemencaran kekuasaan oleh pemerintah pusat; keempat, kekuasaan yang dipencarkan diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat dalam wilayah tertentu. Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang dimulai sejak 1 Januari 2001, maka Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang lebih luas, nyata, dan bertanggung jawab untuk mengatur dan mengelola daerahnya sendiri. Dalam

17 menjalankan tugasnya sebagai daerah otonom, Pemerintah Daerah sangat bergantung pada dana perimbangan dari Pemerintah Pusat berupa bagi hasil pajak, bagai hasil SDA, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Alokasi Umum yang merupakan penyangga utama pembiayaan APBD sebagian besar terserap untuk belanja pegawai, sehingga belanja untuk proyekproyek pembangunan menjadi sangat berkurang. Sehubungan dengan adanya otonomi daerah ada dua hal yang menjadi bahasan utama, yakni kebutuhan fiskal (fiscal needs) dan kapasitas fiskal (fiscal capacity) yang keduanya dapat dikaitkan dalam upaya mengoptimalkan Pendapataan Asli Daerah (PAD). Selisih dari kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal disebut dengan kesenjangan fiskal (fiscal gap) ini yang menjadi penentu atau patokan dalam menentukan besarnya transfer dari pusat. Kesenjangan fiskal (fiscal gap) merupakan selisih negative antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal dianggap sebagai kebutuhan yang harus ditutup melalui transfer Pemerintah Pusat. Sehingga solusi untuk kesenjangan fiskal adalah memperbanyak kapasitas fiskal. Mengenai kapasitas fiskal ini, satu dampak yang perlu diingat dengan penggunaan pendapatan aktual daerah sebagai ukuran kapasitas fiskal akan berdampak kurang baik, karena akan menyebabkan transfer dari pusat ke daerah banyak dipengaruhi oleh upaya perpajakan (tax effort) daerah. Hal ini akan menimbulkan opini negatif bahwa daerah tidak perlu bersusah payah menghimpun pendapatan (undercollect), agar bisa memperoleh transfer yang banyak dari pusat. Semakin gencar daerah menghimpun penerimaan pajak, maka akan semakin tinggi ukuran kapasitas fiskalnya dan semakin kecil transfer yang akan diterimanya. Untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah (fiscal capacity) tidak hanya menyangkut

18 peningkatan PAD. Peningkatan kapasitas fiskal pada dasarnya adalah optimalisasi sumber-sumber penerimaan daerah. Oleh karena itu tidak perlu dibuat dikotomi antara PAD dengan dana perimbangan. Namun juga perlu dipahami bahwa peningkatan kapasitas fiskal bukan berarti anggaran yang besar jumlahnya. Anggaran yang besar namun tidak dikelola dengan baik (tidak memenuhi prinsip value for money) justru akan menimbulkan masalah, misalnya dengan terjadinya kebocoran anggaran. Yang terpenting adalah optimalisasi anggaran karena peran pemerintah daerah nantinya bersifat sebagai fasilitator dan motivator dalam menggerakkan pembangunan di daerah (Rusdianto, 2010) Gambar 1 Kerangka Pemikiran Desentralisasi Fiskal Otonomi Daerah Keuangan Daerah (DAU) 1. Kebutuhan fiskal (fiscal needs) 2. Kapasitas fiskal (fiscal capacity) Kesenjangan fiskal (fiscal gap) Hipotesis 1. Diduga perkembangan celah fiskal (fiscal gap) kabupaten lampung tengah pada periode tahun 2002 hingga tahun 2011 mengalami