II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan 1. Jaminan Mutu Mutu didefinisikan sebagai keseluruhan gabungan karakteristik produk dan jasa dari pemasaran, rekayasa, pembuatan, dan pemeliharaan yang membuat produk dan jasa yang digunakan memenuhi harapanharapan pelanggan. Pengendalian mutu dilakukan melalui empat tahapan, yaitu penetapan standar, penilaian kesesuaian, pengambilan tindakan korektif, dan perencanaan perbaikan (Feigenbaum, 1996). Pergeseran konsep pengendalian mutu ke jaminan mutu terjadi sekitar tahun 1960. Konsep jaminan mutu tidak hanya mensyaratkan pemeriksaan proses produksi, tetapi juga meliputi perencanaan, perancangan produksi, pengadaan bahan baku, transportasi, penyimpanan dan sebagainya. Konsep jaminan mutu merupakan konsep awal yang kemudian berkembang menjadi konsep yang lebih komprehensif yaitu Total Quality Management (TQM) (Muhandri dan Kadarisman, 2008). Juran dalam Muhandri dan Kadarisman (2008) menjelaskan bahwa jaminan mutu adalah suatu upaya yang dilakukan oleh perusahaan secara terus-menerus agar fungsi mutu dapat dilaksanakan dengan baik untuk membangun kepercayaan konsumen. Dalam ISO-9000:2000 disebutkan bahwa jaminan mutu adalah bagian dari manajemen mutu yang difokuskan terhadap pemberian keyakinan bahwa persyaratan mutu akan terpenuhi. Menurut Muhandri dan Kadarisman (2008), penerapan jaminan mutu pada suatu perusahaan memerlukan tiga hal penting, yaitu: a. Suatu perusahaan harus mampu menjamin bahwa mutu produk yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan yang diharapkan konsumen (karakteristik mutu yang sebenarnya). b. Jika produk akan diekspor, maka semua persyaratan produk yang dikirimkan ke luar negeri perlu memenuhi persyaratan mutu yang diinginkan oleh konsumen luar negeri (termasuk persyaratan pemerintahnya). 5
c. Pimpinan perusahaan perlu menyadari pentingnya jaminan mutu dan memastikan bahwa semua jajaran di dalam perusahaan akan sepenuhnya berusaha mencapai tujuan mutu secara bersama-sama. 2. Jaminan Keamanan Pangan Menurut PP No.28 Tahun 2004, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Alli dalam Santoso (2010) menjelaskan bahwa keamanan pangan merupakan pemenuhan terhadap persyaratan khusus, terkait dengan karakteristik yang berpotensi membahayakan kesehatan. Menurut Muhandri dan Kadarisman (2008), keamanan pangan merupakan salah satu karakteristik yang menentukan mutu suatu produk dalam industri pangan. Karakteristik penentu mutu lainnya adalah karakteristik fungsional, karakteristik kemudahan penggunaan, karakteristik masa simpan dan karakteristik psikologi. Produksi dari produk-produk pangan olahan yang aman perlu mempertimbangkan bahan yang digunakan, metode proses, kontaminasi pasca proses dan penentuan titik-titik kendali kritis. Sistem HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) telah berkembang sebagai sistem yang dapat menganalisis adanya bahaya dan mengendalikan titiktitik yang bersifat kritis. Sistem HACCP yang bersifat preventif sangat menekankan pentingnya mutu dan keamanan pangan. Sebagai suatu sistem jaminan mutu dan keamanan pangan, HACCP dapat diterapkan pada seluruh mata rantai proses pengolahan produk pangan (Muhandri dan Kadarisman, 2008). B. Sertifikasi Hasil Perikanan Untuk Produk Udang Menurut PP No.102 Tahun 2000, sertifikasi adalah rangkaian kegiatan penerbitan sertifikat terhadap barang dan jasa. Sertifikat adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga atau laboratorium yang telah diakreditasi 6
untuk menyatakan bahwa barang, jasa, proses, sistem atau personel telah memenuhi standar yang dipersyaratkan. FAO (2006) menjelaskan bahwa sertifikasi produk merupakan verifikasi yang dilakukan untuk menyatakan bahwa suatu produk telah lulus dari pengujian jaminan mutu atau telah memenuhi standar kualitas yang ditetapkan pemerintah. Kegiatan akuakultur perlu dilakukan dalam kondisi yang dapat menjamin keamanan pangan dan mutu dengan menerapkan standar dan peraturan yang dikeluarkan FAO, WHO, Codex Alimentarius Commission (CAC) dan lembaga serupa lainnya. Kriteria substantif minimum jaminan mutu dan keamanan pangan dalam perencanaan sertifikasi akuakultur meliputi persyaratan lokasi, pakan, obat dan bahan kimia, air, benih, ketelusuran dan rekaman, fasilitas, program identifikasi dan monitoring, dan pekerja (FAO, 2006). Pengelolaan udang yang termasuk kegiatan akuakultur selayaknya dilakukan dalam kondisi yang memenuhi kriteria jaminan mutu dan keamanan pangan. Sanitasi mempunyai peran penting dalam kegiatan pengelolaan udang. Sanitasi yang baik pada suatu unit usaha dapat memaksimumkan umur simpan, mengurangi kebusukan dan limbah, mengurangi produk yang tidak sesuai spesifikasi (reject), dan meningkatkan keuntungan. Arahan utama jaminan mutu sanitasi dalam kegiatan budidaya, pemanenan, penanganan dan pengolahan udang adalah pencegahan kontaminasi mikrobial dan pengendalian pertumbuhan mikroorganisme (Kanduri dan Eckhardt, 2002). Menurut Kanduri dan Eckhardt (2002), sanitasi, keamanan dan kualitas produk perlu dipertimbangkan sebagai komponen integral dalam program jaminan mutu. Sanitasi merupakan prasyarat penerapan sistem HACCP. Prosedur Operasional Sanitasi Standar (POSS) harus dapat menjelaskan pemenuhan sanitasi pada suatu unit usaha. Delapan kondisi sanitasi yang disyaratkan, yaitu: 1. Keamanan air yang digunakan, 2. Kondisi dan kebersihan peralatan yang kontak dengan produk, 3. Pencegahan kontaminasi silang langsung dan tidak langsung terhadap produk yang diolah, 7
4. Penyediaan alat cuci tangan dan toilet yang dilengkapi peralatan kebersihan, 5. Perlindungan produk, bahan pengemas, dan peralatan yang kontak langsung dengan produk dari berbagai cemaran (biologi, kimia dan fisika), 6. Label yang jelas dan penanganan atau penyimpanan dan penggunaan bahan beracun, 7. Pengawasan kesehatan karyawan, dan 8. Pengawasan terhadap binatang pengerat dan atau binatang lainnya. Selain pelaksanaan POSS, hal-hal lain yang juga menjadi prasyarat penerapan HACCP adalah pelaksanaan Good Manufacturing Practices (GMP), pelatihan untuk pegawai, prosedur pemanggilan kembali, perawatan yang bersifat preventif, dan pengkodean produk (Kanduri dan Eckhardt, 2002). GMP merupakan cara atau teknik berproduksi yang baik dan benar untuk menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu dan keamanan. Menurut Cahyono (2002), teknik-teknik yang perlu diterapkan oleh industri pangan dalam pelaksanaan jaminan mutu dan keamanan pangan yaitu: (1) GAP (Good Agriculture Practice) atau GFP (Good Farming Practice); (2) GHP (Good Handling Practice); (3) GMP (Good Manufacturing Practice) dan GLP (Good Laboratory Practice); (4) GDP (Good Distribution Practice); dan (5) GRP (Good Retailing Practice). Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang perikanan, sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan terdiri atas 1). Pengawasan dan pengendalian mutu, 2). Pengembangan dan penerapan persyaratan atau standar bahan baku, persyaratan atau standar sanitasi dan teknik penanganan dan pengolahan, persyaratan atau standar mutu produk, persyaratan atau standar sarana dan prasarana, serta persyaratan atau standar metode pengujian dan 3). Sertifikasi. Tiga jenis sertifikat yang disebutkan dalam undang-undang ini adalah sertifikat kelayakan pengolahan, sertifikat penerapan program manajemen mutu terpadu, dan sertifikat kesehatan. Menurut Santoso (2010), penanggung jawab utama sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan dibebankan kepada Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan selaku otoritas kompeten di 8
lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan. Pengendalian sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan dilaksanakan oleh: 1. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, yang mencakup pengendalian di kapal penangkap ikan, kapal pengangkut ikan, dan pembongkaran dari kapal. 2. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, yang mencakup penggunaan obat-obatan, bahan kimia, bahan biologi, dan pencemaran pada pembenihan, pembesaran dan pemanenan hasil budidaya perikanan. 3. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, yang mencakup pengendalian mulai dari pasca pembongkaran, pasca pemanenan, pada tahap pengangkutan, penampungan, pengolahan sampai distribusi. Otoritas kompeten dapat memberikan tugas-tugas tertentu kepada Dinas Perikanan dan Kelautan. Kelembagaan lain yang mendukung tugas pengendalian adalah laboratorium, komisi aproval dan pengawas mutu. Laboratorium terdiri atas dua laboratorium acuan dan laboratorium penguji. Komisi aproval mempunyai tugas dan kewenangan memberikan rekomendasi dalam rangka persetujuan dan penerbitan sertifikat yang mencakup cara budidaya yang baik, cara penanganan ikan di kapal yang baik, kelayakan pengolahan, penerapan HACCP dan kewenangan lainnya. Pengawas mutu mempunyai tugas pengendalian yang meliputi kegiatan inspeksi, pengambilan contoh, pengujian contoh, dan sertifikasi pada setiap tahapan proses sejak produksi primer, pengolahan dan distribusi. C. Pendekatan Sistem Pengembangan model merupakan bagian dari pemecahan masalah berdasarkan teori pendekatan sistem. Menurut Marimin (2004), sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks. Pendekatan sistem diperlukan karena makin lama makin dirasakan interdepensinya dari berbagai bagian dalam mencapai tujuan sistem. Masalahmasalah yang dihadapi saat ini tidak lagi sederhana dan dapat menggunakan 9
peralatan yang menyangkut satu disiplin saja, tetapi memerlukan peralatan yang lebih komprehensif, dapat mengidentifikasi dan memahami berbagai aspek dari suatu permasalahan, dan dapat mengarahkan pemecahan secara menyeluruh. Metode untuk menyelesaikan persoalan menggunakan pendekatan sistem terdiri dari beberapa tahap proses. Tahap-tahap tersebut meliputi analisis, rekayasa model, implementasi rancangan, implementasi dan operasi sistem. Setiap tahap dalam proses tersebut diikuti oleh suatu evaluasi berulang guna mengetahui apakah hasil dari masing-masing tahap telah sesuai dengan yang diharapkan atau belum. Diagram alir tahapan pendekatan sistem disajikan dalam Gambar 1. Gambar 3. Tahapan Pendekatan Sistem (Eriyatno, 2003) 10
Metodologi pendekatan sistem pada prinsipnya dilakukan melalui enam tahap analisis sebelum tahap rekayasa, meliputi: (1) analisis kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, (4) pembentukan alternatif sistem, (5) determinasi dari realisasi fisik, dan (6) penentuan kelayakan ekonomi dan finansial. Langkah pertama sampai keenam umumnya dilakukan dalam satu kesatuan kerja yang disebut sebagai analisis sistem. Diagram alir tahapan analisis sistem disajikan dalam Gambar 2. Gambar 4. Tahapan Analisis Sistem (Eriyatno, 2003) Analisa kebutuhan merupakan tahap awal dari pengkajian suatu sistem. Pada tahap ini diidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dari masing-masing pelaku sistem (stakeholders). Setiap pelaku sistem memiliki kebutuhan yang berbedabeda yang dapat mempengaruhi kinerja sistem (Hartrisari, 2007). Formulasi permasalahan merupakan tahapan untuk merumuskan permasalahan yang dihadapi berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang telah 11
diidentifikasi dari masing-masing aktor (Cahyadi, 2005). Menurut Hartrisari (2007), tujuan sistem akan sulit tercapai apabila teridentifikasi kebutuhan para aktor yang saling kontradiktif. Rincian kebutuhan yang saling bertentangan menjadi suatu masalah yang memerlukan solusi penyelesaian untuk mengintegrasikan kebutuhan pelaku sistem. Tahapan identifikasi sistem merupakan tahapan dimana pengkaji sistem mencoba memahami mekanisme yang terjadi dalam sistem. Dengan memahami mekanisme yang terjadi dalam sistem, pengkaji sistem dapat merepresentasikan sistem tersebut dalam sebuah model yang merupakan penyederhanaan dari sebuah sistem (Hartrisari, 2007). Model sebagai abstraksi dari realitas memiliki wujud yang kurang kompleks daripada realitas itu sendiri. Model dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas sistem yang sedang dikaji (Eriyatno, 2003). Meskipun semua model tidak menunjukkan kesempurnaannya dalam mempresentasikan sistem, namun model memiliki manfaat dalam pengambilan keputusan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi (Hartrisari, 2007). Deskripsi dari model abstrak yang dihasilkan pada tahap rekayasa model selanjutnya akan diimplementasikan dengan komputer. Pada tahap implementasi komputer, model abstrak diwujudkan dengan berbagai bentuk persamaan, diagram alir, dan diagram blok. Pemilihan teknik dan bahasa komputer yang sesuai merupakan bagian penting pada tahap ini (Eriyatno, 2003). Secara umum pengujian model terdiri dari tahap verifikasi dan validasi. Verifikasi merupakan tahap pembuktian bahwa model tersebut mampu melakukan simulasi dari model abstrak yang dikaji. Pengujian ini mungkin berbeda dengan uji validitas model itu sendiri. Validasi adalah usaha menyimpulkan apakah model tersebut merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji dimana dapat dihasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Validasi adalah suatu proses iteratif yang berupa pengujian berturut-turut sebagai proses penyempurnaan model komputer (Eriyatno, 2003). 12